10. Lost

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kai melepaskan jaketnya sendiri lantas memakaikannya padaku. Dengan sabar ia merapatkannya agar aku tak kedinginan.

Aku sempat merasakan tangannya meremas bahuku dengan maksud untuk menenangkan. Dan tanpa berucap sepatah kata pun, ia menggamit pundakku lalu mengajakku masuk ke mobilnya.

Melihat diriku yang masih kacau, ia berbaik hati untuk tidak mengajakku berbicara. Ia tak bertanya apa-apa ketika kami dalam perjalanan kembali ke Sweet Home.

Bahkan ketika kami telah sampai sana, setelah ia memarkir mobilnya dan mengajakku turun, ia tetap tak bersuara.

"Terima kasih, Kai." Akhirnya aku yang berbicara duluan. Suaraku serak karena terlalu banyak menangis.
Pria itu tersenyum.
"Pergilah ke kamar untuk beristirahat. Besok kita bicara lagi," ucapnya.

Aku melepaskan jaket Kai lalu menyerahkan kembali pada dirinya.
"Terima kasih," ucapku lagi. Aku berbalik.

Ketika baru akan memasuki teras, reflek aku mendongak. Menatap langsung ke kamar Sean yang berada di lantai dua.

Dan aku melihatnya.
Siluet seorang pria yang tengah berdiri kaku di belakang jendela. Pendar lampu kamar yang remang-remang tetap menjadikan sosok itu bisa terlihat jelas.

Membayangkan Sean berdiri di sana sembari menatap ke arahku, air mataku nyaris tumpah.
Betapa aku ingin melesat menaiki anak tangga dan berlari ke kamarnya, menemuinya, menghambur ke arahnya.
Betapa aku ingin bilang padanya bahwa aku menginginkan dirinya seutuhnya tapi ...

"Ayo kuantarkan ke kamar."
Menyadari emosiku yang kembali tak terkendali, Kai berdehem, lalu cepat-cepat memeluk pundakku dan mengajakku masuk ke rumah.
Memutus kontak  samar antara diriku dengan Sean.

***

Setelah sampai di kamar, cepat-cepat aku mengunci pintu lalu menjatuhkan diriku di tempat tidur.
Dan aku sendirian.
Setelah menjadi 3 besar, aku, Miranda dan Irene memang tinggal di kamar terpisah.

Menatap seisi kamar yang sepi, aku makin terbawa suasana. Dan akhirnya aku kembali terisak, meratap, sendirian.
Hingga berjam-jam.

***

Memang aku yang meminta pulang. Memang aku yang menolak Sean.
Tapi ketika memasuki episode 15, ketika Sean menatapku dengan mata berkaca-kaca sambil berkata, "Maaf Hana, kau harus pulang."

Aku seperti lilin yang terbakar, meleleh tak berdaya.

Kukira aku lebih dari siap menghadapi kenyataan ini, mengira bahwa aku baik-baik saja ketika Sean mendepakku.

Kenyataannya tidak.
Aku hancur.

Terlebih ketika menyaksikan ekspresi Sean yang luar biasa terluka. Menyaksikan kristal-kristal bening di sudut matanya, seolah Ia takkan pernah rela menyuruhku pergi.

Aku seperti manusia terkutuk yang telah memanfaatkannya.
Menjerat hatinya, lalu kucampakkan dia begitu saja.

"Kau akan pulang." Sean kembali bersuara, serak.

Aku menelan ludah. Tiba-tiba saja dadaku sesak, aku terhuyung.
Aku sempat menyaksikan Sean bergerak dan menghambur ke arahku ketika lamban laun pandanganku kabur dan aku ambruk tak sadarkan diri.

***

Aku berada di kamarku sendiri ketika membuka mata. Dan Sean ada di sana, duduk diam di sofa yang berada di dekat ranjang, tempatku terbaring.
Aku sempat merasa pening ketika mencoba bangkit.

"Maaf, sepertinya aku kelelahan. Kau yang membawaku kemari?" tanyaku.

Sean hanya mengangguk.

Aku menyibakkan selimut lalu menurunkan kakiku untuk selanjutnya mencari posisi duduk yang lebih sopan.

Hening.

"Aku membencimu, Hana." Ia memecah keheningan dengan suara serak.
Sejenak ia sempat tertawa satir.
"Aku hanya tak mengira bahwa... kau melakukannya, memanfaatkanku. Kau berpura-pura menarik perhatianku, dan setelah aku terjerat olehmu, kau mencampakkanku."
Pria itu menyugar rambutnya dengan frustrasi.

Ia kembali tertawa sinis. "Kau pintar mempermainkan perasaan orang."

Aku menunduk pasrah. Merasakan hawa panas menerpa wajahku.

"Jadi apa yang kau inginkan dengan ikut acara ini? Popularitas? Selamat, akhirnya kau mendapatkannya."

Lagi-lagi aku tak mampu bersuara. Karena Sean betul.
Aku tamak. Aku memanfaatkannya demi ketenaran.

"Baiklah, karena kau sudah baik-baik saja, aku akan pergi. Silahkan berkemas-kemas." Pria itu bangkit dan beranjak.

"Sean..." panggilku lirih ketika langkah kakinya nyaris mencapai ambang pintu.
Pria itu berhenti lalu berbalik menatapku.

Aku menggigit bibir.
"Selamat tinggal," ucapku kemudian.

Rahang Sean tampak kaku seketika. Ia melengos, lalu kembali melangkah.
"Terserah kau saja," jawabnya ketus sambil membuka pintu, lalu membantingnya dari luar.

Suara bantingan pintu sempat menggema ke seisi ruangan. Setelah itu menciptakan suasana lengang, dan hampa.

Dan lagi-lagi aku terisak.

Mati rasa.

***

Sesaat setelah dinyatakan pulang, aku segera berkemas dan meninggalkan Sweet Home. Tanpa berpamitan pada Irene, Miranda, atau bahkan pada Kai.
Aku hanya sempat mengucapkan selamat tinggal pada beberapa kru yang kutemui ketika beranjak keluar dari rumah tersebut.

Sebelum sempat masuk ke dalam taksi, Bob, sang Art Director menemuiku dan menyerahkan kartu nama padaku.
Dia bilang, dia punya agency yang ingin mengontrakku sebagai artis mengingat popularitasku yang makin tinggi. Dia memintaku untuk menghubunginya kapan-kapan setelah aku melepas kerinduan dengan putriku.

Aku menolak tawarannya dengan sopan dan mengatakan bahwa aku tidak ingin jadi artis.

"Pikirkanlah baik-baik, Hana. Kau cantik dan populer. Kau pasti sukses di dunia hiburan. Simpanlah dulu kartu namaku, jika kau berubah pikiran, hubungi aku," ucapnya sedikit memaksa.

Aku mengangguk dengan sikap tak enak dan memutuskan menerima kartu nama tersebut.
"Akan saya pikirkan," ucapku.

Setelah berada di dalam taksi, aku merobek kartu nama tersebut, lalu membuangnya ke luar jendela mobil.
Aku sudah mantap, aku takkan terjun ke dunia hiburan, lagi.

***

Lizzy menuruti permintaanku untuk bersembunyi sementara waktu.
Ia memilih untuk tinggal sementara waktu di sebuah rumah kosong tak terpakai milik salah satu rekannya.

Rumah itu terletak di daerah pinggiran, jauh dari hingar bingar kota. Pas sekali sebagai tempat pelarian dan persembunyian. Aku bahkan harus berganti dengan kendaraan sebanyak 3 kali agar bisa sampai sana.

Ketika sampai di rumah mungil tersebut, Lizzy segera menyambut kedatanganku dengan pelukan hangat dan luapan kerinduan.

"Tak apa-apa, kau sudah melakukan hal terbaik. Tak apa-apa jika dieliminasi, aku tetap bangga padamu," bisiknya.

Aku hanya tersenyum kecut.
"Semuanya baik-baik saja?" tanyaku.

Lizzy mengangguk.
"Di sini aman. Tak ada wartawan, dan Joshua juga tak ke sini. Setidaknya, sementara waktu. Kau tahu sendiri 'kan orang kaya semacam dia pasti punya banyak cara untuk menemukan kita."

"Lena?"

"Ia baik-baik saja, sekarang ia tertidur pulas."

Aku menyeret koper yang kutenteng lalu melangkah dengan gontai.

"Kau baik-baik saja?" Nada suara Lizzy tampak cemas.

Aku meletakkan koperku di pojok ruangan lalu sembari mengangkat bahu, aku menatapnya dengan gundah.

"Hana, ada apa?" Perempuan itu mendekatiku lalu meremas lenganku. Ia mulai terlihat cemas sekarang.

"Liz ..." Aku nyaris meratap.
Butiran air mengumpul di pelupuk mataku.

"Hana, kenapa?"

Aku menggigit bibir.
"Aku merasa hancur, Liz." Dan air mataku menitik.

Lizzy tertegun bingung.

"Ketika mengikuti acara itu aku tak berniat jatuh cinta padanya. Sesuai rencana kita semula, aku hanya ingin mencari ketenaran. Tapi kenyataannya, beginilah aku sekarang. Tanpa bisa kucegah, aku jatuh cinta pada pria itu, aku menginginkan lelaki itu, aku ingin di sampingnya. Tapi ...." Suaraku tercekat.

Lizzy mencengkeram lenganku.

"Aku jatuh cinta padanya, Liz. Aku jatuh cinta pada Sean." Dan tangisku pecah.

Bahuku terguncang dengan hebat, dan emosi yang selama ini kupendam seakan tumpah ruah.

Lizzy menghambur ke arahku lalu memelukku erat.

"Hana." Ia berbisik lembut, terdengar iba.

"Aku tak mengira bahwa aku akan mengalami hal ini, Liz. Ini di luar dugaanku. Sekarang aku merasa hancur," ratapku lagi.

Aku menumpahkan tangisku di bahunya.
Dan Lizzy hanya mampu menepuk punggungku, mencoba menenangkan diriku.

***

Aku menimang lembut sosok balita yang tengah bermain ceria di pangkuanku.
Sosok balita yang menjadi segalanya bagiku, jiwa ragaku, tumpuan hidupku.
Menyenangkan sekali rasanya bisa bermain-main lagi dengannya.

"Jadi sekarang bagaimana? Apa kita akan sembunyi seperti ini terus?" tanya Lizzy.

Aku tak menjawab.

"Aku harus bekerja, Hana. Kita, kau dan putrimu butuh hidup. Jika kau menolak menjadi artis, setidaknya kita punya rencana lain," lanjutnya.

Tadi malam aku sudah mengutarakan keinginanku bahwa aku tetap ingin menjauhi hingar bingar dunia hiburan. Awalnya ia keberatan. Merasa bahwa keikutsertaanku di Sweet Home, popularitas yang kudapat selama mengikuti acara itu terasa sia-sia belaka.

Tapi itu tak sebanding dengan privasi yang kukorbankan. Tak sebanding pula jika kehidupan Lena harus ikut dikonsumsi publik.

"Bahkan jika kau berniat mengasingkan diri, publik tetap ingin tahu tentang dirimu. Kau berhasil menarik perhatian nyaris seluruh masyarakat di negara ini. Jadi walaupun kau bersembunyi, tetap saja mereka akan mencari tahu tentang kau, tentang Lena, dan lambat laun kau akan ketahuan. Ini sudah kepalang tanggung, Hana. Hari ini saja sudah banyak artikel tentang dirimu. Menanyakan tentang keberadaanmu setelah kau di depak Sean, dan juga spekulasi tentang ayah Lena. Ada juga artikel tentang Joshua."

Aku mendongak.
"Ada apa dengannya?"

"Ada wartawan yang melihatnya keluar dari Sweet Home ketika kau masih di karantina. Jadi publik masih bertanya-tanya apa hubungan ia dengan acara ini. Mengingat ia dan Sean sama-sama putra konglomerat, banyak yang berpendapat kalau ia ke sana untuk mengunjungi Sean sebagai sahabat," jelas Lizzy.

"Sudah kubilang, Hana. Lambat laun hubunganmu dengan Joshua pasti akan terkuak. Status dia sebagai ayah Lena bakal terbongkar. Kecuali bila lelaki itu kembali ke luar negeri."

Aku menggigit bibir, bingung. Merasa gagal mengambil keputusan lagi.

Lizzy beranjak ketika mendengar pintu diketuk.
"Aku tadi pesan makanan." Ia berjingkat membuka pintu.

Namun kemudian tubuhnya mematung di ambang pintu ketika menyadari siapa sosok yang ada di depannya.

"Hana?" Lizzy memanggil cepat.

Aku menoleh, dan menyaksikan lelaki itu menyeruak masuk. Sementara dua bodyguard yang datang bersamanya memilih tetap di luar.

"Oke, kalian bicaralah baik-baik. Aku akan menunggu di luar." Lizzy beranjak keluar.
Meninggalkan aku dan Joshua sendirian. Bersama Lena dalam gendonganku.

"Josh? Bagaimana kau bisa ... ?"

"Aku mencari dirimu. Dengan bantuan para staffku tentunya." Ia memotong.

Amarahku nyaris meluap. Tapi melihat ekspresi Joshua, kemarahan itu sirna.

Joshua menatap Lena yang ada di gendonganku dengan ekspresi haru. Aku bahkan bisa melihat kedua matanya berkaca-kaca. Ia terlihat begitu bahagia.

"Dia ... putriku?" Kedua matanya berbinar, menatap bergantian ke arahku dan juga Lena.

"Boleh aku ...?" Pria itu melangkah mendekati kami sambil merentangkan kedua tangannya ke arah Lena.

Awalnya aku ragu karena biasanya Lena akan menolak jika diajak oleh seseorang yang baru dikenalnya.

Namun ketika Joshua tersenyum lembut pada bocah itu sambil perlahan meraih tubuhnya, ajaib, ia tak merengek sama sekali. Balita itu memang sempat menatap bingung ke arah Joshua, tapi ia tak menangis. Menolak pun tidak.

Reaksinya sungguh di luar dugaan. Aku bahkan sempat terkejut.

Joshua menimang balita itu dengan penuh kasih sayang. Sementara Lena tersendiri terlihat nyaman dalam dekapannya. Ia bahkan berceloteh riang di sana.

Dan aku menyadari, ikatan antara ayah dan anak tidak akan bisa dibohongi.

Tadinya aku ingin bicara serius dengan pria itu. Tapi melihatnya terlalu asyik berceloteh ria dengan Lena, aku urung melakukannya. Lagipula sepertinya pria itu mengabaikanku karena terlalu sibuk memperhatikan ... putrinya.

Dan akhirnya, hari itu tak ada pembicaraan serius di antara kami, tak ada pula pertengkaran yang terjadi. Joshua terlalu asyik bermain dengan Lena, sampai akhirnya ia pamit pulang dengan alasan mendapat panggilan dari rekan bisnis.

Hari berikutnya ia juga kerap datang lagi mengunjungi rumah. Membawakan begitu banyak kebutuhan Lena, dari makanan, pakaian, bahkan mainan.

Lagi-lagi aku tak berhasil bicara serius dengannya karena yang ia lakukan ketika datang ke rumah adalah asyik bermain dan memanjakan Lena, lalu mengabaikanku.

Begitulah.

***

"Aku akan mencari pekerjaan, Liz. Apa saja, asal tidak di dunia hiburan. Mungkin bisa di toko, atau di rumah makan, atau ...."

Lizzy menarik napas berat.

"Aku sudah mengambil keputusan, Liz. Dan aku takkan merubahnya," ujarku, menyadari tatapan protes darinya.

"Kalau begitu menikah saja dengan Joshua. Dan kau bisa hidup enak."

Aku terkekeh dan menggeleng.

"Bukannya hubungan kalian sudah membaik?" Lizzy menegaskan.

Lagi-lagi aku menggeleng.

"Kalau begitu biarkan Kai membantu kita. Aku sudah bicara dengannya agar mencarikan pekerjaan untukmu, sekalian mencarikan tempat tinggal yang, well, setidaknya tidak banyak wartawan yang tahu," ucap perempuan itu lagi.

Aku menatapnya kaget.
"Kau ... berbicara pada Kai?" tanyaku spontan.

Lizzy mengusap tengkuknya, salah tingkah.
"Sebetulnya dulu kami sempat bertukar nomor telpon. Akhir-akhir ini kami sering berkomunikasi membicarakan dirimu. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tadinya ia ingin datang ke sini tapi aku melarang karena takut kau marah."

Aku ternganga. "Kau juga memberitahunya tentang tempat ini?"

Lizzy mengangguk.

"Jangan khawatir. Kita sama-sama tahu bahwa ia pria yang baik. Ia takkan mengundang wartawan ke sini." Ia memastikan.

Aku menekan pangkal hidungku dengan ekspresi lelah.

"Kau sakit? Akhir-akhir ini kau tampak pucat," ucap Lizzy cemas.

Aku menggeleng.

"Hanya sakit kepala. Mungkin lelah, terlalu banyak pikiran, stress, ya ... begitulah," jawabku asal.

Sempat berniat menceritakan sesuatu pada perempuan itu, tapi akhirnya urung kulakukan.

"Ngomong-ngomong, kau tak menonton Sweet Home tadi malam? Acara itu sudah final. Semalam adalah episode pamungkas, Sean sudah memilih calon istrinya."

Aku memejamkan mata sejenak. Mendengar nama Sean, dadaku berdesir.

Bukannya aku tak tahu bahwa episode terakhir di tayangkan tadi malam. Aku tahu, aku cuma tak sanggup menonton.
"Aku tak menontonnya," jawabku.

"Jadi kau tak tahu siapa perempuan pilihan Sean?"

Aku menggeleng.

"Miranda, Sean memilihnya."

Dan perutku rasanya melilit, sakit.
"Dia perempuan yang baik," ucapku, mencoba menghibur diriku sendiri.

Mereka dulunya pacar, kan? Dan Miranda adalah cinta pertama Sean. Jadi... sempurna.

Lizzy menatapku dengan iba.
Dan segera aku tersenyum hambar.

"Tak apa-apa, Liz. Aku akan baik-baik saja." Buru-buru aku bangkit.

"Mau kemana?"

"Ke apotik, beli obat sakit kepala," jawabku.

"Tolong bantu jaga Lena. Dia baru saja tidur,"  ucapku lagi.

Aku meraih jaket laku melangkahkan kakiku, menembus dinginnya angin malam, dan berjalan sekitar 200 meter menuju mini apotik.

***

Aku sudah mendapat obat yang kucari dan berniat kembali pulang ketika kudengar suara lembut itu memanggil namaku.

Aku menoleh dan mendapati pria itu berdiri di depan toko obat, tersenyum ke arahku.

"Kai?" panggilku lirih.

Pria itu kembali tersenyum, kali ini senyum penyesalan.
"Maaf, aku tak bermaksud mengganggumu. Tapi aku mengkhawatirkanmu, jadi aku bertanya pada Liz tentang---"

"Tak apa-apa," jawabku lembut. "Ayo kalau mau mampir ke rumah," ajakku ramah.

Aku ingin berjalan menghampirinya ketika tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa menyerang perutku.

Rasanya melilit, bukan karena aku mendengar nama Sean atau calon istrinya, tapi rasa sakit ini terasa tak wajar.

Aku memegangi perutku, dan kurasakan sesuatu yang hangat mengalir melewati pahaku. Aku tersentak. Darah.

"Kai...," erangku. Panik.

Kai membelalak.
"Hana?" Ia bergegas menghampiriku. Menangkap tubuhku yang limbung.

Dan setelah itu ... gelap.

***

Aku membuka mata dengan lemah. Mencoba mengumpulkan sisa energi yang seolah lenyap entah karena apa, aku menatap sekelilingku.

Ada di ruangan, dengan jarum infus menancap di lengan. Kai juga ada di sana. Duduk sendirian di sofa, terlihat lelah dan mengantuk.

"Kai?" panggilku lirih.

Pria itu terlonjak kaget. Buru-buru ia bangkit dan menghampiriku.
"Kau sudah sadar." Ia berucap lega.

"Apa yang terjadi?" tanyaku lemah.

"Kau pingsan, aku membawamu ke klinik. Lizzy sudah kuberitahu, tapi mungkin ia belum bisa ke sini. Ia harus menjaga Lena," jelasnya.

Aku menelan ludah susah payah. Mulutku terasa pahit. Mungkin efek dari cairan infus, atau mungkin obat-obatan yang telah dimasukkan ke tubuhku.

"Aku ... tak apa-apa, kan?" Aku ganti bertanya cemas. Mencoba memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Mencoba memastikan bahwa ...  tak ada kejadian fatal pada diriku.
Mencoba memastikan bahwa ... dia di dalam sana baik-baik saja.

"Hana ..." Suara Kai terlihat berat.
"Apakah... kau tahu bahwa... kau sedang dalam..." Pria itu terdengar ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

Aku mengangguk dengan buru-buru.
"Iya, aku tahu," jawabku lemah. "Jadi... apakah... semua baik-baik saja?"

Kai terlihat syok. Pria itu menelan ludah lalu mengangkat bahu dengan bingung.

"Entah harus bagaimana aku menyampaikan ini padamu, tapi ... kau kehilangan bayimu. Kau keguguran."

Dan bahuku luruh. Seketika seperti ada suara retakkan dalam dadaku.
Mataku terpejam dan air mataku berjatuhan.
Dan akhirnya isak tangisku pecah.

Aku kehilangan bayiku.

Bayi Sean ...

***

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro