29. Seharusnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Mengikat seseorang dengan perasaan bersalah 

hanya akan memberimu hubungan semu

"Dia lagi nggak mau ketemu sama kamu. Lagian ini udah malam, Jun. Kiki udah istirahat."

Juna menunduk resah. Dia tahu ada yang salah sejak pesan dan teleponnya tak pernah direspons. Namun, begitu membaca inbox dari Saya, dia tak menyangka semua ini ulah Luna. Dia sudah berniat mengenalkan Luna secara baik-baik dengan Kiki, suka atau tidak suka, gadis itu harus mau memahami bahwa mereka berdua tak terikat.

Sayangnya, Luna bergerak lebih cepat.

"Jun ... Kiki itu beda sama cewek lain," tutur ibunda Kiki hati-hati. "Mungkin karena keterbatasannya, dia sering merasa rendah diri. Sampai sekarang Tante juga belum tahu apa yang terjadi, tapi apapun itu, tolong kamu selesaikan baik-baik. Jangan libatin Kiki kalau kamu punya urusan yang belum selesai dengan orang lain."

"Bukan gitu, Tante," Juna menyanggah. "Ini nggak seperti yang Tante pikirkan. Tapi saya janji akan nyelesaiin ini tanpa melibatkan Kiki. Sungguh ... saya nggak kayak yang Tante pikirkan. Saya sayang sama Kiki dan nggak punya urusan tak terselesaikan dengan siapa pun."

"Mungkin menurutmu begitu, tapi bisa aja ada orang yang nggak menganggapnya demikian, lalu bawa-bawa Kiki. Tante nggak mau Kiki kayak gini, hidupnya sudah berat, Jun."

"Saya ngerti, Tante."

"Kamu mending pulang aja dulu, ya? Kalau kamu butuh teman ngomong ... coba kamu ngobrol sama Saya. Dia jauh lebih ngerti Kiki dibanding siapa pun. Bahkan ... ada hal-hal yang nggak bisa dicampuri oleh kami sebagai orang tuanya sendiri. Kalau lewat dia, mungkin penjelasan kamu akan lebih didengar sama Kiki."

Setelah mengangguk patuh, Juna mengendarai motornya menjauhi rumah Kiki. Ada satu tempat yang ingin ditujunya tanpa bisa menunggu meski malam sudah larut.

"Den Juna?" Pak Tio membukakan pintu. "Malam-malam gini, Den? Non-nya udah tidur kayaknya."

"Saya cuman sebentar aja, Pak. Bangunin aja."

Sopir keluarga itu berpikir sejenak, "Nggak ada nyonya ...," gumamnya. "Tapi kalau aden datang saya nggak ngasih tahu juga saya kena marah Non Luna. Coba saya bangunin, deh. Den Juna tunggu di sini, ya?"

"Pak Tio," panggil Juna lirih. "Bapak yang nganter Luna nemuin Kiki?"

Wajah Pak Tio makin muram, "Saya udah mencoba ngejar, Den. Saya juga kasihan, tapi Non nggak ngasih saya. Gimana anaknya, Den? Selamat kan sampai rumah?"

"Luna tahu dari mana?"

Pak Tio tak menjawab.

"Dari bunda?"

Menggeleng, "Dari saya."

"Gimana Pak Tio bisa tahu?"

"Saya ... udah disuruh ngikutin aden beberapa minggu belakangan, Den. Sejak Non Luna marah-marah karena Den Juna suka susah dihubungin."

Juna mendesah berat, "Pak Tio kok tega sama saya? Bapak tahu kan saya sama Luna nggak ada apa-apa? Dia nggak berhak ngerecokin hubungan saya. Terlebih, ini bukan soal saya aja. Bapak tahu keadaan Kiki kayak gimana?'

"Saya nggak punya pilihan, Den—"

Kalimat Pak Tio menggantung. Juna menyentuh lengan pria itu, mencegahnya bicara lebih lanjut mendengar desing roda berputar lirih mendekat. Luna muncul di ambang pintu menuju ruang tamu.

"Juna?" sebutnya heran.

Tanpa diminta, Pak Tio meninggalkan mereka berdua.

Juna yang tak ingin berbasa-basi, segera menanyai Luna, "Kamu ngapain ke tempat Kiki? Ngomong apa aja kamu ke dia?"

"Kamu nggak datang di janjian Minggu pagi kita."

"Aku ke sini kamu nggak ada."

"Tapi itu udah nggak pagi lagi, Jun."

"Aku punya urusan yang nggak semuanya kamu harus tahu. Sampai kapan aku harus nemenin kamu tiap Minggu pagi?"

"Aku nggak tahu, dulu kamu janjinya gimana?"

Diam-diam, Juna menahan kesal. Dia tahu kasus ini nggak akan berakhir sampai di sana. Setelah berurusan dengan Luna, pasti hal ini akan sampai di telinga bundanya. Akan tetapi, dia terlalu kesal untuk peduli.

"Lun, aku pacaran sama Kiki," beritahu Juna, mengesampingkan semua risiko yang akan ditanggungnya. Toh, cepat atau lambat, Luna harus tahu. Juna hanya tak menyangka Luna berbuat sejauh itu untuk mengganggu Kiki.

Ternyata, Luna justru tak marah. Dia membuat ekspresi cemas di wajahnya, "Aku tahu," katanya. "Kok bisa?"

Juna menjawab lugas, "Aku sayang sama dia."

"Kamu juga bilang, kamu sayang sama aku dulu."

"Lain."

"Lain gimana?" cecar Luna. "Apa itu kamu bilang karena saat itu kondisiku sedang menyedihkan?"

"Bukan gitu, Lun."

"Lalu apa? Apa dia juga semenyedihkan aku sampai kamu juga sayang sama dia?"

Juna membelalakkan mata.

"Aku tahu kamu. Kamu lemah sama kelemahan orang lain. Apa perempuan itu pakai modus yang sama denganku?"

"Jadi itu memang hanya modus?"

"Kamu lihat kakiku lumpuh beneran, enggak?"

"Aku nggak sayang sama Kiki lantaran kekurangannya. Aku juga nggak mengucap sayang karena kasihan, dia perempuan paling kuat yang pernah kukenal. Kalau aku jatuh cinta, bukan karena dia lemah, melainkan sebaliknya."

"Jadi kamu jatuh cinta?" ulang Luna, nadanya pedih.

Juna tak menjawab, menurutnya keterangannya sudah cukup jelas. Dia juga tak ingin jatuh kasihan pada Luna karena ternyata memanjakan tidak akan membuat gadis itu segera pulih. Dia justru makin bergantung padanya. Sebelum mulai kerja, Juna selalu mengantar Luna terapi, tapi dia jarang mau melakukannya sendiri saat Juna sibuk. Awalnya kesembuhan Luna membuatnya merasa terbebani, tapi laun dia merasa tak lagi mampu jika tanggung jawab itu beralih ke benaknya.

"Iya, aku jatuh cinta sama dia, makanya aku ngajak dia pacaran."

"Dia mendekatimu, atau menggunakan ketuliannya untuk menarik perhatianmu?" tanya Luna sinis.

"Aku yang mendekatinya dan aku tertarik bukan karena dia tuli. Sekali lagi aku bilang, ini nggak ada hubungannya dengan kekurangannya."

"Kalau kamu hanya mau berarti dalam hidup seseorang, kamu bisa sangat berarti buatku, Jun."

"Aku tahu. Justru itu aku bilang, aku nggak tertarik karena dia tuli, aku nggak tertarik menjadi berarti buat seseorang karena kekurangannya. Aku ingin jadi seseorang yang berarti buat seseorang yang buatku berarti."

"Aku nggak berarti buatmu?"

"Kamu bisa berarti buatku dengan cara lain."

"Dengan bagaimana?" Luna mencemooh. Menirukan suara sumbang Kiki saat mengatakan, "Haku hisah hetap berteman henganmu hehperti Kiki han Haya, gitu?"

Wajah Juna sontak berubah. Luna seperti sengaja memancing emosinya. Telinganya memerah karena berang, "Kamu nggak bisa bersikap kayak gini terus, Lun. Kalau bukan dengan usahamu sendiri, kamu nggak akan bisa mengubah keadaan. Apa kamu akan terus membuat semua orang kasihan sama kamu? Aku masih peduli sama kamu, aku senang kita berteman, aku akan bantu sebisaku, tapi aku nggak bisa terus-menerus ngelakuin apa yang kamu mau. Aku bukan bawahanmu. Dan jangan mempengaruhi bundaku lagi. Kasihan dia, Lun. Dia nggak salah apa-apa."

"Memangnya apa yang kulakukan ke bundamu?'

"Kamu pikir aku nggak tahu kamu terus merengek perhatian ke dia, itu bikin rasa bersalahnya nggak mau hilang!"

"Jadi rasa bersalahmu udah hilang?"

"Seharusnya aku nggak ngerasa bersalah sejak awal," tandas Juna. "Aku nggak salah apa-apa. Aku juga kehilangan ayahku, nggak hanya kamu. Dan kalau kamu mau lebih rajin terapi, kamu mungkin bisa jalan lagi. Kakimu bakal normal lagi, trauma itu juga bisa sembuh. Aku tahu semuanya, Lun. Mamamu sendiri yang ngasih tahu aku. Kalau aku masih nurutin kamu, itu salah satunya kulakuin buat bundaku. Aku juga nggak keberatan kita tetap berhubungan baik, tapi kalau kamu terus mengganggu kehidupan pribadiku, aku lebih nggak keberatan kalau kita nggak saling kenal lagi."

Luna mencengkeram lengan kursi rodanya, air mata menggenang di pelupuk matanya. Suaranya terdengar dalam, menggeram, "Kamu tega? Kalau bukan karena kamu, waktu itu ayahku dan aku nggak harus ikut mobil nahas itu, Jun."

"Aku nggak pernah minta kalian ikut."

Bibir Luna bergetar.

"Kalau aku tahu akan begini, biar ayahku aja yang mati. Kalau tahu akan begini, aku nggak akan minta dijemput sama sekali. Aku mau ngeringanin bebanmu, dengan caraku, bukan caramu."

"Kamu pasti udah memendam perasaan itu begitu lama ya, Jun? Kamu bikin hatiku jauh lebih sakit dari sebelumnya."

"Aku nggak ngerti di bagian mana aku nyakitin kamu. Kamu yang nyakitin aku, nyakitin orang yang aku sayang. Coba kamu balik posisinya. Kamu yang jadi aku, siapa yang nyakitin siapa?"

Tangis Luna makin kencang, "Kamu yang nyakitin aku! Aku cuma punya kamu!"

"Kamu yang nutup diri dari orang lain, Lun. Coba kamu hubungin teman-teman baikmu dulu, kembali ke kampus, kamu dulunya punya banyak teman ...."

"Teman nggak selalu ada saat seseorang susah."

"Itu nggak benar, mungkin ada yang begitu, tapi nggak semuanya kayak gitu. Aku pun, kehilangan cukup banyak teman, tapi bukan mereka yang menjauh, karena aku yang nggak punya pilihan. Aku harus kerja, harus menuhin kebutuhan, kamu enggak. Mainlah keluar, Lun, mainlah sama aku dan Kiki. Kami akan dengan senang hati—"

"Keluar," gunting Luna dingin.

"Tolong jangan hasut bundaku soal ini, biar aku yang jelasin sendiri."

"Keluar!!!"

Juna tak membuang waktu. Meski berat, dia angkat kaki dari rumah Luna. Bukan rumah tempat tujuan selanjutnya, tapi sebuah kedai kopi di mana Saya menunggu. Mereka lebih dulu membuat janji lewat sosial media, kemudian Juna meminta waktu sebentar untuk menemui Luna.

Dua gelas kopi yang hampir dingin sudah tersaji di meja. Saya tak menunggu sendiri, ada Heru bersamanya.

"Makasih udah mau datang," buka Juna.

Saya hanya mengangguk, tanpa mengimbuhi senyuman. Sejak bertemu dan selalu merasa terkalahkan oleh Juna, pemuda itu sering membayangkan bagaimana rasanya jika dia berhasil mengungguli seniornya di kampus itu.

"Saya, aku udah sering bilang ke Kiki untuk terus terang soal hubungan kami," Juna meremas jemarinya sendiri. Meski tak pernah bersikap buruk, jelas nada bicara Juna berubah. Kesan senior rendah hatinya lenyap, mereka seperti bertukar posisi.

"Itu nggak penting," ucap Saya pendek. "Yang penting gimana biar Kiki nggak pernah ngalamin hal seperti tadi siang. Aku nggak bilang aku nggak pernah nyakitin hatinya, tapi selama ini aku berusaha keras melindunginya dari hal-hal semacam ini."

"Aku tahu."

"Aku nggak suka Kiki diduain," tembak Saya.

"Aku nggak kayak gitu," sangkal Juna tenang. "Biar kujelasin. Aku dan Luna nggak ada apa-apa."

"Kiki bilang kalian sama kayak aku dan dia."

"Itu juga nggak sepenuhnya benar, aku nggak bilang segamblang itu ke Kiki. Kubilang aku ingin suatu hari aku dan Luna bisa kayak kalian berdua, berteman, tapi punya kehidupan sendiri-sendiri."

"Oke lah. Kayaknya aku juga mulai paham pokok permasalahannya. Memangnya Kak Juna nggak ngerasa Luna naksir sama Kak Juna?"

"Lebih tepatnya aku nggak tahu kalau dia bisa berbuat sejauh itu, atau punya hak buat nyampurin urusanku," gumam Juna. "Ayahnya dan ayahku ada di mobil yang sama saat sebuah kecelakaan terjadi beberapa bulan lalu. Luna juga ada di sana."

Saya dan Heru saling pandang.

"Kalian datang ke pemakaman ayahku, kan?"

Mereka berdua membenarkan serempak.

"Ayahku menyetir, menewaskan ayah Luna. Gadis itu lumpuh karena cidera berat, tapi selebihnya disebabkan oleh trauma ... sebenarnya dia bisa sembuh kalau mau, tapi ..."—Juna memikirkan kata-kata yang tepat—"intinya aku nggak bisa berbuat lebih dari sekadar membantunya melewati masa-masa sulit. Aku juga nggak harus ngasih tahu dia kalau aku dekat dengan seseorang, kan?"

"Nggak," Heru menyela. "Oh ... eh ... tentu saja enggak. Bahkan kalau hubungan kalian seperti Saya dan Kiki pun ... Saya nggak selalu bilang kan kalau lagi dekat dengan seseorang?"

"Aku bilang," kata Saya tanpa berpikir.

Juna dan Heru gantian saling pandang.

"Yah ... maksudku aku udah sama Kiki sejak kami masih kecil, dan ya ... hubungan kami nggak seperti kalian berdua. Aku selalu bilang, kok, tiap aku dekat, atau jadian sama siapa. Karena dia sahabatku. Kiki akan marah kalau dia nggak tahu apa-apa. Kayaknya ... Luna ini merasa Kiki merebut Kak Juna darinya."

"Aku berniat ngenalin mereka berdua, bagaimanapun caranya, suka atau enggak suka. Tapi rupanya aku keduluan."

Saya meneguk sisa kopinya. "Kiki syok banget kayaknya."

"Aku bisa ngebayangin."

"Terus apa rencana kakak selanjutnya?"

"Itu yang mau aku bicarain sama kamu," kata Juna, lalu menggigit bibir bawahnya. Cemas. "Aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak bisa nelepon dia, aku nggak bisa jelasin beginian lewat pesan. Aku juga nggak bisa ninggalin pesan suara, kan, sedangkan dia nggak mau angkat panggilan video-ku. Kupikir aku harus jelasin sejelas mungkin ke kamu, ngeyakinin kamu duduk permasalahan sesungguhnya supaya kamu bisa sampaikan ke Kiki."

Saya menelan ludah.

Ini molor banget, I know, I am sorry. Weekend ini saya fully occupied, padahal harusnya update. 

Sebagai gantinya, dalam dua-tiga hari saya update lagi, ya!

Jangan lupa vote dan komennya. Muach!

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro