24. Cemburu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Flashback on

"Chel, lo harus bantuin gue." Sedari tadi Bina hanya memohon dan terus memohon pada Rachel.

Ingatkan Rachel jika Bina sama sekali anti memohon pada orang lain. Namun, kini? Ah, setidaknya Bina harus menurunkan sedikit egonya demi mendapatkan hati ustaz muda itu.

Rachel berusaha menulikan pendengarannya. Bina menggeram marah dan meraih paksa pulpen yang sedang dipakai oleh Rachel.

"Bin!"

"Lo dengerin gue dulu, dong!" sungut Bina dengan tajam.

Rachel menghela napas. "Apa?" tanyanya dengan malas.

Bina tersenyum manis yang entah mengapa terlihat menyebalkan di mata Rachel. Pasti ada sesuatu di balik senyum itu.

"Lo harus bantu gue berubah."

"Benar, kan?" batin Rachel.

Rachel terdiam, mencerna apa yang baru saja dikatakan gadis itu.

"Coba ulangi," titah Rachel membuat Bina menghela napas, gemas.

"Gue mau berubah! Dan lo!" Bina menunjuk Rachel dengan telunjuknya. "Harus bantu gue biar jadi idamannya Ustaz Zafran."

Rachel terdiam. "Bin, aku saranin ya. Jangan berubah demi cowok."

Bina menggeleng cepat. "Kalau nggak begitu, gue ga bakalan mau berubah. Please, bantuin ya?"

"Kamu yakin mau berubah demi Ustaz Zafran?" tanya Rachel sekali lagi.

Bina menghela napas dan menatap Rachel dengan pandangan meyakinkan. "Beneran, Chel. Gue mau berubah. Biar tuh ustaz jadiin gue istrinya."

Rachel mengusap pelipisnya, pusing dengan jawaban absurd Bina.

"Tapi dia udah ...."

"Punya istri? Ya nggak papa, dong. Satu kan istrinya? Berarti peluang jadi istri keduanya masih ada!"

Lagi-lagi Rachel menghela napas. "Aku khawatir nanti kamu kecewa."

"Itu urusan gue. Yang penting, sekarang lo bantuin gue," tegas Bina.

Rachel terdiam. Melihat itu, Bina menoel-noel lengan gadis itu.

"Bantuin, ya? Please." Matanya mengerjap lucu.

Rachel tak sampai hati untuk menolak. Alhasil ia mengangguk pasrah.

Bina jingkrak-jingkrak kesenangan. "Makasih, Rachel cantik!"

"Pokoknya, ntar gue traktir lo, deh!"

Semua akan Bina lakukan, demi Zafran.

***

Setelah kurang lebih dua jam berada di Mall, akhirnya kedua gadis dengan paras menawan itu selesai dengan belanjaan mereka. Ralat, belanjaan Bina.

Saat di Mall tadi, Rachel dibuat geleng-geleng kepala melihat Bina yang memilah gamis, baju panjang, juga rok dengan random.

Bukan itu saja, nominal harga gamis yang Bina beli membuat dirinya hampir pingsan. Tidak tanggung-tanggung gadis itu menghabiskan puluhan juta hanya untuk pakaian saja.

"Jangan terlalu berlebihan, Bin. Secukupnya aja."

Jika Rachel sudah berkata demikian, maka Bina akan menjawabnya.

"Rachel! Orang mau berubah kok secukupnya aja!"

Benar, sih. Hanya saja Rachel khawatir jika nanti Bina menyesal karena niat awal gadis itu pun hanya untuk menarik perhatian Zafran agar lelaki itu meliriknya.

Bukan sepenuhnya karena diri ia sendiri ingin berubah. Bagaimana jika nanti Zafran mengecewakannya dan Bina frustrasi? Jangan sampai!

"Ck, elah! Ngelamun mulu lo, Chel!" Bina berdecak sebal.

Rachel masih terdiam, tak mendengar teguran Bina untuknya.

"Rachel! Bantuin gue make pentul ini, kek!"

Mendengar teriakan Bina, Rachel langsung terlonjak kaget. Ia menatap Bina yang juga menatapnya dari pantulan kaca. Gadis itu tampak menatapnya tajam sebelum kembali meminta tolong memasangkan pentul di hijabnya.

"Wah, kamu cantik banget!" ujar Rachel saat selesai memasangkan pentul di hijab berwarna cokelat susu yang dipakai oleh Bina.

Bina tersenyum miring. "Gue kan emang cakep," ucapnya dengan sombong.

"Gue yakin, Zafran pasti suka sama gue," batin Bina sembari tersenyum menatap pantulan dirinya sendiri.

Tangannya menyusuri hijab yang dirasanya belum rapi. Ia tersenyum lagi, tak menyangka dirinya akan cocok dengan hijab.

"Tapi ...."

Bina melirik Rachel dari pantulan kaca. "Apa?"

"Tapi akan lebih baik kalau cara bicara kamu juga diperbaiki."

Alisnya terangkat satu. "Maksud lo? Gue harus pake aku kamu juga?"

Bina tertawa. "Ogah, ah! Kek anak SD!"

Rachel menggaruk tengkuknya. "Tapi ya biar lebih pas aja gitu. Jadi nggak nanggung."

Bina mengangguk mengiyakan. Setelah belajar memakai gamis, ia pun belajar menggunakan aku kamu juga bahasa yang sopan. Tentu semua itu, Rachel yang mengajarinya.

Flashback off

***

Sejak perubahan Bina yang sangat drastis itu membuat banyak orang bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat gadis itu berubah hanya dalam satu hari saja.

Terlebih Zafran. Lelaki itu merasa jika Bina sangat gencar mendekatinya. Bahkan gadis itu sudah tak segan-segan menunjukkannya di depan umum.

Seperti saat ini, Bina terus saja memaksa agar Zafran mau menerima makanan yang diberikan oleh Bina. Ia tidak tahu mengapa gadis itu selalu memberinya makanan.

Entah itu sarapan, makan siang, atau pun cemilan. Namun, yang pasti Bina pasti tak akan pernah absen memberikan makanan kepada Bina.

"Ustaz terima ini, dong." Bina menyodorkan sebuah cokelat kepada Zafran.

"Buat siapa?" tanyanya bingung.

"Ya buat Ustaz lah," tutur Bina membuat Zafran mengangguk dan mengambil cokelat tersebut.

"Terima kasih."

Bina mengangguk senang sebagai jawaban. Setidaknya lelaki itu menerima cokelat itu, entah dimakan atau pun tidak, ia cukup senang karenanya.

Di sisi lain, seorang gadis memperhatikan kegiatan kedua orang itu dengan raut tak biasa. Ia mengepalkan tangannya.

***
"Assalamualaikum," ucap Zafran memasuki rumahnya.

Lelaki itu mengerutkan keningnya mengetahui keadaan rumahnya yang tak biasa. Sepi, seperti tak berpenghuni.

"Ke mana dia?" batin Zafran bertanya-tanya.

Akhirnya, Zafran menuju ke kamar untuk mengecek keadaan sang istri. Dilihatnya seorang perempuan tengah meringkuk di ranjang. Punggungnya yang mungil membuat Zafran yakin jika itu adalah wanita yang dicintainya.

"Sayang?" tanyanya dengan lembut.

"Kenapa pulang!"

Sang wanita terduduk dengan pipi basah karena air mata. Melihat itu, Zafran terkejut.

"Kamu kenapa?" Zafran mengusap pipi sang istri.

Wanita itu tampak menampis pelan tangan Zafran. "Abang seneng abis dideketin Bina?"

Mendengar itu, Zafran mengerti alasan mengapa istrinya bersikap demikian. Wanita yang biasanya sabar, kini terlihat sangat marah dengan mata dan hidung memerah karena menangis.

"Adek ngomong apa, sih?" Zafran mengusap kepala istrinya.

"Kenapa, sih. Abang susah ya jauhin Bina? Abang suka sama dia?"

"Ssttt, nggak boleh suudzon." Zafran menarik sang istri ke dalam pelukannya.

Untuk sekarang, menenangkan wanita itu lebih baik daripada harus menjawab semua tuduhan itu. Bisa-bisa tidak akan selesai walau diladeni sampai besok.

"Jangan deketin dia lagi, Bang."

Zafran mengangguk. Tanpa sadar, tasnya terjatuh dan sebuah cokelat pun ikut keluar beserta isinya yang lain. Mata Zafran terdiam menatap cokelat itu.

"Abang, itu cokelat dari dia, kan?"

"Iya."

Prinsip Zafran, tetaplah jujur walaupun nantinya akan diceramahi.

"Buang!" titahnya dengan tegas sembari menjauhkan tubuhnya dari Zafran. Lantas kembari meringkuk dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Adek, tapi mubadzir," ucap Zafran membuat sang istri geram.

"Ya, udah. Sana makan, tapi tidur di luar!" tegasnya tak menerima bantahan apa-apa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro