26. Terungkap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan harinya, Bina mendengar kabar jika Zafran masuk. Mendengar itu, tentu saja ia sangat senang. Berbekal semangat empat lima, gadis itu langsung membereskan bukunya hendak menemui Zafran.

"Buru-buru amat, Bin," tegur Rachel.

Bina menyengir kuda. "Mau nyamperin ayang."

Rachel terkekeh, lalu menggeleng pelan. "Tumben nggak bawa bekel buat ayang?"

Mendengar itu, bahu Bina merosot. "Baru tau kalau ayang mau masuk, soalnya takut nggak masuk lagi, jadinya gue nggak siapin apa-apa, deh," jelas Bina.

Rachel mengangguk mengerti.

"Tapi nggak papa, gue bawain nasi sama air aja di kantin, dia bakalan suka kali ya," ucap Bina yang mendapat persetujuan dari Rachel.

"Ya, udah. Gue nemuin ayang dulu, ya!"

"Sesuka itu dia sama tuh ustaz," ucap Rekha membuat Rachel menoleh.

"Aku khawatir, deh."

Rekha mengusap kepala Rachel. "Jangan terlalu dipikirin."

Hubungan keduanya semakin membaik setelah mengetahui jika Rachel bukanlah anak kandung dari mamanya. Orang tua Rachel dan Rekha pun memutuskan untuk berpisah, setelah mama dari Rachel ketahuan sedang berselingkuh.

Bagi Rachel dan Rekha, mungkin memang sudah jalannya seperti itu. Entahlah mereka harus senang atau sedih karena kejadian tersebut.

***

"Bu, nasinya dibungkus satu!" Bina berteriak membuat ibu-ibu kantin penjual nasi kuning itu mengiyakan pesanan Bina.

"Pakai sambal, Neng?"

Bina mengangguk. "Pake!"

Tak sampai lima menit, pesanannya selesai. Ia membayar dan berjalan riang menuju ruangan Zafran yang terletak di lantai dua.

Sesampainya di sana, samar-samar ia mendengar suara di dalam ruangan lelaki itu. Belum sempat membuka pintu, sebuah ungkapan mampu membuat jantung Bina seolah berhenti berdetak.

"Aku punya berita. Tapi janji jangan kaget, ya."

"Iya." Sang lelaki menjawab.

"Aku hamil!" seru wanita itu sembari menujukkan dua buah alat tes kehamilan dengan hasil positif.

"Alhamdulillah, Sayang," seru si lelaki sembari sujud syukur. Wanita itu terharu melihat respon lelaki itu yang sangat membuatnya bahagia. Keduanya berpelukan mesra.

Bina tersayat. Benarkah apa yang dilihatnya ini?

Dadanya bergemuruh, napasnya terasa berat, kerongkongannya pun seolah kering. Entah apa yang harus ia lakukan. Perasaan baru kemarin ia mengenal Zafran, baru kemarin lelaki itu menunjukkan perhatian itu padanya, tetapi kini ia harus dijatuhkan oleh kenyataan yang begitu mengejutkan.

Tak tahan dengan drama yang dilihatnya, Bina mendorong pintu dengan tangan yang gemetar. Dua orang yang tengah berpelukan itu tampak sangat terkejut dengan kedatangan Bina.

"Bina? Kok ... ka-kamu di sini?" Caca tampak melepas paksa pelukannya dengan Zafran.

Benar, orang itu adalah Caca. Mengejutkan, bukan?

"Kenapa?"

Niatnya ia ingin memaki kedua orang itu, tetapi nyatanya yang keluar hanyalah lirihan pilu yang membuat Caca kelimpungan harus menjawab apa.

"Kenapa harus gini, Ca?"

Caca menatap Bina dengan mata berkaca. Bina sendiri menatap Caca dengan tajam. Tatapannya beralih pada Zafran.

Tiba-tiba Bina tertawa. Caca mengernyit bingung, kenapa lagi?

"Jadi kalian gini? Gue kira kalian orang baik-baik. Ternyata lo hamil, Ca? Sama dia?" Bina menunjuk Zafran dengan dagunya.

Lalu, ia kembali terkekeh. "Ternyata lo lebih murah daripada gue. Lo mau-maunya dihamilin cowok yang udah punya istri. Rasanya gue pengen nampar lo, deh, Ca. Padahal lo yang nyuruh gue biar nggak deket-deket dia, tapi sekarang lo?"

Hati Caca rasanya tertusuk. Mengapa Bina bisa berpikiran begitu padanya?

"Bina, dengarkan dulu. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap Zafran sembari menutup pintu.

Bina menahannya dan malah membuka pintu itu lebih lebar. Hal itu tentu saja membuat perhatian mahasiswa lain tertuju pada ruangan Zafran.

"Lo semua harus liat ini! Orang yang kalian anggap baik, ternyata nggak sebaik itu!" Bina berteriak membuat orang-orang semakin ramai mencari tahu apa yang sedang terjadi hingga si gadis urakan itu berteriak.

"Bang, gimana ini?" Caca gemetar.

Zafran menyembunyikan Caca di balik tubuhnya. Ia menatap tajam ke arah orang-orang yang mulai berdatangan ke ruangannya.

"Pergi!" Zafran membentak orang-orang itu, Bina tertawa.

"Takut?" tanyanya dengan nada sinis.

Caca tak berani menatap mata Bina. Ia tak suka melihat kebencian itu. Bina sendiri geram karena Caca hanya diam di belakang tubuh Zafran. Ia kecewa.

"Beginikah sakitnya dikhianati seorang sahabat?" batin Bina terkekeh miris.

***

"Rachel! Temen lo!"

Teriakan itu membuat Rachel dan Rekha menoleh ke arah pintu. Dahi gadis itu mengerut, bingung.

Temannya? Bina? Tentu saja iya, jika bukan Bina, siapa lagi yang mau menjadi temannya?

"Kenapa Bina?"

"Dia marah-marah di ruangan Ustaz Zafran!"

Mendengar itu, matanya membola. Tak perlu alasan mengapa dan bagaimana, Rachel sudah tahu apa penyebab itu semua.

Ia langsung berlari menuju lantai dua. Jantungnya sudah berpacu lebih cepat, entah karena berlari atau karena khawatir terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.

"Rachel, hati-hati!" Rekha turut mengejar Rachel yang berlari sangat cepat.

"Ini yang aku takutin, Bin," batin Rachel khawatir.

"Asal lo semua tau, ya! Cewek itu hamil sama dia! Lo semua ketipu sama penampilannya doang yang kayak ustadzah!"

Samar-samar Caca mendengar teriakan Bina. Ia langsung menerobos kerumunan dan masuk ke ruangan Zafran. Ia tertegun melihat Zafran dan Caca. Gadis itu tampak bersembunyi di balik tubuh Zafran.

Apakah Bina sudah tahu semuanya? Jika benar, maka ke-khawatirannya selama ini terjadi.

"Bin, jangan kayak gini. Kamu harus tenang dulu, dengerin penjelasan Caca."

Bina menoleh pada Rachel yang menatapnya khawatir. "Lo nggak usah sok baik sama gue. Nanti lo khianatin gue juga."

Sindiran pedas yang Bina ucapkan langsung mengenai hati Caca.

"Bina, kamu salah paham."

Terdengar lirihan kecil Caca. Bina menoleh dengan mata tajamnya.

"Salah paham lo bilang? Coba bilang di mana yang salahnya? Jelas-jelas gue denger lo hamil! Dasar murahan!"

"Sudah cukup!"

Bina tersentak saat Zafran membentaknya. Bahkan Rachel dan para mahasiswa lain pun merasakan hal yang sama.

"Jangan berkata seperti itu pada Caca," desis Zafran dengan mata nyalang yang menatap Bina dengan tajam.

"Dia emang murah! Mau-maunya dia hamil padahal lo udah punya istri!" Bina sama sekali tak gentar.

Zafran menaikkan tangannya hendak menampar Bina. Namun, Caca menghentikannya.

"Jangan tampar Bina, Bang! Dia sahabatku."

Bina tertawa miris. "Gue ngasihanin lo, ya?"

"Sayangnya gue sama sekali nggak butuh buat lo kasihanin," desis Bina tajam.

"Jaga ucapan kamu pada istri saya jika kamu tidak ingin tangan saya mendarat di pipi kamu!"

Semua orang terkejut. Bina mendongak dan menatap ke arah lain. Hatinya berdenyut nyeri.

"Istri? Jadi kecurigaan gue kemarin itu bener?"

Caca menangis, ia takut Bina akan membencinya setelah ini.

"Bina ...."

"Gue nggak nyangka. Lo jahat sama gue."

Entah pada siapa kalimat itu ia tujukkan, tetapi yang pasti ada satu orang yang langsung terdiam mendengarnya.

Caca, dialah orangnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro