10. Pinky Promise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis sehangat sinar mentari

Peralatan bersih yang baru saja dikeringkan berjajar rapi di rak piring sederhana sudut dapur. Juna meneliti sekali lagi hasil karyanya sambil mengelap tangannya yang basah. Bibir lebarnya tersenyum puas.

"Gue nggak percaya lo bisa nyuci piring," decap Kaka kagum, sekaligus takjub.

"Nggak cuma cuci piring, gue juga bisa cuci baju, setrika, sampai masak," Juna membusungkan dada. "Semua orang juga pasti bisa kalau kepaksa. Emang lo nggak pernah disuruh nyokap bantu beresin urusan rumah tangga?"

"Yah ... rumah gue mah biasa aja, nggak ada pembantu kayak lo. Rumah juga sepetak, nyokap gue ngatasin semuanya," ujar kawan sekampus, juga pemain bas andalan band yang digawangi Juna beserta empat rekan sebayanya.

Sambil menemani Juna membersihkan sekitar tempat cuci piring, Kaka mengumpulkan kulit mangga yang tadi dinikmatinya untuk dibuang ke tempat sampah. Masih ada rasa tak percaya melihat kawan seperjuangannya dalam bermusik—yang meskipun tak gemar memperlihatkan kemapanan orang tuanya dengan bermewah-mewah—mengerjakan pekerjaan perempuan karena sang bunda harus mencari nafkah menggantikan almarhum sang tulang punggung keluarga.

Juna yang dikenalnya memang selalu rendah hati, tapi sebagai seseorang yang sangat tahu betapa besar impian Juna dalam bermusik, Kaka jatuh iba melihat perubahan nasib sahabatnya. Terlebih, dengan alasan yang sama pula, Juna nyaris tersisih dari grup band karena jarang menampakkan diri di tempat latihan. Dia harus bekerja sambilan selain kuliah dan mengurus rumah.

"Lo nggak sayang sama Gibson lo?" tanyanya sekonyong-konyong.

"Ya karena sayang, gue sampe begini. Kalau gue nggak ikut kerja, siapa yang mau bayar cicilan motor, bayar listrik, air, dan lain-lain? Bunda masih harus bayar kuliah gue dan sisa cicilan rumah."

"Bukannya mobil bokap lo udah dijual?"

"Udah kelar itu mobil sama tanah buat operasi bokap," tukas Juna datar. Dulu, hal itu membuatnya sedih. Kini tidak terlalu lagi.

"Nggak ada asuransi, atau bantuan dari kantor gitu? Bukannya kerjaan bokap lo lumayan oke, ya?"

"Yah ... namanya juga pegawai swasta, apalagi yang dibawa bokap gue dan meninggal saat kecelakaan itu bosnya sendiri. Nggak cuma nyawa, mata pencaharian banyak orang juga seketika hancur," imbuh pemuda berperawakan tinggi itu menjelaskan sembari sibuk menggosok kitchen sink. "Udahlah ... nggak usah dibahas."

"Buat apa lo pertahanin Gibson kalau nggak ada waktu buat make," Kaka mendesis, ikut sedih mendengar nasib buruk yang menimpa Juna.

"Semua yang terjadi ke gue justru mengajarkan prioritas hidup, Ka. Gibson itu seolah jadi lambang bahwa gue nggak menyerah, it's okay kalau nggak bisa gue mainin sekarang. Ibaratnya gue susah-susah dulu, siapa tahu bisa senang-senang kemudian."

"Sesekali lo nge-jam lah sama kita, lo masih akan tampil, kan?"

"Kalau gue masih dibutuhin dan waktu luang gue bisa sejalan sama yang lain sih gue pasti usahain yang terbaik. Tapi kalau keberadaan gue hanya menghambat, nggak apa-apa, kalian cari aja personel baru. Buat gue saat ini ... musik nggak harus gue mainkan di atas panggung, tapi bukan lantas gue tinggalkan."

"Gue nggak bisa bayangin The Walrus tanpa lo," Kaka melangut. "Lo tuh penggagas band ini, Jun. Gue nggak rela Martin take credit dari semua jerih payah lo."

Juna mengekeh, menyudahi pekerjaan dan membuang sisa makanan yang tertampung di sink ke tempat sampah, "Gue dan Martin yang bikin The Walrus. Kalau gue nggak ada, ya nggak salah kalau Martin take credit, atau apapun. Lo nggak perlu punya pikiran culas kayak gitu karena kita deket, main lah karena lo suka. Lo nyaman. Nggak perlu ada rasa nggak enak, bukan kalian kok yang bikin gue mutusin gini. Ini keputusan gue sendiri. Sampai kapanpun, gue akan support kalian."

"Tapi, Jun ... gue masih ngarep lo balik ke Walrus. Emang nggak bisa lo nyari shift yang ramahan dikit sama jadwal latihan?"

Bibir Juna bungkam. Kalau dia mau, bisa saja dia berkeluh kesah. Akan tetapi, karena menurutnya hal itu tak akan menyelesaikan masalah, melainkan hanya akan menambah beban kawan-kawannya, dia hanya bisa berkata, "Gue usahain, ya?"

"Bener?"

"Iyah ... sekarang lo cabut deh mendingan, gue mau siap-siap berangkat kerja."

"Lo kerja di mana sekarang, Jun?"

"Masih di restoran yang itu. Gue lagi nunggu panggilan lain, tapi belum ada. Nggak banyak yang mau ngasih pekerjaan ke mahasiswa yang nggak bebas dijatah shift."

"Gila, restoran itu 'kan kerja rodi, Jun. Gajinya kecil, nggak ada karirnya, galak banget lagi manajer lo."

"Gue nggak nyari karir di sono, nyari duit. Emang galak kayak macan mau beranak, padahal punya rahim juga enggak. Ntar kalau resign, mau gue tonjok," kelakar Juna, meski sebenarnya dia memang ingin melakukannya. "Thanks ya udah mampir, but sorry, gue udah kesorean banget."

Usai melepas kepergian Kaka, Juna buru-buru bersiap berangkat kerja. Sebelum cabut, dia melirik arloji yang membuat mulutnya memaki kesal. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam, padahal manajer tengil yang mengawasi pekerjaannya mengharuskan siapapun tiba di tempat setengah jam sebelum jam kerja dimulai.

Di atas motor, siap menggeber mesin matic, ponselnya justru berdering. Kalau bukan nada dering khusus bunda, dia pasti sudah mengabaikannya.

"Jun, bunda lupa bawa payung," keluh sang bunda tanpa basa-basi.

Juna membuka kaca helm, memandang ke langit, "Nggak mendung kok, Bun. Bunda kelar jam berapa?"

"Tapi ramalan cuaca bilang hari ini bakal hujan."

"Juna buru-buru, Bun. Udah telat, nih."

"Kalau Bunda kehujanan nanti gimana?"

"Minjem payung kantor emang nggak ada?"

"Nggak enak, ah. Payung lipat bunda 'kan ada di jok motor kamu. Waktu itu kamu yang simpen di sana habis jemput bunda. Kamu nggak balikin lagi pas sampai rumah. Kamu ampirin ke kantor, ya? Sejalan kan sama tempat kerja kamu?"

"Ya sejalan, tapi Juna takut nggak pas waktunya."

Tak ada sahutan.

Sekali lagi, Juna melirik arloji. "Ya udah, Juna mampir," katanya dengan berat hati. "Bunda tunggu di depan ruang guru, ya? Biar Juna nggak nyari-nyari."

"Iya. Cepet, ya. Bunda ada kelas setengah jam lagi."

Bundanya nggak pernah tahu betapa penting pekerjaan ini untuk Juna. Meski kelihatannya remeh, kalau kehilangan pekerjaan, Juna nggak punya pegangan apa-apa. Uang saku sudah tak pernah didapatnya dari sang bunda karena keterdesakan ekonomi keluarga. Persis seperti yang dia bilang di dapur pada Kaka, siapa yang bayar listrik, air, dan sebagainya selain dia dengan gaji tak seberapa dari pekerjaan sambilan itu? Sementara setahu bundanya, pekerjaan Juna baik-baik saja, sesederhana karena Juna tak pernah mengeluh. Padahal, sudah berulang kali Juna dapat peringatan lisan untuk memperbaiki kinerja.

Bagaimanapun, Juna belum pernah terjun ke dunia kerja. Sesimpel apapun pekerjaan yang digelutinya, dia membutuhkan pengalaman dan waktu menyesuaikan diri, tapi tentu saja tak semua pemberi kerja mau mengerti. Apalagi karena beberapa shift-nya nyaris bergesekan dengan jadwal kuliah, Juna sering terlambat. Kurangnya konsentrasi akibat beban pikiran macam-macam juga sering membuat Juna tanpa sengaja mengacau. Baru kemarin dia ditegur karena lupa mematikan keran—yang menjadi aturan restoran untuk menghemat air—saat mencuci piring, kalau sekarang dia terlambat, entah apa yang akan dikatakan manajernya.

Begitu sampai di halaman kantor bunda, Juna tidak langsung turun dari motor. Ditulisnya pesan singkat ke sang manajer karena bisa dipastikan dia akan datang terlambat. Tanpa menunggu balasan, yang biasanya memang tak pernah dia dapat, Juna bergegas.

"Duuuh ...," batinnya gemas saat tak menemukan sosok bunda di tempat yang disebutnya. Dia tahu di mana bunda ngajar, tapi makan waktu lama kalau dia harus naik ke lantai tiga. Alih-alih, dia mencari-cari seseorang yang dikenal untuk membantunya menyampaikan pesanan bundanya tanpa harus susah payah.

Di salah satu bangku, tatapan matanya tertambat pada seorang gadis yang tengah terpekur sendiri. Gadis kurus dalam balutan blus kuning dan celana jeans semata kaki. Sepatunya baru, rambut panjangnya diekor kuda. Jika tak mengenal sebelumnya, Juna nggak akan percaya gadis itu hanya tiga tahun di bawahnya.

"Hai!" sapa Juna seraya mendekat.

Dia baru ingat Kiara Zelma tak akan menyadari kehadiran hanya dari suara. Gadis itu tengah melamun, sesekali menunduk menekuni buku di pangkuan. Selangkah tepat di hadapannya, baru Juna melipat kaki dan bersimpuh. Dia mengulang sapaan setelah memastikan Kiki bisa melihatnya.

Gadis itu terperanjat mendapati Juna tahu-tahu muncul tepat di depan hidungnya.

"Huhaaah! Hak Juhna! Haget hueh!" serunya dengan suara sumbang. Buku di pangkuannya terlempar dan jatuh.

Juna kontan mengikik. Sembari memungut buku yang jatuh dan menyerahkan kembali ke si pemilik, senyumnya melebar. Bukan semata-mata hanya untuk beramah tamah dengan Kiki senyum itu mengembang dengan sendirinya, dia senang bertemu kembali dengan gadis manis yang tempo hari kesusahan karena ban sepedanya kempes.

Kiki masih mengelus dadanya berulang kali.

"Ada kelas?" tanya Juna dengan artikulasi jelas, tanpa memperbesar volume suara.

"Nahntih," jawab Kiki, tersipu malu.

"Nggak ikut kelas bundaku?"

Kepala Kiki menggeleng, poni yang menutup penuh jidatnya bergerak-gerak seirama. Baru ingat seharusnya Juna tak berada di sana, Kiki gantian bertanya, "Hahak henapah? Hari buhndah?"

Hari bundah? Kernyit Juna.

"Cahrih Buhndaaa?" Kiki memperjelas.

"Oh ...,"—Cari bunda?—"Iya. Mau ngasih ini,"—menunjukkan payung lipat—"payung."

Secara refleks, Kiki menengadah ke langit biru tanpa awan jauh di atas kepalanya. Dengan tatapan aneh, kerutan di antara matanya bertanya tanpa kata.

"Aku udah bilang kalau kayaknya nggak akan hujan," terang Juna pelan-pelan. "Tapi bunda lebih percaya ramalan cuaca."

Kiki sontak mengekeh, "Mahmah haku juhgah sukah gihtuh."

"Oya?"

"Hiya," angguk Kiki. Dia tampak membuka mulutunya lebar-lebar, tapi tak jadi. Kemudian, setelah memberi isyarat supaya Juna menunggu, dia mengeluarkan ponsel, membuka note, mengetik—Mamahku juga suka ngotot bawa payung meski panas terik, katanya ramalan cuaca di radio bilang akan hujan. Kalau enggak dipakai pun, Jakarta panas, biar nggak hitam—menunjukkannya pada Juna.

Tanpa meminta izin, Juna bukannya bicara, malah menyahut ponsel Kiki dan ikut-ikutan mengetik—syukur deh kirain cuma bunda aku aja yang ajaib—tulisnya.

Kiki tersenyum manis, mengetik lagi—Kak Juna ngomong aja, aku nggak dengar, tapi ngerti kalau pendek-pendek. Maaf hearing aid-ku soak, lagi dibenerin—katanya.

"Oke," angguk Juna setuju.

Kiki mengetik lagi—lagian mengetik di ponsel orang itu nggak sopan—candanya.

Juna mau tak mau tertawa, walaupun wajahnya merona, "Maaf," ucapnya tulus. "Aku refleks aja tadi."

"Hit's hokay," kata Kiki riang. "Bu Halma dih hantai higa."

Cepat-cepat, Juna mencegah tangan Kiki yang hendak membuka kembali kuncian layar ponsel, "Aku paham," tukasnya.

"Horry, tahkut Hak Huna gak paham," Kiki mengembuskan napas lega.

"Aku juga pengin bisa paham sama apa yang kamu bilang kayak Saya," balas Juna, yang tak dinyananya membuat pipi Kiki kembali bersemburat merah jambu. Namun, pemuda itu malah makin menampilkan arti dalam senyumnya, tak berniat meralat kalau-kalau terjadi perbedaan pemahaman di antara mereka.

"Boleh?" tambahnya.

Kiki mengernyit tak paham.

Kali ini, Juna mengeluarkan ponselnya sendiri, mengetik cepat—boleh kalau aku pengin bisa paham apa yang kamu bilang, kayak Saya?—kemudian tanpa ragu, tanpa menyunting, menyodorkannya pada Kiki.

"Hoh ... boheh," jawab Kiki pelan.

"Gimana bilang terima kasih pakai bahasa isyarat?"

Kiki memeragakan gerakan sederhana, "Herima hasih," sambil katanya.

Juna menirukan dan langsung diberi acungan jempol oleh gadis yang senyumnya sehangat matahari pagi di mata Juna.

Begitu diizinkan, Juna berdiri dan berpindah duduk di sisi Kiki. Mereka melanjutkan obrolan ringan di bawah sinar matahari yang lambat merangkak ke barat. Berhadap-hadapan setiap kali akan mengatakan sesuatu membuat Juna punya alasan untuk terus bisa menikmati ekspresi wajah Kiki yang beraneka ragam. Dia menyadari, karena tak bisa mendengar suaranya sendiri, Kiki menampilkan mimik wajah jauh lebih ekspresif daripada wajarnya orang lain. Gadis itu begitu menarik perhatian Juna hingga sama sekali lupa dirinya sudah sangat terlambat masuk kerja.

Satu notifikasi pesan membuatnya mengutuk diri sendiri. Untuk pertama kalinya setelah bekerja selama lebih dari dua bulan, sang manajer membalas pesannya.

Sesudah menepuk jidatnya sendiri, dia memotong obrolan, "Aduh, Kiki. Aku telat masuk kerja!" katanya. "Eng ... anu ... aku titip buat bunda, boleh?"

"Hloh ... Hak Huna henggak na'ik?" tanya Kiki, kebingungan melihat Juna panik mengemasi dan memanggul ransel di punggungnya.

"Aku buru-buru banget. Harusnya aku udah sampai di tempat kerja setengah jam yang lalu."

"Hah?" Kiki tak paham karena Juna bicara terlalu cepat.

Juna mengulang alasannya pelan-pelan, "Aku telat masuk kerja. Keasyikan ngobrol, nih."

"Haduh!" seru Kiki, merasa bersalah. "Mahaf, Hak!"

"Bukan salah kamu, aku senang bisa ngobrol lagi sama kamu malah."

"Hapi Hak Huna jahdi tehlat, kaaahn ...," ujar Kiki lesu. "Hoh! Mahu hihtip pahyung?!"

"Iya, boleh?"

Mata besar gadis berwajah oval itu memejam saat tersenyum manis seraya mengangguk, disahutnya payung di tangan Juna dengan bersemangat, "Nahnti haku hampaikan ke Buh Halma! Hak Huna hangan hawatir!"

Juna tahu Kiki tak akan menolak. Gadis itu sudah kelihatan baik hati sejak pertama kali dia melihatnya di bazaar cokelat dulu. Sebelum memutuskan membantu memperbaiki ban sepeda meski akhirnya menyerah dan mengantarnya pulang, Juna beberapa kali memergoki gadis itu memberikan sejumlah uang atau makanan pada tiap anak kecil peminta-minta yang merengek padanya. Bukan hanya memberi, gadis itu rela mengelus kepala mereka dengan senyum paling manis yang pernah dilihatnya.

Namun, meski tahu itu, dengan sengaja Juna melontarkan ide yang sejatinya menguntungkan untuk dirinya sendiri dengan dalih membalas budi, "Nanti aku traktir es krim kalau Kiki mau repot-repot ngasih ke Bunda," katanya.

"Oh henggak pehluh!" Kiki justru menolak, yang sebenarnya pun sudah bisa Juna duga. Dia mengibas kedua tangan dengan bersemangat, tanda bahwa dia sungguh-sungguh tak mengharap imbalan.

Juna pura-pura kecewa, "Jadi nggak bisa nitip?'

"Noh! Bihsah! Bihsah!" seru Kiki. "Hapih henggak pehluh haktir!"

"Yaaah ... padahal aku pengin makan es krim sama kamu," desah Juna sambil menguncupkan bibir. Membuat Kiki makin salah tingkah. "Kamu biasa makan es krim sama siapa? Saya?"

"Hiyah ... diha sahabat haku."

"Well ... you know ... Saya udah punya pacar, kan?"

Kiki memelotot kaget, tapi tak bersuara.

Sementara Juna tersenyum meyakinkan, "Dia pasti nggak bisa temenin kamu makan es krim sering-sering sekarang. Gimana kalau aku gantiin sekali-sekali?"

"Eh ... eng ...," dengung Kiki ragu.

Merasa dirinya terlalu cepat melangkah karena terdesak waktu dan tak ingin Kiki mendapat kesan buruk dari kalimatnya barusan, Juna pun memperbaiki caranya mengajak, "Hmmm ... oke ... kalau sekali-sekali nggak bisa, gimana kalau sekaliii aja?"

"Hmmm ...." Lagi-lagi Kiki memberi isyarat menunggu sebelum mengeluarkan ponsel—Tapi bukan buat imbalan menitipkan payung buat Ibu Salma—tulisnya.

"Deal," pemuda yang jika tersenyum memancarkan pancaran penuh karisma itu mengerutkan hidung mancungnya dengan ekspresi bahagia. Diacungkannya jari kelingkingnya ke hadapan Kiki, yang baru disambut setelah gadis itu terkesiap sepersekian detik. "Pinky promise."

"Hinky hromesh," ulang Kiki, senyumnya terulas kering setelah menelan ludah dan berdeham.

Pinky promise, batin gadis itu saat punggung Juna menjauh.

Angannya kembali melayang bersama tatapannya yang menerawang jauh. Sebagai gadis yang tak banyak terkontaminasi pergeseran budaya remaja dewasa ini, Kiki sangat memaknai arti dari janji kelingking. Janji yang tak boleh dilanggar. Bahkan saking percaya pada makna aslinya yang berasal dari Jepang bahwa jika salah satu melanggar maka jari kelingkingnya harus dipotong, Kiki berusaha menghindari janji kelingking.

Saat usianya dan Saya sepuluh tahun, mereka sepakat berhenti ber-pinky promise karena Saya melanggar janji berpasangan dengannya di sebuah acara sekolah. Sejak itu, Kiki berhenti berharap bahwa janji Saya menjaganya selama-lamanya akan menjadi nyata.

Kini ... gadis itu terpekur merasakan kehangatan yang tersisa di kelingkingnya dari pemuda lain selain Saya. Wajah Juna yang dengan entengnya menawarkan kelingking membuat Kiki tak bisa menolak, tapi juga tak ingin berharap banyak. Lagi pula ... itu hanya janji makan es krim.

Semalem kepencet dong pas lagi diedit-edit. Sorry.
Pengin nulis vote dulu sebelum baca kayak penulis lain kok nggak tega, ya? Berasa ganggu quote part itu gitu, well ... I hope you don't forget to vote and comment, tho.

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro