BAB IV

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

: empat :

-oo0oo-

Kenyataanya, semua yang sudah kuyakini akan salah besar pada malam ini.

Eyang masih tidak bersuara dan hanya memandangiku terus-menerus tanpa berpaling. Mukanya jelas terlihat sangat kusut. Aku tidak tahu apa yang saat ini sedang berkecamuk di dalam pikiran Eyang. Apa Eyang tidak sadar kalau sikapnya sekarang sudah meciptakan ketegangan di hati semua orang? Karena tidak tahan ditatap seperti itu dan tidak tahu harus melakukan apa, akhirnya aku hanya menundukkan kepala dan menatap lantai.

Aku juga tahu sebanyak-banyaknya keberanian yang dimiliki oleh Gayatri, semua itu ternyata belum cukup untuknya bertindak atau berbicara yang aneh-aneh di depan Eyang. Dari dulu, Gayatri memang sangat menghindar untuk hubungan jenis apa pun dengan Eyangku. Sungguh beruntung karena Gayatri merupakan sepupu dari keluarga Bunda sehingga dia tidak perlu menjadi cucu Eyang.

Melihat tidak ada dari aku dan Gayatri yang akan mencairkan ketegangan, Bu De mengambil alih tugas itu untuk kami berdua.

“Bu,” panggil Bu De. “Ibu, kan, sudah menemui Rani, bagaimana kalau sekarang kita ke bawah saja dan membiarkan Gayatri juga Rani melanjutkan tugas mereka? Mungkin Ibu ingin makan dulu sebelum kembali? Kebetulan saya baru saja membuat beberapa panganan.”

Berhasil. Bu De berhasil mengalihkan perhatian Eyang dariku menjadi balas menatap ke wajah Bu De. Diam-diam aku membuang napas yang entah sejak kapan kutahan dan kembali mengangkat kepala. Terima kasih, Bu De.

“Terima kasih,” ujar Eyang dengan nada yang sama setiap kali beliau mengeluarkan kata-kata. “Tapi tidak perlu,” lanjut Eyang tandas.

Untuk sedetik, Bu De sempat bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Namun dengan cepat Bu De langsung mengatasinya. “Atau Ibu ingin melakukan hal lain lagi? Saya akan menemani Ibu.”

Eyang kembali tidak mengucapkan apa pun cukup lama hingga tiba-tiba beralih menatap ke arahku. “Aku tidak memerlukan apa-apa lagi. Aku akan pulang sekarang.” Tanpa sadar aku mengembuskan napas lega. "Dengan Rani.”

Sebentar, untuk sebentar saja, otakku rasanya tidak mampu memikirkan apa pun hanya untuk mencerna dua kata terakhir yang Eyang keluarkan. Apa maksudnya? Eyang ingin pulang sekarang juga? Dan aku harus ikut pulang dengannya? Mengapa harus begitu? Aku tahu inilah saat yang tepat untukku mengeluarkan improvisasi. Dan itulah yang akan kulakukan sekarang.

“Eyang bisa pulang lebih dulu, tidak perlu menunggu Rani karena pasti akan lama. Tugas-tugas Rani belum selesai seluruhnya, kemungkinan besar Rani akan jadi untuk menginap di rumah Gayatri. Eyang tidak perlu khawatir,” jelasku dengan penuh percaya diri yang terlalu dibuat-buat.

Dan tidak membutuhkan waktu yang lama pula untukku mendengar balasan dari Eyang. Eyang langsung menyambar ucapanku begitu aku selesai bebicara.

“Tidak perlu. Kamu harus ikut Eyang pulang sekarang juga. Rapikan semua barangmu, Eyang tunggu di bawah,” perintah Eyang tanpa dapat dibantah.

Namun aku yang tidak bisa mengerti dengan sikap Eyang yang terlalu tiba-tiba itu langsung kembali mencoba mengeluarkan kalimat penawaran terakhir tepat sebelum Eyang benar-benar pergi dan turun ke bawah. “Tapi, Eyang—“

“Tidak ada pembelaan apa pun. Pulang sekarang,” tegas Eyang dengan penekanan di setiap katanya. Saat itulah aku tahu bahwa aku sudah tidak bisa memuat improvisasi apa pun lagi.

Bahuku melemas. Apakah Eyang sudah tahu tentang perbuatanku? Jika iya, Eyang tahu dari mana? Bukankah aku sudah sampai di rumah Gayatri lebih dulu dan bersikap seolah-olah sedang mengerjakan tugas dengan tekun? Dan jika Eyang memang tahu, maka apa yang akan kulakukan nanti? Apa yang harus kujelaskan? Mengapa semakin aku memikirkan semua ini, semakin tidak ada jawaban yang tampak jelas?

Begitu sosok Eyang menghilang di ujung tangga, Bu De langsung memberikanku tatapan iba. “Maaf, Rani. Bu De hanya dapat membantu hingga sejauh ini saja. Maaf, ya.”

Aku mengangguk pelan sambil memberikan sebuah senyum kecil. “Nggak apa-apa, Bu De. Sampai sini sudah cukup. Terima kasih dan maaf sudah merepotkan, Bu De.”

Bu De sempat mengelus pundakku sebentar sebelum pergi untuk menyusul Eyang ke lantai bawah. Setelah Bu De pergi, ganti Gayatri yang merasa tidak enak karena tidak bisa membantu apa pun.

“Ran, maaf banget. Aku nggak bisa apa-apa buat bantu kamu. Aku juga nggak ngerti bagaimana Eyang bisa tahu, padahal kita, kan, sudah ada di rumah waktu dia datang. Maaf banget, Ran!”

Aku kembali mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, Gy. Untuk ke sana, aku akan mengurusnya sendiri. Yang penting kita udah usaha. Aku juga nggak tahu pasti apa Eyang sudah tahu atau belum. Dan kalau memang udah tahu, Eyang tahu dari mana? Aku cuma bisa berharap semuanya nanti tidak akan terlalu buruk.”

Gayatri menatapku dengan cemas dan panik yang sama sekali tidak berniat untuk disembunyikan. Padahal, aku sendiri sudah cukup lelah untuk sekadar merasa takut.

-oo0oo-

Tidak ada pembicaraan apa pun yang tercipta antara aku dan Eyang sepanjang perjalanan dari rumah Gayatri kembali ke rumahku. Eyang diam seribu bahasa, aku pun tidak ingin repot-repot memikirkan bahan untuk membuka percakapan hanya untuk tidak akan ditanggapi oleh Eyang. Sekarang saja kepalaku sudah sangat penuh memikirkan segala kemungkinan terburuk dari yang paling buruk.

Aku terus menatap ke luar jendela kaca yang ada di sebelah kiriku. Baru sekarang aku dapat memperhatikan langit malam hari ini yang kosong tanpa bintang, tanpa bulan. Sejak bersama Gayatri aku terus saja diliputi kecemasan juga ketegangan, tidak ada waktu bahkan hanya untuk menatapi langit. Aku tidak pernah suka malam yang sesepi ini meski masih banyak kendaraan yang memadati jalan walau waktu jelas sudah larut.

Mengapa hujan tidak turun saja? Meski petirnya menakutkan, namun paling tidak langit masih mengeluarkan suara. Daripada sesepi ini hanya akan membuat malam terasa lebih panjang. Pohon, rumah, juga bangunan lainnya bergerak begitu lambat. Mengapa semuanya terasa seperti ingin mengulur-ulur waktu saja? Malahan aku ingin semua yang terjadi nanti akan tuntas di malam ini juga. Tidak peduli akan sebesar apa kemurkaan Eyang, asalkan dapat selesai dalam satu malam. Agar besok pagi ketika aku kembali menyambut matahari lewat jendela kamarku, aku bisa melihat kehidupan dengan senyuman yang sama seperti hari sebelumnya.

Sampai mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi Eyang itu memasuki rumah dan memarkirkan kendaraan ini di garasi dengan sempurna pun, Eyang masih tetap tidak mengeluarkan sepatah kata juga. Aku membiarkan Eyang turun dan masuk ke dalam rumah lebih dulu. Setelah yakin bahwa Eyang sudah hilang dari pintu masuk, aku menyiapkan diri, menghela napas berat, lalu membuka pintu di sebelahku.

Bunda berdiri persis di depan pintu sembari terus menjatuhkan tatapan kecewa padaku. Aku menunduk, tidak sanggup membalas pandangan Bunda saat aku mengingat bahwa aku telah membohongi Bunda. Namun kali ini aku benar-benar yakin aku tidak salah mengartikan meski hanya melihat sekilas. Sebanyak apa pun rasa kecewa yang ditujukan Bunda kepadaku saat ini, semua itu tetap tidak bisa menghilangkan gurat cemas serta khawatir yang tampak jelas lewat kedua bola mata Bunda.

“Rani,” panggil Bunda bersamaan dengan kehangatan yang tiba-tiba sudah melingkupi ubun-ubunku. Kuberanikan diri untuk menatap Bunda meski dengan wajah yang diliputi oleh perasaan menyesal. “Eyang menitipkan pesan pada Bunda bahwa besok pagi sebelum fajar, kamu akan ditunggu Eyang di ruang perpustakaannya.”

Dan perkiraanku tentang menyelesaikan semua masalah malam ini juga telah kandas seluruhnya.

-oo0oo-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro