12. Belajar Mandiri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bina pikir setelah mengisi perutnya yang kerongongan, ia bisa masuk begitu saja ke kampus dan mengikuti kelas. Ingatkan Bina, ia sudah bolos jam pertama hari ini.

Ternyata makan di luar kampus sangatlah tidak senyaman berada di kantin. Walau Bina makan dengan perlahan, tetapi tetap saja pemilik warung yang berbadan gempal itu berkata jika Bina harus segera masuk. Ah, jangan lupakan ceramahnya yang membuat telinga Bina panas mendengarnya.

Belum lagi penjaga gerbang yang saat ini menghadang Bina. Belum lagi pertanyaan memberondong itu membuat kepala Bina rasanya hampir pecah. Sudah berapa kali dirinya diomeli hari ini?

"Bu, kalau Ibu lapar, pasti makan juga kan?" tanya Bina pada seorang wanita yang menjaga gerbang.

"Iya makan, tapi nanti kalau beres urusan."

Bina menghela napas, jengah. "Palingan Ibu makan sambil jaga gerbang, ngaku aja deh!" tuduhnya.

Ibu-ibu itu tampak tidak terima. "Masalahnya di mana? Saya menjalankan tugas saya, kok. Nggak kayak kamu, lari dari kampus."

"Ya udah, deh. Biarin saya masuk aja. Males debat sama Ibu. Nggak ada faedahnya tahu!"

"Lah, memang kalau saya debat sama kamu, berfaedah gitu?"

Bina memutarkan bola mata. "Tau, ah. Mending saya balik lagi aja!"

"Eh, Bina!" Seseorang terdengar memanggil Bina. Namun, tak ia hiraukan.

"Bu, tolong ya. Dia mahasiswi baru, jadi belum tahu peraturan di sini," ucap Caca membuat ibu penjaga gerbang itu melunak. Ia mengangguk dan mulai membuka gerbang.

"Kamu mau ke mana, Bin? Kelas belum dimulai," ucap Caca membuat Bina menghentikan langkahnya.

Bina menoleh pada gerbang yang sedari tadi ditutup rapat. Ia berjalan berbalik dan memasuki kampus tak memperdulikan Caca yang berusaha mengejarnya dari belakang.

Di belakang sana, Caca hanya tersenyum lembut menatap punggung Bina yang perlahan memasuki area kampus. Tak lupa gadis itu berterima kasih pada penjaga gerbang, lalu menyusul Bina yang sudah lebih dulu meninggalkannya.

***

"Baik, sebelum kelasnya saya mulai. Saya ingin tahu dulu, nih. Katanya ada mahasiswi baru, perkenalan dulu, ya nggak?" Dosen dengan hijab berwarna merah itu tampak menoleh pada Bina.

Seluruh atensi tertuju pada Bina. Mau tak mau, ia bangkit dan menuju ke depan kelas.

"Nama gue Sabrina, salam kenal. Jangan banyak tanya, gue males jawabnya."

Perkenalan singkat itu membuat Bina menjadi bahan perbincangan mahasiswa yang lain. Belum lagi rambut Bina yang terpampang indah menjuntai.

"Ustadzah, kok dia nggak pakai hijab, sih? Bukannya harus ya?" tanya seorang mahasiswi.

"Iya, kan katanya aurat," sambung yang lainnya.

"Bajunya juga kok ketat banget?"

"Kan harusnya pakai rok atau gamis," katanya.

"Gini, Sabrina kan murid baru. Jadi pelan-pelan aja dulu ya," ucap dosen tersebut.

Mahasiswa lainnya mengangguk mengerti.

"Panggil Bina aja, kepanjangan kalau Sabrina," ucapnya membuat dosen wanita itu tersenyum dan mengangguk.

"Baik, Bina. Semoga kamu bisa beradaptasi dengan baik ya di sini. Jangan sungkan kalau ada masalah, kamu bisa temui saya," ucap dosen tersebut. "Saya Ustadzah Yanti," lanjutnya membuat Bina mengangguk.

Setelah kembali ke tempat duduknya, Caca menyenggol lengan Bina. Mau tak mau gadis itu menoleh dengan pandangan bertanya.

"Nanti pulangnya ikutan tadarus, yuk!"

Bina mengerutkan kening. Ia tak membalas, tetapi pandangannya menujukkan dengan jelas jika ia tak suka.

***

"Sampai kapan gue harus bertahan di sini," gumam Bina sembari membuka kunci loker.

"Eh, anjir!" Bina terkejut saat sesuatu berceceran keluar dari lokernya. Kini Bina menjadi pusat perhatian.

"Duh, ini apaan, sih!" Bina memungutnya satu persatu. Ukuran loker yang tak seberapa besarnya itu membuatnya tak mampu menampung banyak barang di dalamnya. Sehingga saat dibuka, isinya berhamburan keluar.

"Banyak banget gila, ini siapa yang nyimpen."

Hijab dengan berbagai model tersaji di hadapannya. Bina celingukan mencari tahu siapa dalang dibalik penuhnya loker miliknya.

"Ck, bikin kerjaan aja!" keluh Bina sembari memunguti hijab itu satu persatu.

Jumlahnya cukup banyak, mungkin lima atau enam. Bina membawanya ke dalam tas. Mau tak mau beban pada pundaknya pun bertambah.

Baru saja hendak meninggalkan loker, seseorang sudah menghentikan Bina. Tidak salah lagi, pasti si bawel itu.

"Bina, kok pulang?"

"Eh?" Ternyata prediksi Bina salah. Bukan Caca, melainkan gadis lain. Jumlahnya tiga orang yang berdiri di hadapannya.

"Emang kenapa, ya?"

"Kata Caca kamu mau ikut tadarus, arah masjid bukan ke sana, tapi ke sana," ucapnya menunjukkan arah yang berada di belakang mereka dengan jari jempolnya, sopan.

Bina menggaruk tengkuknya. "Gue nggak bisa."

Ketiganya menatap Bina bak mencari tahu kebenaran. Buru-buru Bina meralat kalimatnya yang terdengar ambigu.

"Lagi halangan."

Ketiganya ber-oh ria. Mereka pun tersenyum dan mengangguki ucapan Bina. "Ya, udah. Kita pergi dulu, ya."

Bina mengangguk. Ia menghela napas lega. Buru-buru ia meninggalkan kampus dan menaiki angkutan umum.

Meski harus berdesakan, Bina rela yang terpenting ia bisa sampai di kost-an. Sebenarnya, untuk yang satu itu, Bina berbohong.

Bina tidak sedang halangan, hanya saja ia malu jika harus berkata tidak bisa mengaji. Mau ditaruh di mana mukanya? Ia memijat pelipisnya. Tas yang berat itu ia lempar ke arah ranjang.

"Baru beberapa hari, tapi rasanya gue mau mati."

Jangan kira setelah Bina pulang dari kampus, masalah selesai begitu saja, tidak. Bina harus mandi dan menyiapkan makanan. Jika di rumahnya, sang mamalah yang akan mengerjakan itu semua, tetapi di sini siapa lagi kalau bukan dirinya sendiri?

***
Diketik dengan : 825 kata (hanya isi).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro