27. Pelarian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bina memilih pergi dengan keadaan yang kacau. Air mata membasahi pipi. Kepalanya sudah sakit karena terlalu lama menangis. Bina langsung pergi ke kelas untuk mengambil tas dan langsung pulang begitu saja.

"Gue benci, gue benci. Sial*n sakit banget, akh!" Bina memukul dadanya yang terasa begitu sakit.

Tubuhnya meluruh di balik pintu, ia menekuk lututnya, tangannya ia lipatkan. Bina menenggelamkan wajah di lipatan tangan. Bahu itu bergetar, Bina menangis.

"Kenapa harus sesakit ini, Tuhan!" Bina memukul lantai.

Pandangannya mendongak menatap langit-langit kamar. Ia memejamkan mata sesaat berharap rasa sakit itu bisa hilang dalam kejapan mata.

Lain halnya dengan Bina yang meratapi rasa sakitnya, di luar sana Rachel tampak mencoba masuk ke kost-an Bina. Namun, sayang Bina lebih dulu menyuruh satpam agar tidak memberikan izin pada orang yang ingin menemuinya.

Rachel bingung harus bagaimana lagi, ia sudah mencoba menelpon gadis itu, tetapi nomornya tidak aktif. Ia khawatir, Bina itu orangnya nekad, ia takut terjadi sesuatu saat ia sendirian dalam keadaan dikuasai emosi seperti saat ini.

"Aku harus gimana, Kha. Aku khawatir," lirih Rachel yang kini sudah berkaca-kaca.

Rekha memeluk Rachel. "Dia nggak bakal senekad yang kamu pikirin, percaya sama aku."

Air matanya tumpah begitu saja saat berada di pelukan Rekha. Ia menyesal karena tak memberitahu Bina pada saat itu. Namun, ia juga tak siap melihat Bina yang seperti sekarang. Jika hari itu ia memberitahu Bina, sudah pasti Bina akan mengelak dan tak percaya, keadaannya memang serba salah.

***

Bina bangkit dari duduknya, ia melempar tasnya ke atas ranjang. Tatapannya tertuju pada pantulan dirinya di cermin. Ia membuka hijab itu dengan kasar. Hijab yang dibelikan oleh Zafran itu ia gunting hingga tak berbentuk hijab.

Setelah itu, ia melemparkannya ke sembarang arah. "Gue nyesel berubah karena lo!"

Bina menatap cermin dengan tatapan tajam, seolah cermin itu adalah seseorang yang saat ini ia benci. Bina menangis, meraung, sakit di dadanya tak bisa hilang.

Ia patah hati, cintanya bertepuk sebelah tangan. Ia merasa bodoh karena semua orang seolah mempermainkan hatinya, takdir seperti mengutuknya, apakah ini adil untuknya? Tidak! Sama sekali tidak! Apa salahnya hingga harus mengalami hal seperti ini?

Bina memukul kasur, menendang lemari, juga menjatuhkan semua barang yang ada di atas meja riasnya. Ia pun menonjok kaca melampiaskan rasa sakitnya.

Kaca itu retak saking kuatnya tonjokan yang diciptakan Bina. Cairan kental berwarna merah langsung merembes dari buku jari Bina.

Ia tak acuh dan menidurkan kepalanya di ranjang. Keadaan kamar yang biasanya rapi, kini sangat berantakan, seperti hati pemiliknya.

***

Caca dan Zafran hanya diam di dalam mobil. Wanita hamil itu menunduk dengan air mata yang tidak bisa berhenti. Zafran yang melihatnya tak tega. Ia pun menepikan mobilnya sebentar.

"Jangan nangis terus, Sayang." Zafran mengelus kepala Caca dengan lembut.

Caca menoleh. Ia melepas sealbelt dan berhambur ke pelukan Zafran. "Aku khawatir sama Bina."

"Abang ngerti, tapi jangan sampai kamu nangis terus. Abanv nggak suka."

"Ini semua salah aku. Andai aku nggak ceroboh kayak tadi, pasti semua baik-baik aja."

Benar, Caca terlalu ceroboh. Kemarin malam ia sempat menggunakan testpack karena sudah telat dua minggu dari jadwal datang bulanannya, tetapi karena hasilnya tak kunjung keluar.

Akhirnya ia pun meninggalkannya sebentar dan ke kamar, hingga tadi pagi sang asisten rumah tangga sedang membersihkan kamar mandi di kamarnya, ia melihat satu buah testpack di dekat wastafel.

Segera asisten rumah tangga itu mengabari Caca, mendengar hal itu ia lantas pulang dan melihat kebenarannya sendiri. Kurang yakin, ia pun mengeceknya sekali lagi.

Ternyata benar, hasilnya positif. Dengan rasa senang tak terkira, dirinya membawa dua buah testpack itu ke kampus dan langsung menuju ke ruangan suaminya.

Sayangnya kabar bahagia itu justru menjadi malapetaka. Mungkin kini Bina membencinya.

"Semua bukan salah kamu. Semua ini memang sudah harus terungkap."

"Abang mau apa?" tanya Caca melihat suaminya menempelkan ponselnya di telinga.

"Halo, dia sudah tahu semuanya."

***

Bina menatap dirinya yang kini sudah kembali ke dirinya yang dulu. Dirinya saat berada di Jakarta. Dirinya saat jauh belum mengenal Zafran. Jati dirinya yang dulu kini kembali lagi.

Gadis dengan dress satu jengkal di atas lutut berwarna merah menyala itu baru saja selesai mandi. Ia duduk di kursi rias, dan memakai lipstik sebagai polesan terakhir di wajahnya.

Bibirnya yang seksi tampak menggoda iman para lelaki di luar sana. Lihatlah kini, Bina yang beberapa jam yang lalu masih memakai hijab dan pakaian tertutup, kini sudah berubah menjadi sosok Bina yang dulu saat dirinya belum mengenal apa itu arti cinta yang tulus.

Memang, sebesar itu pengaruh cinta bagi beberapa orang. Salah satunya Bina.

"Gue suka gue yang nakal," gumamnya sembari memainkan rambutnya yang terurai indah sepunggung.

Wajah bersinar dengan make up natural tampak sangat cocok dengan lekuk tubuh bak biola itu, ia tersenyum miring melihat dirinya sendiri dari cermin.

"Jangan lemah, Bina."

***

Dentuman musik yang menggema, juga bau minuman keras menjadi bukti jelas dunia itu tak selamanya diisi oleh orang-orang baik dengan pakaian gamis dan koko saja.

Jika ada yang mengatakan, salat adalah tempat terbaik saat diri merasa sedang jauh dengan sang pencipta, maka itu adalah benar, sangat benar.

Namun, jangan juga mencela orang-orang yang lebih memilih club menjadi pelarian mereka dalam menghadapi masalah yang menimpa. Belum tentu apa yang dihadapinya, bisa kita hadapi juga.

Sama halnya dengan Bina yang kini menyadari jika inilah dunianya. Kemarin adalah mimpi sesaat, dan kini saatnya untuk kembali ke dunianya.

Terduduk di sofa dengan botol minuman keras yang entah darimana dirinya dapatkan, Bina mengetukkan kakinya mengikuti irama musik yang menggema.

Ia duduk dengan menyilangkan kaki, hal itu membuat banyak para lelaki menatap lapar ke arah paha mulus itu. Meski samar, tetapi tak ada yang menolak pesona Sabrina Ghassani.

Tangannya mengangkat minuman itu hingga sampai di bibir, tegukan pertama membuat rasa panas dan membakar mengenai kerongkongannya yang sedari siang tadi kering. Bina menikmatinya, sudah lama sekali ia tak menikmati minuman haram itu.

"Ayo buat gue mabuk, sampe gue lupa sama kenyataan ini!" Bina meracau tak jelas membuat beberapa pria mulai berani mendekatinya.

"Sial, gue patah hati?" Dirinya tertawa mengingat wajah Zafran yang beberapa hari lalu masih tersenyum padanya, menyapanya, juga mengingatkan agar ia mengikuti kajian fiqih.

"Sekalinya cinta, harus sesakit ini. Takdir egois banget, nggak biarin gue jatuh cinta. Gue jadi makin muak, apa gue mati aja?"

Untuk saat ini, biarkan Bina menikmati rasa sakit itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro