5. Number One Person

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Biasanya, temen pasti punya temen lain yang kadang kita nggak tahu sama sekali

Tapi Kiki cuma punya gue.

"Kak Kita mana, Mah?" tanya gue ke mama yang lagi asyik nonton teve.

"Kamu ke mana aja, sih, jogging jam segini baru pulang?" serang mama, bukannya ngejawab. "Kakak tidur siang kali. Mandi terus makan sana, Kiki ke sini nggak nanti?"

"Nggak tahu, mama masak apa?"

"Sayur bayam sama ikan bakar. Coba di-SMS, kalau ke sini, mama tungguin sampai dia datang."

Mama langganan tidur siang, terutama tiap hari Minggu yang biasanya nggak ada kegiatan. Kalau Kiki datang, tidur siangnya pasti keberisikan grabak-grubuk cewek itu. Karena punya darah rendah, kebangun tiba-tiba sering bikin mama pusing. Makanya dia nyuruh gue nanya, supaya nggak tidur duluan sebelum Kiki nyampe. Kalau tinggal pulangnya, gue bisa nyuruh dia pelan-pelan. Kayak gue bilang, seisi rumah ini udah terbiasa menyesuaikan diri dengan cara hidup Kiki, bukan sebaliknya.

Gue mengiakan suruhan mama sambil naik ke lantai dua. Iseng-iseng sambil nulis pesan ke Line Kiki, gue emang penasaran dia bakal ke sini apa enggak. Siapa tahu aja dia jalan sama Kak Juna. Soal tadi pagi, gue putusin buat nyelidikin dulu.

"Mam ... Kiki mau datang!" teriak gue sebelum masuk kamar mandi.

"Yaaa!" sahut mama dari bawah.

Sehabis mandi, gue langsung turun ambil makanan. Nemenin mama terkantuk-kantuk nonton acara teve sambil ngabisin makan siang.

"Cowok yang semalem itu bukan pacarnya Kiki kan, Dek?" mama nanya dengan mata melek tinggal lima watt.

"Nggak ngerti Saya, Kiki bilang sih enggak."

"Kamu awasin ya," pesannya enteng.

"Insya Allah," kata gue sambil nyuap sesendok besar nasi.

"Insya Allah kamu kok nggak meyakinkan gitu? Kasian tahu Kiki, mama takut kalau dia dimainin. Semalem aja tantemu bisik-bisik, minta tolong kalau-kalau kamu tahu sesuatu soal Juna. Kamu sekampus kan sama dia?"

Gue ngangguk aja, mulut penuh.

"Mama ngerti sih perasaan Lut sama Johan, nggak mudah punya anak cewek yang kondisinya kayak Kiki. Kalau dilindungin terlalu ketat kasihan anaknya, tapi kalau dibiarin kayak anak lain mereka yang was-was. Mana Kiki manis banget, baik, pasti banyak cowok yang suka. Mama ngeri kalau sampai dia kenapa-kenapa."

Gue juga ngeri, sih, cuma mutusin buat nggak banyak komentar. Nggak usah disuruh pun, gue pasti akan berusaha memastikan keselamatannya semampu gue, tapi karena kami sama-sama udah gede dan punya urusan masing-masing, jelas sulit untuk ngucapin janji. Terus terang, masalah terbesar kegagalan hubungan asmara gue adalah kecemburuan cewek-cewek itu ke Kiki. Sekarang mungkin gue bisa tenang karena gue masih muda, gimana kalau gue udah mulai mikir serius entarnya? Susah kalau lagi-lagi gue diputusin gara-gara terlalu deket sama Kiki, kan?

"Kenapa nggak kamu pacarin aja sih Kikinya?"

Selain itu, gue tahu ujung dari petuah mama pasti ke situ. Gue udah terlalu sering mendengarnya, sehingga malas buat merespons. Begitu makanan di piring abis, gue tinggalin mama sendiri ke dapur buat cuci piring dan balik kamar.

Mama cuma mendengus ngelihat gue melintas tanpa ngomong apa-apa lagi.

Gue ambil gitar dan mulai main salah satu lagu balad pelan-pelan. Belum-belum aja Kak Kita udah buka pintu waktu gue lewat, nyuruh jangan berisik. Dua tiga lagu habis gue mainin dengan apik, suara berisik itu mulai terdengar. Gue taruh gitar ke tempatnya semula.

"Sihang, Hante! Haya'a ahda?!"

He he he ... itu dia. Jawaban mama sayub-sayub terdengar, diikuti suara pintu kamar menutup. Mama langsung berangkat tidur siang sementara Kiki gedebukan naik tangga. Gue sengaja nunggu di balik pintu. Tepat saat suara langkahnya berhenti di depan, sebelum dia mengetuk dan memutar kenop tanpa permisi kayak biasa, gue duluin sambil teriak, "BHAAA!!!"

Kiki teriak, "HUHAAAHHH!!!"

Tawa kenceng gue meledak ngeliat Kiki jatuh terjerembab. Mukanya pucat ngelihat muka gue muncul mendadak begitu pintu kamar kebuka duluan.

Kalau lagi kumat isengnya gue emang suka ngerjain Kiki. Dia mungkin nggak sadar kalau udah bikin keributan tiap minggu siang di rumah orang, tapi buat yang punya kuping, mayat aja bisa bangun lagi denger langkah kakinya naikin tangga, atau suara sumbangnya yang sapa-sapa ceria ke seluruh penghuni rumah. Seringnya dia bangunin—lebih tepatnya sih gangguin—gue tidur siang, makanya kalau berhasil bikin dia kaget, puas banget rasanya.

Begitu kedua tangan yang menahannya dari terjatuh mendorong tubuhnya kembali berdiri sendiri, gue menutup pintu kembali sebelum Kiki menerobos masuk. Dengan cueknya dia teriak-teriak, gedor-gedor pintu, nggak peduli meski siang bolong hari Minggu Kak Kita dan mama lagi istirahat di kamar masing-masing.

"SAYAAA!!! GUE MAU TIDUR SIANG!" nah, tuh.

Gue mengekeh denger Kak Kita menjerit, tapi berhubung Kiki nggak bisa dengar, dia justru teriak lebih kenceng karena pintu nggak kunjung gue buka.

"HAYA! HUKA!!! HUKA!!!" katanya.

Ya ampun ... gue makin ngakak.

"SAYAAA!!! SIALAN LO BUKAIN NGGAK BERISIK TAHU!"

Gue masih bertahan cekikikan di balik pintu sampai terdengar pintu kamar Kak Kita terbuka dengan ayunan kasar. Sebelum kena tendang, dengan sigap, gue duluan membuka pintu dan menarik Kiki masuk. Tepat saat pintu kembali menutup, Kak Kita menendang pintu kuat-kuat sambil memaki-maki. Tawa gue masih terus berlanjut meski dihadiahi pukulan jengkel Kiki ke sekujur tubuh dan umpatan Kak Kita dari luar.

"Kak Kita marah, tuh!" kata gue sambil terus menghindari pukulan dan cubitan bertubi-tubi Kiki. Kalau kena, lumayan perih di kulit. Nggak tau kenapa, cewek kalau nampar atau nyubit rasanya jauh lebih nyelekit dibanding kena tonjok, habis ini pasti ngebekas merah-merah. "Udah dooong sakiiit ... ampooon!"

"Hamoh jahhaaat!!!" pekiknya buat penghabisan dibarengin cubitan di paha yang naudzubillah sakitnya.

"Ya Allaaah!" gue meraung sambil menggosok bekas cubitan terakhir. "Hamoh hahat hamoh hahat!" ledek gue. "Lo tuh yang jahat! Sakit tauk!"

"Hahsahin tuh!" Kiki malah mengikik, gantian dia yang puas lihat gue meringis kesakitan.

Setelah keadaan kembali tenang dan gue rebahan di kasur, dengan percaya diri, dia mengitari kamar gue kayak biasa, meneliti apa ada barang baru yang belum pernah dilihatnya.

Kamar ini udah dia hafal betul kayaknya. Kalau ada pajangan yang letaknya miring, Kiki pasti ngebenerin. Kalau ada majalah musik edisi baru, dia pasti tahu. Apa aja yang aneh dan baru, dia bakal nanya seolah gue nggak boleh punya rahasia apapun darinya. Gue nggak pernah keberatan, dia udah kayak adek gue aja gimana. Mungkin malah lebih, Kak Kita aja gue nggak seperhatian Kiki ke gue. Setelah Kak Tessa pergi, hanya gue yang nggak protes dia rusuhin, baik properti, maupun hidupnya.

She's such a sweet girl, nggak pernah nyusahin, lucu, polos ... dan gue selalu suka kalau dia mulai posesif. Bahkan, kalau dia mau, dia bisa aja nentuin cewek mana yang boleh gue pacarin atau enggak, nggak hanya sekadar manyun tiap gue deket sama mereka, tapi dia nggak pernah ngelakuinnya.

Kelamaan ngawasin sana-sini kayak mandor, gue melemparnya dengan bantal supaya dia menoleh, "Nggak ada yang baru," kata gue.

Dia senyum manis, "Lo hak pehgi hama Hemma?"

Gue menggeleng, kayak dia nggak tahu aja gue nggak pernah ke mana-mana tiap Minggu karena dia hampir selalu datang. Paling kalau jatah nganter mama belanja ke supermarket, kami selalu nungguin supaya dia bisa ikutan.

"Semalem, gimana?" gue nanya lagi.

Kiki mengerutkan alis.

"Kak Juna," papar gue dengan artikulasi sejelas mungkin. Kiki memelotot waktu gue menyilangkan tangan lekat di dada dengan muka dimanis-manisin, maksud gue nanyain apa mereka cinta-cintaan setelah gue pulang semalem.

Bantal di lantai yang semula gue lempar, dia pungut dan balas lemparin, bersarang tepat di muka gue. Kiki udah duduk di atas tempat tidur waktu bantal itu gue hempas. Gue berguling ke sisi lain kasur supaya dia bisa berbaring di sisi gue.

Heru pernah mergokin kami tidur siang bareng pada satu hari. Sepulangnya Kiki, dia heboh banget nanya apa gue nggak ada reaksi apa-apa tidur sebelahan sama cewek. Jujur, bukannya nggak ada. Ada kalanya jantung gue berdebar, namanya juga cowok udah akil balig, tapi nggak pernah gue biarin terjadi apa-apa. Kiki terlalu berharga buat jadi pelampiasan hasrat sesaat. Kasihan. Hal utama di dunia ini yang nggak gue ingin lakukan adalah menyakitinya.

Kiki berbaring. Tangannya melayang di udara.

'Gue sama Kak Juna nggak ada apa-apa,' katanya dalam bahasa isyarat. 'Kalau gue deket sama seseorang pasti gue bilang, kita udah janji, kan?'

Malas membalas dengan isyarat, gue tengkurap supaya Kiki bisa melihat bibir gue.

"Lo inget cowok yang gue bilang dapat tanda tangan Taka?"

Sebelum mengangguk, keningnya mengernyit.

"Itu Kak Juna," kata gue.

Mata Kiki membelalak. Benar, kan. Dia pasti nggak ngeh.

Dengan tangkas, Kiki memiringkan tubuh. Gue ikut-ikutan dan kami pun berhadapan.

"Guhe hak tahuh," katanya penuh sesal. "Hastagah!"—dia tepuk jidat—"Hok guhe hak hepikihan, hyah?"

"Bloon sih lo!" cemooh gue.

Kiki nggak marah, entah nggak bisa baca bibir karena gue memang menggumam aja, atau dia beneran nyesel, "Ham Sohweh ... ha don't knowh ...."

Muka nyeselnya lucu. Waktu bilang I am sorry dengan suara sumbang bin anehnya itu, matanya memejam, bulu-bulu mata lentiknya terlihat jelas menempel di pipinya yang seputih dan sehalus batu pualam. Saat kami masih sama-sama kecil, gue nggak pernah ragu mengelusnya. Entah sejak kapan gue berhenti melakukannya.

"It's Okay!" kata gue sambil mengelus rambutnya. "Lo suka dia?"

"Noh!" katanya.

"Noh yet?" terka gue, menirukan cara bicaranya.

Dia menggeleng kuat sekali lagi, bikin gue nggak bisa menahan senyum.

"Gimana sih kok lo bisa ketemu dia?"

"Ban guheh hempes," jawabnya. Jadi bener hanya karena itu? Gue pikir ada kejadian lain selain ban kempes. "Papah hagih mahin"—lagi main catur, maksudnya—"dih tehras. Guheh tinggah mahsuk, pas kehluar suhdah mahin behduah."

"Jadi ban kempes itu pertemuan pertama lo?"

Kiki mengangguk cepat.

"Nah lo bohong kan?" Gue langsung kecewa, menggulingkan badan membelakanginya dan baru kembali berbalik setelah Kiki memohon.

"Gue nggak suka ah lo bohong!" kata gue sambil duduk. "Kan kemarin lo bilang udah pernah ngasih dia cokelat di bazaar. Lupa?"

Kikir juga duduk, kepalanya menunduk.

"Siapa sih dia sebenernya?" tanya gue setelah mencolek bahunya supaya kami bertatap muka. "Bener cuman ketemu nggak sengaja di bazaar?"

'Dia sering ke tempat les,' katanya dengan bahasa isyarat. Capek kali, kalau ngomong mau nggak mau dia pake urat karena nggak bisa mengontrol suaranya sendiri.

Gue tetep bicara tanpa isyarat, "Ngapain?"

'Mamanya ngajar di tempat les.'

Mamanya Kak Juna ngajar di tempat les? Jadi mereka udah sering ketemu, dong.

"Hapih guheh hak pehnah hobrol sebelum'a," katanya, terkesan membela diri. "Kahoh pehnah guheh pasti cehitah."

Gue tahu nggak punya alasan buat mendesak, atau kesal, tapi masih sebel aja. Bukan sama Kiki, lebih ke ... kenapa sih mesti kebetulan banget? Selain itu, kenapa juga ya gue bisa nggak suka sama seseorang tanpa sebab yang kuat? Okelah gue jengkel dia dapat tanda tangan Taka, tapi kekanakan banget kalau gue sampai benci.

Apa jangan-jangan gue baru benci setelah tahu-tahu melihatnya terlibat dengan Kiki?

Dari dulu gue ngerasa istimewa bisa jadi sahabat Kiki. Nggak semua orang punya teman yang hanya bergantung pada kita. Biasanya, temen pasti punya temen lain yang kadang kita nggak tahu sama sekali, tapi Kiki cuma punya gue. Dia cuma percaya sama gue.

'Lo marah?' tanyanya.

"Enggak," jawab gue. "Gue khawatir."

"Hemangha kehapa? Kak Huna ngghak bahik?"

"Gue nggak tahu. Enggak ... gue khawatir karena gue nggak tahu apa-apa, lalu tahu-tahu lo ajak dia makan di rumah."

"Papah hang hajak," sanggahnya.

Gue mengangguk dan tersenyum, "Sekarang gue udah tahu, jadi gue nggak khawatir lagi."

Kiki memamerkan gigi-gigi putihnya yang rapi, gummy smile-nya mengembang manis, "Haket lo hebih kehen!" katanya.

"Punya dia dipake tiap hari."

"Kehapa kemahren gak ho pakeh?"

"Mama nggak ngasih lah!"

Kiki tertawa, "Hoh hiyaaah."

"Hoh hiyah," tiru gue. "Pake nanya lagi. Lo suka sepatu dari gue, nggak? Lo pake enggak?"

"Pahkeh donghhh ... hi luahrrr. Ho mahuh lihat?"

"Boleh. Jalan, yuk? Mau nggak? Lo udah makan?"

Kiki menatap gue aneh.

"Nape lo?"

"Humben ...."

"Nggak mau?"

"Mahuuuhhh ...!"

Gue duluan melompat turun dari kasur dan meraih jaket OOR kebanggaan gue dari kapstok. Kiki ngikutin. Gue memang nggak suka Kak Juna, tapi bukan berarti dia orang yang nggak baik buat Kiki. Meski gue nggak tahu ... sanggup nggak ya gue nggak jadi orang pertama baginya lagi?

AN

Jangan lupa komen dan vote, yah. Muach.

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro