11. Desperate Sadness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kai duduk di sisiku, meraih tisu di meja lalu membantu menyeka air mataku yang terus saja berderaian.

"Dengan siapa?" Ia bertanya dengan nada pasrah.

"Dengan siapa kau hamil? Dengan Sean?"

Aku menatapnya dalam diam. Dan lelaki itu tahu, diamku berarti iya.

Kai menegakkan punggungnya, tampak terpukul.
"Aku sudah menduga bahwa telah terjadi sesuatu di antara kalian," ujarnya.

"Kau harus memberitahunya, Hana. Sean harus tahu soal kehamilanmu." Kali ini sorot matanya menunjukkan rasa iba.

Aku menggeleng. "Tidak," ucapku lirih.

"Kenapa kau tak ingin memberitahunya?"

Lagi-lagi aku hanya terdiam.
Tidak, setelah apa yang terjadi di antara kami selama ini, apakah aku masih punya muka untuk bertemu dengannya dan mengatakan bahwa aku mengandung anaknya?

"Kau harus memberitahunya, ia berhak tahu. Walau sekarang kau kehilangan bayimu, tetap saja Sean harus tahu tentang kenyataan ini."

Lagi-lagi aku menggeleng.

Kai mendesah sambil meremas rambutnya.
"Hana, menyembunyikan kenyataan ini dari Sean, itu terdengar tak adil baginya. Entah lelaki itu merasa senang atau sebaliknya, dia harus tahu."

"Kai ...."

"Lagipula aku tak yakin berita ini tidak akan sampai padanya."

Keningku berkerut. "Ada apa?" tanyaku lirih.

Kai kembali menarik napas.
"Ada banyak wartawan di luar sana. Entah dari mana, berita bahwa kau dirawat di klinik ini menyebar dengan cepat. Mungkin salah satu staff atau perawat yang membocorkannya hingga banyak wartawan yang berbondong-bondong datang kemari dan ingin mengetahui keadaanmu. Jadi, bisa jadi saat ini Sean sudah membaca berita dari media online bahwa kau dirawat di klinik."

Aku ternganga. "Lalu?"

"Aku sudah memberikan keterangan singkat pada para wartawan di luar sana bahwa kau harus dirawat karena kelelahan. Joshua juga sudah meminta secara khusus pada pihak klinik agar tidak membocorkan perihal keguguran ini. Dia yang mengatur detailnya."

"Joshua tahu?" Aku terkejut.

Kai mengangguk.
"Sepertinya Lizzy meminta bantuan padanya untuk mengatasi ini. Jangan menyalahkannya.  Dia terlalu panik mengetahui keadaanmu."

Aku memejamkan mata sejenak. Merasakan pening mendera kepalaku.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Joshua muncul dari sana.
Kai buru-buru bangkit. "Aku akan menunggu di luar. Kalian bicaralah." Ia beranjak cepat meninggalkan aku dan Joshua berduaan.

Lelaki bersorot mata lembut itu bergerak mendekatiku. Setelah sempat mendesah lirih, ia duduk di sofa yang berada di sisi nakas.

"Jujur, aku kaget sekali ketika tahu kau hamil. Maksudku, aku benar-benar tak menyangka bahwa ... kau melakukannya." Ia membuka suara.

"Sekarang kau tahu, kan?" ucapku sinis.

"Jadi kau benar-benar mencintai lelaki itu? Sean Morthensen?"

Aku tak menjawab pertanyaan Joshua, dan tak berniat pula memberikan jawaban.

Lelaki itu mengerutkan bibir sambil manggut-manggut.
"Kau mencintainya." Ia menyimpulkan.
"Aku mengenalmu dengan baik, Hana. Kau tidak akan menyerahkan dirimu seutuhnya jika kau tak mencintainya."

"Sekarang kau tahu jawabannya." Aku melengos, membuang pandanganku ke arah sisi yang lain.

"Tapi lelaki itu akan menikah, kan? Lalu kau bagaimana?"

"Tidak bagaimana-bagaimana," jawabku ketus.

Joshua terdiam.
Hening.
"Apa ini berarti sudah tak ada harapan lagi bagi kita untuk berbaikan? Apa ini artinya aku sudah tak punya kesempatan lagi untuk mendapatkan dirimu?" Suara Joshua yang biasanya lembut berubah serak.

Aku menoleh dan menatap lurus ke matanya dengan ekspresi lelah.
"Josh, cinta yang kurasakan padamu sudah habis sejak Lena hadir dalam kehidupanku. Faktanya memang kita tak bisa memperbaiki hubungan kita seperti dulu. Hadapi saja kenyataan bahwa kita tak mungkin bersama lagi."

"Tapi ada seorang putri yang lucu di antara kita."

"Lalu?"

"Demi kebaikannya, Hana."

Aku tersenyum getir.
"Dia baik-baik saja 'kan selama ini?"

Joshua menyisir rambutnya dengan jemari lalu menatapku dengan ekspresi tak menentu.
"Hana, mari kita buat kesepakatan. Menikahlah denganku, atau berikan hak asuh atas Lena padaku," ucapnya.

Aku ternganga.
"Josh, aku baru saja kehilangan bayiku dan tega-teganya kau memintaku membuat kesepakatan seperti ini?" desisku.

"Sudah kubilang, ini demi kebaikan Lena, dan juga demi kebaikanmu sendiri. Aku ingin Lena berada di tengah-tengah keluarga yang utuh, yang mencintainya dengan tulus. Selain itu, kau sendiri perlu tempat berlabuh, kau perlu seseorang yang mampu menjadi wali dan menjagamu. Hidupmu berantakan, Hana. Dan, jujur aku tak bisa mempercayakan Yena padamu."

Kutatap Joshua dengan mata berkilat.
"Hidupku memang berantakan, kau tak perlu mengingatkanku tentang itu. Aku sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuknya!" jeritku.

Rahang Joshua kaku.
"Lalu apa rencanamu? Sean akan menikah dengan perempuan lain, kan? Apa kau ingin hidup tak menentu seperti ini? Aku menawarkan solusi padamu. Aku menawarkan kenyamanan padamu, pada putri kita."

"Josh...." rintihku. "Pergilah ...." ujarku lemah. "Aku ingin sendiri," lanjutku.

"Sekarang Lena bersamaku. Aku yang membawanya ke rumah."

"Kenapa kau harus membawanya?" Gigiku bergemerutuk.

"Aku meminta ijin pada Lizzy untuk membantu menjaganya. Kau ada di sini, dan Lizzy harus mengerjakan banyak hal. Jadi aku berinisiatif untuk membawa Lena bersamaku. Jangan khawatir, aku akan menjaganya dengan baik. Ibuku juga sudah bertemu dengannya dan dia sayang sekali dengannya."

"Ibumu bertemu putriku?" Aku menjerit tertahan. Kepalaku rasanya berdenyut nyeri. Jika saja kondisi tubuhku tak lemah, aku pasti sudah menghambur ke arah Joshua dan menarik kerah bajunya.

"Ibumu dulu menolakku, Josh. Dia juga menolak putrimu."

"Ibuku sudah berubah, Hana. Tolong maafkan dia. Sekarang ia mau menerima putri kita. Ia juga merelakan jika kita berbaikan kembali. Tolong maafkanlah ibuku, Hana."

Aku tertawa sinis.
"Setelah apa yang kulalui selama ini? Setelah apa yang ibumu lakukan padaku? Kau memintaku untuk menganggap seolah-olah itu tak pernah terjadi?!"

"Hana ...."

"Bawa kembali putriku kemari! Lizzy bisa menjaganya!"

"Aku tidak akan membawanya ke mana-mana. Setelah keadaanmu membaik, dan kau diijinkan pulang, aku akan memberikannya padamu lagi. Aku janji."

"Josh!"

"Aku ayahnya! Sebesar apapun kesalahan yang pernah kuperbuat, pernah diperbuat ibuku, aku adalah ayah kandungnya. Kau takkan bisa mengelak kenyataan itu."

Hening.

Air mataku kembali menitik.
"Keluar dari sini," desisku putus asa.

Joshua bangkit.
"Setelah kau sembuh, kita akan berbicara lagi. Dan kuharap kau mau mempertimbangkan tawaranku. Demi kebaikan kita semua, demi kebaikan Lena." Lelaki itu beranjak, menyentuh wajahku dengan lembut.

Aku membuang muka, mengabaikannya.

Joshua menggigit bibirnya, lalu melangkah keluar kamar.
Dan setelah ia pergi, aku kembali meratap. Menangisi diri sendiri.

Merasa gagal jadi manusia, merasa gagal jadi ibu yang baik untuk Selena.

***

Tengah malam, entah pukul berapa. Aku belum mampu memejamkan mata untuk istirahat meski ragaku ingin ketika pintu terbuka dan sosok itu muncul dari sana.

Awalnya aku mengira itu adalah salah satu suster yang ingin memeriksaku. Tapi begitu menyadari sosok jangkung yang ada di sana, tubuhku menggigil.

Seolah ada siraman air dingin yang mengguyur tubuhku.

"Sean..." desisku.

Lelaki itu berjalan dengan gontai ke arahku. Raut mukanya tampak terpukul. Situasi kamar yang remang-remang tetap tak mampu menghalangi pandanganku untuk menatap matanya yang berkaca-kaca.

Ada apa dengannya?

"Aku membaca berita kalau kau dirawat di sini. Jadi, aku segera kemari." Ia membuka suara.

"Aku ... sudah bicara dengan dokter. Dan ..." Suaranya serak.
"Jadi ... itu bayiku, kan? Apa itu artinya aku kehilangan bayiku?"

Aku mematung. Tapi perlahan aku mengangguk.

Sean menutup muka dengan telapak tangan. Ia terhuyung lalu menjatuhkan dirinya di sofa.

Dan hatiku remuk ketika kulihat bahunya terguncang. Lelaki itu menangis.
Ia menangis.

Dan akhirnya aku menyadari, Sean juga merasakan perasaan yang sama denganku.

Kami sama-sama merasa kehilangan.

Ia terpukul dan merasa kehilangan bayinya.

Segera air mataku juga berderaian.

"Kenapa kau tak memberitahuku, Hana? Kenapa kau tak memberitahuku lebih awal bahwa kau mengandung anakku?" Lelaki itu menatapku dengan kilat amarah.

"Aku baru tahu kalau aku hamil setelah kau mendepakku dari Sweet Home. Awalnya aku ingin memberitahumu. Tapi, pada akhirnya aku memutuskan untuk merawatnya sendiri."

"Kau egois," desisnya.

Aku menelan ludah.
"Maafkan aku," ratapku.

"Kau tak sengaja melakukannya, kan? Kau tak sengaja membuang bayiku, kan?"

"Kenapa aku harus melakukannya?!" Aku berteriak.

"Karena kau menolak bersamaku. Kau tak mencintaiku. Kau hanya memanfaatkan aku. Jadi bisa saja kau sengaja menggugurkan bayi itu!" Sean menatapku dengan mata berapi-api.

Dan kata-kata itu terasa menusuk jantungku.
Aku sudah cukup terluka karena kehilangan bayiku. Dan sekarang ia menuduhku sengaja melakukannya?

"Kata-katamu menyakitiku, Sean," bisikku.

"Lalu apa?" Rahang lelaki itu kaku.
"Lalu apa rencanamu yang sebenarnya?" Nada suaranya meninggi.
Ia menggeleng putus asa.

"Aku mencintaimu dengan tulus, Hana. Kau hanya perlu memerintahku, dan aku bersedia melakukan apapun untukmu. Apapun. Bahkan jika kau menyuruhku untuk meninggalkan segalanya demi dirimu, akan kulakukan. Jika kau ingin aku memasuki duniamu, akan kulakukan. Apa saja." Ia meratap.

"Jika waktu itu ayah putrimu tidak cukup berani untuk memperjuangkanmu, maka biarkan aku melakukannya. Aku bersedia memperjuangkan dirimu, bersedia meninggalkan segala yang aku punya demi dirimu. Tapi kau ..." Matanya terpejam sesaat.

"Tapi kau bahkan tak pernah menganggapku ada. Kau hanya mempermainkan hatiku."

Aku menggeleng lirih.
"Bukan begitu," ujarku lirih.

Sean bangkit.
"Seharusnya ---" Ia menatapku tajam. "Seharusnya aku tak membiarkanmu memasuki kehidupanku." Suaranya bergetar.

Ia beranjak, membanting pintu dari luar.
Kejadian ini hampir sama ketika lelaki itu memulangkanku dari Sweet Home.
Rasanya lebih menyakitkan.

Dan ketika kamarku lengang, aku merasa hampa.

Ini, untuk pertama kalinya aku merasa tak 'hidup'.

Seolah aku merasa di titik nol yang tak tahu harus memulai dari mana untuk melangkah.

Perlahan aku beringsut, mencabut selang infus di lenganku dengan sembarangan.
Segera darah mengalir deras dari lubang bekas jarum infus tersebut. Menciptakan rasa berdenyut-denyut, sakit.

Mengabaikan rasa sakit di lenganku, mengabaikan darah yang terus mengucur dari sana, dan juga mengabaikan rasa sakit di perutku bagian bawah, aku menyibakkan selimut dan beranjak turun.

Tertatih, aku melangkah mendekati jendela lalu membukanya. Dan dengan bantuan kursi kecil di dekat nakas, aku menggunakannya sebagai pijakan dan menaiki langkan jendela.

Sempat merasakan semilir angin malam menerpa wajahku dan mengibarkan untaian rambutku, aku memberanikan diri menatap bagian bawah dari tempatku berada.

Tinggi.

Jika saja aku terjun ke sana, tubuhku pasti menghantam kerasnya aspal, dan aku pasti mati.

Dan aku tak peduli.

Aku tak pernah merasa seputus asa ini, sebuntu ini. Seolah semua yang kulakukan sia-sia. Seolah langkah apapun yang kuambil justru menciptakan kesalahan baru.

Ini untuk pertama kalinya aku merasa lelah.
Lelah fisik dan mental.
Lelah luar biasa.

Ingat bagaimana Lena yang begitu manis, tapi aku tak mampu menjadi ibu yang baik baginya.

Ingat bagaimana semua perlakuan Joshua dan ibunya dulu.

Ingat bagaimana sekarang mereka ingin mengambil Lena dariku.

Ingat bagaimana sakitnya ketika aku kehilangan bayi Sean.

Ingat bagaimana lelaki itu menangis di hadapanku.

Aku merasa lelah, hampa, putus asa.

Hanya perlu membuat sedikit gerakan untuk dapat terjun bebas ke luar sana. Hanya perlu sedikit lagi untuk menghabisi nyawaku sendiri.
Hanya perlu sedikit lagi untuk mati.

Satu gerakan kecil.

Dan aku nyaris menjatuhkan diriku ke luar sana ketika pada akhirnya aku merasakan sebuah lengan kokoh menggapai tubuhku dan menjauhkan diriku dari jendela.

Kedua tubuh kami ambruk bersamaan di lantai.

"LEPASKAN!" Aku menjerit histeris. Mencoba melepaskan diriku dari lengan kokoh yang melingkupi tubuhku.

"LEPASKAN AKU! BIARKAN AKU MATI!" teriakku lagi. Dan sosok itu makin erat mendekapku. Membawaku mendekat ke dadanya yang bidang, membuatku merasakan aroma cologne yang kukenal.

Aroma tubuh dari lelaki yang kurindukan.

Sean.

"APA YANG KAU LAKUKAN, HAH?!"
Ia berteriak sembari mencengkeram kedua bahuku.
"APA KAU GILA!? ADA APA DENGANMU?! APA KAU SEPUTUS ASA INI HINGGA INGIN MATI?!"

Aku menatapnya dengan pilu.
Dan isak tangisku pecah.
"Aku putus asa, Sean. Semua langkah yang kuambil selalu saja menciptakan kesalahan baru. Aku tak tahu lagi harus bagaimana? Aku tak tahu," ratapku.

Sean menyipitkan matanya. Menciptakan kumpulan-kumpulan kristal bening di sudut matanya.

Dengan sisa tenaga yang masih tersisa aku meronta, dan lelaki itu kembali membawaku ke dekapannya. Memelukku erat.

"Jangan lakukan ini, Hana. Kumohon." Suaranya bergetar. Ia mengecup puncak kepalaku berkali-kali.

"Apa kau terbebani karena diriku? Apa kau terbebani karena cintaku? Apa kau ingin menyuruhku pergi dari kehidupanmu? Aku akan pergi. Aku akan menyingkir dari kehidupanmu. Tapi jangan lakukan hal berbahaya seperti ini. Kumohon ...." Kali ini ia yang meratap.

Aku seseunggukan. Ingin menjawab, tapi tak mampu. Tubuhku terkulai, jatuh ke dekapan lelaki itu.

Samar aku mendengar ia berteriak.
"Suster! Panggilkan dokter ke sini!"
Ia terdengar panik.
"PANGGILKAN DOKTER KE SINI!"

***

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro