25. Curiga?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terhitung sudah satu bulan lebih Bina merubah penampilan dan membuang semua hal buruk yang melekat dalam dirinya. Selama satu bulan itu pula, ia terus gencar mengejar cinta Zafran, sang ustaz muda incaran para mahasiswi.

Bina menjadi salah satu penggemar berat lelaki itu, bukan ... lebih tepatnya fans fanatik lelaki itu.

Seperti hari-hari kemarin, kini Bina juga berniat memberikan sebuah bekal untuk Zafran. Seusai kelas, Bina langsung menemui Zafran di ruangannya.

Namun, belum sempat membuka pintu ruangan itu, seseorang lebih dulu mengintrupsinya.

"Ustaz Zafran nggak masuk, dia lagi izin."

"Seriusan?" tanya Bina sedikit tak percaya karena gadis itu adalah rivalnya mendekati Zafran.

Gadis itu mengedikkan bahu. "Nggak percaya, ya udah," ketusnya, lalu pergi begitu saja.

Bina mengerutkan kening, dan membuka knop pintu, tetapi terkunci. Apa benar Zafran tidak mengajar hari ini? Ke mana lelaki itu pergi?

Bina menghela napas, semangatnya sudah hilang. Ia menatap kotak makan itu dengan pandangan sedih.

"Nih, buat lo aja. Nanti kotak makannya taruh di meja gue." Bina menyodorkan makanan itu pada gerombolan lelaki yang kebetulan sedang diskusi di luar kelas.

Lelaki berjambul itu tersenyum dan berterima kasih. Teman-temannya mulai bersiul menggoda lelaki itu. Bina hanya mengangguk mengiyakan dengan langkah yang terus membawanya menuju kelas.

"Lho, Bina? Bukannya ke ruangan Ustaz Zafran?" tanya Rachel yang kebingungan melihat Bina yang tiba-tiba sudah duduk di bangkunya.

"Dia izin, jadi nggak ada di kampus. Gue jadi lemes."

Jika mengira Bina benar-benar merubah gaya bicaranya, itu memang benar. Namun, itu semua hanya pada Zafran. Ah, entahlah. Mungkin karena saat ini efek ia tengah galau.

Rachel dan Rekha saling bertukar pandang. "Semangat, dong. Kan masih ada aku, gimana kalau nanti kamu ikut kita ke Mall?" ajak Rachel dengan semangat.

Bina melirik Rachel sekilas. "Terus kalian pacaran, dan gue jadi nyamuk. Gitu!"

Rachel merasa salah dalam ucapannya. Ia menggaruk tengkuknya berusaha mencari alasan yang tepat. "Bukan gitu, Bina. Tapi ...."

"Udahlah, gue mau cabut aja. Males juga nggak ada tuh ustaz," keluh Bina sembari bangkit dan meraih tasnya.

"Lho? Bin!" Rachel mengejar Bina.

Bina menghentikkan langkahnya saat sudah berada di ambang pintu. "Bentar lagi Bu Susi masuk," ucap Rachel.

"Maka dari itu, sebelum dia masuk, gue harus udah cabut. Bye!"

Sekilas Bina melambaikan tangan ke arah Rachel. Gadis itu menghela napas melihat Bina yang pergi meninggalkan kelas.

"Hati-hati, Bin," gumam Rachel yang sudah pasti tidak akan bisa didengar oleh Bina.

***

Saat di perjalanan pulang, Bina menikmati suasana angkot yang cukup lenggang siang ini. Mungkin karena para pegawai pabrik belum pulang, tidak seperti hari-hari kemarin saat dirinya pulang sore, terkadang harus berdesak-desakan, tak jarang juga harus rela berjalan kaki belasan meter demi mendapat angkot dengan jurusan berbeda yang kebetulan melewati tempat kost-nya.

Saat asyik menikmati suasana Bandung siang itu, tatapan Bina terkunci oleh seseorang yang berdiri di toko bunga.

"Pak, kiri, Pak! Berhenti di sini!" ujar Bina cepat.

"Lho? Kost-annya juga masih jauh, Neng," ucap supir angkot yang kebetulan langganan Bina, jadi mungkin supir tersebut sudah hapal.

"Mau ketemu temen dulu, Pak. Tungguin ya sebentar." Supir itu pun mengangguk mengiyakan ucapan.

"Tidak apa-apalah, hitung-hitung nunggu penumpang lain," batin supir tersebut.

Ia berjalan cepat menuju toko bunga yang sedikit terlewat. Saat matanya menangkap sosok itu, ia tersenyum dan membenarkan pakaiannya terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan mendekat.

"Ustaz Zafran?"

"Aku udah, nih!" Bersamaan dengan itu, seorang wanita keluar dari toko bunga dengan setangkai mawar di genggamannya.

Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan tangan gadis itu yang melingkar di lengan Zafran.

"Ca? Ngapain lo di sini?"

Mendengar suara itu, Caca sontak mendongak dan matanya membulat melihat Bina yang berdiri di hadapannya. Caca tampak terkejut, terbukti dari tangannya yang langsung dilepas dari lengan Zafran.

"Aku ... lagi beli bunga," ucap Caca sedikit tergagap.

Mata Bina memicing curiga. "Terus tadi ngapain kamu gelayutan di tangan Ustaz?" tanya Bina lagi seolah tak puas dengan jawaban Caca.

"Salah orang, aku kira adik aku."

Meski terlihat sedikit mencurigakan, tetapi Bina tetap mengangguk.

"Kamu nggak suka sama Ustaz Zafran, kan?" tanya Bina, lagi.

"Eh?" Caca terkejut. "Nggak, kok," lanjutnya sembari menggigit bibir bawahnya.

Senyum Bina mengembang. Ia mendekati Zafran yang sedari tadi diam memperhatikan kedua perempuan di hadapannya.

"Ustaz kenapa nggak masuk ngajar?" tanya Bina sembari menatap Zafran dengan pandangan memuja. Jangan lupakan suara lembut yang sangat berbeda dengan saat dirinya berbicara dengan Caca tadi.

"Saya nganter Mama," ucap Zafran membuat Bina mengangguk.

"Ustaz beneran nggak ada hubungan apa-apa sama Caca?" Entah mengapa Bina melihat perubahan raut wajah Zafran saat Caca masih berada di sana, juga saat gadis itu berkata akan pulang duluan.

Seharusnya, tidak perlu seperti itu, kan? Sebenarnya ada apa?

Zafran menggeleng. "Kamu kok sudah pulang?" tanya Zafran mengalihkan pembicaraan.

"Bolos."

Zafran menaikkan alisnya, bingung.

"Soalnya nggak ada Ustaz. Saya jadi kurang semangat," ucapnya jujur.

Zafran menggelengkan kepala. "Lain kali jangan begitu lagi, Bina. Kamu harus mulai fokus, biar nanti bisa jadi lulusan terbaik."

Mendengar itu, Bina mengangguk semangat. "Iya, Ustaz."

"Neng, ini saya harus nunggu sampai kapan?"

Mang angkot mengintruksi. Bina tersadar, ia pun berpamitan pada Zafran. "Jangan lupa makan ya, Ustaz. Saya duluan."

Bina memasuki angkot dan melambaikan tangan ke arah Zafran. Lelaki itu hanya membalasnya dengan senyuman tipis.

Bina tersenyum. Setidaknya perasaannya lebih membaik setelah melihat wajah teduh itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro