22. Indahnya Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bina terkejut saat melihat keadaan Caca yang jauh dari kata baik-baik saja saat gadis itu baru kembali dari kamar mandi. Wajah gadis itu tampak pucat, keringat tampak membasahi dahinya. Bina mencoba bertanya, tetapi Caca tetap memejamkan mata dengan tangan memijat pelipisnya.

Akhirnya Bina hanya bisa mengelus pundak hingga ke punggung Caca berharap gadis itu jauh lebih tenang.

"Kalau kamu ...."

Belum selesai ucapan Bina, seseorang sudah memotongnya.

"Ca, lo disuruh pulang sama Ustaz Zafran."

Caca membuka mata perlahan. Ia melirik ke arah orang yang memberitahunya. Kemudian berterima kasih dan membereskan peralatan tulisnya ke dalam tas.

Seolah tak melihat Bina di sampingnya, Caca berlalu begitu saja.

"Caca!" Bina berteriak cukup kencang.

Gadis dengan hijab berwarna hitam itu menoleh. "Kenapa?" Akhirnya gadis itu mau membuka suaranya.

Kepala Bina menggeleng pelan.  "Cepet sembuh, Ca."

Caca terdiam, setelahnya mengangguk seraya tersenyum tipis. "Duluan, ya."

Seperginya Caca, Bina kembali ke kelas. Dilihatnya ada Rachel yang menempati bangku Caca.

Bina tersenyum dan keduanya pun bersama hingga kelas berakhir.

***

"Mana yang pusing?" tanya seseorang dari dalam ruangan yang tak lain adalah ruangan salah satu dosen yang tak tertutup rapat.

"Kepala sama perutku, Bang." Gadis itu tampak menyenderkan kepalanya di bahu sang lelaki.

"Mau ke dokter, hm?" Lelaki tersebut bertanya dengan lembut. Tangan lelaki itu terangkat mengusap peluh di dahi gadis tersebut.

"Adek mau pulang aja. Abang temenin, ya?"

Lelaki tersebut tampak mengangguk sembari mengelus punggung gadis tersebut. Sesekali ia menempelkan bibirnya di pucuk kepala sang gadis. Mengecupnya lembut menberikan kekuatan.

"Ayo, aku bantu."

Keduanya berjalan meninggalkan ruangan tersebut. Sang gadis tampak melingkarkan tangannya di lengan kekar sang lelaki. Tangan kiri lelaki itu pun memeluk pinggang gadis tersebut mesra.

Seorang gadis yang sedari tadi bersembunyi di balik dinding tampak menutup mulutnya dengan mata melotot, terkejut. Ia menatap ke depan dengan pandangan tak terbaca. Kentara sekali jika ia tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya. Dua orang itu perlahan mulai menjauh hingga akhirnya pergi dengan mobil milik sang lelaki.

Gadis tersebut tak lain adalah Rachel. Ia masih tampak terkejut. Gadis polos itu menggeleng perlahan. "Aku nggak lagi halu , kan?"

"Chel? Kamu di mana?"

Bina terkejut melihat Rachel yang malah mojok di dinding. "Kok, di sini?"

"Tadi ... ada orang di ruangan Ustaz."

Bina mengangguk paham. "Ya, udah. Nunggu di sana aja, yuk! Mungkin lagi ada tamu lain," ajaknya sembari menunjuk ke arah kantin.

Rachel mengangguk. Bina berjalan lebih dulu meninggalkan Rachel yang tampak masih shock.

"Diem lagi." Bina berdecak melihat Rachel yang hanya melamun tak meninggalkan tempat itu barang sesenti pun.

"Muka kamu pucat, Chel. Ayo makan."

"Eh, iya ayo."

Jika saja Rachel tidak sedang dalam mode terkejut, sudah pasti ia akan sangat senang mengetahui ada yang peduli padanya selain Rekha. Terlebih orang itu adalah Bina, seseorang yang sangat ia inginkan menjadi temannya.

Namun, sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat untuk terbang. Ada hal lain yang terus mengganjal di otak Rachel. Tentunya, hanya ia sendiri yang tahu.

***

"Lo marah sama gue, Ca?" tebak Bina membuat Caca menoleh ke arahnya.

"Nggak ada yang marah sama kamu, kok." Caca berusaha tersenyum meski Bina sendiri tahu itu adalah senyum yang dipaksakan.

"Tapi dari kemarin lo diemin gue." Bina ingat betul kemarin saat dirinya pulang dengan Zafran, Caca langsung berubah.

Caca tampak menghela napas. "Jangan tanya-tanya lagi, ya. Caca lagi pusing."

Bina terdiam. "Ok, sorry," ucapnya.

"Aku cuma mau ngingetin, jangan terlalu dekat sama Ustaz Zafran. Dia udah punya istri," ucap Caca.

"Huum, gue ngerti, kok." Bina mengangguk. "Tapi, Ca," lanjutnya membuat Caca menoleh ke arahnya dengan raut penasaran, sebelum akhirnya kembali fokus pada minumannya.

"Kalo gue terlanjur suka sama dia gimana?"

Caca tersedak minumannya. Ia menoleh ke arah Bina. Tatapan keduanya bertemu.

"Mending kamu hapus perasaan kamu, Bin. Jangan sampai kamu cinta sama suami orang."

"Nggak bisa, akhir-akhir ini dia sering muncul di otak gue, kadang juga di mimpi, pokoknya setiap gue lagi diem, dia pasti dateng ke pikiran gue. Bahkan gue ngira kalo gue udah cinta sama tuh Ustaz."

Penjelasan Bina membuat Caca bingung. Tak tahu harus merespon apa. Namun, tingkah gadis itu membuat Bina sedikit menaruh rasa curiga.

"Lo kenapa?" tanya Bina karena sedari tadi Caca hanya diam, tak membuka suara atau apa pun. Hanya gerakannya saja yang semakin tidak jelas, tangannya terlihat sedikit ... mengepal, mungkin?

"Aku pergi dulu." Caca pergi begitu saja meninggalkan Bina sendirian di kantin.

"Dia kenapa, ya? Aneh banget akhir-akhir ini." Bina menghela napas, lalu kembali fokus pada makanan di depannya.

"Kira-kira tipe tuh Ustaz muda gimana, ya." Bina bergumam sembari sesekali senyum-senyum sendiri.

Semua orang tahu jika perempuan adalah makhluk paling lemah jika diberi perhatian walau sedikit saja. Hatinya yang terlalu lembut, terkadang salah mengartikan sebuah perhatian.

Sama halnya dengan Bina. Se-garang dan se-urakan apa pun dirinya, ia tetaplah wanita. Mudah kagum, mudah salah tingkah, dan mudah terbawa perasaan. Terlebih Zafran yang akhir-akhir ini memang sengaja memberinya perhatian seolah menujukkan secercah harapan.

Bina sendiri tak menampik satu fakta jika dirinya memang tertarik pada Zafran. Ia suka saat lelaki itu tersenyum, menatapnya lembut, dan suara yang sering memanggil namanya dengan tegas.

"Anjir, gila! Kayaknya gue bisa gila!" Bina mengerang frustrasi memikirkan perasaannya.

Di belakang sana, Rachel dan Rekha menatap Bina dengan pandangan bingung harus berbuat apa. Berbeda dengan seseorang di ujung pintu kantin, ia tampak kesal, matanya menatap tak suka ke arah Bina.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro