12. Find A Way

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak insiden nyaris-bunuh-diri-dengan-loncat -dari-jendela-kamar, aku tak pernah bertemu lagi dengan Sean.
Ia tak menghubungiku, tak pula mengunjungiku.

Seperti kata-katanya waktu itu bahwa ia ingin menyingkir dari kehidupanku,  sepertinya ia sepakat akan melakukannya.
Dan aku hanya bisa pasrah.

Terasa menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi?
Tak ada yang bisa kulakukan.

Setelah sempat menjalani proses pemulihan di rumah sakit selama tiga hari, dokter mengijinkanku pulang.
Dan acara keluar dari rumah sakit tiba-tiba berubah menjadi konferensi pers dadakan.

Begitu banyak wartawan yang menungguku di luar sana dan ingin tahu tentang diriku. Tentang keadaan kesehatanku, tentang perasaanku setelah terdepak di acara Sweet Home, dan juga tentang rencana karirku ke depannya.

Anehnya, walau sempat ragu untuk menghadapi mereka, tiba-tiba saja aku seolah mendapat kekuatan baru untuk menerima wawancara singkat dari para wartawan.

Dengan didampingi Kai, aku bersikap tenang dan lancar menjawab setiap pertanyaan dari awak media.

"Banyak yang mengatakan bahwa anda dirawat di rumah sakit karena merasa tertekan mengetahui kenyataan bahwa Sean tidak memilihmu. Apakah itu benar? Bagaimanapun juga publik merasa kaget ketika anda terdepak. Kalian begitu serasi. Polling baru-baru ini bahkan menunjukkan bahwa kau dan Sean adalah pasangan terfavorit dari Sweet Home." Seorang reporter bertubuh gemuk bertanya terlebih dahulu.

Astaga, dia bahkan tidak memikirkan perasaan Miranda ketika menanyakannya. 

Aku tersenyum tenang menanggapi pertanyaannya. Dengan menatap secara acak para reporter yang bergerombol, aku mulai menjawab, "Terima kasih semuanya. Terima kasih atas perhatian publik selama ini. Tapi aku baik-baik saja. Aku sedikit kelelahan akhir-akhir ini hingga harus di rawat di Rumah Sakit. Bukan karena hal lainnya. Acara Sweet Home sudah selesai. Secara tulus saya mengucapkan selamat pada Sean dan Miranda."

"Lalu apa rencana anda selanjutnya? Banyak yang penasaran tentang rencana karir anda ke depannya. Bagaimanapun juga anda dulu pernah jadi model. Apa anda berniat berkecimpung di dunia keartisan? Anda sangat populer akhir-akhir ini. Mungkin anda ingin mengambil kesempatan ini untuk bermain drama atau mungkin membintangi reality show lain?" Kali ini giliran seorang perempuan muda bertubuh ramping yang bertanya.

Aku kembali tersenyum lalu menggeleng.

"Tidak. Keikutsertaanku di acara itu sudah cukup. Saya tidak akan berkecimpung di dunia keartisan. Setelah membereskan beberapa hal, saya ingin melanjutkan hidup sebagai perempuan biasa. Saya ingin membuka bisnis kecil-kecilan lalu fokus untuk untuk merawat putriku. Jadi, mohon kerjasamanya ya? Tolong hormati privasi kami. Saya hanya ingin hidup tenang dengan putriku," jawabku.

"Ada desas desus yang mengatakan bahwa ayah putri anda adalah salah satu konglomerat di negara ini, apa itu benar?"

Aku menelan ludah mendengar pertanyaan itu, lalu buru-buru menjawab, "Maaf, saya tidak akan membagi informasi apapun tentang putriku dan ayahnya. Yang jelas, kami semua baik-baik saja sekarang. Dan tolong untuk tidak mencari tahu lebih jauh soal putriku atau bahkan mengambil gambarnya. Putriku masih kecil, dan kehidupannya bukan untuk konsumsi publik. Terima kasih." Aku menyudahi wawancara.

"Apakah kau mencintai Sean?"

Dan pertanyaan itu sukses membuatku mematung.

"Chemistry yang kalian tampilkan di layar kaca selama reality show berlangsung begitu kentara. Apa ada kemungkinan bahwa memang ada sesuatu di antara kalian? Apa kau jatuh cinta padanya?"

Aku menelan ludah.
Kai yang berdiri di sampingku berdehem.

"Terima kasih atas kedatangannya hari ini. Hana harus segera pulang dan istirahat. Mohon beri jalan." Lelaki itu menjawab sopan, lalu menggamit bahuku dan membuka jalan di antara kerumunan wartawan.

Sempat berdesak-desakan, akhirnya ia berhasil membawaku ke mobilnya dengan sikap protektif. Dan kami sukses meninggalkan tempat itu.

Kai menarik napas lega.
"Wartawan terkadang begitu menakutkan," ujarnya.

"Terima kasih," ucapku lirih.

Lelaki itu mengangkat bahu cuek lalu tersenyum.
Setelah apa yang terjadi padaku, aku kagum karena sikapnya tak berubah. Ia masih saja baik dan penuh perhatian padaku.

***

Sikap Joshua pun berubah drastis. Mungkin ia takut aku akan melakukan usaha bunuh diri lagi. Entah. Yang jelas, setiap kali ia berkunjung ke rumah, ia tak lagi membicarakan soal pernikahan maupun soal hak asuh Lena.

"Aku bersalah padamu, Hana. Jadi aku tak pantas untuk mengharapkan dirimu kembali, atau bahkan merebut hak asuh atas Lena. Tapi kuharap kau tidak membatasi pertemuanku dengannya. Biarkan aku mengunjungi putriku sesuka hatiku dan biarkan dia tahu bahwa aku adalah ayahnya," ucapnya.

"Kita mungkin tak bisa bersama-sama lagi. Tapi, ayo kita jadi orang tua yang baik untuk Selena," lanjutnya lagi. Dan jujur saja aku benar-benar terharu dengan ungkapannya.

"Ngomong-ngomong, aku sudah menyiapkan sebuah tempat tinggal baru untukmu." Lelaki itu kembali berujar lembut.

Kedua mataku mengerjap.
"Maksudmu?" tanyaku bingung.

"Aku tahu kau berencana mencari tempat tinggal baru. Aku juga tahu bahwa kau berkeinginan untuk memulai lembaran hidup yang baru dengan membuka bisnis kecilan-kecilan. Jadi,  aku sengaja menyiapkan segalanya untukmu. Sebuah tempat baru dan juga tempat untuk berbisnis."

Aku kembali mengerjap. Dan ketika lelaki itu membawaku ke tempat yang dimaksud, aku tercengang.

Sebuah rumah minimalis dua lantai dan dilengkapi sebuah butik kecil tepat di sisi kiri. Ia menyiapkannya untukku.

"Kau memberikanku ini?"

Lelaki itu mengangguk.

"Tapi, Josh, ini berlebihan," ujarku.

Joshua meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Kumohon, Hana. Aku memberikan ini bukan untuk merendahkanmu. Tapi ini sebagai bentuk pertanggung jawabanku sebagai ayah yang baik untuk Lena. Aku ingin kau hidup dengan baik dan mapan, agar Lena juga bisa hidup dengan baik bersamamu."

'Agar Lena juga bisa hidup dengan baik bersamamu.'

Sungguh, tak ada kata-kata yang lebih indah dari itu.

Karena itu artinya, Joshua takkan mengambil hak asuh atas putriku, dan ia merelakan Lena bersamaku.

"Untuk kali ini saja, tolong jangan egois dan keras kepala. Kita sepakat untuk menjadi orang tua yang baik untuknya, kan? Saling berdebat hanya akan memberikan pengaruh buruk padanya. Dia mungkin tidak mendapatkan momen kebersamaan kedua orang tuanya seperti keluarga utuh. Tapi setidaknya ia tahu bahwa ia punya ayah dan ibu yang teramat menyayanginya," ucap lelaki itu lagi.

Aku merasakan air mataku merebak.
Dan aku yang berinisiatif untuk menghambur ke arahnya dan memeluknya erat. Merasa bersyukur dengan perkembangan hubungan di antara kami yang di luar ekspektasiku semula.

Sungguh, bagaimanapun juga lelaki ini pernah menempati posisi penting dalam hidupku.

Ia pernah jadi lelaki yang membuat jantungku berdebar, membuatku merasa dicintai.

"Terima kasih, Josh," ucapku haru.

Joshua membalas pelukanku.
"Tidak, akulah yang seharusnya berterima kasih. Terima kasih karena telah melahirkan Lena, terima kasih karena telah merawatnya dengan baik. Terima kasih karena kau bersedia membawa putriku ke dunia ini, meskipun aku tak ada di sisimu ketika kau melewati masa sulit," bisiknya.

Aku membalas mengeratkan pelukanku.

Dan tanpa sadar aku terisak di bahunya.

Mari kita jadi orang tua yang baik untuk Lena, batinku.

***

Kejutan dari Joshua tak hanya berhenti  sampai di situ, karena di suatu sore, tepat dua hari setelah aku pindah ke rumah pemberiannya, dan ketika aku mulai berbenah, mengelola butik, perempuan itu datang ke sana.

Perempuan setengah baya yang masih nampak cantik dan berwibawa.
Ibu Joshua.

Ia datang didampingi Joshua sendiri.

Betapa dulu aku begitu membencinya, mengutuk perbuatannya, memberikan sumpah serapah atas apa yang ia lakukan padaku dan Joshua.

Tapi sekarang, begitu ia datang padaku, meminta maaf padaku dan menangis di hadapanku, aku luruh.

Semua kebencian, amarah, sumpah serapah, menguar begitu saja.

Pertahananku runtuh manakala ia menggenggam erat tanganku dan dengan berderai air mata, ia mengatakan kata maaf bertubi-tubi.

"Aku tak tahu apakah aku masih layak mendapatkan maaf darimu setelah apa yang kulakukan padamu, pada Joshua, pada cucuku sendiri. Tapi aku tulus meminta maaf." Perempuan itu terus terisak.

"Aku tak berharap kau berbaikan lagi dengan Joshua karena aku tahu itu tak mungkin. Tapi setidaknya, kau bersedia memaafkanku. Dan tolong biarkan aku bertemu Lena, biarkan aku menjadi neneknya, biarkan aku menebus kesalahanku padanya. Kumohon."

Aku menelan ludah.
Perlahan aku beringsut, lalu bergerak ke arahnya, dan memeluknya erat.

"Anda adalah neneknya," ucapku lirih.

Dan tangis perempuan itu kian menjadi, di pelukanku.

Dan alhasil, tangisku pun pecah.

Joshua menatap kami dengan mata berkaca-kaca. Aku merentangkan satu tanganku ke arahnya. "Kemarilah," ujarku.
Dan pria itu bergerak, memeluk kami. Memelukku, dan juga ibunya.

Dan akhirnya kami bertiga saling memeluk, lalu menangis dengan haru.

***

Hampir petang ketika kulihat Kai dan Lizzy masih asyik bermain dengan Lena di ruang tengah.

Lena tampak berceloteh riang di pangkuan Lizzy, sementara Kai ada di hadapannya sambil menunjukkan mimik lucu. Mereka seperti sebuah keluarga kecil yang begitu bahagia.

Tertarik menyaksikan interaksi di antara mereka, iseng aku meraih ponselku dan memutuskan untuk mengambil gambar.

Lizzy yang pertama kali menyadari kehadiranku. Melihat ponsel di tangan, ia tampak protes.

"Apa kau memotret?"  Bibirnya mengerut kesal.

Aku tersenyum menunjukkan ponselku.
"Kalian terlihat seperti pasangan yang serasi," ucapku.

Dan segera kulihat rona merah di pipi keduanya.

Lizzy tampak tersipu, Kai apalagi. 
Aku terkekeh. "What?" ucapku bingung.

Kai buru-buru bangkit.
"Mm, aku ... pulang dulu." Lelaki itu terlihat gugup. Sambil menatap Lizzy, ia mengusap tengkuknya beberapa kali.

"Besok kujemput." Dan setelah berkata begitu, ia meraih jaketnya di sofa, lalu beranjak keluar. Tanpa berpamitan padaku, dan ia terlihat salah tingkah.

Aku ganti menatap Lizzy bingung.

"Okay, jadi ada apakah ini? Apa terjadi sesuatu di antara kalian?" tanyaku.

Lizzy menggigit bibir.
Ia memanggil bibi Nanny lalu menyerahkan Lena padanya.

Bibi Nanny adalah pengasuh Lena. Joshua yang mempekerjakannya. Dia bilang, dia sudah mencari orang khusus untuk membantuku merawat Lena agar aku tak kerepotan mengurus balita itu. Joshua juga yang menggaji dia. Aku hanya sekedar terima.
Manis sekali 'kan sikapnya?

"Jadi ... ceritanya begini." Lizzy membuka suara ketika bibi Nanny sudah mengajak Lena.

"Beberapa waktu yang lalu, atas ide salah satu teman kerjaku, aku melakukan kencan buta dengan seseorang. Dan kau tahu ternyata siapa yang menjadi partner kencanku?"

"Siapa?" tanyaku antusias.

"Kai," jawab Lizzy cepat.

Aku membelalak.

"Hah?"

Lizzy mengangguk.

"Wow, ini keren. Ini pasti yang namanya jodoh. Kalian serasi sekali," ujarku.

Lizzy mengangkat bahu gamang.

"Hana, aku tahu dulu Kai jatuh cinta padamu."

Aku mengibaskan tanganku.

"Lizzy, ayolah. Itu sudah lama berlalu. Dan tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami," sahutku.

Lizzy terdiam sesaat. "Itulah kenapa aku bersedia memberinya waktu. Maksudku, kesempatan, untuk kami berdua."

"Lalu?"

Perempuan itu menggigit bibir.
"Mm, dia mengatakan bahwa ... melupakan dirimu memang tidak mudah. Tapi dia punya upaya untuk melakukanya, membuka lembaran biru. Dan ... aku bersedia melakukannya."

Aku ikut menggigit bibirku, gugup. Seolah menunggu kalimat Lizzy selanjutnya adalah sebuah anugerah.

"Kami sepakat membina hubungan yang lebih dekat. Dan aku akan membuatnya jatuh cinta padaku dan melupakanmu."

Dan aku nyaris bersorak.
Tapi toh akhirnya aku memekik senang sembari menghambur ke arahnya dan memeluknya.
"Selamat, Lizzy. Aku bahagia sekali. Semoga kalian langgeng," ucapku, tulus.

Lizzy tersenyum dan membalas pelukanku.
"Kau juga harus bahagia," bisiknya di telingaku.

***

Aku sedang membetulkan sebuah gaun di manekin ketika perempuan itu datang.

Dengan sorot mata ragu, ia menyapaku.
Sempat merasa bingung, kaget, tak menyangka bahwa ia akan datang kemari, toh aku tetap menyambutnya dengan ramah.

Miranda, calon istri Sean.

"Duduklah." Aku menyilakan ia duduk di kursi yang berada di mini bar.

Joshua yang membangun sebuah mini bar di butik. Mini bar ini dibuat di ruangan terpisah dengan butik. Ia bilang, supaya aku bisa bersantai sejenak jika merasa lelah mengurusi butik.

"Maaf, aku tak bermaksud mengagetkanmu dengan datang kemari." Perempuan yang kali ini tampil elegan dengan blouse dan rok selutut bermotif bunga-bunga itu membuka suara. "Tapi---"

"Mau minum apa?" potongku.

Ia menggeleng. "Aku hanya datang untuk mengantarkan ini." Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu menyodorkannya padaku melalui permukaan meja. Undangan pernikahan.

Pernikahannya dengan Sean.

Tiba-tiba jantungku terasa kurang pasokan oksigen.

Aku menatap benda persegi panjang bernuansa emas dengan lekat. Tak berniat menyentuhnya.

"Datanglah ke pernikahan kami." Ia berucap.

Aku mencoba tersenyum dan menatapnya.

"Selamat atas pernikahan kalian nanti. Tapi sepertinya aku akan sangat sibuk sekali. Jadi---"

"Hana, ini kesempatan terakhirmu untuk merebutnya dariku."

Aku tercengang. Apa?

Kedua mata kami bersitatap.
"Apa maksudmu?" Kali ini suaraku datar. Aku nyaris terbakar amarah. Entah kenapa kata-kata itu terdengar menyakitkan buatku.

"Hana, aku tahu telah terjadi sesuatu di antara kalian. Aku tahu bahwa ada benih cinta di antara kalian. Aku hanya tak tahu kenapa waktu itu Sean mendepakmu. Padahal aku nyaris menyerah dan merelakan jika ia memilihmu. Tapi---"

"Apa yang kau bicarakan? Ia memilihmu dan ... kau mencintainya, kan?" balasku.

"Aku memang mencintainya. Sangat. Tapi cinta yang ia rasakan padaku sudah habis. Ia tak punya perasaan apa-apa lagi padaku."

"Kenyataannya ia memilihmu."

"Iya, tapi aku merasa ... ini percuma. Aku mencintainya, aku menginginkan dirinya seutuhnya, bersamanya. Tapi akhirnya aku sadar, aku mungkin memiliki raganya, tapi hatinya tidak. Dan jujur itu lebih menyakitkan daripada menyaksikan ia bersama wanita lain," jelasnya.

"Ia mencintaimu, Hana. Aku tahu dari caranya menatapmu, caranya berbicara denganmu, dan cara dia memperlakukanmu. Jadi, mari kita buat kesepakatan. Demi kebahagiaanmu, kebahagiaan Sean, dan juga kebahagiaanku sendiri. Aku tak ingin terjebak di pernikahan yang tak bahagia." Ia melanjutkan.

"Pernikahan kalian akan bahagia," ujarku.

"Tidak, selama ia masih memikirkanmu. Dan aku tahu ia takkan pernah berhenti memikirkanmu." Perempuan itu bangkit.

"Mari kita cari tahu, Hana. Anggap saja ini Sweet Home episode final. Karena aku tahu, salah satu perempuan yang seharusnya ada di episode terakhir adalah kau. Jadi,  datanglah, dan bicaralah dengannya. Jika setelah melihatmu ia tetap ingin menikah denganku, maka aku akan mempertahankannya. Tapi jika ia memilih dirimu, aku rela."

"Miranda---"

Perempuan itu bangkit lalu pamit, meninggalkan diriku dalam bingung.

Tanpa menyentuh undangan di atas meja, aku bergerak ke ruangan butik lagi. Mencoba mencari kesibukan dengan menata beberapa baju di manekin, hingga Joshua datang berkunjung.

"Yang barusan datang tadi calon istrinya Sean, kan?" Lelaki itu menyapa dengan pertanyaan.

Aku mengangguk. "Ia memberikanku undangan pernikahan mereka," jawabku.

Joshua melangkah ke meja kasir dan menyandarkan punggungnya di sana.
Dengan bersedekap ia menatapku.

"Kau akan datang?"

"Tidak," jawabku cepat.

"Kenapa?"

"Karena jika aku datang ke sana, aku berpikir untuk merebut si mempelai laki-laki," ujarku asal.

"Kalau begitu lakukan saja. Rebut dia."

Aku memutar bola mataku kesal. "Josh?"

Lelaki itu mengangkat bahu.
"Kau mencintainya, Hana. Dan bisa jadi ini adalah kesempatan terakhirmu. Sebelum pernikahan terjadi, kau masih bisa merubah pikirannya."

Aku mendesah. "Tapi aku takkan melakukannya. Aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku yang sekarang."

"Kau pasti akan menyesal."

"Tidak akan."

"Kau akan."

"Josh ...?"

Lelaki itu terkekeh.
"Well, aku belajar ini dari pengalaman kita sendiri, Hana. Sekali kau melepaskan seseorang, kemungkinan besar kau takkan bisa mendapatkannya kembali. Dan aku menyesal karena - dulu - aku memilih melepaskanmu," ucapnya, getir.

"Pikirkan baik-baik. Karena jika penyesalan itu datang, luka yang kau dapatkan akan terasa lebih sakit, berkali lipat. Aku sudah mengalaminya. Menyakitkan ketika dulu aku memilih melepaskanmu. Tapi ternyata rasa sakitnya lebih parah ketika aku tahu bahwa ...  aku tidak mungkin bisa mendapatkanmu lagi."

Aku mematung.
Untaian kalimat dari mulut Joshua ibarat siraman air es di cuaca terik.

***

Dan akhirnya, di sinilah aku sekarang.

Berdiri mematung di depan pintu masuk, di depan gedung mewah tempat diselenggarakannya pernikahan Sean dan Miranda.

Setelah melalu proses merenung beberapa waktu, aku memutuskan untuk hadir di sini. Di pernikahannya.
Pernikahan lelaki yang kucintai.

Mengenakan gaun paling cantik yang kupunya, gaun one shoulder selutut berwarna hijau terang, dipadu sepatu stileto setinggi 12 cm, aku ke sini dengan percaya diri.

Aku berdandan dengan begitu cantik.
Make up yang menawan, rambut yang kutata rapi, aku benar-benar habis-habisan hari ini.

Untuk merebut Sean? Entah.
Mengacaukan pernikahannya? Aku tak tahu.
Yang jelas, firasatku mengatakan aku harus datang ke pernikahan ini.

Aku memasuki hall pernikahan beberapa menit sebelum prosesi di mulai.
Duduk di kursi yang telah ditentukan, aku mengikuti rangkaian acara dengan hati berdebar.

Dan ketika sosok itu memasuki ruangan, ketika si mempelai lelaki melangkah menyusuri hamparan permadani di tengah ruangan menuju altar, aku sesak napas.

Dengan balutan jas pengantin, Sean begitu tampan.
Aku terpesona, lagi, dan lagi.

Saat di mana Si Mempelai wanita datang, dan mereka bersiap disatukan sebagai suami istri, akal sehatku lenyap.

Aku berdiri dan berteriak lantang, "Sean!"

Sontak semua perhatian tertuju padaku. Termasuk Sean.
Lelaki itu menoleh, mencari arah suaraku, dan akhirnya tatapan kami bertemu.

Seketika rahangnya tampak kaku, dan tubuhnya membeku.
Kedua matanya membulat dan raut wajahnya tampak syok. Tak mengira bahwa ternyata aku di sini.

"Hana?" Bibirnya bergerak samar, mengucapkan namaku.

Aku menelan ludah. Bergerak, melangkahkan kakiku menuju tengah hall. Berdiri tegar di hamparan karpet yang menuju altar.

"Aku tidak bermaksud mengacaukan pernikahanmu. Tapi ada sesuatu hal yang harus kuberitahu padamu," ucapku.

Kedua mata Sean mengerjap. Dan aku buru-buru melanjutkan kalimatku.

"Awalnya aku datang ke Sweet Home hanya untuk mencari popularitas. Aku tak berniat mencari pendamping hidup, aku tak berencana menarik perhatianmu, tak berpikir juga untuk memikat dirimu. Tapi faktanya, akulah yang terpikat olehmu. Seiring berjalannya waktu, kau begitu memesona hatiku. Kau membuatku jatuh hati, kau membuatku merasakan cinta kembali, kau---" Wajahku memanas. Aku yakin sudah ada kristal-kristal bening di pelupuk mataku.

"Sean, aku tak pandai menyusun kata-kata. Tapi kenyataan yang tak bisa kupungkiri bahwa ... aku jatuh cinta padamu," lanjutku.

Sean terlihat makin syok.
Terdengar riuh tamu undangan.

Aku mengangkat bahu putus asa. "Mau bagaimana lagi. Aku memang mencintaimu," dan air mataku menitik.

Sebelum pihak keamanan menjangkauku, aku buru-buru berbalik. Dengan langkah panjang, aku berlari meninggalkan ruangan itu.

Menghambur ke luar hall, hentakkan heel sepatuku sempat bergema di sepanjang lorong.

Dalam hati aku membatin, jika Sean tak mengejarku, selesai sudah semuanya. Aku menyerah.

Mungkin orang akan mengingatku sebagai pengacau di pernikahan orang, dan mungkin orang-orang akan kasihan padaku karena Sean lebih memilih untuk menikahi wanita di dalam sana, dan mungkin ini akan jadi insiden paling memalukan untukku.

Tapi, terserah. Aku tak peduli.

Tangisku nyaris pecah ketika sampai di pinggir jalan raya dan berniat memanggil taksi, sementara tak ada tanda-tanda bahwa Sean akan mengejarku.

Sampai akhirnya, panggilan itu ... ada.

"Hana!"

Aku menoleh.

Dan dari arah berlawanan, dengan masih mengenakan jas pengantin, pria itu menatapku dengan napas terengah.

Sean mengejarku!

Ia meletakkan kedua tangan di pinggang, dan sibuk mengatur nafas.

Aku tercengang.

"Berani-beraninya kau mengacaukan pernikahanku!" Ia melonggarkan cravatnya sembari melangkah mendekatiku.

"Demi dirimu, aku berlari kesini mengejarmu, meninggalkan calon istriku di dalam sana. Acara pernikahanku berantakan sekarang. Jadi kau harus bertanggung jawab."

Aku tersenyum haru.

"Tempatmu adalah di pelukanku, Hana. Tidak di manapun, melainkan di sisiku."

Dan tanpa membiarkanku berkata-kata, ia meraih pinggangku, membawa diriku ke pelukannya, lalu mempertemukan bibir kami.
Tidak menghiraukan orang-orang di sekitar kami yang menatap heran.

Aku yang berinisiatif untuk melingkarkan lenganku di lehernya dan membalas memeluknya.
"Aku mencintaimu," bisikku di sela-sela ciuman kami.

Sean tersenyum dan menatapku haru.

"Senang mendengarnya," desisnya. "Karena aku pun begitu."

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro