8. Future

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agam menatap tajam lelaki di depannya itu. Lelaki yang sepertinya seusia dengan Salma dan Bina. Ada yang ingat pengendara motor yang hendak menyerempet Bina? Ia, benar. Dirinya lah yang kini berhadapan dengan Agam.

Sang pengendara motor tampak menunduk, entah menyesali sikap egoisnya atau takut karena ternyata seseorang yang hampir ia tabrak adalah orang penting bagi Agam. Berbeda dengan Agam yang sedari tadi memerhatikan lelaki di depannya. Rambut berjambul berwarna kecokelatan, wajah tegas, baju serba hitam bak badboy tokoh fiksi serta celana jeans yang juga berwarna hitam dengan beberapa robekan di lututnya.

"Kamu tahu saya siapa?" tanya Agam sembari menatapnya tajam.

Lelaki itu tampak membalas tatapan Agam. Ia mengangguk. "Om-om pedofil yang naksir cewek SMA."

Agam menaikkan alisnya. Apa katanya? Pedofil? Cewek SMA? Dasar tidak tahu sopan santun! Kata orang, jangan menilai sesuatu dari luarnya saja, tetapi ketahui juga pribadi dalamnya. Namun, ternyata tak semua yang ber-cover kurang baik, benar-benar baik secara pribadi.

"Saya peringatkan kamu, ya. Jaga sikap dan sopan santun kamu," tegas Agam.

"Hidup-hidup saya, masalah apa buat Anda?"

Agam mengernyitkan dahi, bingung dengan ucapan lelaki di depannya. "Masih beruntung masih saya gertak."

"Kevin!" Agam memanggil sekretarisnya yang saat itu tengah duduk di mejanya.

"Siap, Bos?"

"Bawa dia!" titah Agam.

"Baik."

"Beri sedikit pelajaran," ucapnya membuat sang lelaki menegang.

Jangan bermain-main dengan Arkatama Agam Sangkara. Dia adalah pria berdarah dingin yang bisa berlaku kejam apabila seseorang berani mengusik miliknya.

***

"Bina, kamu nggak lupakan hari ini tanggal berapa?" tanya Dessy membuat Bina menghentikan kunyahannya.

Baik Bumi maupun Ariel sama-sama menoleh ke arah Bina yang tengah terdiam. "Inget kok, Ma."

Penerimaan mahasiswa baru di Universitas Hijrah telah dibuka. Mahasiswa dengan jalur beasiswa wajib datang sesuai waktu yang telah ditentukan oleh kampus tersebut. Beberapa orang di antaranya adalah, Sabrina Ghassani.

Bina harus datang ke kampus paling lambat tanggal dua puluh enam januari. Kurang lebih dua minggu lagi, dan Bina masih bingung akan nasibnya. Itu berarti dalam waktu kurang dari dua minggu, ia harus sudah menentukan pilihan akan dibawa ke mana nasibnya.

"Kalau kamu nggak lanjut, itu hak kamu. Papa sama Mama nggak akan maksa kamu untuk kuliah lagi." Ariel membuka suara.

Bina menghela napas. "Terus Bina kerja, gitu?"

"Di perusahaan Papa ada lowongan, kok kalau kamu mau," ucap Ariel.

Bina menggeleng. "Bina emang cape kuliah, apalagi setelah denger kabar gagal ke LA. Semangatnya udah nggak full lagi. Tapi juga belum siap kerja, apalagi di perusahaan Papa. Apa kata musuh Bina nanti kalau aku ini cuma bisa bergantung ke kekayaan keluarga?" Bina menjelaskan panjang lebar. Sebenarnya malas juga mengikuti omongan orang yang tak akan pernah ada habisnya. Namun, apa jadinya jika memiliki banyak musuh seperti Bina ini? Ya, mau tak mau pasti akan berusaha lebih baik dari yang lain.

"Ya, udah. Sekarang gimana kamu aja, deh." Ariel menghela napas.

Bina terkekeh dan meminum air jeruknya. "Udah, ah. Bina ke kampus aja dulu. Urusan itu nanti lagi, bye!" seru Bina sembari melenggang keluar rumah.

***

"Eh, lo liat Salma nggak?" tanya Bina pada beberapa orang yang melewat di depannya. Saat ini, Bina tengah berdiri di koridor depan kelas sembari bersandar ke dinding.

"Nggak, Kak. Maaf duluan, ya." Mahasiswi dengan rambut sepunggung itu tampak gugup saat Bina bertanya padanya. Memang Bina se-menyeramkan itu apa?

Bina mendengkus. Ia membuka ponselnya dan menghubungi Catra karena pada saat itu nomor Salma tidak aktif. Sembari menunggu Catra mengangkat teleponnya, Bina tak hentinya bergumam sendirian sembari marah-marah tak jelas. Hal itu membuat beberapa orang menatapnya aneh, juga ada yang takut.

"Halo?"

Tunggu, itu kan suara Salma.

"Lo di mana, anjir!" Bina tak bisa untuk tak mengumpat. Langsung saja Bina memaki, toh Bina tak akan salah dengar. Suara barusan kan benar suara Salma.

"Eh, Catra! Ini nomor siapa?" Terdengar suara Salma yang bisik-bisik pada Catra. Namun, sialnya Bina mendengar itu semua.

"Woy! Lo berdua ke mana! Bolos nggak bilang-bilang! Gue sendirian di kampus!" bentak Bina sembari mulai menuruni tangga kampus.

"Eh, Bin. Ini bener-benar ngedadak. Gue sama Catra lagi di ...."

"Di mana cepet! Gue ke tempat lo sekarang juga!" seru Bina dengan cepat memotong ucapan Salma.

"Eh, jangan! Gue di Semarang. Di rumah kakeknya Catra."

Bina membeo. "Lagi ngapain lo di sana!"

"Burung kakeknya Catra mati, jadi ya gitu."

Lagi, Bina membeo. Setidak-pentingkah itu? Alasan macam apa itu, Tuhan? Bina tak habis pikir dengan kebiasaan aneh keluarga Catra. Pantas saja orangnya aneh, ternyata tuntutan keluarganya pun tak masuk di nalar.

"Serah lo! Gue mau bolos aja!" Bina mematikan telponnya dan memasukkan ponselnya ke saku kemeja yang ia kenakan.

"Kamu mau ke mana, Bina?"

Suara itu. Sial! Bina tak bisa bolos kalau sudah seperti ini. Ah, sudahlah. Biar sekalian juga kan kesalnya? Salma dan Catra yang absen dan tak memberitahunya, keluarganya yang selalu bertanya bagaimana Bina ke depannya, apakah akan lanjut kuliah atau bekerja. Ah, lelah. Bina lelah memikirkan ini semua.

***
Diketik dengan : 806 kata (hanya isi).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro