2. T e r k e j u t

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau udah terlalu dekat, biasanya baru cemburu pas udah telat

"Cuma aku jemput, terus aku balikin ke rumahnya, Mam."

"Nanti dia ikut lagi ke rumah Kiki!"

"Nggak akan! Dianya juga nggak akan mau. Saya janji nggak nyampe setengah tujuh udah balik. Suer!" ikrar gue sambil menyahut helm di atas lemari.

"Solat Maghrib kamu gimana?"

Duh ..., "Ntar di jalan mampir masjid."

"Panggilin Uber aja, sih. Udah mepet waktunya! Mama nggak mau ya kamu telat Solat Maghrib. Mau digodog di neraka kamu, hah?"

"Ya marah dong Mam nanti Emmanya."

"Lagian juga kamu anak orang nungguin bukannya disamperin dulu, malah ditinggal pulang. Sekarang mama lagi butuh, kamu malah lebih berat jemput pacar! Udah! Terserah kamu! Selangkah lagi aja kamu keluar dari pintu, nggak usah ngomong sama mama lagi seumur hidup!"

Waduh ....

Kalau udah kayak begitu ancamannya, jelas gue nggak berani ngebantah kanjeng ratu. Pelan-pelan, gue melepas helm dan mencopot sepatu. Mama udah balik ke dalam dan berhenti ngomel. Which is malah tambah bahaya. Akhirnya, gue masuk dapur, lihat-lihatan sama Kak Kita, sementara mama banting-banting pintu dan jendela kamarnya.

"Udah panggilin Uber aja," usul Kak Kita. "Kebanyakan main sama si Kiki sih lo! Kiki sih nggak kayak kebanyakan cewek. Lo bawa ke mana aja dia nggak protes, happy-happy aja. Normalnya cewek itu ya kayak si Emma. Tukang ngancem, tapi nggak serius sama kata-katanya. Kalau dia bilang mau pergi duluan, belum tentu juga dia pergi. Yang ada dia nunggu biar bisa ngomelin lo sampai puas."

Gue sih tahu hati cewek suka beda ama mulutnya, tapi tadi Emma beneran serius waktu bilang dia bakal balik kalo gue pergi lebih dari lima menit.

"Ntar juga baik lagi," ujar Kak Kita nenangin. "Lagi PMS kali. Kayaknya cewek lo itu tipe yang siklus PMS-nya lebih panjang dari enggaknya."

Gue ketawa.

Mungkin aja sebab kalo diinget-inget, sebulan sekali pasti ada beberapa hari yang menegangkan kayak begini. Senggol dikit ngamuk. Biasanya digelitikin seneng, ini bilangnya sakit. Nggak usah pegang-pegang, katanya. Biasanya baca berita K-pop biasa aja, ini ribet seharian balesin perang komen sama fans fandom lain. Kalau gue diceritain nggak paham atau kelihatan nggak tertarik, dia bisa batalin semua rencana yang udah kami (kami di sini berarti dia sendiri) susun seharian.

"By the way ... lo udah tahu dinner kali ini ada tamu tambahan, Dek?"

Gue nggak tahu.

Kak Kita mengedikkan bahu, "Gue sih cuman dengar mama ngobrol sama Tante Lut barusan. Katanya temen Kiki."

"Cowok?"

Kepala Kak Kita yang semula menunduk mencermati layar ponsel mendongak, matanya menatap gue. Tanpa berkata-kata, dia lantas mengangguk.

"Siapa?" tanya gue.

"Jangan-jangan pacarnya," bisik Kak Kita.

Gue memelotot sedetik sebelum menyemburkan tawa meremehkan.

"Jangan ngeremehin." Kak Kita memperingatkan dengan suara datar, "yakin nggak akan cemburu ntar kalau tenyata tamu tambahan itu pacar Kiki?"

"Kalau pacar, dia pasti ngasih tahu aku, Kak."

"Kalau belum sempet ngasih tahu?"

"Berarti entar dikasih tahu," pungkas gue untuk menghentikan pembahasan. Sebelum Kak Kita mulai lagi, gue melongok ke arah kamar mama. "Lama banget sih mama."

"Sejak kapan mama nggak lama?" balas Kak Kita. "Ntar keluarnya habis Maghrib. Naik dulu ah, Solat Maghrib!"

"Pret!" timpal gue.

Nggak lama, gue pun menyusul masuk kamar. Biasanya mama bakal ngomel kalau ngelihat anaknya santai-santai denger Adzan Maghrib. Gue sih nggak selalu beneran salat, asal nggak kelihatan mata mama aja. Namanya juga anak muda, kadang suka males, apalagi kalau lagi di jalan, atau asyik-asyiknya main game.

Di kamar, gue tidur-tiduran lagi.

Mikirin siapa yang bakal jadi tamu tambahan di acara Kiki. Ah nggak mungkin kayaknya Kiki pacaran.

Semanis apapun dia, cowok-cowok selalu mundur begitu tahu dia tuli. Siapa juga yang mau punya pacar bersuara sumbang yang kalau ngomong nggak bisa ngontrol volume suaranya sendiri? Kalau ada ... orang itu pasti seseorang yang udah memahaminya luar dalam. Siapa yang memahaminya selain gue?

Mana ada orang lain yang tahu-tahu datang, lalu memahaminya dalam waktu singkat dan menjalin hubungan sama dia?

"Maaam! Ayo berangkaaat!" teriak gue sambil bergegas turun.

Mendadak gue nggak sabar pengin segera sampai rumah Kiki. Pakaian gue udah rapi, kado udah siap, tinggal berangkat. Di depan kamar mama, gue teriak sekali lagi. Dan tentu aja kuping gue dijewer karena berisik. Mama baru siap lima belas menit kemudian. Sepuluh menit lebih lambat dari waktu yang diwanti-wantinya supaya kami nggak telat.

Pantesan lama, mama dandan kelewat heboh dari biasanya.

"Mama nggak mau ke mana habis dari tempat Tante Lut?"

Tuh, kan. Kak Kita juga ngerasa kalau mama agak lebai. Pakai-pakai bunga-bunga segala di kepala, mana gede. Kepala apa pot bunga?

"Nggak ke mana-mana," jawab mama heran.

"Kok mama pake bunga-bunga segala? Gincunya juga tebel banget?"

"Ho oh," timpal gue. "Hayooo mama ngecengin siapa? Ntar Saya aduin ke papa, lho!"

"Sembarangan!" hardik mama. "Mama biasa aja, ah. Ini 'kan acara Kiki. Masa mama nggak boleh tampil cantik?"

"Bukan karena ada tamu agung di acara nanti, kaaan?"

Jantung gue mencelus waktu Kak Kita bilang begitu. Apalagi mama pake ngelirik gue yang duduk di kursi belakang.

"Nggaklaaah," kata mama, tapi kayak yang nggak serius.

Penasaran gue makin menjadi-jadi. Siapa sebenernya tamu misterius ini? Apa benar mama sampai dandan karena dia mau datang? Akhirnya, karena nggak tahan, gue nanya, "Emang siapa sih tamu agungnya?"

"Bukan siapa-siapa," jawab mama. "Cuma temen Kiki aja disuruh stay karena tadi sore nganter dia pulang."

Nganter pulang?

"Nganter pulang?" serobot Kak Kita. Gue yakin dia sengaja mancing-mancing. "Berarti temen istimewa dong kalau sampai nganter pulang. Kiki kan kemana-mana naik sepeda atau nggak diantar Om Johan. Kalau nganter pulang, berarti sebelumnya jemput juga. Iya nggak, Say?"

Gue gelagapan, "I ... ya kali ...."

"Well ... mama nggak tahu. Harusnya Saya lebih tahu dong kalau Kiki deket sama seseorang. Kalian baik-baik aja, kan?" Mama beralih ke gue.

"Baik-baik aja, emang kenapa?"

"Kirain si Kiki apa-apa diceritain ke kamu ...."

Biasanya sih emang iya .... Gue juga nggak tau sejak kapan dia nggak nyerita ke gue.

"Mungkin dia takut ngeganggu Saya kali kalau curhat," ucap Kak Kita kayak biasanya. Sambil lalu, tapi penuh makna terselubung.

"Kenapa kok takut ganggu?" sahut mama.

"Mungkin aja Kiki mikirnya sekarang Saya udah ada pacar serius, Mam. Buktinya minggu lalu diundang ke makan malam keluarga. Bisa aja 'kan dia jadi sungkan kalau mau cerita, takut ceweknya Saya cemburu."

Mama kepancing, "Emang cewek kamu cemburuan, Dek?"

Gue nggak ngejawab, pura-pura dengerin musik dengan ear phone menyumpal telinga.

***

Formasi keluarga gue dan Kiki sebenernya sama, beda kelamin doang.

Di gue laki semua, di Kiki cewek semua. Kiki punya seorang kakak perempuan, namanya Tessa.

Kak Tessa nggak tinggal di sini lagi, dia menempuh studi di Singapura. Lain ama gue dan Kiki, Kak Tessa dan Kak Kita nggak terlalu akrab meski seumuran, berantem melulu kayak anjing ama kucing. Jadi, selain formasi yang sama, saat ini jumlah anggota keluarga yang tinggal di rumah pun sama. Papa gue kerja di Kalimantan.

Seringnya kalau ada acara keluarga begini, kami duduk berhadapan di meja makan. Mama seberangan sama Tante Lut, Kak Kita sama Om Johan, gue sama Kiki. Berhubung kali ini katanya ada anggota tambahan, gue bertanya-tanya, apa Kiki akan duduk di tengah seperti waktu Emma gabung, atau gue yang duduk di tengah.

Seperti apa ya cowok yang diundang Kiki?

Bukannya gue memandang sebelah mata, tapi terus terang gue agak khawatir. Gue cowok dan gue ngerti apa yang ada di kepala cowok saat menghadapi cewek dengan keterbatasan seperti Kiki. We fantasizing things. Mungkin sebagian cowok nggak suka mengakuinya, tapi gue yakin isi otak gue nggak beda sama mereka. Kalau ada anak yang unik, bukan berarti naksir juga, tapi mereka suka kadang nyelonong aja gitu di imajinasi kita. I was kind of avoiding Kiki saat mulai akil baliq karena gue sempet canggung jadinya.

Beberapa sahabat cowok gue juga mengakui hal itu. Mereka suka nanya, apa gue nggak penasaran gimana cewek tuli kayak Kiki bermesraan? Gue tahu itu nggak pantas, tapi itulah yang terjadi dalam obrolan sesama anak lelaki. We're examining girls. Dari sekian banyak temen yang ngomongin Kiki, nggak seorangpun beneran mendekatinya. Nggak aneh kan kalau gue punya kekhawatiran jangan-jangan ini cowok cuma penasaran aja, atau mau nyoba-nyoba? Masih banyak cewek normal di dunia ini, yang sama-sama manis kalau dia beneran nyari pacar.

Kalau Kak Kita bisa baca pikiran gue, dia pasti nasihatin gue panjang lebar mengenai larangan meremehkan lawan jenis. Meski yah ... dia nggak pernah juga jalan sama cewek biasa aja, ceweknya selalu di atas rata-rata.

Siapa juga yang mau dengerin pendapat orang tentang kecantikan dari dalam kalau dia selalu bisa dapet cewek sempurna?

"Saya!"

Gue tersadar dari lamunan, rupanya kami udah nyampai.

"Lepasin jaket kamu," perintah mama enteng.

Gue nggak melakukannya. Ini jaket kesayangan gue. Official merchandise-nya OOR, ada tanda tangan Toru di lengannya, hanya gue pakai di saat-saat istimewa. Ini barang berharga, hanya orang tua yang nggak bisa menghargainya.

"Copot nggak?" kecam mama lagi.

"Kenapa sih, ma?"

"Mama nggak mau kamu kelihatan kayak berandalan gitu. Pakai kemeja aja, tinggalin jaketnya di mobil!"

"Tau nih bocah," timpal Kak Kita yang selalu rapi.

Biarpun kesal dikeroyok dua orang, jelas gue milih (lagi-lagi) mengalah. Mereka mana tahu gimana gue mengagung-agungkan jaket ini? Kalau pake tuh jaket, kepedean gue naik ratusan kali lipat. Yah ... kecuali kalau ketemu senior gue di kampus, namanya Kak Juna.

Males gue ngebahasnya.

Pokoknya entah gimana caranya, dia bisa dapetin tanda tangan Taka di official jacket yang sama kek punya gue. Gila, nggak? Gue jelas lebih ngefans Taka-lah daripada Toru dan sepanjang nungguin mereka selesai private jam session, Taka sama sekali nggak berhenti jalan ke mobil buat ngasih tanda tangan. Itu artinya Kak Juna ada di dalam selama sesi terbatas itu. Di dalam! Gue juga pengin beraaat, tapi tiketnya muahal selangit. Meski gue gadaiin harga diri dengan ngemis ke bokap, nggak bakal dikabulin duit segitu buat beli tiketnya. Nonton konsernya aja gue cuma bisa beli yang festival.

Gue masih inget banget perasaan terkalahkan yang gue derita saat dengan pongahnya memamerkan jaket itu di kampus, temen-temen ngebanding-bandingin dengan jaket Kak Juna. Taka is the symbol. Sebagai fans nomor satu, gue merasa benar-benar gagal. Kalau dia nggak sekampus sih gue masih bisa terima. Parahnya, Kak Juna waktu itu lagi ngulang materi di kelas gue, jadi pertemuan kami saat mengenakan jaket yang sama pun tak terhindarkan.

Tentu aja gue menerima kekalahan dengan lapang dada, tapi sejatinya nggak ada laki-laki yang sudi mengaku kalah, bukan?

"Ayo, Dek! Malah bengong."

Gue merespons panggilan mama dengan menutup pintu dan berjalan menghampiri. Kak Kita mengunci pintu tanpa menoleh.

Bagian dalam rumah Kiki terang benderang. Mereka pasti bikin dekorasi ulang tahun, deh, kayak yang ulang tahun anak SD aja. Entah apa warna temanya kali ini. Tahun lalu pearl gold karena Kiki lagi suka salah satu boy grup Korea. Kado dari Kak Tessa juga official lightstick sesuai permintaannya. Nggak usah bingung gimana dia bisa jadi Kpopers walau nggak bisa denger. Awalnya dia nonton drama yang judulnya 'I Want To Protect You One More Time' atau apa gitu, lalu ngefans banget sama pemeran utama yang ternyata member grup tersebut.

Dia bahkan beli CD-nya, lho. Gue geli aja, tapi nggak pernah mencoba melarang. Bahkan, gue memenuhi permintaannya buat ngedengerin satu per satu track dan ngasih tahu bagus atau enggak kedengarannya. Gue bilang bagus, gue ceritain gimana nadanya, warna musiknya, lalu tiba-tiba dia jadi a proud fan.

"Happy birthday!" ucap gue ke Kiki yang menyambut di ambang pintu.

'Thank you,' balasnya dalam bahasa isyarat dan gerakan bibir.

"Kadonya," kata gue sambil ngulurin bungkusan seukuran kotak sepatu.

"Hepatu hagi?" Dia melotot, lalu putar bola mata.

"Gue perhatiin sepatu lo udah butut." Gue merengut. "Lagi pula, gue lihat-lihat lo paling jarang beli sepatu."

"Hu know me ho wehhhel," kekehnya sambil menimang bungkusan. "Ahu bikin mac and cheese."

"Oh no ... kenapa nggak lo biarin aja Tante Lut yang masak?"

Gue menghindari pukulannya, "Guhe udah jahuh hebih bahik!"

"Welp ... let's see."

Gue lupa nanyain siapa tamu tambahannya, kami sudah keburu nyampe di ruang tengah di mana semua orang berkumpul dengan cangkir teh dan kue-kue.

Kak Kita dan Om Johan nggak ada, pasti mereka di halaman belakang buat main catur atau ngerokok berdua. Gue nyari-nyari, tapi nggak menemukan sosok asing di mana pun. Pikir gue, pasti dia lagi ngumpul sama cowok-cowok, gue mau join, tapi Tante Lut ngelarang, "Bantuin Kiki nata meja ya, Saya."

Kiki kelihatan cantik malam ini. Gue memuji gaun selutut berwarna salem yang ia kenakan, pipinya bersemu merah sambil berterima kasih.

"Apa kado dari Kak Tessa?" tanya gue, menata tujuh piring di depan masing-masing kursi.

Kiki menunjuk gaunnya sendiri, lalu berputar seperti anak kecil.

"Cantik," puji gue. "Iya lah cantik, sampai udah punya pacar. So ... siapa dia?"

Kiki mengibaskan tangannya, "Ngaahwur. Buhkan sihapa-sihapa!"

"Kalau bukan siapa-siapa, ngapain dia ke sini?"

Mama masuk ruang makan buat meletakkan semangkuk sup ikan. Kami langsung mengubah pembicaraan dalam mode bahasa isyarat.

'Dia ngantar aku pulang. Sepedaku kempes.'

'Lo nggak pernah cerita soal dia,' kata gue akhirnya.

'Lo nggak pernah nanya. Lagi pula ... bukan siapa-siapa.'

Gue memang nggak pernah nanya karena nggak pernah kepikiran sebelumnya, sedangkan Kiki selalu secara periodik bertanya mengenai hidup gue. Lagi dekat sama siapa, hubungan dengan pacar gue gimana, apa gue baik-baik aja, apa gue sehat, apa yang gue rasakan saat jatuh cinta, dan lain sebagainya. Gue nggak pernah peduli bagaimana hidupnya kalau dia nggak nyerita.

Gue bilang, "Lain kali lo harus cerita tanpa ditanya."

Kiki menggerakkan bahu.

Lalu gue mulai gemas dan nggak bisa menahan penasaran, "Kalian ... pacaran?"

Matanya melotot. "NOH!" tukasnya mulai kesal. "Diha cohwok hang guhe kasih cohklat duhlu. Waktu bahzaar. Hyang mau tehrima cohklat guhe cuhma diah!"

Ohhh ... Gue inget. Seminggu sebelum Valentine day beberapa bulan lalu, kelas memasaknya mengadakan pameran dan bazaar cokelat. Gue diundang tapi nggak bisa hadir karena Emma ngajak jalan ke tempat lain. Tahu-tahu, otak gue secara cepat menghubungkan cowok ini dengan pengakuan Kiki tentang si gebetan.

Kayak ngebaca pikiran gue, tahu-tahu dia mendengus, "Hayaaa ...it's nohtingh like dath .... hitu huma bercandaaah!'

"Apanya? Lo ngasih dia cokelat, atau cokelat yang lo kasih ke dia yang bercanda?"

Sekarang alis Kiki yang mengerut, matanya menyipit, "Ho kehnahpa?" Kemudian melanjutkan dengan isyarat, 'Why are you so serious?'-kira-kira seperti itu artinya.

Sebelum gue ngomong lagi, terdengar suara langkah kaki mendekat yang bikin kami serempak pura-pura kembali sibuk menata meja. Terpaksa gue harus menunda interogasi meski rasa penasaran ini belum terpuaskan. Om Johan keburu masuk ruangan bareng Kak Kita. Di balik sosok mereka berdua yang tengah asyik mengobrol tentang permainan catur di halaman belakang, akhirnya gue melihat siapa tamu tambahan Kiki.

Sosok itu mengenakan jaket yang sama dengan milik gue dan (alhamdulillah-nya) gue tanggalkan di mobil.

Sialan.

Kok bisa dia kenal Kiki?

AN:

Kalau agak lupa sama ceritanya karena memang lama baru di-update, silakan balik baca dari prolog, yah, mumpung belum panjang. Karena MUB udah nemu penerbit dan tinggal dua bab lagi ending, saya mau mulai rajin posting ini. Jangan lupa vote dan komennya, dong, pelit amat, cih?

Kincirmainan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro