4. Kasih Tau Tidak, Ya?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau 'kayaknya' itu sebatas dugaan, bisa jadi lo cuma iri

***

"Mah ... Saya pergi dulu!"

"Kemana, deeek?"

"Jogging!"

"Langsung pulang!" jerit mama. "Kiki biasanya ke sini hari Minggu nanti kalau kamu nggak ada kasian dia!"

Gue nggak nyaut lagi, ngelempar helm ke Heru yang udah nungguin di halaman lalu menstarter motor menuju spot jogging kami tiap Minggu pagi.

Asli kalau ayam kate ini nggak tahu-tahu muncul depan rumah, gue masih pengin tidur sampe siangan dikit. Berhubung gue orangnya nggak tegaan, sekaligus udah beberapa minggu nggak olah raga, gue iyain aja kemauannya. Ini anak nggak punya temen main selain gue kayaknya, kalau gue pacaran-selain Kiki-makhluk ini yang selalu manyun.

Bener aja, cuman sprint beberapa kali, gue memutuskan berhenti.

"Lo kenapa sih, Say?" Heru nanya. "Anjing gue jijik kalau manggil nama lo depannya doang. Lo kenapa sih, Ya? Aneh juga. Nama lo kurang kerjaan banget, sih, Bokap lo kekurangan ide, ya? Dari sekian juta nama yang bisa dia search di internet berikut artinya, kenapa dia milih Saya, Kita, astaga ... nirfaedah banget hidup lo!"

Gue diem seribu bahasa menanggapi celoteh Heru yang bersimbah keringat. Salah sendiri maksa gue jogging saat gue nggak mood gini, lanjut basket pun sama sekali nggak bikin perasaan gue meringan barang sedikit. Dengan kurang ajarnya, cowok gempal berambut keriting itu melempar bola ke arah gue. Gue memaki sambil menghindar, bola menggelinding.

Kaki-kaki pendeknya mengejar bola.

"Gue kayak anak ayam lama-lama main sendiri, ayam aja main sama sodaranya!"

"Berisik lo!"

Heru Sudrajat mengekeh.

"Lo pikir nama lo manfaat apa? Jaman sekarang mana ada anak umur 19 tahun namanya Sudrajat? Bokap lo terjebak lorong waktu?"

"Ah ngebales aja lo bisanya, adiknya Drunella sama Barbeta!"

"Cinderella dong gue?"

Heru pura-pura ngeludah, "Najis. Kenapa sih lo? Berantem lagi sama Emma?"

Iya, sih. Tapi bukan itu yang menyita pikiran gue saat ini. Meskipun Senin nanti nyawa gue sudah bisa dipastikan akan melayang di tangan Emma, paling enggak sekarang gue masih bisa alasan menolak bertemu saat dia lagi emosi. Gue juga udah pasrah seiyanya diputusin, ikhlas. Kayaknya gue memang harus nunggu saat yang tepat sampai cinta mengelus batin gue, bukan cuma pacaran for the sake of pride atau status gitu.

"Ya ampun ... jaman udah berubah, lo masih aja diperbudak sama cewek!" cemeeh Heru tanpa nunggu komentar apa-apa dari gue. "Kapan sih lo nyadar kalau masa muda pemuda harapan bangsa kayak kita ini terlalu berharga untuk diinjek-injek sama cewek plastik kayak Emma?"

Alis gue mengerut, "Cewek plastik?"

"Iya, cewek-cewek barbie, persis kayak yang biasa lo pacarin!"

"Ah ampas kopi lo aja kapan hari bilang pengin ngegenjot Saras karena bodinya bahenol."

"Eits ... jangan samain harga diri pemuda sama kebutuhan biologis, dong. Justru itu masalahnya, kalau lo nggak diperbudak dan memandang mereka sebagai objek seksual lo aja, gue nggak akan bilang lo menyedihkan!"

"Heh ... biadab lo ya lama-lama. Inilah kenapa Tuhan ngasih lo muka pas-pasan, kalau cakep kayak gue, habis semua cewek lo tidurin!"

"Bukan gitu maksud gue, kondom bekas!" sengitnya. "Gue tuh prihatin sama nasib lo. Bagus lo pacaran kek sama temen lo yang bud-nggak bisa denger itu. Dia jauh lebih manusiawi, baik hati, dan pastinya nggak tiap hari bikin lo muram aja kayak perawan datang bulan. Putusin ajalaaah!"

"Nggak usah gue putusin, gue yang diputusin," gumam gue sendu.

Kalau telinga Heru gue ibaratin antena, begitu denger gumaman gue, antena itu langsung tegak. Sinyal langsung kesaut ama dia, matanya memelotot bukan kaget, tapi seneng, "Emang lo berbuat konyol apa lagi kali ini?"

"Lo seneng banget ya tiap kali gue mau putus?"

Dua gigi depan Heru yang ukurannya lebih gede dari sisa giginya yang lain mencuat dari balik bibir yang dia paksain nggak menyengir, "Bukan gitu, sih. Habis lo kalau ada cewek tuh jadi nggak asyik. Coba kalau lo jomlo, gue selalu ada temen jalan. Nggak masalah meskipun lo ngajak si Kiki, dia nggak denger ini kalau kita ngomong jorok!"

"Emang dia nggak denger, tapi ngerti! Kiki tuh bisa baca gerakan bibir, makanya selama ini dia selalu tahu kebusukan lo. Dia aja nyuruh gue jaga jarak dari lo, takut jiwa murni gue kelunturan pikiran kotor lo kali! Makanya lo cari cewek sono, siapa tahu ada yang mau, biar nggak melulu happy kalau ada pasangan putus!"

"Enak aja, gue ini kalau ada award mahasiswa berhati bersih pasti jadi kandidat utama. Maksud gue ... ya okelah lo kece, boyfriend material shit-lah bla bla bla, tapi lo kalau pacaran lihat-lihat, dong. Titisan Rita Repulsa semua yang lo pacarin! Coba kalau lo pikir nih, ya, ada nggak cewek lo yang mau jalan bareng sama Kiki?"

"Ya nggak ada lah! Awkward pastinya kan kalau jalan bertiga?"

"Yah ... Kiki itu kan sahabat istimewa lo, bukan sahabat biasa. Bukan cewek normal pada umumnya yang kalau lo tinggal pacaran dia punya temen lain buat diajak jalan, mestinya lo gunain kesempatan itu buat nguji kebaikan hati cewek yang lo pacarin. Kalau mereka nggak keberatan, itu berarti hatinya mulia. Nah ini ...."

"Mana ada sih zaman sekarang cewek hatinya mulia? Yang ada kalau cowoknya deket ama cewek lain ya pasti cemburu lah. Wajar itu-"

"Yaelah ... cemburu juga lihat-lihat kali."

"Kalau cewek lo punya sahabat cowok terus ngajak jalan bertiga, emang lo nggak awkward? Nggak aneh? Terus kalau lo lebih deket ke dia, lo nggak cemburu?"

"Kalau cowoknya budeg kayak Kiki sih enggak ...."

"Tai," umpat gue. "Dan jangan sebut Kiki budeg"

"Difabel."

"Gue serius ya, Her. Gue tonjok lo kalau ngolok-ngolok Kiki kayak gitu."

"Iye ... sorry ... sorry ... maksud gue, tuh ... carilah cewek yang bener, yang enggak jadiin lo tukang nganter kemana-mana dan tiap marah-marah ngancem putus lah! Mentang-mentang dia cantik, yang cantik dan baik hatinya juga banyak!"

"Teori orang yang kelamaan jomlo emang gitu, coba ada cewek kayak Emma naksir sama lo, disuruh nyembah kakinya juga lo bakal mau."

"Sorry, ya. Gue punya harga diri. Lagian elo ... semua cewek cantik suka sama lo, lo iyain. Pilih-pilih kek, ninggiin mutu! Kayak tuh! Kak Juna, tuh ...!"

Jantung gue langsung kayak copot mendengar nama itu disebut. Sontak mata gue jelalatan nyari sosoknya yang ditunjuk Heru dengan dagunya.

"Kak Juna tuh terkenal selektif mlih cewek. Meskipun dia kece, mana vokalis sekaligus gitaris band dan semua cewek bakal mau dia pacarin, dia nggak dikit-dikit gandeng gebetan baru kayak kebanyakan cowok kampus kita yang tingkahnya kayak bocah akil balig baru kenal lawan jenis!"

Gue merengut.

"Bahkan ... cewek-ceweknya nggak ada yang dari kalangan first sight love kayak cewek-cewek lo. Cewek yang dia pilih tuh ... mmmh ... one of a kind! Misalnya Yayuk, anak sipil yang kalau rambutnya diiket dan kacamatanya dilepas ternyata mirip Gal Gadot, itu rumornya Kak Juna yang nemuin!"

"Lo kata benua amerika ditemuin!"

Heru kayak nggak dengerin kata-kata gue, dan terus berkotek, "Nilai tambah yang harus lo pelajari dari Kak Juna adalah gimana caranya cewek yang begitu kelar sama dia, laku di pasaran. Udah kayak karyawan training aja, lepas training bisa jalanin usaha sendiri. Lo tahu kenapa? Sebab Kak Juna ninggiin kelasnya, Say ... Ya ... Saya ...."

"Mana sih Kak Juna gue nggak liat, anjing."

"Sa'ae lo ngatain temen anjing," gerutunya. "Bawah ring! Nah ... dia berdiri, tuh. Tadi duduk."

Tanpa kesulitan gue langsung menemukan sosok Kak Juna yang bangkit berdiri di antara kerumunan. Postur tubuhnya yang tinggi dan senyumnya yang lebar langsung bikin rahang gue menggeretak mengingat gimana seluruh anggota keluarga gue dan Kiki jatuh pada pesonanya semalam. Dia masih aja mengenakan jaket kebanggaannya itu, udah kayak makanan basi aja dia dikerubutin laler. Lalernya cewek-cewek seksi bercelana pendek dan kutang sport pula.

"Dari segi fisik mungkin lo nggak beda jauh kelasnya sama Juna, Mamen ...," Heru menepuk pundak gue. "Tapi don't worry, dia tiga tahun di atas kita, lo bisa aja nyamain karismanya kalau lo mau. Kayak gue ini... gue nggak buru-buru nyerobot semua cewek, gue penuhin dulu gelas kosong gue dengan ilmu dan karisma."

"Lo kayaknya mesti banyak-banyak nyisir, Men," kata gue.

"Maksud lo?"

"Biar lo ngaca!"

Habis ngomong gitu, gue sengaja menyimpan diri agak tersembunyi supaya Kak Juna nggak ngelihat gue. Masih males aja gue kalau harus ngobrol. Biasanya karena emang gue awalnya nggak suka, dengan gampangnya gue bisa menghindari kontak sama dia, tapi setelah semalam ... kayaknya gue nggak bisa gitu aja ngehindar tiap ketemu mata.

Apa ya yang semalam dia lakuin di rumah Kiki setelah kami sekeluarga pulang? Om Johan nahan dia saat kami pamit karena mereka masih di tengah permainan catur. Kak Kita sih seneng-seneng aja, bebas, karena selama ini dia yang selalu disandera sama om-om keranjingan catur itu kalau papa kebetulan lagi nggak bisa hadir kayak semalam.

Mamah uring-uringan di mobil dalam perjalanan pulang, setengahnya (lagi-lagi) nyalahin gue, setengah sisanya menganggap Tante Lut sengaja ngajak Kak Juna gabung karena gue ngajak Emma minggu lalu. Kiki juga nggak ada chat gue ngomentarin kado apa gimana gitu kayak biasanya. Gue nggak ngerti deh dia bakal ke rumah atau enggak entar siang.

Kayaknya dia ngambek gue ledekin sepanjang malam di depan Kak Juna.

"Say! Saya!" Heru manggil.

Gue mendongakkan kepala.

"Noh ... lihat ... meski cewek-cewek itu mati-matian menarik perhatiannya, lo perhatiin dong dia datang ke sini tiap minggu pagi sama siapa!"

"Siapa?"

Heru mendribble rendah bola basketnya di sisi gue, menunjuk ke arah Kak Juna dengan dagu seperti sebelumnya, "Tuh!"

"Siapa, tuh?"

"Nggak ngerti sih gue, tapi kalau nggak salah tiap ngeliat dia Minggu pagi pasti sambil dorong kursi cewek itu."

Gue mengerutkan alis, berpikir keras. Setelah cewek-cewek yang mengerumuninya membubarkan diri, gue lihat Kak Juna bersimpuh di depan seorang cewek berkursi roda. Mereka bicara sepatah dua patah kata, Kak Juna membenarkan kaki si cewek, senyum nggak pernah lepas dari bibir keduanya. Apa hubungan Kak Juna sama cewek itu?

"Mereka pacaran?" tanya gue.

"Nggak tahu gue. Karena cewek itu nggak sekampus sama kita, gue nggak pernah denger rumor apa-apa."

Mungkin gue memang berpikir terlalu jauh tentang hubungan Kak Juna dan Kiki. Bisa aja Tante Lut beneran cuma ngajak Kak Juna gabung karena dia udah nganterin Kiki pulang dan sebenernya cewek kursi roda inilah pacar Kak Juna yang sebenarnya.

Gue kasih tahu Kiki nggak, ya?

"Her ...."

"Hm?"

"Kalau misalnya lo punya sahabat yang deket sama seseorang yang kayaknya udah punya pacar, lo kasih tahu dia, nggak?"

Heru menatap gue, "Gue nggak lagi deket sama siapa-apa," katanya.

"Bukan elo."

"Bukannya kita sahabat?"

"Ya ... tapi bukan elo ...," desah gue, capek.

"Oh ...," Heru menggaruk tengkuknya kayak orang bego. "Gimana tadi pertanyaannya?"

Gue menghela napas, "Kalau ... misalnya ... lo lagi deket sama seseorang, ternyata gue tahu seseorang itu kayaknya udah punya pacar, lo mau gue kasih tahu lo enggak?"

"Tergantung seberapa kuat 'kayaknya' itu," jawabnya, berbelit-belit kayak biasa. "Kalau kayaknya cenderung bener, ya kasih tau gue lah. Tapi ... kalau kayaknya-nya cuma sebatas dugaan, ya fifty fifty."

"Fifty-fifty gimana?"

"Ya ... antara lo kasih tahu gue, atau lo selidikin dulu 'kayaknya'-nya itu bener atau enggak, sebelum lo kasih tahu gue. Bisa jadi kalau 'kayaknya'-nya itu nggak ada bukti dan cuman dugaan lo doang, gue bisa berpikir lo hanya iri karena gue deket sama orang lain."

Gue mengernyit jijik.

Mata Heru membelalak ngeliat gue mengernyit, "Jangan bilang ini nggak misalnya. Emang siapa sih yang lagi deket sama gue?"

Astaga .... "NGGAK ADA!" bentak gue kesel. Saat gue lihat Kak Juna berlalu ke arah berlawanan sambil mendorong kursi roda, gue ikut beranjak dari duduk, mengemasi jaket dan ransel dari tanah.

"Seriusan!"

"Serius. Emang lo lagi deket sama siapa?"

"Nggak ada."

"Makanya gue bilang misalnya, anjing, lo ribet banget sih jadi manusia, hah?"

"Habis lo misterius banget tahu-tahu ngomong gitu."

"Nah ... lo lagi deket sama seseorang enggak?"

Heru bungkam, muka gembulnya menekuk-tandanya otak (yang berukuran) kecilnya lagi bekerja-sampai gue menjauh beberapa langkah, dia baru nyusul. "Gue nggak deket sama Sandra anak FISIP yang enjotable itu, kok!" katanya, gue pura-pura muntah. "Serius ... dia yang deketin gue!"

Sebelum muntah beneran dengerin dia ngehalu, gue melangkah lebih lebar supaya jarak jalan kami agak jauhan. Dalam perjalanan menuju parkiran, ponsel gue berdering menandakan pesan masuk dari Kiki. Kamu di mana, sih? tanyanya. Oh ... Nyariin? Gue lama-lamain ah balesnya. Siapa suruh ngundang orang asing nggak bilang-bilang?

AN

Ih Saya tuh enaknya siapa ya cast-nya, penginnya Indonesia gitu. Terus Juna juga siapa, Kiki kemarin udah ada yang ngusulin tapi saya lupa lagi LOL.

Jangan lupa, saya juga punya cerita baru judulnya 'Enjoy The Little Thing' baca, yaaa...

Kenan akan dipost kalau wish saya di chapter-chapter tertentu udah terpenuhi, tinggal satu part lagi aja, lhooo

Remember, kalau suka cerita ini, jangan lupa vote dan komen yang banyak. Rekomendasiin juga dong di facebook atau di mana gitu, atau temen-temen kamu. Muach!

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro