06. Meet The First Love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sejak pengakuan cinta oleh Kai, jujur hubungan kami agak sedikit canggung. Entah aku yang tak bisa dengan leluasa mengobrol dengannya seperti dulu, atau justru dia yang sengaja menghindariku. Yang jelas, hubungan kami jadi aneh.

Padahal kami bertemu setiap hari di lokasi syuting. Tapi tak ada obrolan hangat seperti dulu. Kami hanya saling melempar senyum, lalu berlalu begitu saja.

Putus asa dengan situasi canggung yang kami hadapi, aku nekat menemuinya dan mengajaknya berbicara.

"Kai, bisa kita bicara?" pintaku, sore itu ketika ia tengah mengemasi beberapa barang di ruangannya. Ruangan dekat hall utama, bersebelahan dengan ruangan sutradara.

"Kebetulan. Aku juga punya sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu," jawabnya.

"Mau keluar?"

Kai menggeleng. "Tidak, di sini saja. Para kru lain sedang sibuk menyiapkan syuting berikutnya. Kalau mereka melihat kita berbicara serius, aku takut akan ada yang salah paham. Kau masih peserta di acara ini, dan aku takut itu berpengaruh."

Ia berjalan memutar dari kursinya, lalu dengan bersedekap, ia duduk di pinggir meja sambil menyilangkan kakinya.

"Jadi, kau atau aku yang harus bicara dulu?" lanjutnya.

Aku berdehem, lalu memilih beranjak untuk bersandar di kusen jendela.

"Ini soal ... pengakuanmu beberapa waktu yang lalu." Aku kembali berdehem.

Tapi justru Kai malah tersenyum.
"Aku tahu kalau kau menolakku," jawabnya.

"Aku kan belum selesai bicara," sanggahku.

"Tapi aku tahu kau akan mengatakan itu," ujarnya, tenang.

Aku terdiam sesaat.

"Kau benar. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Tapi, kita masih bersahabat, kan? Bisakah kita menjalani hubungan seperti sediakala? Maksudku, aku senang bersamamu, aku senang mengobrol denganmu. Dan, aku tak ingin ada yang berubah di antara kita. Persahabatan antara perempuan dan laki-laki memang terdengar mustahil. Tapi, tidak untuk kita, ya, kan?" pertanyaanku terdengar was-was.

Kai tersenyum lembut. Ia beranjak mendekatiku, menyandarkan bahunya di kusen jendela, di sampingku.

"Aku tidak mengatakan bahwa aku menyerah akan dirimu." Matanya menatap lurus ke manik mataku.

Alis mataku bertaut. "Maksudmu?"

Kai kembali tersenyum lembut.

"Aku menyadari bahwa pengakuan cintaku terkesan buru-buru. Tadinya aku juga takut hal ini justru merusak persahabatan di antara kita. Tapi setelah dipikir-pikir, aku tak menyesal untuk mengatakannya. Setidaknya sekarang kau tahu bahwa ada seseorang yang akan senantiasa mencintaimu dengan tulus, dan itu adalah aku." Sikapnya begitu tenang.
Ia maju selangkah, mendekatiku.

"Hana, tak masalah jika sekarang kau menolakku. Tapi ingatlah satu hal, hatiku selalu siap untuk menerimamu, kapanpun kau berubah pikiran," lanjutnya.

Aku mematung.

Dan aku hanya tertegun, tanpa mampu menolak, ketika tangan Kai terulur, lalu menyelipkan untaian rambutku yang berjuntaian ke belakang telinga.

***

Aku berniat kembali ke kamarku ketika menyaksikan Sean tengah mengobrol dengan Irene di teras samping rumah.

Mereka terlihat akrab dan dekat.

Aku sempat menyaksikan ekspresi Irene dan ia terlihat bahagia. Entah kenapa aku suka sekali dengan gadis itu. Dia kalem, sopan, dan menyenangkan.

Dia mungkin sedikit pemalu. Tapi ketika sudah bersama Sean, ia selalu ceria dan tertawa lepas. Jelas sekali bahwa ia jatuh cinta dengan pria itu.
Aku bisa melihatnya manakala ia mengobrol dengannya, kedua matanya senantiasa berbinar, penuh cinta.

Sean sendiri sepertinya juga nyaman berada di sisi Irene. Pasangan yang serasi, pujiku dalam hati.

Merasa tak ingin mengganggu kebersamaan mereka, aku berjalan pelan dengan harapan mereka tak melihatku.

Tapi telat!

Ekor mata Sean keburu menangkap diriku.

Merasa tak perlu menyapa, aku melangkah cepat. Tapi yang kulihat selanjutnya lelaki itu malah bangkit dari kursinya.

Aku mendelik.

Apa ia akan berjalan ke arahku dan menghampiriku?

Aduh, bagaimana ini?

Panik, aku mempercepat langkahku. Mencoba menghindarinya.

"Hana, tunggu!"

Aku menggigit bibir. Nah kan, dia memanggilku.

Tanpa menjawab, aku terus melangkah. Bahkan bisa dibilang, setengah berlari.

"Apa sekarang kau menghindariku lagi?"

"Tidak," jawabku cepat. Tanpa berhenti melangkah, tanpa menoleh ke arahnya.

"Lalu apa sekarang kau sedang ikut lomba lari?" Pertanyaannya terdengar geli.

Aku menoleh ke arahnya sekilas. Lelaki itu berjalan santai di belakangku, ia bahkan tidak berusaha menyamai  langkahku. Oh, sialan!

Apa dia sengaja melakukannya?

"Kenapa kau mengikutiku, sih?" protesku.

"Karena kau berlari menghindariku, makanya aku mengikutimu," jawabnya santai.

"Kau kan sedang mengobrol dengan Irene? Kenapa kau harus repot-repot mengikutiku?"

"Karena aku melihatmu dan ingin menyapamu, makanya aku menghampirimu. Aku bahkan belum sempat melihat wajahmu, tapi kau keburu menghindar."

Lagi-lagi aku menggigit bibirku dengan kesal. Kutatap sosok itu, sambil terus berjalan.
"Sekarang kau sudah menyapaku. Jadi kembalilah ke sana." Aku nyaris menjerit.

"Kalau begitu berhentilah, biar aku menyapamu dengan sopan. Setelah itu aku akan kembali ke sana. Lagipula, aku capek mengikutimu."

"Aku tidak menyuruhmu mengikutiku," dan kali ini nada suaraku meninggi satu oktaf.

"Kalau begitu berhentilah, ayo bicara baik-baik. Kau bisa jatuh jika berbicara sambil berjalan menyamping seperti kepiting."

"Aku tidak berjalan menyamping seperti kepiting!" bentakku.

Yang kudengar selanjutnya malah tawa geli dari lelaki itu.

"Jangan bersikap seperti ini, Hana. Kau bilang kau mengikuti acara ini karena ingin memenangkan hatiku, kan?"

Aku merasakan mukaku merah.

"Ngomong-ngomong, ada kamera di sepanjang lorong ini."

Mendengar itu aku tersentak. Dan aku nyaris saja jatuh tersandung jika saja Sean tidak bergerak dengan cepat ke arahku. Pemuda itu meraih pinggangku dan menyeimbangkan tubuhku.

Setelah berdiri cukup sempurna aku menarik diri dari rengkuhannya lalu bergerak mundur.

Sean kembali mendekatiku, meraih tanganku, lalu menarikku ke lorong lain, lorong yang lebih sempit. Lorong yang menghubungkan ruang utama dengan kamar-kamar lain.

Aku memutar mataku jengkel manakala pria itu mendorongku ke dinding.

"Berhentilah melakukan ini," protesku.

Bukannya marah, Sean hanya terkikik geli.

"Kau lucu kalau sedang kesal," ujarnya.

Karena kedua tanganku ada di genggamannya, aku menggerakkan kepalaku dengan maksud untuk menyingkirkan untaian rambut yang menutupi wajahku.

Tetapi tangan Sean lebih dulu terulur dan menyelipkannya ke belakang telinga.

Aku tak berniat mengucapkan terima kasih. Dan pria itu terlihat ingin mengatakan sesuatu ketika kami mendengar suara ribut-ribut dari teras rumah.

Aku dan Sean masih sempat saling tatap ketika akhirnya ia melepaskan cengkeraman tangannya yang lain lalu mundur beberapa langkah.
Dan ia beranjak.
Aku mengekorinya menuju teras.

Ketika sampai di sana, kami menyaksikan Irene sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Beberapa peserta berkerumun di sekitarnya dan kulihat Jenny berjongkok di sisinya.

Sean menyeruak, memeriksa keadaan Irene lalu mengangkat tubuh perempuan itu.

"Akan kupanggilkan dokter." Ia melangkah, membawa Irene dalam gendongannya menyusuri lorong.

Aku mendekati Jenny yang berdiri bersedekap menatap kepergian Sean.

"Apa yang kau lakukan padanya?" bisikku.

Jenny melirikku lalu mengibaskan rambutnya dengan angkuh.

"Tak ada. Aku hanya mengajaknya mengobrol dan tiba-tiba saja ia tak sadarkan diri," jawabnya enteng.

"Kau pasti melakukan sesuatu padanya, kan?" tanyaku lagi.

Bibir Jenny berdecih.
"Terserahlah," dan ia beranjak. Begitu saja.

***

Aku memasuki kamarku dan hanya menemukan Miranda di sana. Ia tampak serius di depan notebook yang menyala.

Peserta reality show memang dilarang membawa ponsel, tapi mereka diperbolehkan membawa notebook asal tidak terkoneksi ke internet.

Lagipula beberapa perempuan di sini adalah perempuan karir yang memegang peranan penting di perusahaan mereka masing-masing.
Termasuk Miranda.

Dari yang kutahu, ia manajer di sebuah perusahaan terkemuka yang berada di negara ini. Itulah kenapa ia selalu membawa notebook itu bersamanya demi untuk menyelesaikan semua pekerjaannya.

Ketika ada waktu bebas syuting, akan ada  helikopter pribadi yang menjemputnya secara khusus dan membawanya langsung ke tempat kerja.

Terdapat sebuah landasan helikopter di halaman samping rumah Sean. Itulah kenapa hampir semua dari kami tahu kesibukannya soal itu.

Terkadang aku juga heran akan alasannya ikut acara ini.
Miranda cantik dan terpelajar, dan sepertinya ia juga dari keluarga kaya raya. Terlihat dari sikapnya yang begitu berwibawa, elegan dan juga dari semua barang-barang yang ia kenakan. Semuanya branded.

Tidak main-main, Ia bahkan pernah mengenakan sepasang anting berlian dari perancang perhiasan terkemuka di dunia. Kau bahkan bisa membeli sebuah rumah sederhana hanya dengan sebelah anting saja.

"Mereka bilang Irene pingsan?" Ia mengalihkan pandangannya dari layar notebook ke arahku.

Aku melangkah ke ranjang dan duduk di pinggirannya.

"Sean sudah membawanya dan dia bilang ia akan memanggilkan dokter," jawabku.

Miranda manggut-manggut, lalu kembali menatap layar notebook.
"Jangan khawatir. Ada klinik pribadi di lantai satu. Dan dokter keluarga Sean sangat berkualitas dan mahir. Irene akan ditangani dengan baik," ucapnya.

Aku menatap perempuan cantik tersebut.
Hening sesaat.

"Miranda, boleh aku menanyakan sesuatu?" Aku membuka suara.

"Hm." Perempuan itu berdehem lembut.

"Apa sebenarnya tujuanmu ikut acara ini?" tanyaku.

Miranda tampak tersenyum.
"Untuk mendapatkan hati Sean," jawabnya.
"Sama seperti dirimu dan peserta lain," lanjutnya.

Aku terdiam lagi.

"Apa kau sudah mengenal Sean sebelumnya?" tanyaku lagi.

Miranda tertawa lirih.
"Kenapa kau menanyakannya?" Ia tak terdengar tersinggung dengan pertanyaanku yang lancang.

"Aku bisa melihat interaksimu dengan Sean. Dan jujur kuakui, interaksi di antara kalian begitu alami. Tidak canggung, tidak pula dibuat-dibuat. Kau hafal semua detil rumah ini. Dari ruangan, dari letak barang-barang, bahkan beberapa staff rumah ini, kau tahu dengan baik. Seolah kau sudah sering berkunjung ke sini," ucapku jujur.

Dan analisaku tidak sembarangan.

Sejak menginjakkan kaki di rumah ini, aku mengawasi seluruh gerak-gerik semua peserta, baik yang sekamar denganku maupun yang tidak. Hanya sekedar untuk bahan pertimbanganku saja, tidak bermaksud buruk.

Dan yang kudapat dari sosok Miranda adalah apa yang kukemukakan barusan. Aku bahkan sempat mengira bahwa perempuan ini - mungkin saja - punya hubungan dekat dengan keluarga Sean. Kejutan besar, bisa saja terjadi. Ya, kan?

Miranda tersenyum lembut, memutar tubuhnya ke arahku.
"Aku menyukaimu, Hana. Kau perempuan yang cerdas," ucapnya.
"Kau benar, aku memang sudah berteman dengan Sean, sejak kecil malahan."

Aku ternganga.
"Wow, keren," ucapku. "Lalu?"

"Aku sering kemari. Dan jujur ... kami pernah berpacaran."

Aku tercengang, tak mengira akan menerima kejutan sebesar ini.

"Dia cinta pertamaku, begitupula diriku baginya. Kami pernah berpacaran sejak masih SMA hingga kuliah. Tapi karena keegoisanku, aku membuat kesalahan fatal dengan mengakhiri hubungan kami."

"Kenapa?" tanyaku antusias.

Mengesampingkan bahwa kami bersaing untuk mendapatkan lelaki yang sama, faktanya kami bersahabat baik dan tak sungkan berbagi cerita.
Dan aku bersyukur karena ternyata ia bersedia menceritakan masa lalunya padaku.

"Setelah lulus kuliah, ia melamarku. Tapi karena aku masih ingin berkarir, akhirnya aku menolak, mengatakan belum siap. Dan begitulah, hubungan kami berakhir. Hingga akhirnya aku sadar, aku telah melakukan kesalahan karena telah menolaknya. Sungguh aku tak bisa berjauhan darinya." Raut muka Miranda terlihat putus asa.

"Dia pria terbaik yang pernah kutemui. Ia gentle, bertanggung jawab, dan tidak neko-neko. Aku sadar bahwa melepaskan pria sebaik Sean adalah sebuah kesalahan besar."

"Dan kau ikut acara ini?" tanyaku.

Ia mengangguk.

"Aku berusaha menghubunginya, tapi dia menolak. Lalu aku melihat acara ini dan memutuskan ikut audisi. Aku bersedia mengemis cinta pada Sean jika memang itu harus kulakukan. Tak jadi soal jika akhirnya nanti ia menolakku. Setidaknya aku sudah memperjuangkannya kembali." Ia nampak luruh.

Dan tiba-tiba saja aku merasa iba padanya. Membayangkan ia menjatuhkan seluruh harga dirinya demi bisa kembali pada Sean, dia benar-benar perempuan yang hebat.

Aku tercenung.

Pikiranku berkelana. Ingat akan Jenny yang selalu berada di urutan nomor satu, ingat akan Irene yang sepertinya menarik perhatian Sean, dan sekarang aku dihadapkan pada kenyataan bahwa perempuan cantik di hadapanku ternyata adalah mantan pacar sekaligus cinta pertama Sean.

Untuk suatu alasan yang tak kuketahui, tiba-tiba saja aku ingin pindah kamar.

***

Kompetisi terus berlanjut. Peserta berguguran satu persatu. Di luar prediksi, aku tetap saja bertahan. Bergabung dengan semua teman sekamarku yang ternyata juga lolos ke episode berikutnya.

Secara polling, Jenny masih bertengger di posisi satu, disusul dengan Irene, lalu Miranda.

Aku?

Aku tetap saja di posisi akhir. Tapi setidaknya wajahku sudah lumayan familiar di televisi. Aku bahkan sudah punya fanbase sendiri, walau tidak banyak.

Well, itu sudah lebih dari cukup.

Lumayan.

Seiring dengan merampingnya peserta, format acara sedikit berubah. Hari-hari yang dilewati tidak hanya diisi dengan syuting di tempat-tempat amal, mengikuti kelas memasak maupun kelas bisnis.

Demi bisa lebih dekat dengan Sean, akan ada acara One Day With Sean, di mana setiap peserta akan menghabiskan waktu seharian penuh dengan pria itu.

Hal ini bertujuan untuk lebih mengenal satu sama lain. Mungkin semacam kencan sehari, atau apalah.

Dan jadwal dimulai dengan peserta dengan polling tertinggi.
Jadi sudah bisa dipastikan, aku mendapatkan urutan terakhir.

Jenny antusias karena ia peserta pertama yang menghabiskan seharian penuh dengan Sean. Dia bilang mereka berkencan di pantai, kencan yang romantis, ia bilang. Sepulang dari acara ia memamerkan sebuket bunga mawar yang diberikan Sean.

Dan aku merasa tak suka.

Dengan bunganya, maksudku.

***

Sean membawa mobil dengan perlahan. Hari ini jadwal 'kencan' kami. Dan jujur aku tidak merasa antusias.

Berdasarkan draft yang kuterima, kami akan menghabiskan seharian penuh waktu kami di Manhattan Beach. Menikmati sunset, debur ombak, dan sebagainya.

Dan aku tak suka pantai.

"Apa semua kru sudah berangkat?" tanyaku.

Sean mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.

Dan aku tak berhenti ternganga ketika pria itu menyetir sendiri, menempuh perjalanan sekitar lima jam menuju Newfound Lake di Grafton County, New Hampshire.
"Kau yakin kita sedang tak salah tempat tujuan?" tanyaku untuk kesekian kalinya.

Setelah sempat tak bersedia menjawab, Sean akhirnya menggeleng.
"Bukankah kau tak suka pantai. Aku mengubah destinasi kita ke danau, tempat favoritmu," jawabnya.

Aku tertegun mendengar uraian pria tersebut.
Dia tahu?

Sean keluar dari mobil, berjalan memutar, lalu membuka pintu untukku. Dan sebuket bunga bakung putih kuterima ketika kakiku baru saja menginjak tanah.

Aku menatap bergantian ke arah bunga di tanganku lalu ke arah Sean yang tersenyum lembut.

"Bunga bakung? Bukan bunga mawar?" tanyaku.

Dari yang kutahu, semua peserta menerima bunga mawar dari acara 'kencan' ini.

"Kau kan tak suka bunga mawar. Bunga favoritmu adalah bakung putih. Ya, kan?"

Aku tersenyum haru. "Wow," jawabku pendek.
Tak mengira bahwa ia juga tahu hal sekecil ini.

"Masuklah." Sean meletakkan tangannya di punggungku dan mengajakku memasuki cottage minimalis di pinggir danau.

Aku melangkah memasuki rumah kayu itu dengan takjub.

"Keren," desisku kagum.

"Kau suka?" Ia bertanya. Dan aku mengangguk.

Sean beranjak melepas mantel dan meletakkan di sofa, lalu bergerak mengambilkan minuman untukku.
Lagi-lagi sirup framboise.

"Apa kau juga suka sirup ini?" Dan akhirnya aku menanyakannya. Penasaran.

"Tidak." Sean menjawab cepat.

"Lalu untuk apa kau selalu menyediakan minuman ini di sini? Di ruang kerjamu juga, kan?"

"Aku sengaja menyiapkannya untukmu. Karena aku tahu kau suka sekali dengan sirup itu," jawabnya.

Dan lagi-lagi aku merasa terharu.
Danau yang tenang, sebuah cottage minimalis, bunga bakung, sirup rasa framboise.

Ah, ini seperti kencan betulan. Aku jadi berdebar.

Kuletakkan bunga di vas, aku beranjak ke jendela dengan antusias, menyaksikkan hamparan danau yang tenang di hadapanku.

"Kenapa tak ada kru?" tanyaku.

"Tak ada kru yang datang." Jawaban Sean sontak membuatku berbalik, dan kudapati lelaki itu sudah berdiri tegap di hadapanku.

"Kali ini tak ada kru, tak ada kamera. Karena aku hanya ingin berduaan denganmu, mengenalmu lebih jauh." Ia mendekatiku, nyaris tak menyisakan jarak di antara kami.

Dan aku mematung ketika pria itu menyentuh lembut pipiku dengan jemarinya.  Membungkuk, ia mendekatkan wajahnya padaku.

Dan segera bayangan akan perempuan lain berkelebat di benakku. Semua peserta Sweet Home, termasuk Jenny yang selalu berada di urutan ke satu, Irene yang sepertinya menarik perhatian Sean, lalu Miranda yang ternyata adalah mantan pacarnya.

Tiba-tiba aku muak.

Apa Sean juga melakukan ini pada mereka?

Apa Sean menyentuhnya?

Menciumnya?

Memperlakukan mereka dengan manis?

Hidung kami bergesekan, dan bibir kami nyaris bertemu ketika aku buru-buru memalingkan muka.

Kudorong tubuh lelaki itu perlahan.

"Aku ... ingin ke kamar mandi," ucapku lirih.

Sempat melihat tatapan kecewa pada Sean, aku beranjak meninggalkannya.

Berlari ke kamar mandi, mengunci pintu, dan membasuh mukaku dengan kasar di wastafel hingga airnya memercik ke rambut, dada dan juga bahuku.

Menarik napas, aku menatap bayanganku di cermin.

Bukan.

Aku menghindari Sean bukan karena perempuan-perempuan itu.

Bukan karena para perempuan di Sweet Home.

Tapi karena aku takut.

Aku takut jatuh cinta padanya.

Karena aku tahu, jatuh cinta dengan Sean sama halnya dengan menciptakan luka baru.

Dan aku tidak siap untuk itu.

***

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro