22. Besties

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tell someone that you love what you're thinking of

In case the chance never comes

Kiki nggak pernah sebahagia itu selain sama gue.

Gue langsung tahu Kiki ada rasa sama Juna saat melihat mereka tertawa bersama semalam. Tatapan mata dan tawa itu selama ini hanya gue yang milikin dan gue nggak buta, atau kurang peka untuk nyadar bahwa dia sayang sama gue. Gue hanya memilih nggak membicarakannya demi alasan-alasan yang udah sering gue bilang ke diri sendiri. Dia pun, dengan alasannya sendiri yang entah apa, nggak pernah mengutarakannya.

Gimana gue bisa bilang ke Kiki tentang Juna kalau dia udah suka sama cowok itu? Gue nggak tega. Lagi pula, nggak ada jaminan juga Juna udah ngasih tahu atau belum. Bisa jadi udah. Atau bisa jadi emang nggak ada apa-apa antara Juna dan Luna. Selain perasaan terkalahkan gue, memang gue nggak pernah menemukan kekurangan Juna sama sekali. Mungkin Heru benar, dia cowok yang cukup baik buat Kiki. Toh kalau enggak, kalaupun Kiki gagal dan sakit hati, gue akan selalu ada buatnya. Bukankah itu gunanya sahabat?

Ah ... nggak nyangka akan datang satu hari dimana kata sahabat terdengar nyelekit di hati gue.

"Dek ... udah bangun?"

Gue melanjutkan menyesap oatmeal hangat yang gue seduh di cangkir tanpa menoleh pada mama, hanya mampu bergerak lemah mengikuti elusan tangannya di punggung saat dia berjalan mengitari meja dapur. Mama masih kelihatan ngantuk. Beliau biasa tidur lagi habis salat subuh dan bangun sekitar pukul enam untuk masak sarapan. Anaknya libur atau nggak libur sama aja. Saat kami turun, sajian hangat pasti udah siap di meja makan.

"Semalam pulang jam berapa?"

"Mama nungguin?"

Ngangguk, "Dan kamu enggak ke tempat Kiki."

Gue meneguk dan mengunyah kepingan oatmeal lembut yang masuk ke mulut bersama susu hangat, menjawab setelah mulut bersih, "Enggak. Saya ke tempat Heru, pulang jam sebelas. Mama nungguin emang?"

"Iya lah ...," katanya sambil membuka kulkas.

"Bohong ... Saya intip aja mama udah ngorok," canda gue, tapi beneran.

Herannya, mama nggak mempersoalkan dituduh ngorok. Tumben. Beliau diam, tenang, memperhatikan gerak-gerik gue meski tangannya tetap cekatan menyiapkan bahan-bahan di meja persiapan. Gue pura-pura asyik menikmati kehangatan susu.

"Gimana Emma?" mama nanya.

"Biasa aja," jawab gue. "Masih sibuk ngurusin papanya."

"Mamanya dia kemana emang, Dek?"

"Kan udah lama pisah sama papanya, ninggalin Emma buat nikah sama cowok lain."

Mama berhenti memotong roti tawar persegi menjadi segitiga buat dibikin sandwich, terperangah, "Serius? Kok kamu nggak pernah bilang?"-gue udah mau jawab agak sengak, mama udah duluan mendecapkan lidah-"Iya ... iya ... mama nggak pernah nanya."

Gue nggak bilang-nah itu tahu-kayak biasanya, tapi kesempatan ngernyitin hidung buat bales ngeledek mama nggak pernah gue lewatin.

"Kasihan ya," katanya. "Kok bisa ya cewek kayak gitu, biasanya yang selingkuh 'kan cowok."

"Kan sama kayak istrinya Om Tommy yang di Bandung," ujar gue.

"Oh iya ...," mama ngangguk-angguk. Itu cerita lama, sih, aib keluarga dan mama kayak nggak mau ngebahas. "Mama nyesel."

"Sama?"

"Emma."

"Kenapa?" gue pura-pura bego. "Telat ah nyeselnya, udah putus baru nyesel."

"Mama kok yakin, ya, kalian bakal balikan," mama menggumam.

Mama pasti udah denger soal Juna sama Kiki dari Tante Lut. Kalau enggak, mana mungkin dia ngomongin cewek lain pake bilang nyesel dan yakin gue bakal balikan segala. Semua mama di dunia ini sama aja, meskipun dia nggak seneng-seneng amat, asal anaknya senang, pasti akan berubah pikiran dengan mudah. Makanya gue nggak pernah ngelawan-ngelawan banget sama mama, gue iyain aja. Gue tahu bakal begini.

"Mama nggak suka sama Emma, nggak usah dipaksain, sih. Masih banyak ikan di lautan," gue mengekeh palsu. "Bukan cuma Emma ..."-jeda-"atau Kiki."

Tuh kan ... gerakan motongnya berhenti sedetik, berani taruhan, pasti mama udah tahu lebih banyak daripada gue.

Alih-alih ngebahas, mama malah mengalihkan topik pembicaraan seolah gue udah sama tahunya. "Tapi kamu tetap harus jagain Kiki meski bagaimanapun juga. Buat mama, Kiki itu udah kayak anak ketiga."

"Jagain dari siapa?"

Mama nggak mau jawab.

"Dari Juna?"

Matanya beralih dari roti tawar ke gue, "Kamu bener kan nggak ada perasaan apa-apa ke Kiki?"

"Kenapa memangnya?"

"Mama nggak kuat kalau kamu patah hati dua kali pada waktu yang sama. Mama sedih. Semalaman nggak bisa tidur mikirin kamu."

"Mama aja sampai ngorok ...."

"Habis salat malam mama nggak tidur laginya."

Gue ketawa, "Juna udah jadian ya, Mam, sama Kiki?"

"Kok kamu malah nanya mama?"

"Mama kan pasti denger dari Tante Lut."

"Lut juga nggak tahu, Kikinya belum cerita."

Habis itu, kami sama-sama diam. Mama mecahin tiga butir telur ke dalam mangkuk, sementara gue melamun. Sambil mengocok telur, mama diam-diam melirik dan nanya, "Juna orangnya gimana?"

Juna orangnya gimana? Gue mengulang pertanyaan itu dalam hati. Kadang, sesayang apapun kita sama orang tua, seenggak ingin apapun kita bohong ke mereka, ada hal-hal yang nggak ingin kita bagi begitu aja. Bukan karena nggak percaya, tapi nggak ingin mereka tambah banyak pikiran. Kalau gue bilang Juna mungkin ada hubungan sama Luna, anak almarhum temen papa, mama pasti bilang ke Tante Lut. Nggak tertutup kemungkinan mereka akan bertindak gegabah saking khawatirnya sama Kiki.

Jadi, gue hanya jawab satu kata yang lantas bikin dada mama mengembang lalu mengempis lagi lewat satu embusan napas lega, "Baik."

Obrolan kami terputus saat mendengar langkah kaki Kak Kita menuruni tangga. Sesudah menghabiskan menu sarapan bertiga, gue balik ke kamar buat guling-guling di kasur. Hari ini masih sama kayak kemarin, belum ada keinginan ngampus. Entah udah berapa mata kuliah gue lewatin, masih ada jatah absen atau enggak, gue nggak peduli.

Perasaan gue lebih campur aduk daripada kemarin-kemarin. Rasa kehilangan Emma memang belum hilang, tapi sudah agak tertepis. Sayangnya, hal yang menepis sakit itu justru perasaan takut kehilangan yang lain. Level khawatir kehilangan Kiki tuh, beda. Kayak kehilangan sesuatu yang bahkan nggak pernah gue miliki. Canggung. Aneh. Dan bingung mesti gimana.

Buat ngusir kalut, gue menyalakan pemutar CD. Buru-buru mengganti ke track yang lebih seru saat Be The Light berkumandang.

Sepertinya gue ketiduran. Ketika seraut wajah membayang tepat di depan muka begitu mata gue membuka perlahan, gue terkejut setengah mati.

"Astagfirullahhaladziiim!" seru gue saking kagetnya. Refleks, gue bangun dan jidat kami pun bertubrukan.

"Haduuuh!!!" jeritnya.

"Ngapain lo ke sini, bogel!" bentak gue spontan sambil mijit jidat yang kepentok jenongnya Kiki. "Anjir ... kok gue nggak denger lo lempar sepeda?"

Kiki meringis, "Hehe ... hue pahkir," katanya.

"Parkir?" Sejak kapan?

"Halo hilang hagih, hue gak bahkalan dibehliin bahru. Hekarang gue honci!" cengirnya nggak habis-habis sambil mamerin kunci berhias gantungan kelinci.

Gantungan kelincinya lucu, dari Juna bukan, ya?

"Ngapain lo?" tanya gue lagi masih pura-pura sebel, padahal agak seneng juga, ternyata dia masih inget gue. "Kirain lagi asyik pacaran ...."

Pedih banget asli, tapi ledekan itu keluar begitu aja dari mulut gue tanpa pikir panjang, bahkan tanpa mikirin rasa sakit yang kemudian menjengit. Sahabat gue dari lahir bakal punya tambatan hati, apa Kiki juga ngerasain hal yang sama tiap kali gue pacaran?

Lidahnya menjulur, tapi nggak ngejawab, atau mengelak.

"Hemang hemalem loh ke humah gueh?" tembaknya.

Oh ... jadi karena itu?

"Kagak."

Keningnya mengernyit, lucu, "Hoh .., mamah bihlang Hante nehlepon, ho gak puhang-puhang dahi humah hueh."

"Enggak, kok ... gue ke tempat Heru!"

"Hmmm ...," Kiki memicingkan mata sambil nunjuk muka gue, "Dahsar ho mahin mahlem-mahlem halasan hempat hueh. Paaastih ho hena mahrah, ya?"

"Hmmm kagak, wek!" balas gue sambil duduk di tepi kasur, mengucek mata dan ngebauin ketek sendiri. "Sini gue ciumin lo bau sedep nih, mumpung gue belum mandi!"

Kiki memelotot ngeri. Dia menjerit sumbang tanpa peduli suara kencengnya bikin pekak gendang telinga waktu gue sambar tangannya dan jatuhin badannya ke kasur. Gue paksa dia nyium colekan ketek pura-pura gue dan baru gue lepasin karena Kak Kita teriak dari kamar nyuruh diem.

Cewek ini nggak pernah tahu bahwa gue sering dimaki-maki Kak Kita, atau diteriakin mama setiap kali dia jerit-jerit berisik gue godain. Dia nggak bisa dengar apa-apa dan pikiran itu bikin gue mendadak kasihan padanya. Tawa di wajah gue memudar membayangkan apakah orang lain bisa memahami Kiki seperti gue memahaminya?

Kiki sendiri nggak pernah nyadar keanehan gaya bicaranya, atau tingginya volume suara yang dia pakai di manapun dia berada.

Waktu kami kecil main petak umpet, dia sering ketahuan karena berisik tanpa tahu kalau dia udah bikin berisik. Kalau membisik, hanya mukanya yang mirip ekspresi orang berbisik, tapi suaranya tetap lantang. Nggak jarang kalau kami lagi berduaan di tempat umum, orang lain mengernyit menganggapnya menyebalkan. Gue udah biasa bersikap nggak peduli, suara sumbangnya udah jadi makanan gue sehari-hari, tapi apa orang lain bisa memakluminya?

"Haya ..." panggilnya bingung.

Gue mematung di atas sebagian tubuhnya yang gue tindih samar. Berdekatan dan berhadapan begitu lekat seperti ini udah sering kami alami, tapi nggak sekalipun terpikir oleh gue untuk menempelkan bibir ke bibirnya. Mungkin kalau hal itu gue lakukan sejak dulu, semua kekalutan ini nggak akan pernah terjadi.

Namun kalau gue lakuin sekarang, bukan hanya gue yang gundah gulana, Kiki pasti juga bingung karena sudah ada Juna dan Emma di antara kami.

"Ki ...," panggil gue. Kami duduk bersisian di kaki tempat tidur. "Lo seneng nggak temenan sama gue?"

"Heneng," jawab Kiki sambil lalu, tangannya malah sibuk sendiri ngaduk-aduk isi tas. Setelah menemukan sesuatu, dia menghadap muka gue lagi, "Bihasa ho kahlo habis puhtus paaastih ginih. Gahlau!"

"Apaan sih, tuh?"

"Hidi."

"CD? Lagi? Lo ngapaiiin beli CD lagi kayak bisa lo dengerin aja. Buang duit tahu enggak!"

"Henak haja hini hidi hada dividi'a!"

"Ada DVD-nya? DVD apaan? Infinite lagi?"

"Hiya!"

"Najis jangan lo puter di teve gue. Sorry ye, gue ogah muter cowok-cowok banci!"

"Ngahrang! Henak haja hanci. Ini Mehyonghsyuh!"

"Myungsoo!"

"Hiya," kekehnya, nekat masukin DVD ke pemutar. Gue hanya bisa diem dan buru-buru nge-mute suara musiknya. Dia cemberut, tapi nggak protes. Malahan nanya, "Himana Hemma?"

"Nggak gimana-gimana," gue bete. Serius gue pengin ngobrol banyak sama Kiki soal Juna, tapi nggak tahu mulai dari mana. Dia sendiri kayak yang nggak berniat curhat macam biasanya.

"Lo jadian ya sama Juna?" tanya gue sebel walaupun tahu dia nggak akan denger karena nggak lagi ngadep ke gue.

Kiki nggak bereaksi, tapi tahu-tahu menoleh, "Hapaan?"

Oh ... dia ngelihat mulut gue gerak dari pantulan layar teve yang masih gelap saat menayangkan logo agensi boyband Korea itu. Karena gue ragu mau langsung lompat ke bahasan sejauh itu, kepala gue menggeleng. Dengan riang, Kiki kembali menikmati DVD konser yang kayaknya baru dia beli. Gue juga ikut nonton, tapi baru dua menit langsung bosen.

Iseng, gue naik ke tempat tidur. Duduk di tepian kasur tepat di atas kepala Kiki. Dengan senang hati, cewek itu menyerahkan kepalanya supaya gue bisa memainkan rambutnya yang halus terawat. Gue pilin-pilin. Kiki suka diginiin. Biasanya kalau gue minta dibantuin ngapain, upahnya paling begini, selain es krim.

Tahu-tahu, waktu gue asyik ngeberantakin rambutnya, dia meraih remote control dan menghentikan tontonannya.

"Haya ...," dia melompat ke atas kasur. "Hemalem mama nanyahin hueh."

"Nanyain apa?"

"Hoal Hak Huna!"

Jantung gue meledak rasanya, tapi pura-pura nyantai, "Apa katanya?"

"Mama nahnya Huna hudah puhnya pahcar behum,gihtu."

"Terus?"

"Hueh gak tahu."

"Terus?"

"Ho tahu henggak?"

Gue menimang sebentar, tapi kemudian menggeleng. Kiki mendengus kecewa dengan jawaban gue.

Sekalian gue pancing, "Bukannya elo pacarnya?"

Yah elah ... mau sakit hati kayak apa, gue tetep aja gemas lihat mukanya malu-malu gitu.

"Buhkan," jawabnya polos. "Hak Huna mana mahu hama hueh."

"Kalau mau? Lo mau?"

"Hak mungkheeen!" dia mengekeh dengan ekspresi aneh.

"Kenapa nggak mungkin?"

"Diha bihsa cahri cehwek hang hantik!"

"Emang lo nggak cantik? Perasaan kalau gue bilang jelek, lo nggak terima?"

"Hyang kahyak Hemma gihtu mahsud hueh!" sungutnya cemberut. "Hueh mah hapah hatuh ...."

"Cuma remahan kue kering sisa lebaran," sambung gue, lalu kami tertawa bersama-sama. Tentu saja gue dicubit dulu. "Lo cantik lagi, Jeleeek ...," gue cubit hidung peseknya yang mungil sampe dia megap-megap. "Lo jeleknya kan ama gue doang."

"Henggak," kibasnya lesu sambil beranjak dan berjalan ke arah meja belajar. Mengambil kotak tisu buat mengelap bekas tangan gue di hidungnya. Kurang ajar.

Tapi, tiba-tiba gue jadi inget sesuatu, "Lo jadi kursus bikin kotak tisu sama nyokapnya Juna? Ciyeee ... enggak-enggak, tapi deket-deket calon mertuaaa."

"Henggak jahdi!" katanya serius.

"Lah ... kenapa?"

"Henggak tahu," jawabnya sambil mantulin pantat, duduk kembali di sisi gue. "Hata Hak Huna kuhsusnya hudah henggak ada hagi. Pahdahal ... hemen kehlas hueh hada hang hikut!"

Lah? Kenapa? Insting gue langsung main curiga aja. Jangan-jangan Juna nggak mau nyokapnya tahu gebetan anaknya kayak Kiki? Yah ... maksud gue ... nggak semua orang mau kan anaknya dapat cewek yang nggak sempurna. Atau ... jangan-jangan ... bener dugaan gue tentang rumor yang beredar? Juna dan Luna ... ah ... tapi ngelihat bibir Kiki monyong lima senti, gue segera menghapus dugaan kosong barusan.

"Ya udah baguslah, timbang ngehias kotak tisu aja lo bisa streaming Youtube. Hemat."

Dasarnya Kiki orangnya positif thinking, dia langsung setuju gitu aja. Malahan sekarang dia ngegelesot lagi di lantai, minta rambutnya dipilin-pilin kayak tadi.

"Ntar kalau lo udah punya cowok, lo nggak bakal minta gue giniin lagi dong, ya ...," gue ngomong sendiri. Kiki udah konsen lagi mantengin Myungsoo dan teman-temannya.

"Haya ...," Kiki manggil sambil ngedongak, "Kahlo ho henggak puhnya pahcar, kihta bihsa mahin lagih kahyak dulhu hong, ya?"

"Kan lo ada Juna ...?"-maksud gue ngeledek, biar dia menyangkal.

Malah gini jawabannya, "hyaaa ... kihta main behtiga!"

Bertiga ... enak aja main bertiga. Emang gue ban serep diajak main bertiga. Sial. Kayaknya memang Kiki udah nggak nganggep gue lebih tinggi kedudukannya dibanding Juna.

Ngebayangin main bertiga, gue jadi kangen sama Emma.

ini kok kayak Kiki, ya?

Halo, sori kemaleman, males banget saya buka laptop dari kemarin, actually, I am emotionally unstable these first days of period. LOL. Had to be honest, kadang tuh bukannya kita nggak mau tepatin janji, but yah ... we're human being you know ... kadang males tanpa alasan. Udahlah cewek, tiap bulan ada ranjaunya. Ini apa sih saya kok meracau. wkwkwk ... ya gitu ... pokoknya saya minta maaf karena kemaleman. Huhuhu

Oh well ... saya nunggu vote dan komennya aja, deh, ya?

I love you.

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro