1. Kena Marah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamu cowoknya, apa pembantunya, Dek?

***

"Aku mau ke Gramedia!"

"Ngapain?"

"Ya ada buku yang mau aku belilah."

"Penting?"

"Ya penting, mau dipake buat hari Senin."

"Ya udah besok aja, ya?"

"Tck, nggak mau. Kamu 'kan kalo minggu selalu absen. Yang nyokap kamu minta diantar ini, itu. Jadi aku udah janjian duluan sama Rena, Dina buat ke mall."

"Tapi hari ini dia ulang tahun."

"Kamu aja nggak inget ulang tahun aku!"

Gue senyum, lalu ngusap jemarinya yang terselip dalam genggaman dengan ibu jari. I like girls when they are pouting, tapi kalau udah masalah cewek lain, kecemburuan mereka bisa sangat nggak masuk akal. Jangankan cute, kesel gue ngelihatnya.

"Kita kan baru jadian, jadi aku belum tahu semua tentang kamu waktu itu," bisik gue mesra di telinganya.

"Kamu aja lupa ultah papi aku!" imbuhnya.

Astaga. Ngapain juga gue mesti inget-inget ultah bokapnya?

"Ultah anaknya yang kusayang aja waktu itu aku lupa, masa ultah papinya malah inget. Ntar kamu makin cemburu, dong?" Gue gombalin aja.

Muka Emma-cewek gue-malah makin kecut, bahkan pake ngejauhin dagu yang mau gue colek.

"Kamu emang paling bisa ngeles. Aku 'kan malemnya udah ingetin supaya SMS papi karena dia ulang tahun."

"Kan waktu itu aku habis pulsa, Yaaang ...."

Padahal gue bohong. Ya kali masa gue SMS bapak-bapak umur 50-an buat ngucapin ulang tahun? Anak perempuannya aja baru gue ajak jalan belum ada sebulan waktu si bokap ultah, bahkan ketemu aja belum pernah, apa katanya entar? Lagian ... keluarga Emma ini ultahnya deket-deketan banget, sebulan gue jalan ama dia, adaaa aja yang ulang tahun. Bokapnya, kakaknya, adek sepupunya, ponakannya yang masih bayi, untung emaknya udah cerai sama si bokap dan Emma nggak terlalu suka sama keluarga baru nyokapnya, jadi gue nggak didesak-desak suruh ngucapin selamat.

"Aku udah bilang jauh-jauh hari lho kalau Sabtu ini nggak bisa ngajak jalan," kata gue akhirnya buat mengalihkan pembicaraan, daripada panjang urusannya kayak kasus Ahok sama FPI kalau masih ngotot-ngototan siapa yang bener ama cewek, ya kan? "Cuma sekali ini aja, I am all yours after that."

Emma mengembuskan napas lewat mulut sambil putar bola mata. Wajah manisnya dibuang ke arah berlawanan dari gue. Bibirnya cemberut. Bola matanya diedarkan ke segala penjuru sambil sesekali kelopaknya mengedip mirip mata barongsai.

Hari ini Kiki ulang tahun dan kami selalu saling datang ke rumah satu sama lain buat makan malam keluarga tanpa pernah terlewatkan sepanjang sembilan belas kali ulang tahun kami. Seminggu lalu saat gue ultah, Emma ikut hadir. Mama terpaksa ngizinin dia datang karena nggak mau ritual keluarga kami terlewat tahun ini. Terang aja, Emma sukses dikacangin orang serumah, sampai-sampai gue harus ngebujuk dia supaya berhenti ngambek sampai tiga hari tiga malem. 'Sembuh'-nya malah seudah gue berhenti ngebujuk.

"Emang harus gitu ya kamu dateng ke rumah dia sampai sekeluarga gitu?" tanyanya sinis, dengan ekspresi super meremehkan.

"Harus," jawab gue tegas. "Bukan hanya aku dan Kiki yang sahabatan, tapi mama kami juga. Dari dulu mereka selalu ngerayain ulang tahun kami bareng-bareng. Lo juga udah lihat mama, kan? Betapa ngototnya dia kalau soal ritual yang satu ini? Lagi pula, selama aku masih serumah sama orang tua, ya aku ikut aturan mereka."

"Kayak besanan aja mama kamu ama mama dia. Jangan-jangan kalian dijodohin!"

Gue sontak ketawa geli, "Kalau aku dan Kiki mau, mereka bakal seneng banget emang."

Emma langsung menoleh. Alisnya menukik dramatis. Bola matanya membulat penuh, menonjol kayak mau jatuh.

"Terus? Kamu mau?" tanyanya setengah ngebentak. Bukan setengah, deng. Lebih. Soalnya kuping gue sampe pekak.

"Ya nggaklah, Sayang ...," kata gue lembut. "Gue sama Kiki itu udah kayak kakak adik. Kita nggak akan punya perasaan selain itu."

Alisnya turun lagi. Bola matanya perlahan berhenti melotot. Sembari menopang dagu, bibir tipisnya menggerutu, "Lagian dia budeg gitu."

Senyum gue terkulum.

Gue nggak suka ada orang ngatain Kiki budeg. Ya emang dia nggak bisa dengar, tapi nggak ada yang boleh ngatain dia seakan menjadi tuli itu kesalahannya. Meski begitu, gue nggak membantah ucapan Emma. Satu karena gue nggak mau urusan makin runyam, dua memang dia benar. Kalau Kiki nggak tuli, mungkin gue udah pacaran sama dia.

Sembilan belas tahun kami selalu bersama, tapi gue masih suka nggak habis pikir gimana cewek itu melalui hari-harinya tanpa suara.

Dia nggak pernah tahu bagusnya sebuah lagu. Nggak pernah bisa membedakan apakah seseorang bicara lembut atau kasar padanya. Dia hanya tahu seseorang sedang marah atau bahagia dari ekspresi mereka.

Sebelum ada video call, dia nggak pernah bisa bicara di telepon.

Jika bel pintu atau dering telepon di rumahnya tidak dilengkapi lampu yang menyala jika berbunyi, dia nggak akan pernah tahu ada paket atau tamu datang, nggak bisa memberitahu orang lain yang sedang tidur atau berada di kamar mandi jika ada telepon masuk.

Seberisik apapun bunyi-bunyian di sekitarnya, dia nggak pernah tahu. Gimana suaranya sendiri, atau suara orang-orang di sekelilingnya, gimana suara air, suara hujan, suara musik yang merdu, dia nggak tahu. Satu-satunya alat transportasi yang bisa dikendarainya hanya sepeda, itupun tak sepenuhnya bebas dari bahaya. Dia nggak bisa tahu tiap ada kendaraan menyuruhnya menepi, dia nggak tahu jika seseorang di jalan memanggilnya kembali. Dia juga nggak pernah tahu suara sepeda yang dibuangnya di depan pagar rumah gue selalu membangunkan semua orang yang tengah tidur siang saking berisiknya.

Seseorang nggak akan dengan mudah ngatain dia tuli, apalagi budeg, kalau tahu betapa berat hidup yang dia jalani. Keluarga gue adalah beberapa dari sedikit orang yang mencoba memperlakukan Kiki layaknya gadis normal. Namun, bagaimanapun juga, dia memang 'istimewa'. Kami tak mungkin terus menjadi tameng yang melindungi Kiki dari kejamnya dunia dan gue sadar suatu hari nanti akan ada seseorang yang akan melakukan itu untuk Kiki. Gue sendiri nggak sanggup membayangkan Kiki menjadi beban gue seumur hidup. Oleh karena itu gue selalu berusaha menepis perasaan sayang berlebih padanya, sebab gue nggak yakin sanggup melindunginya lebih dari ini.

"Saya! Say!"

Waktu nyadar dari lamunan, gue ampe kaget ngeliat garis urat kebiruan di leher Emma nonjol semua gara-gara neriakin nama gue.

"Sorry, beb, aku nggak fokus."

"Aku mau pulang aja, ah!" rajuknya lagi. "Kamu pilih aja sendiri kado buat Kiki! Sorry, aku capek. Lagian semua barang yang aku tunjuk kata kamu kecentilan-lah, dia nggak perlulah, dia nggak akan sukalah, so kayaknya nasihat aku nggak perlu."

"Jangan gitu dong, Sayangku. Kalau kamu balik duluan, ntar aku nggak enak ama bok-papi."

"Ya udah kalau kamu masih mikirin nggak enak ama papi, anter aku pulang kalau gitu!"

"Lho ... kadonya kan belum beli ...."

"Bodo 'ah. Aku nggak ngerti mau beliin dia apa!"

"Ya udah, kamu ngikut aja beli kadonya, habis itu aku antar pulang, ya?"

"Nggak mau! Aku udah capeeek. Kaki aku udah pegel-pegel semua!"

Ya Allah ... begini banget ya ini cewek lama-lama? Dulu waktu pendekatan aja pengertiannya minta ampun. Telat jemput karena keasyikan main game, dimaklumin. Ditawarin antar jemput ke beauty clinic aja bilangnya nggak usah entar bosen nungguin. Giliran dinaikin pangkat jadi pacar, ngebabu banget. Diajak beli kado buat temen (dan gue sama sekali nggak nyebut-nyebut soal saran atau minta bantuan dia buat milihin kado, karena gue emang udah punya rencana mau beli apaan) malah jalan-jalan ke tempat yang dia demen. Sekarang gue belum beli apa-apaan dia mau balik duluan. Ini kalau gue nekad nggak nganter, pasti bakalan drama lagi.

"Gini aja deh," kata gue mulai lelah. "Kamu tunggu di sini, aku beli kadonya lima belas menit, terus kita balik. Oke?"

Masih diem.

"Sepuluh menit."

Masih nggak disetujui.

"Oke. Lima menit."

"Lima menit kamu nggak balik, aku cabut!"

Terang aja gue nggak mungkin balik dalam lima menit. Jalan ke tokonya aja makan waktu lima menit, nyari ukuran, bayar di kasir, belum kalau antrenya lama, kembaliannya susah, dan lain-lain. Gue putusin untuk nggak balik ke tempat Emma nunggu seselesainya belanja. Palingan juga dia udah pulang, kan? Jadi gue langsung starter motor, cabut pulang karena udah mau sore.

"Udah beli kado?" sambut mama di rumah.

Gue ngangguk sambil salim.

Mama lagi sibuk bikin pie isi daging sapi dan wortel kesukaan Kiki. Cewek itu bisa makan tiga potong besar pie asal yang bikin mama. It's our family signature dish, gue juga nggak pernah bosen sama menu ini.

"Mama nggak cuma bikin buat Kiki, kan?" tanya gue manja, ngintip dari balik bahu mama.

"Besok-lah gampang bikin lagi," katanya. "Lagian mau dimakan kapan? Paling ntar pulangnya dibawain puding labu sama ayam panggang."

Gue berdecap kecewa.

"Kamu beli apa buat Kiki?" Mama menahan gue yang udah hampir meninggalkannya ke kamar.

"Sepatu."

"Lagi?" seru mama lebai. "Tahun lalu bukannya sepatu juga?"

"Nggak, yaaa. Tahun lalu tuh ransel yang warna kuning minion itu. Yang dia bawa-bawa ke sini kalau hari minggu."

"Yang kamu beliin sepatu jogging itu kapan?"

"Tahun kemarennya lagi."

Mama geleng-geleng, "Memang kamu nggak bisa ngasih hadiah yang lebih cewek ke Kiki?"

"Nggak ngerti ah hadiah yang lebih cewek itu kek mana! Next time mamah aja yang beliin kalo gitu, Saya kasihin duitnya ke mama."

"Kamu kan juga punya pacar, Saya ... emang kamu beliin sepatu jogging, atau ransel ke cewek kamu?"

"Ya kan pacar. Kiki 'kan bukan pacar Saya, mam!"

Tuh kan. Mama kalau gue bilang gitu pasti ngedengus sambil cemberut.

"Daripada pacaran sama cewek yang kemarin itu, mending juga sama Kiki," gumam mama. "Cewek yang kemaren itu kayak cewek manja yang sukanya nuntut. Belum pernah dikenalin tahu-tahu udah nimbrung acara keluarga aja."

"Kan Mama yang ngundang."

"Kalau Mama nggak ngundang, kan kamu bakal lebih milih jalan sama dia."

"Ya itu kan ulang tahun aku, Mam."

"Nah makanya! Cewek-cewek kamu sebelumnya nggak ada yang ngotot datang kalau tahu itu acara keluarga."

"Cewek-cewek aku sebelum Emma kan masih pada SMA. Bedalah Mama ... pacaran anak SMA sama kuliahan."

"Tck. Cewek kayak gitu paling doyan nyuruh-nyuruh kamu, kan? Kamu sore-sore sekarang sering keluar pasti disuruh nganter-nganterin dia ke sana kemari, kan? Mama paling sebel, deh. Punya dua anak cowok dua-duanya dibabuin sama cewek lain. Sama mamanya aja disuruh nganter belanja susahnya minta ampun!"

Mulaaai ...!

"Habis ... Mama ngajaknya belanja ke pasar tradisional, ya Saya malu, dong. Belanja bulanan juga kan masih suka Saya anterin kalau Kak Kita lagi nggak bisa."

"Tau, ah!"

"Lagian mama tahu banget Emma kayak gimana, pasti mama dulu juga gitu ya ke papa?"

"Enak aja! Mama tuh cewek paling pengertian yang pernah dipacarin sama papa kamu. Tanya aja kalau pas papa pulang. Mana pernah mama minta diantar-antar, atau maksa ikut ke acara keluarga padahal belum pernah diajak ke rumah sebelumnya. Emang mama cewek apaan!"

"Ya zaman mama sama zaman sekarang beda kali, Mam. Kan bagus mama tahu pacar aku siapa. Di luar sana, anak muda pada sembunyi-sembunyi pacaran tahu-tahu-"

"Tahu-tahu apa?" sambar mama sebelum gue nyelesaiin kalimat.

"Enggaaak ..." cengir gue ngeri.

"Awas aja kamu kalo malu-maluin mama!" ancam mama sengit. "Sana mandi, siap-siap. Habis salat maghrib kita berangkat. Kamu udah bungkus kadonya pake kertas warna-warni, kan?"

Sebenernya sih udah, "Nggak usah dibungkuslah, buat Kiki ini!"

"Jangan malu-maluin mamah kamu ya, Say! Saya!"

Gue ketawa sambil cabut ke lantai dua. Ke kamar. Di jalan ketemu Kak Kita yang baru kelar mandi. Ngobrol bentar soal kado buat Kiki yang emang kami beli patungan. Seudah Kak Kita bayar bagiannya, kami masuk ke area pribadi masing-masing.

Bukannya gue nggak mau beli kado khusus buat Kiki, tapi sejak kami tumbuh dewasa, gue udah membuat batasan-batasan yang harus gue patuhi. Salah satunya adalah tidak memperlakukan Kiki terlalu istimewa. Kalau gue nggak ingin marah setiap kali mendengar orang lain menghinanya, nggak ingin sedih saat orang lain lebih berarti baginya, gue nggak bisa jatuh cinta sama Kiki. Nggak boleh.

Setengah jam nggak ngapa-ngapain, cuma guling-guling di kasur melepas penat sambil terkantuk-kantuk, gue terkejut waktu mama teriak dari dapur. Buru-buru gue menyambar handuk dan baju dalem buat ganti. Sebelum melesat keluar atau bakal diomelin, gue lebih dulu mengecek ponsel yang gue charge.

Sial! Entah sejak kapan gue silent, belasan telepon masuk dari Emma sama sekali luput dari perhatian. Sewaktu gue telepon balik, nggak nyampe kedengaran nada sambung, telepon dijawab. Baru aja gue sapa, cewek itu udah nyembur duluan. Gue ampe bengong, "Saya! Lo di mana?! Katanya lima menit, ini udah berapa jam?! Gue masih nungguin lo di tempat tadi!!!"

Aaastaghfirulloh ... bukannya dia bilang nggak mau nunggu seudah lima menit?!

AN:

Vote dan komen, yaaa!

Really, saya setuju sih kalau penulis ada yang bilang what bother you to hit vote if you read it? It makes us satisfied. If you like it more, say something on comment. But well ... it's up to you, but I'd appreciate voters and commentators I love you.

Jadi ini cerita remaja ya, meski usia pemeran utamanya udah 19 tahun, sih. Mungkin akan ada beberapa part yang diprivate, mungkin enggak. Ini cerita aman, anak-anak 13+ kayaknya boleh baca, nanti yang agak-agak dewasa saya punya cerita lain. Kangen juga nulis yang agak semriwing. LOL. Udah lama kayaknya ya saya nulis yang aman-aman, nakal dikit bolehlah di cerita lain nanti. Ngahahahaha!

Ini bakal quite fast update setelah MUB tamat, tokoh centernya ada empat: Saya, Kiki, Juna--karena saya lagi suka masak-masak, jadi suka keinget Chef Juna terus dipakai namanya, cuman nggak sosoknya, ya. Jangan bayangin doi--dan Emma. Iya. Emma kayaknya juga termasuk karakter yang menentukan. Ada satu lagi Luna, tapi keluarnya ntar agak di tengah. The storyline has finished, tapi ceritanya masih on writing.

I have nothing left to say, just another light story hoping you enjoy it,

Have a great life, do what you love, or love what you do!

Kincirmainan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro