Ujian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Day 23 :
Membuat karya dengan memasukkan dialog berikut :

"Sebenarnya, aku sama sekali tidak punya kesempatan, bukan?"

"Tidak, kau salah. Kau pernah punya, sekali."

-------

"Gar! Hei, bangun! Kok malah tidur di sini? Waktunya ujian."
Kulihat wajah temanku Anjani yang menatap heran ketika membuka mata. Aku bangkit terduduk dan melihat sekeliling yang ternyata lapangan padepokan. Pandanganku beralih ke arah Anjani yang mengenakan baju berlatih. Entah kenapa aku seperti orang linglung, sepertinya aku tertidur ketika jam istirahat. Kepalaku tiba-tiba berdenyut.

"Kau sakit? Ayo bangun dulu, Gar." Anjani mengulurkan tangan.

Kupandang Anjani sekali lagi, arah pandangku kemudian menuju ke telapak tangannya. Ada perasaan mengganjal yang kurasakan. Tapi aku tak tahu penyebabnya. Aku membalas uluran tangannya dan ia membantuku berdiri. Perasaanku masih tak enak. Sepertinya, aku baru saja bermimpi, tapi aku tak ingat mimpi apa.

"Wak Diro sudah menunggumu. Semoga berhasil dengan ujian naik tingkatmu, Gar." Ia menepuk pundakku.

Ah iya, aku harus mengikuti ujian kenaikan tingkat.

"Eh, memangnya materi apa yang sudah disampaikan Wak Diro? Ayolah, giliranku minggu depan, beritahu sedikit saja."

"Rahasia. Kau tahu itu melanggar kode etik. Lagipula, pastinya Wak Diro memberikan materi yang berbeda," ujarku.

"Benar juga."

Aku meninggalkan Anjani dan berniat segera menemui Wak Diro, guru besarku di padepokan. Aku harus melawannya jika ingin naik tingkat menjadi pendekar. Aku sudah berlatih dan mempersiapkan ujian ini. Tentu saja aku tidak mau gagal.

Aku menggunakan teknik Tapak Ènthèng ketika mendekati pendopo, kulihat Wak Diro, orang tua berjanggut putih itu tersenyum. Sial! Ia menyadari kehadiranku meskipun matanya tertutup.

"Tapak Ènthèng-mu sudah sempurna, tapi kau lupa musuh juga bisa mendengar deru napasmu , Sagara."

"Aku selalu lemah dalam teknik Ambekan Dewo, Wak."

Wak Diro membuka mata dan bangkit, ia bersiap dengan kuda-kuda dan dengan cepat menyerangku.  Kutangkis serangannya yang secepat kilat itu sebisaku.

"Musuh tak akan memberimu kesempatan bernapas, Gar. Sebentar saja kau lengah, maka kau kalah."

Aku memekik ketika ia menyerang bahuku dengan pukulan Gada Sakti.

"Sudah kau jalankan pantanganmu?"

"Sudah, Wak. Aku tidak memakan pisang raja dan sudah berpuasa dari tadi malam," kataku masih sambil meringis menahan sakit di bahuku.

Wak Diro menyerangku lagi, kali ini dengan tendangan. Aku melawannya, kubalas ia dengan beberapa tendangan, tapi tetap tak sanggup menandinginya, bahkan tendanganku tak sanggup menyentuh titik cakranya sama sekali. Ia berhasil membuatku tumbang ke lantai sedetik kemudian. Ia menatapku tajam, telunjuknya diletakkan di keningku, dan entah jurus apa yang digunakannya sehingga semua titik cakra di tubuhku mati. Badanku lemas.

"Ada satu pantangan yang gagal kau jalankan, Gar. Itulah yang membuatmu selalu kalah di ujian ini."

Selalu kalah? Aku murid terpintar di padepokan ini dan hanya aku yang berhasil mengikuti ujian pendekar lebih dulu di angkatanku. Apa yang dimaksudkannya selalu kalah? Dan bagaimana aku dibilang selalu kalah kalau ujian ini saja baru pertama kali kuikuti? Sejenak aku berpikir, lalu aku tahu. Pasti Wak Diro marah padaku karena suatu hal dan tak meloloskanku.

"Sebenarnya, aku sama sekali tidak punya kesempatan, bukan?"

Wak Diro tersenyum miring, "Tidak, kau salah. Kau pernah punya, sekali."

Pandanganku mulai mengabur, tapi aku masih bisa merasakan Wak Diro mendekat dan berbisik di telingaku sebelum gelap total menguasaiku, "Ujian ini akan terus berulang sampai kau sadar tentang pantanganmu bersentuhan dengan perempuan sebelum ujian berakhir."

"Gar! Hei, bangun! Kok malah tidur di sini? Waktunya ujian."

Anjani? Aku bangkit terduduk dan melihat ke sekeliling lapangan padepokan. Pandanganku beralih ke arah Anjani. Ada perasaan aneh di kepalaku dan tiba-tiba saja berdenyut ketika berusaha mengingat-ingat.

"Kau sakit? Ayo bangun dulu, Gar." Anjani mengulurkan tangan.

Arah pandangku menuju ke telapak tangannya. Semakin kuat perasaan mengganjal yang kurasakan. Aku tak tahu penyebabnya. Sepertinya, aku baru saja bermimpi, tapi aku tak ingat mimpi apa. Aku membalas uluran tangan Anjani dan bangkit berdiri.

"Wak Diro sudah menunggumu. Semoga berhasil dengan ujian naik tingkatmu, Gar."

-tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro