BAB III

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

: tiga :

-oo0oo-

"Putar balik! Putar balik!" seruku mengejutkan Gayatri. Aku menegakkan punggung dengan tegang. "Kita putar balik lewat gapura kompleks kamu yang satu lagi. Kita lewat di jalan belakang rumahmu biar nggak ketemu sama Eyang."

"Oh, iya!" Gayatri menepuk keningnya sendiri dan langsung mengubah arah tujuan. "Kenapa aku nggak kepikiran, ya."

Aku terlalu panik untuk balas mencibir Gayatri. Jelas dia tidak bisa berpikir karena panik dan terkejut. Kali ini kubiarkan Gayatri kembali mengendara dengan cepat. Bahkan sekarang aku terlalu kalut memikirkan Eyang sampai-sampai aku tidak begitu peduli pada Gayatri yang sedang membawaku "terbang".

Untung saja jalanan kompleks perumahan tempat tinggal Gayatri dan sekitarnya sangat lengang saat malam sehingga kami tidak perlu takut kejadian hampir dijemput ajal seperti tadi terjadi kembali. Dan memang dengan kecepatan seperti itu, apalagi Eyang selalu berkendara dengan tertib dan aman, tentu saja aku dan Gayatri berhasil sampai di rumahnya lebih dulu.

Jarak waktu yang kami ciptakan memang tidak lama, tetapi sudah cukup untuk mempersiapkan beberapa kamuflase untuk mengelabui Eyang.

Gayatri memarkirkan mobilnya begitu saja di sebelah tong sampah besar yang ada di belakang rumahnya. Aku juga langsung melompat keluar sebelum mobil ini berhenti dengan sempurna.

Aku membuka pintu pagar kecil yang memang tidak pernah digembok. Lagipula tidak akan ada yang memaling di kompleks Gayatri ini. Aku berlari kecil melintasi halaman belakang yang menjadi penghubung antara pagar dengan pintu kecil menuju dapur. Di belakangku, terdengar suara rumput yang diinjak dengan rusuh karena langkah kaki Gayatri yang berusaha untuk menyusulku.

Untungnya pintu kecil menuju dapur rumah Gayatri langsung menjeblak terbuka bahkan sebelum aku mengetuknya. Bu De berdiri di sana sambil menghela napas lega.

"Syukurlah kalian sudah di sini," ujar Bu De bersamaan dengan Gayatri yang sudah berdiri di sebelahku. Lalu mata Bu De mengarah ke Gayatri. "Langsung ke atas saja. Mama akan coba tahan Eyang selama mungkin."

Gayatri mengangguk cepat. "Beres, Ma! Yuk, Ran!"

Gayatri langsung mengajakku naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Dan seperti prosedur yang sudah diketahui dan wajib dilakukan dalam keadaan darurat, kami mempersiapkan kamuflase masing-masing dengan rapi.

Aku mengambil piyama yang sudah kupersiapkan dan kubawa dari rumah lalu menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian. Sementara Gayatri langsung berlari ke tempat di mana rak bukunya berdiri dan mengambil beberapa buku secara acak. Nantinya Gayatri akan menyebar buku-buku itu dalam keadaan terbuka di atas ranjang dan sebagian diletakkan di atas karpet. Kami sudah memikirkan semua ini sejak awal. Untung saja aku hanya pernah berada di posisi ini satu kali sebelumnya. Dan beruntungnya lagi, aku selamat karena prosedur gawat darurat ini.

Aku membuka pintu kamar mandi dan membuang dress putih milik Gayatri yang kupinjam itu ke dalam keranjang pakaian kotor. Itu memang bukan milikku. Aku tidak mungkin memiliki gaun yang menurut Eyang cukup terbuka seperti itu. Padahal menurutku, itu sangat tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pakaian-pakaian kakak kelasku di sekolah.

Aku segera menuju karpet dan mengambil posisi sebagaimana seorang anak sekolah yang sedang mengumpulkan bahan materi dari buku-buku untuk didiskusikan. Aku melihat Gayatri yang juga sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan.

“Kamu nggak ganti baju di kamar mandi lagi?” tanyaku.

“Iya, nunggu kamu ganti baju itu lama, Ran,” cibir Gayatri membuatku meringis kecil.

Jantungku kembali berdetak kencang saat terdengar ketukan dari arah pintu kamar Gayatri. Aku dan Gayatri saling berpandangan untuk menemukan bahwa kami memiliki kesimpulan yang sama. Yaitu bahwa yang mengetuk pintu kamar itu adalah Bu De. Bu De yang datang bersama Eyang. Semurka atau sepenasaran apa pun Eyng terhadap sesuatu, beliau tetap tidak akan meninggalkan tata krama yang selalu dia agung-agungkan itu. Dan mungkin aku harus mensyukuri karena hal itu Eyang tidak akan pernah membuka pintu kamar Gayatri begitu saja, yang mana akan membuat jantungku benar-benar berhenti.

Aku memberikan isyarat berupa anggukan kepada Gayatri. Tanda bahwa aku sudah siap dan dia yang mendapatkan bagian untuk membuka pintu, boleh melakukannya sekarang. Gayatri balas mengangguk meski raut cemas yang ditujukan untukku masih tampak di wajahnya.

“Iya, sebentar!” seru Gayatri kepada Bu De yang mulai memanggil-manggil namanya, berusaha untuk memberikan sedikit waktu lagi kepadaku.

Gayatri kembali bertanya apa aku sudah siap tanpa suara. Aku menjawab dengan anggukan yang lebih tegas dan yakin. Iya, balasku pada Gayatri juga tanpa suara. Gayatri mulai berjalan ke depan pintu kamar dan siap untuk membukanya. Selama itu pula aku sibuk menarik napas panjang-panjang agar oksigen yang dibutuhkan oleh otakku dapat tercukupi, sehingga dapat berpikir dengan lancar kalau-kalau nanti membutuhkan improvisasi.

Gayatri membuka pintu dan benar saja, di sana sudah ada Bu De yang sedang berdiri bersebelahan dengan Eyang. Bu De pura-pura kesal dan menegur Gayatri karena lama membuka pintu.

“Iya, maaf, Ma. Kan, lagi nyari materi,” kilah gadis itu. Lalu Gayatri menjalani perannya dengan baik. Dia pura-pura melebarkan mata ketika melihat Eyang. “Lho, ada Eyang?”

Dan itu sekaligus menjadi tanda untuk memainkan bagianku dan melanjutkan drama yang sedang kami lakukan. Aku berdiri dari posisi-mengumpulkan-materi-ku dan ikut berdiri di samping Gayatri dengan ekspresi yang tidak kalah tercengang. “Lho, Eyang Putri ada di sini? Mengapa tidak menghubungi Rani sebelumnya?”

Aku dan Gayatri bergantian menyalami tangan Eyang dengan masih mempertahankan raut wajah kami. Eyang tidak mengeluarkan suara untuk membalas keherananku. Beliau masih tidak membuka mulut. Ketika aku mengangkat kepala untuk memandang mata Eyang, ia sudah menatapku dengan tajam dan tenang. Ketenangan yang ditampilkan Eyang saat ini tentu menyimpan kegusaran yang besar dibaliknya.

Namun entah mengapa saat aku menatap ke dalam mata Eyang, aku merasa bahwa aku akan kembali terselamatkan kali ini. Saat aku menilik wajah ningrat Eyang yang dengan tanpa senyum sedang balik meneliti diriku dari atas ke bawah, aku tahu bahwa malam ini aku akan aman.

-oo0oo-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro