13. Teror Lagi?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berjalan sendirian di tengah keramaian orang yang berjalan berdua, bertiga, berlima ternyata bukanlah pilihan yang tepat. Bina seolah menjadi butiran debu di antara emas yang tertimbun.

Bukan berarti Bina tak mau berteman. Hanya saja, ia belum terbiasa dipaksa menjadi dirinya yang lebih baik. Kurang lebih dua minggu tinggal di Bandung, belum mampu membuatnya nyaman seperti saat ia tinggal di Jakarta.

Suasana yang sangat kontras berbeda ,antara panasnya Jakarta dan sejuknya Bandung masih cukup bisa diterima oleh Bina. Namun, ada beberapa faktor yang sulit untuk Bina terima.

Salah satunya adalah adaptasi. Entah dengan teman, dosen, maupun masyarakat luar. Bina tak semudah itu untuk menerima keadaan jika kini dirinya tidak lagi di Jakarta.

Di sini, di kota orang yang terkenal keramahannya ini. Apakah masih ada teman yang seperti Catra dan Salma?

Terlalu asyik berbicara sendiri di dalam hati, Bina tak sadar jika kini ia sudah berdiri di depan kelasnya. Saat kepalanya menengok ke sebelah kiri, tampak sosok Caca yang tengah berjalan ke arahnya. Gadis itu tampak melambaikan tangan sembari tersenyum.

"Masa iya gue harus temenan sama dia, sih." Bina membatin. Tak munafik, ia pun butuh sosok teman di sini. Tapi jika se-bawel Caca, apakah Bina akan tahan?

"Assalamualaikum, Bina," sapa gadis itu sembari tersenyum pada Bina.

Bina mengangguk. "Waalaikumussalam."

Caca menunjukkan jempolnya. "Bagus. Pertahankan, ya."

Bina menghela napas dan menuju ke dalam kelas. Caca mengekor di belakangnya. Hari ini hanya ada satu mata kuliah, yaitu komunikasi.

Tepat pukul sembilan, terdengar ketukan pentofel yang beradu dengan lantai. Pandangan mahasiswa tertuju sepenuhnya pada sosok yang berjalan tegap menuju meja dosen.

Zafran Asyafi

Lelaki berusia dua puluh delapan tahun yang terkenal sebagai dosen gaul. Mengapa demikian? Pasalnya, gaya berbicara juga penampilannya sudah cukup menjelaskan mengapa ia mendapat gelar 'dosen gaul' di kampus.

Semua mahasiswanya memanggil beliau dengan sebutan 'Ustaz Zafran'. Ah, sepertinya cukup mendeskripsikan tentang lelaki itu. Desas-desis, katanya ustaz yang satu ini sudah menikah, tetapi perihal siapa yang menjadi istrinya ... tak pernah terungkap.

Hal itu yang membuat para mahasiswinya mendesah kecewa. Bina menoleh ke sisi kiri, juga kanan. Benar saja, mereka menatap Zafran seolah dunia para gadis itu hanya tertuju pada Zafran.

Bina kesal melihatnya. Bukan perihal ia cemburu. Namun, mengapa sih wanita senang menurunkan harga diri wanita itu sendiri? Dengan menatap kaum adam dengan sebegitu lamanya, kan memalukan.

"Materi pagi ini cukup simple. Bagaimana caranya peka terhadap keadaan yang diinginkan oleh seseorang," ucap Zafran membuka mata kuliah pagi ini.

Selama kuliah dimulai, Bina sama sekali sulit untuk fokus. Entah mengapa pesona lelaki itu seolah membius Bina. Saat melihatnya, Bina seolah melihat Agam. Tubuhnya hampir sama, wajahnya saja yang berbeda.

Lihat saja punggung tegap itu, bukankah sangat mirip dengan milik Agam sang mantan kekasih? Mengingatnya, Bina menggelengkan kepala.

Caca yang berada di sebelahnya tampak heran. "Kamu kenapa?"

Bina menggeleng. "Nggak papa."

"Ustaz Zafran keren, ya?"

Bina menoleh ke arah Caca. Ia melihat jika di mata gadis itu terdapat binaran yang tak ia ungkap pada siapapun.

"Biasa aja," balas Bina kemudian.

***

"Gue mau ambil buku di loker, lo pulang duluan aja!" seru Bina sembari berjalan cepat menuju loker.

"Aku tungguin kamu aja, Bin." Caca mengekor Bina.

Bina tak acuh. Cuaca sedang tidak sebagus tadi pagi. Langit tiba-tiba mendung saat pelajaran Zafran berakhir. Maka dari itu, Bina buru-buru agar saat pulang nanti, tidak terjebak hujan.

Baru saja membuka loker, lagi-lagi Bina dibuat terkejut karena yang berhamburan keluar bukanlah hijab-hijab itu lagi, melainkan foto-foto saat dirinya berada di Jakarta. Ada foto di mana dirinya tengah berada di club malam, saat tengah merokok, bahkan saat ia berpelukan dengan seorang lelaki di lantai dansa.

Caca terkejut. Ia memungut foto-foto tersebut. Dengan cepat, Bina ikut memungutinya sebelum mahasiswa lain datang dan melihatnya.

Bina memasukkan foto-foto itu ke tasnya. Sebelum meninggalkan loker, Bina menoleh pada Caca.

"Lo pulang aja, gue masih mau di sini."

Caca mengerutkan kening. "Bin, kamu mau ke mana?"

Namun, Bina tak menjawab. Khawatir, akhirnya Caca mengikuti langkah Bina. Ternyata benar, Bina pergi ke taman kampus.

Gadis itu duduk di kursi. Caca mengikutinya dan membiarkan Bina diam dengan pikirannya sendiri.

"Lebih baik lo jangan temenan sama gue." Bina membuka suara.

Caca menoleh cepat. "Loh, emang kenapa?"

"Gue nggak pantes jadi temen lo," tegas Bina.

"Tapi kan semua orang bisa berubah, Bin."

"Gue nggak, jadi lo nggak usah jadi temen gue lagi," ucapnya menegaskan sembari berlalu meninggalkan Caca sendirian di taman.

"Nggak bisa!" Bentakan Caca mampu menghentikkan langkah Bina.

"Dari sejak kamu dateng ke sini, aku udah nganggap kamu temen aku."

***
Diketik dengan : 740 (hanya isi).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro