21. Perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ustaz manggil saya?" tanya Bina membuat ustaz muda itu menoleh.

"Kamu belum pulang?" tanyanya sembari membalikkan badan.

Bina mengernyit bingung. "Kalau udah pulang, mana mungkin saya masih di sini?"

Zafran terkekeh geli. "Ya, sudah. Ayo pulang."

"Tapi saya masih ada kelas."

"Jangan membohongi saya, Bina."

Skak. Bina tak bisa lagi mengelak. Memang benar, Bina tak ada lagi kelas setelah mata kuliah Zafran. Ah, bisa-bisanya Bina membohongi banyak orang, salah satunya Rachel.

Bina menyengir kuda. "Ya, udah. Saya pulang dulu, Ustaz. Permisi," ucap Bina hendak meninggalkan Zafran sendirian di ruangannya.

"Saya harap kamu tidak terlalu banyak pikiran."

Bina terdiam, langkahnya pun terhenti. "Maksudnya?"

Zafran menggeleng. "Ah, tidak. Sana pulang, atau mau saya antar?"

Bina menggeleng sembari mengibaskan tangannya cepat. "Nggak usah, saya bisa sendiri!"

"Ya, sudah." Zafran mulai membuka pekerjaannya.

"Ustaz," panggil Bina.

Zafran berdeham membalasnya.

"Kenapa Ustaz baik sama saya?" tanya Bina penasaran.

Zafran menoleh sebentar, sebelum akhirnya kembali memfokuskan dirinya pada tumpukan kertas.

"Karena kamu salah satu mahasiswa saya, jelas itu keharusan saya kepada kamu dan seluruh mahasiswa di sini ."

Penjelasan Zafran membuat Bina mengangguk paham. Saat hendak keluar dari ruangan lelaki itu, Zafran mengatakan jika dirinya akan mengantar Bina.

"Saya bisa pulang sendiri, kok. Nggak usah dianter segala." Bina tetap kekeh tak ingin diantar oleh Zafran.

Sama seperti Bina, Zafran pun sama keras kepalanya. "Saya yang mau mengantar kamu, jadi kamu diam dan turuti saja. Toh, ini demi kebaikan kamu."

Bina menghela napas. "Duh, maaf ya. Bukan apa-apa, saya takut istri Bapak salah paham kalau saya terus-terusan diantar sama Bapak!"

Bina berbicara dengan cepat, tanpa sadar panggilannya untuk Zafran pun berubah. Ia terlanjur kesal karena Zafran terus saja memaksanya, padahal lelaki itu sendiri sudah memiliki istri. Bagaimana jika Bina dicap sebagai perebut suami orang?

Ah, satu lagi. Bina khawatir perasaannya tak bisa dikendalikan. Bagaimana ini?

"Istri saya akan paham, Bina. Ayo," ucap Zafran tak mengindahkan ucapan Bina.

"Tapi hati gue nggak!"

Lelaki itu berjalan meninggalkan Bina. "Saya nggak mau."

"Cepat sedikit." Zafran menajamkan pandangannya ke arah Bina.

"Ya, udah."

"Bina!"

Caca memanggilnya. Bina menghela napas lega. Beruntung Caca datang dan membantu Bina agar terlepas dari lelaki aneh berstatus dosennya itu.

"Aku denger, Ustaz mau nganter Bina pulang, ya? Boleh aku ikut nggak? Soalnya aku nggak ada yang jemput." Caca meringis.

Bina kira gadis itu akan menyelamatkannya. Eh, ternyata malah nebeng.

"Boleh, ayo."

Di luar dugaan, Zafran langsung mengiyakan ucapan Caca. Gadis itu langsung tersenyum riang, tangannya segera meraih tangan Bina.

***

"Gue nggak bisa gini terus. Lama-lama deket Zafran bisa bikin jantung gue nggak aman. Gue harus gimana? Masa iya gue naksir laki orang!" Bina terus berperang dengan batinnya.

"Sabrina ...."

Bina menghela napas dengan mata terpejam. Ia tahu siapa pemilik suara itu tanpa perlu berbalik.

"Ya?"

"Kamu baik-baik saja?"

Zafran banyak berubah. Lelaki itu seolah memberikannya perhatian lebih dari seorang dosen kepada mahasiswinya. Bina jadi khawatir sendiri.

Jika boleh jujur, Bina memang sudah baper dengan Zafran sejak keduanya pertama kali bertemu di kantin kampus. Saat itu hari senin, dan Bina celingukan bingung karena semua etalase kosong, tak ada kehidupan di kantin tersebut.

Tiba-tiba Zafran datang dan mengatakan jika setiap senin dan kamis, semua mahasiswa dan dosen berpuasa. Maka dari itu, mengapa hari itu kosong. Saat itu Bina tampak jutek dan meninggalkan Zafran begitu saja. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia terpukau dengan kharisma lelaki tegas itu.

"Bina?" Zafran melambaikan tangannya di depan wajah Bina yang tampak melamun.

Bina mengerjap. "Eh, kenapa?"

Zafran menggelengkan kepala. "Saya sudah pernah bilang, jangan terlalu banyak pikiran. Jaga kesehatan kamu."

Seperti saat ini, entah sudah yang ke berapa kalinya Zafran mengingatkan Bina agar jangan lupa makan, tidur tepat waktu, menjaga kesehatan, dan lain sebagainya.

"Iya."

Bina beranjak meninggalkan Zafran yang masih menatap Bina menjauh.

"Kamu memang suka meninggalkan orang," gumamnya entah ditujukkan untuk siapa.

***

"Hai."

Terhitung tiga hari Caca mendiaminya. Bina terdiam dengan isi kepala campur aduk. Mulai dari Zafran yang terus mendekatinya, juga Caca yang entah mengapa tiba-tiba mendiamkannya dan menjaga jarak dengannya.

"Ca, lo kenapa?"

Ingatkan Bina jika gadis itu bertanya hal yang serupa setiap harinya. Caca semakin kesal. Tidak adakah niat baik Bina mencari tahu mengapa Caca kesal? Bukan malah bertanya setiap hari.

"Ca, gue traktir bakso, deh kalau lo mau ngomong." Caca masih enggan membuka suaranya.

Gadis itu hanya terlihat menghela napas dan memejamkan mata sejenak.

"Lo sakit, Ca?"

Caca menggeleng. "Aku mau ke kamar mandi."

Usai mengatakan kata-kata singkat itu, Caca pergi meninggalkan Bina di kelas. Bina terdiam dengan beribu rasa sesal. Awalnya ia sama sekali tak keberatan saat Caca mendiamkannya, tetapi semakin hari ia semakin kesepian, tak ada lagi yang memarahinya seperti hari-hari sebelumnya.

"Kamu lagi ada masalah sama Caca?"

Rachel tampak mendekat ke meja Bina. Gadis itu mengangguk. "Padahal gue nggak buat salah apa-apa."

"Coba tanya baik-baik, mungkin Caca lagi sensitif."

Bina menoleh, sedikit ambigu dengan perkataan Rachel.

"Maksud aku, mungkin Caca lagi PMS. Tau sendirilah mood cewek kalau lagi PMS."

Benar juga.

"Ok, ntar gue tanyain baik-baik, deh."

Rachel mengangguk seraya tersenyum. "Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi aku, ya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro