BAB II

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

: dua :

-oo0oo-

"Apa?!" seruku. Ini gawat. Benar-benar gawat. "Kamu nggak lagi bohong, 'kan?" tanyaku memastikan sambil beranjak berdiri. Gayatri pasti sedang main-main. Kalau tidak, bagaimana mungkin Eyang bisa tiba-tiba ingin menemuiku di rumahnya? Yang tentu saja dengan niat ingin mengecek kebenaran. Benar, dia pasti hanya sedang mengusiliku. Apa dia tidak tahu kalau jantungku sudah sempat berhenti karena kata-katanya?

"Raniii! Apa mukaku kelihatan lagi bohong? Eyang kamu itu beneran sedang dalam perjalanan-"

"Kita pulang sekarang," putusku memotong ucapan Gayatri sebelumnya. Kalau memang yang terjadi benar seperti yang dikatakan Gayatri, maka sekarang kami sedang dalam bencana.

Aku menarik pergelangan tangan Gayatri menuju pintu keluar kelab. Meninggalkan pemuda keren yang aku tidak ingat siapa namanya. Tapi itu bisa kupikirkan nanti. Untuk sekarang, menemukan cara agar dapat keluar dari kelab ini dengan selamat tanpa terdorong atau terinjak jelas adalah yang paling penting untuk dipikirkan.

Sebelah tanganku sibuk menyingkirkan tubuh-tubuh manusia yang menghalangi jalan ke pintu keluar kelab sambil berkali-kali meneriakkan "Permisi" yang aku tidak tahu dapat mereka dengar atau tidak di tengah kerasnya musik ini. Sementara sebelah lagi masih terus bergenggaman dengan Gayatri agar tidak terpisah. Akan sangat membuang waktu jika kami harus saling mencari satu sama lain sedangkan di sisi lain Eyang telah semakin dekat dengan rumah Gayatri.

"Aduh!" Aku mengaduh saat satu di antara orang-orang aneh itu mendorongku. Aku sudah pasti akan terjerembap dan menanggung malu kalau saja bobot tubuh Gayatri tidak menahanku. "Kalau sedang bersenang-senang jangan merugikan orang lain, dong. Hati-hati," peringatku sambil berusaha menetralkan perasaan. Apa dia tidak tahu kalau hidupku sedang di ujung tanduk!

"Kamu juga jalannya pelan-pelan, Ran," ujar Gayatri balik memperingatiku. "Maaf, Mas. Kami lagi buru-buru. Maaf, ya, Mas!"

Setelah kejadian tadi, Gayatri langsung menggantikanku memimpin jalan untuk mencapai pintu keluar. Dia melesat meninggalkan laki-laki berwajah preman yang masih kupelototi sebelum dia sempat mengatakan apa pun. Tentu saja tidak membutuhkan waktu lama karena jelas pikiran Gayatri sekarang tidak sekusut milikku.

Aku langsung menghirup udara segar banyak-banyak begitu kami berhasil tiba di luar. Ini tidak benar. Aku tidak bisa bernapas dengan lega ketika di dalam sana. Semuanya membuat sesak. "Tahu begini, kenapa sejak awal tidak kamu saja yang memimpin jalan," keluhku sambil mengusap sedikit peluh yang mengalir di pelipis.

Gayatri membalas keluhanku dengan gerutuan yang tidak kudengar dengan jelas sambil tetap berlari kecil menuju ke tempat di mana dia tadi memarkirkan mobilnya. Aku bahkan tidak menghentikan lariku meski napasku sudah tidak teratur sekalipun. Tidak boleh lagi ada waktu yang terbuang dengan cuma-cuma. Aku langsung berlari ke sisi penumpang dan membuka pintu di sebelah kiri tanpa basa-basi.

"Mau ke mana, Ran?"

Oh, Sang Hyang Gusti! Aku kontan membatalkan niat untuk masuk ke dalam mobil dan memutar tubuh ke belakang untuk melihat siapa yang baru saja mengeluarkan pertanyaan. Kalau dia berniat untuk membuatku terkena serangan jantung, kurasa dia berhasil melakukannya dalam satu detik yang singkat.

"Ratih?!" Aku berseru cukup kencang. Kenapa tiba-tiba dia bisa ada di belakangku?! Dia datang dari mana?! "Kamu sedang apa di sini? Datang dari mana?" tanyaku bertubi-tubi karena terang saja aku sangat tidak menyangka dia bisa ada di sini.

Ratih tersenyum lebar menunjukkan gigi-gigi putihnya. Tetapi detik selanjutnya dia langsung menyipitkan mata penuh curiga. "Aku baru aja keluar buat anterin salah satu saudaraku yang mau pulang dan nggak sengaja lihat kamu sama Gayatri di sini. Kalian mau ke mana? Acaranya belum selesai, lho."

Aku hanya bisa tersenyum sambil meringis karena merasa bersalah sudah meninggalkan acara begitu saja. Tetapi sesuatu yang lebih gawat sedang menungguku di rumah Gayatri. Tidak ada pilihan lain kecuali aku harus pulang. Kulirik waktu yang ditunjukkan oleh jarum-jarum pada jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Waktu kami semakin menipis. Aku menoleh pada Gayatri yang sudah menghidupkan mesin mobil, lalu kembali menatap Ratih lengkap dengan senyum bersalahku.

"Maaf, Rat. Aku sama Gayatri harus pulang sekarang. Ada hal yang darurat sekali. Sekali lagi maaf, ya! Dan terima kasih udah undang aku ke acara ulang tahun kamu. Sekarang aku harus pulang karena sedang buru-buru. Sampai ketemu besok di sekolah!"

Aku langsung masuk ke dalam mobil Gayatri tanpa menunggu balasan Ratih. Gayatri membuka kaca mobil di sisiku dan beteriak untuk izin berpamitan kepada Ratih. Setelahnya, sepupuku itu langsung membawa mobilnya melaju dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Aku tidak tahu apakah Ratih mengerti dengan kepulanganku yang harus dan tiba-tiba ini atau tidak. Namun, yang pasti dia melihat kepergianku dengan tersenyum.

-oo0oo-

Aku mencengkeram sisi-sisi kursi penumpang yang kududuki dengan erat. Kupaksa mataku untuk terus menatap lurus ke depan dan tidak menoleh ke kaca di sebelah kiri meski hanya sekilas. Melihat jalanan lewat kaca depan yang seperti ingin mengantarkanku ke depan pintu ajal saja sudah sangat buruk. Aku tidak perlu memperburuk riwayat jantungku yang sudah sempat berhenti beberapa kali hari ini itu, menjadi berhenti selama-lamanya dengan menoleh ke samping dan melihat kelebatan benda-benda yang berlarian dengan cepat. Aku tidak perlu panorama yang biasanya kutemui ketika sedang naik kereta api, sekarang dapat kulihat dari atas mobil.

Aku bahkan sempat lupa jalan-jalan mana yang telah kami lalui karena terlalu sibuk berpikir apakah aku masih akan hidup untuk menerima kemurkaan Eyang nanti. Ini gila! Setidaknya, Gayatri gila! Aku tahu kami sedang dalam titik gawat darurat, tapi mati saat ini jelas bukan solusi. Aku masih ingin hidup, gila! Lampu dari rumah dan bangunan yang kami lewati masih terus terlihat bagai titik-titik yang beterbngan. Gayatri masih terus melakukan manuver-manuver tajam untuk menghindari atau mendahului kendaraan-kendaraan lain. Berkali-kali dia membunyikan klakson yang tidak jarang membuat pengendara motor hampir terjengkang dan jatuh. Aku yakin jika mobil ini memiliki sirine seperti ambulan, Gayatri tidak akan ragu menghidupkannya.

Di tengah kepanikan yang sedang merayap itu, tiba-tiba saja ponsel genggam Gayatri menjeritkan lagu milik band pop pertama dunia yang tidak kuketahui judulnya.

"Pasti Mama, deh," tebak Gayatri dengan yakin, diikuti sebuah decakan kecil. "Minta tolong angkatin, Ran," pinta Gayatri.

Aku membalas permintaan Gayatri dengan sebuah picingan mata. "Gimana aku bisa angkat kalau sekarang saja aku nggak berani bergerak?" aku berujar sinis.

Alih-alih merasa bersalah dan menurunkan kecepatan, Gayatri hanya memberikan cengiran lebar beserta kalimat pembelaan. "Yah, maaf. Waktu kita, 'kan, tipis banget."

Aku balas menggerutu tidak jelas sementara Gayatri mulai merogoh isi tas untuk menemukan ponsel. Beberapa kali perhatiannya terbagi antara jalanan di depan dengan ponsel yang belum juga berhenti berdering. Tidak mungkin Bu De menelepon terus-menerus seperti ini jika tidak ada hal darurat yang bertambah buruk.

"Mobil, Gy!"

Satu lengkingan klakson yang panjang milik sebuah mobil putih yang baru saja memutar arah membuat Gayatri langsung menginjak pedal rem dengan dalam. Suara decitan ban yang bergesekan dengan aspal bahkan sampai terdengar ke telingaku. Aku terdorong keras ke depan dengan kepala yang hanya berjarak beberapa senti sebelum mencium dasbor. Terdengar suara benturan kecil yang berasal dari arah kanan depan. Dari kedua sisi kursi, aku ganti meremas sabuk pengaman yang ikut menyelamatkan nyawaku dengan erat. Ini bukan sekadar gila, tapi sudah beberapa tingkat di atas gila! Kalau tadi aku masih bisa merasakan jantungku yang berdetak kencang, maka sekarang aku tidak akan heran kalau organ itu memilih untuk berhenti melaksanakan tugasnya.

Di sebelahku, Gayatri tidak mengeluarkan suara sama sekali. Aku yakin efek kejut pada dirinya pasti lebih besar karena dialah yang memegang kemudi. Maka aku berusaha menenangkan debaran jantung dan menghentikan paksa tubuhku yang masih gemetar. Gayatri pasti lebih terpukul dan aku harus membantunya menjadi lebih tenang. Kurasa aku juga harus mengambil alih kemudi karena kuyakin dia tidak memiliki kekuatan lagi.

Pelan-pelan aku mencoba merenggangkan remasanku pada sabuk pengaman dan melepasnya. Aku mengambil napas panjang dan menelan ludah sebelum menggerakan kepala untuk dapat melihat Gayatri.

"Gy-Ya, Gusti!" Bapa Ibu Bumi, tolong yakinkan aku jika benar Gayatri masihlah tetap Gayatri! Dia benar-benar tidak waras! Aku menatap Gayatri dengan mata yang kulebar-lebarkan dengan sengaja. Anak ini tersambat jin mana?! Baru saja aku berniat untuk menghibur dan dia ternyata sudah tidak kenapa-kenapa. Bahkan Gayatri lebih dari sekadar baik-baik saja. Dia memainkan ponsel sambil tersenyum bahagia! Sekarang aku tidak tahu harus mengucapkan apa sementara orang-orang di luar sana sudah sejak tadi meneriakkan sumpah serapah untuk kami.

Gayatri menoleh padaku sambil menggoyang-goyangkan ponsel di udara. "Mama bilang sekarang Eyang kamu itu lagi terjebak macet. Itu artinya kita punya sedikit tambahan waktu," ujarnya riang, sebelum berubah menjadi ringisan. "Yah ... seenggaknya kita punya tambahan waktu sebelum kejadian ini."

Aku hanya membalas Gayatri dengan cebikan bibir begitu memahami situasi yang terjadi. Mataku mengikuti Gayatri yang membuka kaca di sebelahnya dan mulai meminta maaf. Untung saja pengendara mobil putih di depan sana tidak turun lalu menuntut kami untuk mengganti kerusakan karena benturan yang terjadi tadi. Hal itu pasti akan kembali membuang waktu.

Setelah sesi maaf-maafan mendadak itu Gayatri tanpa basa-basi langsung kembali menancap gas. Kali ini dengan kecepatan yang masih bisa diterima oleh akal, meskipun tetap tidak bisa dikatakan normal.

Dengan seperti ini, pikiranku juga lebih mudah untuk diajak bekerja sama dalam menemukan solusi terhadap masalah Eyang. Aku tidak ingin berpikir yang buruk. Namun, aku butuh bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk. Jika aku dan Gayatri tidak bisa sampai di rumah lebih dulu, lalu Eyang sudah ada di sana dan melihatku seperti ini, terlepas dari sanksi apa pun yang akan kuterima, pembelaan apa yang harus kuberikan lebih dulu?

Meminta Ayah agar membujuk Eyang untuk memberi keringanan jelas tidak mungkin. Ayah pasti masih sangat sibuk mengurus usaha cabang Manado. Meminta tolong pada Bunda juga tidak mungkin. Bunda sudah pasti akan terkena murka Eyang juga karena telah percaya dan memberikan izin padaku untuk menginap di rumah Gayatri. Dan kalau aku minta tolong pada Mas Elang, sudah pasti dia akan membantuku tanpa menghakimi apa-apa. Tapi tidak mungkin dia akan terbang dari Aussie dan membolos kuliah hanya untuk menyelamatkanku. Sebenarnya, itu mungkin saja. Tapi aku yang tidak akan tega pada Mas Elang.

Melihat tidak ada satu pun kemungkinan yang terbuka di sini, itu hanya berarti satu hal. Yaitu aku harus menghadapi sendiri semua konsekuensinya. Aku mengangguk. Ya, benar, hanya ada aku sendiri-"Aduh!"

Tubuhku kembali terdorong ke depan karena Gayatri yang lagi-lagi berhenti dengan terlalu mendadak. Sekarang apa lagi?! Aku menoleh ke Gayatri dengan muka merengut dan melihatnya sangat-sangat-sangat terkejut. Padahal jelas-jelas kami sedang berada di persimpangan dekat rumahnya dan tidak ada apa-apa di depan sana selain jalanan yang kosong. Dia ini terlambat terkejut apa bagaimana?

"Kamu terlambat terkejut atau bagaimana?" tanyaku kesal.

Gayatri menoleh ke arahku dengan ekspresi horor. "Kamu nggak lihat?!"

"Lihat apa?" tanyaku, jelas aku tidak melihat apa-apa.

Gayatri memelotot seperti akan memakanku hidup-hidup. "Eyang kamu baru aja lewat di depan mobil kita!"

"Kamu serius?!" jeritku setengah histeris. Aku menoleh ke arah yang ditatap Gayatri dan melihat seberkas sinar mobil yang semakin menjauh. Gayatri benar, itu mobil Eyang.

-oo0oo-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro