21. Too Late

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kadang orang datang ke kita buat nyampein sesuatu, lalu pergi lagi

Ngebekasin sesuatu, tapi nggak tinggal untuk bertanggung jawab.

Kerak telor, telepon gue.

Antusiasme karena sempat berpikir itu SMS dari Emma langsung buyar. Dua hari ini gue seperti terasing dari dunia luar. Bukan yang merepet nangis-nangis juga, tapi males aja ngapa-ngapain. Gue bolos kuliah, mumpung masih ada jatah absen. Mama nanya doang, tapi nggak bawel nyuruh-nyuruh berangkat. Emma masih menjawab telepon dan ngebales chat, tapi nggak kayak biasanya aja. Katanya sih karena sibuk ngurusin bokap yang langsung boleh pulang.

Misi gue ke Heru terlupakan begitu saja. Bahkan, gue meneleponnya dengan setengah hati, kayak nggak menarik lagi aja gitu. Kepala gue dipenuhi penyesalan, nggak jelas apa yang gue mau sekarang. Emma, atau Kiki. Ngejar kembali Emma, atau nunjukin ke Kiki kecurigaan gue tentang Juna.

"Rengginang ciut, lo kemana aja, sih?" tanya Heru.

"Di rumah aja," jawab gue nggak pake embel-embel hinaan balasan.

"Nape lo nggak kelihatan di kampus beberapa hari? Denger-denger bokapnya Emma sakit? Lo nemenin dia?"

"Iya," kata gue, biar pembahasan nggak merembet kemana-mana. Gue masih nggak rela ngakuin putus, ntar kalau balikan gue bisa malu.

"Gue udah dapat sedikit berita tentang siapa cewek kursi roda itu dari informannya Tama. Lo masih tertarik enggak, irus bengkong?"

"Masih."

"Lo kenapa, sih?"

"Lo yang kenape, gue lagi nggak mood lempar bom balasan, silit bekantan."

"Anjing turun berok, sialan, gue pikir lo beneran lagi mode sendu karena ayah mertua sedang menderita, kayak bukan lo banget gitu," kekeh Heru. Lalu nyerocos, "Jadi ... Luna ini memang benar anaknya almarhum bosnya almarhum bokap Juna ... yah gimana sih gue ngomongnya jadi runyem. Yah pokoknya gitu, screw kesopanan sama yang udah meninggal lah ya, nggak kenal ini gue. Jadi Luna ini anak bosnya bokap Juna yang ko'it barengan di kecelakaan beberapa bulan lalu itu."

Jadi benar, "Terus?"

"Kata Tama sih ... mereka baru dekat setelah kecelakaan itu, sebelumnya enggak. Pokoknya banyak yang berubah sejak kecelakaan itu. Bahkan konon nyokapnya Juna jadi agak sakit sehabis peristiwa itu."

"Sakit? Sakit gimana?"

"Bukan sakit yang sakit flu, tipes, demam berdarah gitu maksud gue, maksudnya udah nggak sama kayak yang dulu. Kayak yang shock karena suaminya meninggal mendadak."

"Oke ...," gue mencoba nggak menyela.

"Kalau keluarga Juna bangkrut habis kecelakaan itu, keluarga si cewek ini mah enggak. Mereka balik ke rumah ayahnya ibu si cewek ini. Kakeknya si cewek kursi roda, Luna ya, namanya? Kalau Tama bilang ... mereka mungkin ... mungkin nih, ya ... dijodohin."

Gue tersentak, "Dijodohin?"

"Tapi ini nggak pasti, ya. Ini cuma semacam rumor yang beredar setelah Juna menjauh dari band-nya. Dia kan sekarang jarang latihan—harus kerja segala macem, serabutan, buat biaya kuliahnya, pokoknya sih ribetlah hidupnya sekarang kayak sinetron gitu sibuk sana-sini kuliah, kerja sambilan tapi herannya tetep ganteng—makanya temen-temennya pada ngegosipin. Jadi gue nggak berani bilang ini informasi valid. Cuma ... lo tahu Kaka, kan? Temen seband-nya Juna di The Walrus? Dia bilang kayaknya mamanya Juna ini pengin Juna bisa sama si Luna, cuman Junanya mau atau enggak, nggak tahu."

Karena gue diem, Heru ngomong lagi, "Cuma ... tiap Minggu gitu Juna kayak wajib aja gitu nemenin ini cewek, bahkan waktu Juna belum menarik diri dari band, tiap latihan atau manggung di hari Minggu, cewek ini ikut. Sekarang sih Juna kerja, liburnya nggak selalu hari Minggu, makanya dia paling ngajak jalan pagi si cewek, kayak yang tempo minggu kita lihat."

"Gue mesti bilang ke Kiki nggak ya?" gue menggumam sendiri.

Tapi, Heru pikir itu ditujuin buatnya, "Lo lihat aja dulu maksudnya si Juna ini deketin cewek lo apaan."

"Kok cewek gue? Kiki," gue meralat.

"Iya, cewek lo kan dua. Kalau yang satu lepas, lo selalu masih ada satu lagi. Amanlah lo nggak akan jomlo seumur hidup."

"Tai."

Heru ketawa. "Tapi kayak yang gue bilang tadi, informasi itu berdasarkan gosip, silakan lo mau gimana nyampeinnya ke Kiki. Atau ... mungkin lo bisa tanyain ke Juna dulu?"

"Males gue ngomong sama dia."

"Terus terang, ya, Bruh, gue ngerasa lo terlalu nggak beralasan benci sama Juna. Gue aja nih yang cowok ngakuin kalau dia orangnya oke, baik, nggak tengil lah cem lo"—Heru ngakak lagi saat gue mengumpat—"Dari sekian cowok sok populer di kampus yang mau nyapa gue duluan cuman lo ama dia. Yah ... lo nomor sekian populernya lah setelah dia."

"Ah babi lo ... ukuran baik nggak lo cetek banget kayak got depan rumah gue."

"Eh jangan salah, ampas got, hal kecil aja bisa dipakai buat menilai kebaikan seseorang. Kalau Juna nggak baik, nggak akan ada orang tetap ngomongin yang bagus-bagus tentang dia meski keadaannya lagi kayak gini. Yang ada ... orang bakal jelek-jelekin lo di belakang begitu ada kesempatan. Sekarang ini temen band-nya Juna lagi bingung, tapi toh mereka belum gerak nyari personel pengganti."

"Bukannya dia dikeluarin?"

"Denger-denger sih ternyata dianya yang ngundurin diri, tapi sebagian anggota masih nggak setuju. Terutama Kaka."

Selesai dengan laporannya, Heru nutup telepon karena kebelet berak. Setan emang itu tutup tisu gulung satu, padahal belum tentu juga dia mau berak, cuma biar gue annoyed aja.

Sekarang tinggal gue yang mikir apa yang sebaiknya gue lakuin. Gue sendiri nggak yakin sejauh mana Juna dan Kiki berhubungan, keterangan yang gue dapat dari Kiki belum cukup. Sejak insiden sama Emma, gue nggak banyak interaksi sama Kiki. Segala pikiran gue tercurah buat merhatiin Emma, seolah ingin menebus kesalahan gue selama ini. Kiki sendiri nggak pernah banyak menuntut ke gue, kalau gue lama bales chat, dia hanya akan nunggu. Tapi kalau gue yang duluan menghubungi, dia nggak pernah membuat gue nunggu. Gue nggak bisa membedakan perubahan sikapnya sebelum atau sesudah Juna datang.

Kecuali kemarin lusa pasca putusnya gue dan Emma. Dia tampak sungguh-sungguh ingin gue balikan sama cewek itu, hanya gue nggak tahu motifnya benar karena Emma ngomong gitu ke dia pas makan malam ulang tahunnya, atau karena dia udah punya Juna.

Gue lagi enak-enakan scrolling lini waktu akun sosial media, seseorang mengetuk pintu. Kak Kita dan mama biasanya sih nyelonong aja, tapi mereka tahu kondisi hati gue, jadi mereka sopan banget sekarang.

"Masuk," gue buru-buru balik badan ke tembok. Bingung mau pasang tampang kayak gimana.

"Dek ...," Kak Kita ternyata. "Mau keluar jalan, nggak? Gue traktir, yuk."

"Udah mau jam sembilan ngajak keluar," gue ngedengus.

"Ya habis ... lo ngapain diem gitu di kamar dari kemarin? Gue khawatir."

Pelan-pelan, gue balik badan, "Aku habis putus."

Pintu di balik badan Kak Kita ditutup, dia mendekati tempat tidur sementara gue duduk bersandar di kepala ranjang.

"Gue tahu ...," katanya, duduk sambil mengelus dengkul gue. "Sakit kan kalau beneran kehilangan?"

Gue mengangguk jujur. "Aku nggak pernah mikirin perasaannya, padahal dia selalu ngungkapin perasaannya secara gamblang. Bukan cewek yang diem-diem mendam perasaan, Emma cewek paling frontal yang pernah jalan sama aku. Aku yang menolak dengerin dia, nganggep dia manja ...."

"Kalau dari cerita versi lo sih emang manja," Kak Kita tersenyum bijaksana. "Emang lo nggak bisa ajak dia ngomong lagi?"

"Mungkin bisa, tapi kayaknya nggak sekarang. Dia lagi sibuk ngurusin papinya."

"As long as kalian masih saling sayang, dan mau saling memperbaiki, gue pikir kemungkinan itu akan selalu ada."

"Thanks, Kak."

"Tapi lo yakin ... mau balikan sama Emma?"

Gue mengernyit nggak paham, lihat-lihatan sama kakak gue satu-satunya. Lalu, tahu-tahu aja gue paham maksudnya, "Aku nggak tahu perasaanku ke Kiki, Kak ... aku sayang sama dia ... tapi saat ini ... aku lebih berat ke Emma."

"But you know ... Kiki is not always available."

Gue tahu yang dimaksud Kak Kita adalah Juna. Selama ini, jujur, apa yang dibilang soal Kiki oleh Heru sempat berkelebat di benak gue. Kalaupun gue selalu gagal dengan cewek-cewek itu, akan selalu ada Kiki di sisi gue. Kapan aja, gue yakin dia akan ninggalin apapun demi gue. Gue yang tahu dia luar dalam, nggak ada yang mau berada di posisi gue karena Kiki punya keistimewaan yang adalah kekurangan di mata orang lain.

Sampai Juna datang.

"Kak ... maksud kakak waktu itu apa?"

"Yang mana?'

"Eng ... kak ... aku mau nanya boleh?"

"Soal?"

"Soal Kak Kita sama ... Kak Tessa ...."—Kak Kita diam— "Kak Kita suka sama Kak Tessa, kan?"

Kak Kita tersenyum dan mengangguk samar, "Tessa pikir cepat atau lambat kalian pasti jadian."

"Karena itu kalian nggak jadian?"

"Gue pikir awalnya karena itu, tapi entahlah ... bisa aja itu cuman alesan Tessa buat nolak gue. Oh ... itu udah lama berlalu. Gue dan dia udah sepakat ngelupainnya."

Gue diam. Meski tadi sempat nebak seolah mudah buat gue memahami apa yang terjadi, tetap aja gue nggak nyangka. Kak Tessa jelas mau merelakan apapun buat adiknya, Kak Kita juga mungkin akan ngelakuin hal yang sama buat Kiki dan gue.

Diam-diam, gue melirik wajah Kak Kita yang berubah muram, seperti memikirkan sesuatu. Gue jadi ikutan murung, apa karena itu Kak Kita nggak pernah ngerasa sedih tiap kali dia putus sama pacar-pacarnya? Karena ada satu rasa yang nggak pernah terhapus dari hatinya?

"Kak ...," panggil gue. "Apa kakak langsung nyadar sama perasaan Kakak ke Kak Tessa?"

"Maksudnya?"

"Sama kayak aku dan Kiki, Kak Kita udah lama temenan sama Kak Tessa. Meskipun kayaknya lebih sering tengkar, aku tahu kalian cukup dekat. Tapi selama ini yang aku lihat ... baik kakak atau Kak Tessa selalu sibuk sama hidup dan pasangan masing-masing. Apa waktu itu ... kakak langsung tahu perasaan kakak ke dia berbeda, atau kakak sempat menduga itu perasaan sayang antar sahabat biasa?"

"Lo lagi ngebandingin kondisi lo sendiri sama Kiki?"

Gue nggak membenarkan, tapi juga nggak menyangkal. Gue memang selalu bertanya-tanya, benarkah perasaan gue ke Kiki hanya sayang karena dia sahabat, atau gue ingkari karena dia bukan cewek pada umumnya.

"Gue langsung tahu sejak kami sama-sama remaja."

Tentu saja, nggak akan sulit mengakui perasaan kita kalau ceweknya kayak Kak Tessa. Cantik, baik, periang, nggak ada kekurangan berarti.

"Nggak bisa dibandingin sama keadaan lo sama Kiki. Jujur aja. Tapi yah ... di dunia ini ada begitu banyak rasa sayang, Saya. Buat gue ... kalaupun gue nggak bisa milikin dia, paling enggak gue nggak nyakitin dia, atau menghalangi kebahagiaannya. It hurts, but that's life. Kadang orang datang ke kita buat nyampein sesuatu, lalu pergi lagi, ngebekasin sesuatu, tapi nggak tinggal untuk bertanggung jawab. Paling enggak, gue bisa jadi orang yang selalu ada buat dia, meski sebagai teman."

"Apa itu cukup?"

"Cukup nggak cukup, tapi gue yakin asal gue membuka hati, akan ada orang lain yang sama berharganya dengan Tessa."

"Kak ...."

"Hm?"

"Nraktir guenya besok-besok aja, deh. Gue ada perlu sekarang."

Kak Kita bengong saat gue melompat turun dari tempat tidur dan berlari keluar. Gue harus ketemu Kiki, gue harus bilang apa yang gue tahu tentang Juna, meski belum yakin itu benar atau salah. Sekaligus mastiin, apakah perasaan gue matching sama dia, atau enggak. Kak Kita dan Kak Tessa nggak bersatu karena kami, gue nggak akan nyia-nyiain pengorbanan mereka kalau memang Kiki sama seperti gue. Mempertanyakan perasaan kami satu sama lain.

Mumpung gue dan Emma udah putus, mungkin ini saat yang tepat buat mengetahui apakah gue sendirian, apakah Kiki juga berpikir bahwa dia sendirian? Mengharapkan Kiki mengutarakan perasaannya ke gue mungkin mustahil, dia selalu ngerasa nggak berhak hanya karena dia tuli, tapi mungkin semuanya akan berbeda kalau gue duluan yang bilang.

Mungkin ini nggak adil buat Emma, tapi akan nggak adil lagi buatnya kalau ternyata kami balikan, sementara gue belum bisa menjadikannya prioritas utama.

Di bawah, mama yang lagi nonton sinetron kanget mendapati gue turun tangga dengan terburu-buru. Setelah beberapa hari mendekam di kamar, beliau kayak ngelihat hantu.

"Kamu mau ke mana, dek?"

"Ke rumah Kiki, Mam." Gue ngelirik jam di dinding. Udah hampir jam sembilan malam. "Saya cepet, kok. Sejam paling."

"Mau ngapain kamu?" tanya mama, ngikutin gue.

"Mau ngomong sama Kiki sebentar," gue menjawab, sibuk naliin sepatu. "Saya cuman bentar, kok, Mam. Janji, deh. Mama nggak usah nunggu."

"Iya ... tapi ...."

"Mam ... please ... bentaaar aja, Saya nggak mau berantem sama mama sekarang. Ini penting buat Saya, oke?"

Mulut mama yang tadinya udah terbuka kembali bungkam. Diem aja sampai gue selesai menarik ritsleting jaket hingga menutup leher dan mengenakan helm. Mama masih ngintilin aja sampai ke garasi. Gue kecup tangannya sebelum menyalakan motor, memintanya kembali ke dalam sebelum gue beneran pergi. Biasanya kalau ke tempat Kiki, mama nggak pernah keberatan biar semalam apapun, kenapa sekarang kayak mau nyegah gitu, ya?

Tapi gue mengabaikan begitu aja keruh di wajah mama, paling dia hanya khawatir. Gue harus cepat, atau Kiki keburu tidur.

Motor gue baru nyampai tepat di depan Sweet and Treat, di belakang sebuah Pajero Sport yang mampu menutup seluruh bodi motor gue dari sepasang muda-mudi yang berjalan menyeberangi zebra cross saat lampu menyala merah.

Pasangan itu bergandengan tangan mesra....

Is it too late for Saya? 

Saya mau tahu ah siapa yang dukung pasangan ini:

1. Juna X Kiki

2. Saya X Kiki

Terus kalau bisa sama apaaah alasannya. Inline komen di nomornya, ya.

Hihihi ... 900 votes akan diupdate, kalau enggak bisa nggak apa-apa, empat hari lagi pasti diupdate. Kalau nggak kebentur eror kayak kemarin, ya. Kemarin pas 800 Wattpad in read only mode lagi. Ini saya free jadi langsung update.

I Love you.

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro