Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara bel sepeda terdengar dari kejauhan. Kring Kringkring Kringgg kringkring, begitu bunyinya.

Gue mendesah panjaaang sambil mendecapkan lidah. Tck. Sepertinya gue bakal gagal tidur siang lagi, nih.

Hanya dia yang membunyikan bel sepeda nyaring-nyaring dengan nada seperti itu. Bukan loper koran. Bukan tukang susu. Mau pagi, siang, sore, atau malam, berisiknya nggak pernah dikurangin. Tapi, semua orang maklum.

Gue menajamkan telinga, siapa tau aja salah. Akan tetapi, gue nggak pernah salah buat yang satu ini. Suara sepeda yang dibuang begitu saja hingga putaran rodanya berdesing tidak mungkin dilakukan oknum selain dia.

Lalu ... suara pagar terbuka dan tidak ditutup lagi.

Dia sudah melakukan 'kejahatan' semacam itu seumur hidup hingga menganggapnya sesuatu yang wajar. Kalau gue bilang jangan lakukan itu, dia akan menatap mata gue dengan pandangan penuh tanda tanya yang seolah bertanya balik, kenapa gue tiba-tiba nggak boleh melakukannya? Udah belasan tahun gue membuang sepeda begitu aja kayak gitu, menimbulkan suara berisik dan membuat semua orang langsung tahu itu gue, sekarang tahu-tahu itu nggak boleh dilakukan. Apa alasannya?

Persis seperti anak balita yang harus tahu asal usul sebuah jawaban sebelum menelannya mentah-mentah.

"Sihang, Hante! Haya'a ahda?!"

Nah, kan ....

BUG BUG BUG.

Itu adalah suara langkah kaki yang langsung berlari menaiki tangga meski mama belum sempat menjawab pertanyaannya. Biasanya, begitu suara ini terdengar, kantuk gue saat membaca komik pengantar tidur siang lenyap entah kemana.

TOK TOKTOKTOK TOKTOK.

Suara ketuk pintu dalam kecepatan tinggi. Di sini, gue biasanya mengubah posisi tidur menghadap pintu. Lalu ....

BRAKKK!!!

Gue meringis mendengar suara pintu dibuka paksa tanpa dipersilakan masuk. Gue udah siap dengan senyum paling kecut di dunia.

Suara-suara itu akan selalu lo temukan nanti di kisah ini. Terutama pada tiap Minggu pagi dan hari libur, saat biasanya seseorang beristirahat dalam tenang dan damai. Terutama saat dia berada di tempat-tempat di mana semua orang sudah memahami kondisinya. Terutama banget saat ada gue yang selalu menerima dirinya apa adanya.

"Haya!!!" jeritnya sumbang, tepat di ambang pintu.

Mau lihat ada gue di dalam kamar atau enggak, dia bakal menjerit begitu.

"Apa yang gue bilang soal pintu?" tanya gue sejelas mungkin. Dengan artikulasi dan gerakan bibir yang mudah dibaca.

"Guhe uda hetuk pintu, lho," kelitnya sambil ngelempar tas ke lantai.

Tasnya paling-paling hanya berisi komik dan buku sket. Nggak ada peralatan make up yang biasanya menjadi pertimbangan utama cewek-cewek nggak membanting atau melempar tas. You know-lah, cem bedak ... atau merah-merah pipi yang kalau jatuh bisa pecah. Girls sweat so much about it, right?

Tapi cewek satu ini mah enggak.

"Gue 'kan belum menyilakan masuk," kata gue, dengan malas bangkit dari baring.

"Hapa?" tanyanya. "Lo omo hapa?"

"Gue," ulang gue dengan wajah menghadap padanya, "belum ngasih lo masuk."

Mukanya cemberut, "Sooo ...? Lo hugha gha hagi 'apa-'apain!"

Ketus bukan main.

Nggak ada cewek yang bicara ketus ke gue. Dia ini pengecualian tingkat alam semesta. Memang, gue yang secara nggak resmi memberinya hak untuk itu. Kami sudah saling kenal sejak sama-sama dalam kandungan. Her mom and mine berteman sejak remaja dan mengandung anak kedua di saat yang sama. Mereka mengeklaim kami anak kembar yang terpisah di dua rahim yang berbeda. We are fated. So they said.

Oke. Kayaknya sudah saatnya gue kenalin duluan siapa makhluk selebor berjenis kelamin perempuan ini. Sebab ... cerita ini mungkin bakal lebih banyak tentang dia, daripada gue.

Namanya Kiara Zelma, seumuran ama gue. Pendek. Mungkin hanya 150 cm, meski dia suka ngotot 155. Manis, manja, polos. Tipe yang nggak ingin lo kenalin pada dunia karena khawatir keluguannya akan mudah terkontaminasi polusi pergaulan. Sahabat yang gue anggap harta karun paling berharga.

Kepribadiannya campur-campur. Di depan gue, dia ceria dan terbuka. Tak pernah khawatir berkata jujur atau memperlihatkan bagian memalukan dari dirinya. Namun, di depan orang lain, Kiki—begitu biasa dia dipanggil—sangat pemalu dan tak mudah bergaul. Pendiam, tertutup, tapi bisa meledak mengerikan kalau sedang marah. Dia juga pemberani ... berkaitan dengan hal-hal tertentu yang nanti akan bisa lo lihat sepanjang kisah ini.

At some point, dia posesif bukan main. Dipikirnya, gue ini punyanya.

"Lo harus bersikap lebih sopan. Bagaimanapun juga, gue dan lo beda kelamin, Ki. Dan kita udah sama-sama dewasa. Gue punya privasi."

Kiki mengerucutkan bibir tipisnya yang berwarna merah muda cerah.

"Gue bisa aja lagi coli waktu lo masuk," dengus gue pura-pura. Kenyataannya, pintu kamar itu tak pernah sengaja gue kunci. Terutama pada tiap Minggu pagi dan hari libur.

"Hapa?"

"Coooli!" ulang gue sambil memperagakan gerakan tangan maju mundur di depan pinggang.

"Ew!" Kiki mengernyit jijik sambil memukul.

Gue ketawa. Sambil naro komik kembali ke rak buku, gue nanya 'ada apa?' dengan bahasa isyarat tangan sederhana.

Wajahnya yang sempat ditekuk kembali berbinar cerah, seakan baru inget dia nggak datang tanpa alasan.

"Khunjungan mingghu paghiii!" Gigi-gigi putihnya yang kecil-kecil meringis.

"Nooo!!!" Gue menutup mulut, sementara Kiki melempar bungkusan kecil yang diikatnya rapi dan diberi pita.

"Guhe udah jahuh lebih baik dari sebelum'a," cebiknya.

"Apa lagi kali ini?" tanya gue, malas-malasan memungut bungkusan yang mendarat tepat di pangkuan.

Dari aromanya, seperti biskuit. Dari aromanya, sepertinya lezat. Tapi, belum tentu rasanya seenak kelihatannya. Dia pandai 'memanipulasi' kue-kue buatannya dengan bentuk yang cantik-cantik, tapi entah bagaimana selalu gagal menciptakan rasa yang menggugah selera.

"To be honest, ya ... lo tuh harusnya masuk jurusan seni rupa. Ambil spesialis patung, daripada ambil kursus tata boga," ledek gue, setengah serius.

Terakhir kali, gigi gue nyaris rontok waktu dia bikin kue brownies. Ngilu karena kemanisan, bahkan nyaris tanggal karena terlalu keras. Biarpun begitu, gue nggak pernah benar-benar mengusulkan supaya dia menghentikan hobi memanggang kue yang begitu dielu-elukannya itu. Dan jujur—ini antara lo dan gue aja, ya—terutama pada tiap Minggu pagi dan hari libur, gue selalu penasaran kue apa lagi yang dibikinnya untuk dipamerin ke gue.

"Ini kuhe persahaba'an," terangnya sambil menyahut bungkusan yang sedari tadi cuma gue liatin aja. "Hari Sabtu tangghal 30 Juli ada'ah hari persahaba'an hinternasional."

Alis gue otomatis mengerut. Kayak biasanya, cewek ini memang senang aneh-aneh. "Ini sudah bulan Februari, atau lebih tepatnya, ini baru bulan Februari."

"Benar sekali!" Dia menjentikkan jari tepat di depan hidung gue. Bikin gue menjauhkan wajah, tapi tanpa menanggalkan ekspresi 'lo emang orang aneh' gue yang khas. "Soal'a guhe suka lupa kalau pas hari'a, jhadi ya udah guhe kasi sekarang ajha."

Gue ngakak, dong.

"Bilang aja lo mau ngasih gue cokelat Valentine, tapi malu kalo ngasih tepat harinya, kan?"

"Henggak!" bantahnya sambil ngejulurin lidah. "Guhe 'an udah nghasih cohke'at ke gebetan kemarin."

Gue melongo.

"Serius?" tanya gue.

Kiki mengangguk sungguh-sungguh. Pipinya yang chubby memerah malu.

"Krisna?" tebak gue.

Kiki nggak pernah ngaku naksir Krisna, tetangga kami, tapi gue sering ngedapetin dia curi-curi pandang ke cowok itu. Kalau gue nanya, dia pasti mengelak. Soal pipinya yang merah, dia memang selalu gitu tiap kali gue ngomongin soal cowok ke dia. Bagaimanapun, semua orang pasti pernah jatuh cinta, kan? Belasan tahun kami bareng, gue nggak pernah denger dia curhat soal lawan jenis.

Sesuai dugaan, dia menggeleng.

Dan gue pun makin melongo. Bukan Krisna? Lalu siapa? Kok gue nggak tahu?

Penasaran, gue menyentuh lengannya supaya dia berhenti sibuk menata isi tas dan menatap wajah gue. 'Siapa?' tanya gue tanpa suara.

"Lo ngghak kenal." Dia berkelit. "Don't worry. He's a ghood guy!"

Don't worry, katanya?

Siapa juga yang worry? Gue menyengir saat dia nggak melihat.

Ngapain gue worry, coba?

Gue nggak cemburu atau apa. Maksud gue ... dia seorang sahabat yang selalu gue lindungin karena kebetulan tuli. Sewaktu kami masih kecil, dia selalu menyendiri karena kurang percaya diri dan suka digangguin anak lain. Mamanya selalu berpesan supaya gue menjaganya karena menurut dokter Kiki masih bisa sekolah di sekolah biasa.

Telinganya mengalami gangguan beberapa bulan setelah lahir. Dia menangkap suara, tapi sangat, sangat lemah sehingga mengharuskannya mengenakan hearing aid. Dia bisa berbahasa isyarat, tapi karena sering diejek saat masih kecil, Kiki jarang menggunakannya. Meski sumbang, dia tetap bicara. Kadang, hal itu makin bikin dia terdengar aneh, tapi hanya dengan begitu dia merasa lebih normal.

Orang-orang yang sudah mengenalnya dengan baik selalu tahu bahwa mereka harus menggunakan gerakan bibir yang benar dan saling berhadapan jika ingin Kiki mengerti ucapan kami, termasuk gue. Jujur, sejak dulu gue sering merasa kerepotan karena ruang gerak gue jadi terbatas lantaran harus rela diikutin ke mana-mana.

Bahkan, setelah gue kuliah dan akhirnya dia memilih mengambil kursus ini itu, kami masih sering main bareng. Nggak jarang, cewek yang currently jalan ama gue ngerasa cemburu. Berhubung dia tuli, sebagian besar dari mereka merasa maklum dan menganggap hubungan kami nggak akan lebih dari sekadar teman dekat. Jadi, kalau seiyanya dia punya pacar, harusnya gue ngerasa bebas.

Gue sendiri juga ngerasa nggak mungkin aja punya perasaan lebih ke dia. Iya gue sayang, gue peduli, tapi lebih banyak karena kekurangannya aja. Seperti saat ini, kernyitan di kening gue ini pasti karena gue ngerasa khawatir aja. Gimana kalau cowok itu hanya mempermainkannya? Gimana kalau cowok itu nggak sebaik yang dia pikir?

Gue juga cowok gitu, nggak selamanya gue bisa ngejamin kelakuan gue bakal selalu baik ke cewek. Apalagi ... pada seseorang seperti Kiki. Nggak kayak gue, cowok itu pasti nggak memiliki sense of protecting sebesar yang gue punya. Bagaimana kalau dia punya niat jahat?

Gue bukannya ragu akan ada cowok yang bisa nerima dia apa adanya. Kalau dia nggak tuli, gue yakin banyak yang mau ama dia. Dia cewek paling manis, paling baik yang ingin gue lindungi. Selama ini gue selalu dihantui masa depan di mana gue nggak akan bisa melepaskan diri darinya. Namun, karena berada di sisinya begitu nyaman, gue nggak terlalu memikirkannya. Bersama Kiki, gue nggak perlu pura-pura bersikap manis dan baik hati supaya disukai seperti terhadap cewek lain. Seperti dirinya ke gue, gue merasa bisa menjadi diri gue seutuhnya ke Kiki.

Mendadak, saat menimang bungkusan kue persahabatan darinya, gue merasa tersisih.

Sahabat mungkin adalah seseorang yang akan selamanya ada untuk kita, tapi nggak selalu menjadi yang utama dalam hidup seseorang.

Untuk pertama kalinya, Saya nggak akan jadi orang pertama buat Kiara Zelma.

AN:

Hai I am planning on continuing this story, tapi mungin agak slow update karena My Unconscious Baby dan Bang Kenan masih jadi 1st priority buat ditamatin. 

And about the cover, it's actually a teen fiction, but maybe not, 19 tahun masih masuk teen nggak, sih? Enggak, ya? Tapi karena ini nggak melulu romance, nggak chiclit, mau masuk general fiction juga nggak cocok kayaknya, lagi-lagi saya demanding Wattpad buat bikin genre Young Adult, dooong ... ayo dong, Wattpad! Hahahah...

Covernya terlalu dewasa nggak, sih? Isinya sih enggak, cuma karena it has something to do with the story, itu cowoknya kayak lagi bisikin telinga si cewek, saya ambil buat cover. Kalau ada yang mau bikinin cover, saya penginnya ada hearing aid-nya, gitu. Tempo lalu saya bikin pake hearing aid, but I can just use Pics art and it's not good enough I think. Pleaaase propose to me I am poor with the cover, really.

Well anyway, enjoy, ya!

Kincirmainan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro