Tetangga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DAY 1

Buat cerita yang berawalan. "Hari ini ketika aku terbangun, aku melihat ...."

-----

Hari ini ketika aku terbangun, aku melihat tetanggaku yang kemarin meninggal sedang duduk di atas lemari. Dia menatapku dengan bola matanya yang merah, wajah berdarah-darah, dan rambut acak-acakan. Aku menghela napas panjang, lalu memberanikan diri turun dari kasur dan bersiap untuk mandi.

Namaku Zoya, 17 tahun, duduk di kelas XI SMA Bunda Hati, kota X. Tak ada yang istimewa dariku. Wajah tak terlalu cantik, pun tak populer. Prestasi tengah-tengah. Jika di dalam film, penampilan anak sepertiku, berkacamata, pendiam, kutu buku, dan tidak banyak teman adalah tipe anak pintar dan berprestasi, atau si culun tiba-tiba mendapatkan kekuatan untuk mennyelamatkan dunia. Nyatanya itu tidak benar. Jangan terlalu berpikir hidup seperti di dalam film. Nyatanya, kehidupan ini jauh dari khayalan seperti di televisi. Aku tetaplah pecundang.

Sepertinya, tak cukup dengan kehidupanku di sekolah. Tuhan pasti membenciku. Dia memberiku kemampuan yang tidak kuinginkan. Untuk apa Dia memberiku kemampuan melihat hantu sedangkan bagiku itu benar-benar tidak berguna?

Baru saja keluar dari kamar mandi, tetanggaku tiba-tiba muncul di depanku. Sedikit membuatku terperanjat. Yang kumaksud adalah, tetanggaku yang kemarin meninggal kecelakaan.

Ada tipe-tipe hantu yang paling tidak aku suka, salah satunya hantu korban kecelakaan seperti dia. Namanya Sari, meninggal karena terlindas truk ketika hendak mengantar sekolah anaknya yang masih duduk di kelas 2 SD. Anaknya selamat dan dia meninggal di tempat. Sungguh miris. Namun, mau bagaimana lagi? Jatah umurnya hanya segitu.

"Ma! Aku berangkat sekolah dulu!" teriakku pada mama di dapur. Kudengar jawaban mama sambil berlalu pergi. Aku bisa terlambat kalau tidak cepat-cepat.

Sari masih mengikutiku sampai ke sekolah, bahkan menemanimu di kelas. Dia memang tidak mengganggu, tapi bisa bayangkan aku harus melihat wajah berdarahnya seharian?

Saat pulang sekolah, dia masih mengekoriku. Namun, kali ini, aku mendengar tangisnya. Kuberhentikan sepedaku dan berbalik menatapnya.

"Kenapa kau terus mengikutiku? Alam kita sudah lain. Kembalilah ke alammu."

Dia masih terisak sambil menunjuk ke suatu tempat. Satu lagi yang tidak kusuka dari arwah penasaran. Mereka selalu meminta bantuan. Mungkin terdengar klise, tapi memang begitulah kenyataannya.

"Baiklah. Kalau dengan begitu kau biss pergi selamanya dariku."

Senyum tipis menghiasi wajahnya, aku mengikutinya hingga kusadari dia membawaku ke jalanan tempat dirinya tewas. Dia menunjuk ke arah semak-semak. Begitu kutelusuri, ada bungkusan kresek hitam yang ketika kubuka berisi pensil warna.

"Apakah kau ingin aku memberikannya kepada anakmu?"

Sari mengangguk.

"Baiklah. Tapi tepati janjimu, okay?"

Dia mengangguk sekali lagi. Aku mempercepat kayuhan sepedaku hingga sampai rumah, lalu menuju rumah Sari.

"Ini pensil warna Fia." Aku mengulurkan pensil warna itu krpada Pak Hari, suaminya. Pak Hari tentu sedikit terkejut dan heran.

"Pensil warna ini rencananya akan diberikan kepada Fia karena kemarin adalah hari ulang tahunnya. Tak kusangka Sari kecelakaan dan tak sempat memberikan kado pensil warna itu," ujar Pak Hari dengan terisak.

Aku sebenarnya tak tertarik dengan kisah Sari, tapi ternyata dia sangat mrnyayangi Fia, anaknya. Sedikit membuatku tersentuh.

"Terima kasih, Nak Zoya. Tapi bagaimana kamu bisa mendapatkan pensil warna ini?"

Aku hanya tersenyum dan berkata bahwa aku tak sengaja menemukannya terjatuh ketika Sari dan anaknya berangkat pagi itu.

Setelah tugasku selesai, aku melihat Sari tersenyum bahagia. Wajahnya tak lagi berdarah-darah. Dia sangat cantik dengan pakaian putih itu. Lama-lama sosoknya pun menghilang.

Aku kembali ke rumah dan mendapati Bu Damar, tetangga sebelah desa duduk di sofa ruang tamu. Bu Damar yang notabene adalah koordinator senam aerobik desa terkadang main ke rumah. Aku mengangguk menyapanya sebentar, lalu ke dapur dan mendapati mama terpaku menatap layar ponsel.

"Ada apa, Ma?"

Mama mengangkat kepala, "Kemarin Bu Sari meninggal kecelakaan, barusan ada kabar duka lagi dari desa sebelah, Bu Damar meninggal mendadak."

Aku tercekat, jadi, Bu Damar yang sedang duduk di sofa depan sudah .... ah sialan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro