30. What Friends Are For

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


I'll be there for you like you're there for me too

"Mau ke mana sih, Dek, pagi-pagi gini?"

Begitu gue melangkah masuk dapur, mama langsung nanya gitu, padahal sebelumnya gue denger jelas doi lagi ngobrolin Kiki bareng Kak Kita. Gue kadang takjub, nggak pernah aja mama kelihatan gugup meski ketangkap basah lagi ngerumpi. Ethan Hunt aja lewat kalau disuruh cepet-cepetan mikirin plan B sama nyokap. Ntar kalau diingetin dosa ghibah, ngelesnya ngalah-ngalahin bajaj.

"Ke tempat Kiki dulu," jawab gue sambil duduk.

"Bener cewek yang datengin Kiki ada hubungannya sama kematian temen papah, Dek?" Kak Kita nimbrung. Inilah bedanya cewek sama cowok, kalau cowok mah nanya-nanya aja, nggak usah muter-muter dulu kayak rute kopaja.

Gue ngangguk, nerima sarapan pagi dari mama. Sepiring nasi goreng lauk telur dadar.

"Luna yang kita lihat di supermarket waktu itu?" tanya mama.

"Iya," gue mulai nyuap.

"Udah berdoa, belum?" sela mama, sempet-sempetnya.

Gue jawab sambil puter bola mata, "Udaaah."

"Kapan? Mama nggak denger, dalam hati?"

"Allahumma baarik llanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naaaaar!" lafal gue kenceng dengan mulut penuh, sebagian nasi menyembur keluar dari mulut yang terbuka.

Mama cemberut. "Biasa aja keleus...!"

"Terus-terus, Dek, gimana ceritanya?" tanggap Kak Kita yang udah duluan kelar sarapan.

"Kenapa? Kakak mau laporan sama Kak Tessa?" ledek gue, menghindar gesit waktu dia mengayun gulungan koran paginya.

"Emang kenapa kamu sama Tessa?" serobot mama.

"Nggak apa-apa!" Kak Kita memelotot. "Saya didengerin sih, Mam. Dia aja nggak bakalan dapet Kiki karena Kikinya udah ama Juna, Kita yang dijadiin pelampiasan."

"Mama nggak apa-apa, kok, kalau kamu sama Tessa. Mama seneng malah!"

"Nah tuh, Kak. Tinggal Kak Tessa-nya mau apa enggaaak ... aduh!"—kepala gue kena sambit—"Mah ... mamah kalau aku yang diginiin Kak Kita mamah diem aja, sih? Sakit nih!"

"Kamu juga lancang sih mulutnya," Mama malah nambahin sewot. "Anak kecil nggak usah ikut campur urusan orang dewasa, deh. Buruan ceritain aja si Kiki kenapa sama Luna!"

Dan intinya gue pun cerita apa adanya. Ada bagian-bagian yang gue wanti-wanti ke mama supaya nggak dibagi ke Tante Lut, kecuali Tante Lut udah tahu duluan, ada yang gue sembunyiin dikit-dikit. Tentu gue bumbuin misteri juga, soalnya ibu-ibu kalau denger cerita seru reaksinya suka lucu.

Sekarang ini gue janjian sama Juna buat nemuin Kiki, tanpa sepengetahuan Kiki. Cewek itu masih ngurung diri aja di kamar, jangankan Juna, panggilan video gue aja nggak selalu dijawab. Mukanya kucel, takutnya kalau dibiarin kelamaan kesurupan. Jadi gue pikir-pikir ... mungkin jalan terbaiknya mempertemukan mereka berdua.

Gue ada kuliah jam sebelas, jam pertama pindah sore atas informasi asdos, jam kedua masih bisa bolos. Sialnya, sampai jam delapan, sampai mama maksa gue cuci piring gara-gara masih mondar-mandir nggak pergi-pergi, Juna nggak datang juga.

"Luna sakit," katanya waktu gue telepon.

"Sakit? Bukannya baru semalem Kak Juna ketemu dia?"

"Iya ...," suaranya terdengar lesu. "Aku juga sempat mikir dia cuman bikin-bikin."

Seriusan, gue agak geli sih aku-kamuan sama Juna. Kayaknya sebelum semalam dia minta bantuan gue, kami berbicara dengan normal layaknya dua cowok beradab. Tapi, gimana, ya, kalau dia sendiri pake 'aku' masa tahu-tahu gue pake 'gue-elo', kan nggak sopan. Mana gue kayak kejebak senior-junior zone pula, manggil Kak Juna. Hiyyy....

"Ternyata?"

"Diopname."

"Diopname?!"

Wow cepet banget ya kalau orang kaya yang sakit. Semalem masih nggak kenapa-kenapa, palingan juga masuk angin nggak bisa tidur habis 'ditempeleng' kenyataan, udah diopname aja. Dari sekian banyak artikel yang menggunjingkan BPJS wara-wiri di sosmed, orang kaya bisa diopname karena masuk angin? Ya ampun ... ngapain juga gue ngurusin BPJS? Jelas Luna nggak mungkin pake BPJS lah, mama bilang kakeknya masih kaya raya meski perusahaan mendiang bapaknya gulung tikar.

Tapi gue penasaran, "Sakit apa dia, Kak?"

"Nggak tahu,"—Nah kan, paling juga ngedrama—"katanya semalam badannya panas tinggi, pagi ini pingsan."

"Ditolak bisa gitu, ya?"

Juna mengekeh pelan. "Kata bundaku sih, Luna memang fisiknya lemah. Terlebih setelah kecelakaan."

Welp ... gue nggak tertarik sama urusan Luna. "Terus Kak Juna sekarang di mana?"

"Aku nggak bisa ikut kamu sekarang," katanya.

"Aku ada kuliah siang sampai sore, kalau nggak bisa sekarang ... ya kita reschedule."

"Aku juga kerja nanti sore," katanya bimbang. "Tapi aku nggak bisa cabut gitu aja sekarang, bundaku panik. Kami berantem waktu aku bilang nggak bisa ikut ke rumah sakit pagi ini."

"Bundanya Kak Juna ...." gitu amat.

"Bundaku kayak yang semalam kubilang, Say ... Saya ... namamu nggak enak banget ya dipotong di tengah"—kami ketawa canggung—"dia nggak bisa terima kalau aku nelantarin Luna. Dia masih aja nganggap semua ini utang budi."

"Kak Juna nggak bisa ngelawan?"

"Emang kamu bisa ngelawan kemauan bundamu kalau cuma kamu yang dia punya?"

Yah ... nggak cuman gue yang dia punya aja udah horor ngebayangin ngelawan mama. Huuu ... pasti gue jadi batu kayak Malin Kundang, posisinya juga bakal memalukan pas jadi patungnya, nggak mungkin biasa aja. Mama kayaknya bisa kejam banget kalau sampai nyumpahin, mungkin nggak akan jadi batu, jadi kecebong, atau .... "Nggak," jawab gue cepat.

Tapi mama kayaknya nggak akan ekstrem banget sampai ngejodohin dengan orang yang nggak gue mau. Kalau dia gitu, udah kawin kali gue sama Kiki begitu akil balig.

"Jadi sebaiknya kita reschedule," katanya. "Aku lagi sama bundaku, dia lagi nanya ke bagian informasi. Saya ... kamu tetap akan nemuin Kiki, kan?"

"Niatnya kan bertiga, kalau enggak sama aja."

"Temuin aja kalau kamu ada waktu, aku agak khawatir sama dia. Siapa tau kalau kamu bisa bujuk, aku udah boleh nemuin dia sebelum berangkat kerja."

Gue mikir-mikir. "Okelah, aku juga udah siap pergi." Kalau kelamaan di rumah lama-lama bisa disuruh nyetrika sama mama. "Kalau dibiarin kelamaan takutnya kemasukan setan. Tapi ... soal Luna gimana? Kalau dia nggak mau ngebiarin Kak Juna sama Kiki begitu aja, takutnya dia lebih nekat dari ini. Aku nggak mau Kiki kenapa-kenapa."

"Menurutmu gimana?"

"Lah kok malah menurutku?"

"Terus terang ... aku juga bingung. Kalau bundaku nggak ikut campur, aku bisa abaikan Luna begitu aja. Tapi ... masalahnya ini ...."

"Aku tahu bunda Kak Juna penting, tapi buatku Kiki juga penting. Gini ajalah ... aku coba bicara sama Kiki dulu dia maunya gimana, tapi aku nggak janjiin apa-apa. Apa pun yang Kiki mau, aku dukung. Tinggal di Kak Junanya, soalnya kalau cewek itu ngapa-ngapain Kiki lagi, aku nggak akan diem aja."

"Oke," ucap Kak Juna ragu. "Oke ... gitu aja."

"Oke."

Gue ngerasa hal ini nggak akan semudah kisah cinta pada umumnya. Yah ... hal-hal kayak ginilah yang gue takutin sebenarnya, kenapa gue nggak mau melangkah lebih jauh mengenai perasaan gue ke Kiki. Sensitif. Mutusin cewek biasa sih gampang, tinggal baik-baik, beres. Mutusin cewek kayak dia pasti lebih berat, urusannya sama hati nurani. Belum kalau rivalnya sama aja, malah lebih parah, ngandalin kelemahan. Capek deh jadi Kak Juna.

'Gue nggak mau ngomongin itu,' kata Kiki dalam bahasa isyarat begitu dia membukakan gue pintu kamarnya.

"Tapi muka lo udah kayak sundel bolong," gue ngomong biasa aja. "Lo perlu teman bicara."

'Lo pasti jelek-jelekin Kak Juna, gue males dengernya.'

"Gue justru ke sini karena Kak Juna minta tolong ke gue."

Alisnya yang dari tadi turun kini melengkung bersama kedua matanya yang membelalak, berbinar-binar. Namun, secepat gue menyadari perubahan mimik wajahnya, ekspresi itu pun seketika lenyap. Malahan, dia menutupinya dengan berlagak curiga, "Hohooong!" Gue menyingkirkan telunjuknya yang menuding dari depan hidung. "Ho han henci hak Juhnaaa," katanya lagi.

Gue tutup kuping, "Mending lo ngomong bahasa isyarat aja, deh. Kuping gue sakit dengernya."

Kiki memantul di atas kasur, mulai menggerakkan tangannya, 'Kak Juna bilang apa?'

"Kak Juna sayang sama lo," pendek gue, bingung mau mulai dari mana. "Lo sayang nggak sama dia?"

'Dia sama Luna?' dia nanya, malu pasti disuruh ngejawab.

Gue membalas dengan nggak menjawab pertanyaannya, "Sayang banget lo pasti, ya? Ketahuan muka lo serem gitu, lo pasti nangis semalaman. Oh ... Kak Juna ... kenapaaa kamu jahat sama aku? Udah diapain aja lo sama dia?"

Bantal yang dilemparnya gue tangkis dengan mudah dibarengi tawa mengejek.

'Kak Juna nggak jahat, dia nggak salah.'

"I know right? Lun—"

'Mungkin malah aku yang salah.'

"Lah? Kok jadi elo yang salah?" protes gue. "Ini lho yang gue nggak seneng dari lo. Lo tuh selalu gini, apa-apa kalau kacau, lo pasti nyalahin diri sendiri. Ini bukan salah lo, emang salah lo di mana? Juna nggak ada apa-apa sama cewek itu, dia bebas suka sama siapa aja, sama lo, sama Raissa, Isyana, terserah dia!"

Alis Kiki kembali menukik heran.

"Lo punya hak yang sama dengan cewek itu buat memperjuangkan kebahagiaan lo, bukannya lari. Bahkan, lo punya hak lebih, Juna cowok lo. Gue sebel kalau lo ngerendah gini. Hanya karena lo nggak kayak cewek-cewek lain, hanya karena lo tuli, suara lo aneh, selera musik lo K-Pop—maksud gue, kalau lo nggak bisa denger, kenapa lo nggak milih yang lebih tinggi musikalitasnya—"

"Keh Pop hagus!" belanya.

"Yah whatever, maksud gue ... hanya karena semua itu, bukan lantas lo harus ngalah teruuus menerus. Kapan lo mau berjuang buat kebahagiaan lo? Hah?"

"Haya ... ho henggak ngehertiii ...," katanya sambil keliatan putus asa banget, bikin gue tersinggung. Habis seolah gue bego banget gitu dianggep nggak ngerti.

"Apa yang gue nggak ngerti?" tanya gue.

'Luna kenal sama Kak Juna jauh lebih dulu dari pada gue,' jelasnya dengan bahasa isyarat. 'Kayak kita berdua.'

"Terus kenapa? Lo nggak pernah melakukan hal serendah yang dilakukan Luna ke lo!"

Kiki sontak tersentak mendengar ucapan gue.

"Lo pikir gue nggak tahu lo selalu sayang sama gue?"

Napasnya yang terhenti kembali terembus, "hook hat meeeh," dengusnya, menunjuk hidungnya sendiri. "Guhe henggak pahntas huat lo, cehwek loh chantik-chantik."

Jadi dia ngaku kalau selama ini dia memang sayang sama gue?

"Terus? Sekarang posisi lo kayak cewek-cewek gue buat Juna, apa lo pikir kalau cewek-cewek itu ada di posisi yang sama, mereka akan nyerah kayak lo? Enggak. Apalagi jelas Juna maunya sama lo, kalau lo lari, lo tolol."

Nyebelinnya, dia bilang, "Mehmang."

"Memang?" Gue makin pengin nyemprot aja kalau dia kayak gini. Gemes. Gimana sih caranya membangkitkan kepercayaan diri seseorang?

Namun, Kiki memasang tampang sedih yang bikin gue jatuh iba dan memilih mendengarkannya.

"Haya ... kehadaan Luhna lebih mehnyedihkan haripada hue."

Menurut gue juga gitu, apalagi hatinya.

"Diha lehbih buhtuh Hak Huna."

"Itu omong kosong, lo bukan putri negeri dongeng, tau? Lo nggak mungkin punya hati sebaik itu, bullshit! Lo suka sama Juna, lo pengin sama dia. Gue kenal lo bukan setahun dua tahun, Ki. Kita udah kenal seumur hidup, dan lo nggak pernah ngebujuk gue balikan sama siapa pun sebelum ada Juna. Lo nggak pernah mengabaikan muka galau gue sebelum ada Juna. Lo nggak pernah, NGGAK PERNAH nggak ke rumah gue tiap Minggu pagi ... sejak ada Juna!"

"Ya ...," angguknya. "Hapi halo loh bahlik hemua itu ke Luhna, ho akan tahu pehasaannya."

Bener kata mama, ini orang keras kepalanya sama persis kayak gue. Kalau belum kepentok sendiri, memang nggak akan ada orang yang bisa membelokkan niatnya.

"Terserah lo ajalah. Lo nggak mau dengerin gue, ntar lo nyesel, ya lo sendiri yang rugi. Percuma juga gue ngobrol sama Juna. Lo tahu gue kesel sama dia, buat lo, gue mau-maunya—"

'Thanks,' kata bahasa isyaratnya.

Gue mengumpat pelan, membalik badan. Kiki berusaha bikin gue menghadap ke arahnya, tapi gue terus menepis bahu. Akhirnya, metode terakhir kalau kami sedang saling nggak mau ngomong satu sama lain; Line chat. Gue membaca pesannya, "Gue nggak mau melukai seseorang yang mengalami hal serupa sama gue."

"Kenapa? Takut kualat?" balas gue.

"Semenderita apapun gue, gue nggak punya hak bikin orang lain menderita," pesannya nggak lama kembali masuk, kayaknya dikirim sebelum gue membalas. Pesan bercandaan tadi diabaikannya, "Gue sayang sama Kak Juna, tapi gue sendiri nggak yakin Kak Juna bisa nolak Luna."

Gue memandangi pesan itu lumayan lama, mencoba menelaah apa artinya. Jadi kalau dia yakin Juna bisa nolak Luna, dia nggak akan nyerah gitu aja? Gue mengetik pertanyaan tersebut dan mengirimnya.

"Kalau memang Kak Juna bisa dan Luna tetap nggak mau berteman dengannya, baru itu berarti gue nggak berbuat salah. Kak Juna nggak cerita soal gue ke Luna, itu salah. Dia bilang dia ingin berteman seperti kita berdua, teman harusnya cerita. Dia harusnya tahu perasaan Luna ke dia. Nggak ngasih tahu kalau dia lagi dekat dengan orang lain, itu menyakitkan."

Sambungnya, "Lo selalu tahu perasaan gue ke lo, kan?"

Gue mengangguk untuk menjawab, meski kami nggak berhadapan.

"Gue juga awalnya menderita, sama kayak Luna. Tapi lo selalu cerita, apa pun, siapa pun, gue nggak punya hak untuk mencegah sahabat gue untuk bahagia. Lo cerita ke gue, kalau gue nggak rela lo bahagia, gue yang salah. Dalam hal ini, Kak Juna salah. Dari awal dia nggak menentukan pilihan. Gue nggak tahu persaannya ke Luna, kan? Siapa tahu dia juga sayang sama Luna, makanya nggak berani ngasih tahu dia. Kalau kayak gitu ... gue mending mundur. Gue juga ngerti penderitaan Luna, kasihan dia. Gue sih nggak apa-apa, gue punya lo. Gue selalu punya lo."

Baiklah kalau kayak gini jalan pikirannya. Saatnya gue menjelasakan duduk permasalahan sebenarnya versi Juna, atau Princess Aurora ini bakal playing hero terus-terusan.

Annoying.

Saya-Kiki (8 years old)

Hehehe ... cepet kan udah di-update lagi. Hohoho... 

Jangan lupa vote-komennya. Muach!!!

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro