Chapter 06 : Untaian Kata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat datang di Calista Academy, Kevin Andersen dan Anise Soraya," Aland menyambut kami dengan senyum lebar, "sebelumnya, akan aku jelaskan. Akademi ini merupakan akademi rahasia yang dibangun dengan tujuan mengumpulkan remaja pengidap sindrom efiveia, sebuah kejadian langka di mana indra keenam pengidapnya terbuka dan menunjukkan sebuah bakat khusus."

"Sejak hujan itu ...?" tanyaku, teringat kejadian beberapa waktu silam.

Aland mengangguk. "Ya, sejak hujan itu. Fenomena aneh yang terjadi di seluruh belahan dunia secara serentak. Kami mengumpulkan orang-orang yang dianugerahi kemampuan spesial itu, dengan tujuan untuk mencegah mereka menyalahgunakan kekuatan dan ...," Aland menjeda beberapa saat, "dan bersembunyi dari organisasi misterius yang mengejar kita."

"Organisasi misterius yang mengejar kita?" ulangku dengan kening berkerut.

"Apakah kalian tidak bertanya-tanya, mengapa bus yang kalian tumpangi tadi sore berhenti beroperasi?" Kali ini Marine membuka suara. Dia menurunkan kakinya dari atas meja, memutar kursi, dan menghadap ke arahku. "Itu olah organisasi misterius itu. Mereka sengaja mematikan jaringan di seluruh penjuru kota karena tahu kalian akan menaiki salah satu bus otomatis."

"T-Tunggu, bukankah kalau begitu seluruh bus akan jatuh juga?!" tanyaku tanpa sadar memukul meja.

"Hanya ada tujuh belas bus yang beroperasi pada hari itu. Aku sudah menghafal seluruh rutenya dan meneleportasikan dengan selamat ke daratan. Kebetulan saja bus yang kalian tumpangi adalah bus terakhir."

"Bagaimana kamu tahu kalau kami adalah orang yang mengidap sindrom efiveia ini?"

"Karena alat ini." Marine menunjukkan benda pipih yang tadi ia gunakan untuk menghubungi Aland. "Benda ini akan berbunyi setiap kali ada seseorang berkemampuan khusus di dekatnya. Satu orang, satu tangga nada. Semakin banyak orang yang berada didekatnya, maka semakin banyak suara yang dihasilkan."

Seperti sensor?

Aku terdiam cukup lama. Otakku masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku mengangkat kepalaku ke arah Aland, menatap serius. "Meski niat kalian baik, tetapi bukankah sama saja kalian menculik seseorang? Maksudku, bisa saja orang yang kalian culik ini memiliki keluarga."

Aland mengembuskan napas pelan. "Sudah kuduga kamu bertanya seperti itu. Karena itu, kami menyamarkan identitas asli akademi ini sebagai universitas. Kami mengirimkan undangan kepada orang-orang yang kami yakini sebagai pengidap sindrom efiveia. Namun, ada beberapa pula yang kasusnya sama seperti kalian. Ini terjadi bila organisasi misterius itu sudah mengetahui letak serta identitas seorang pengidap sindrom efiveia. Kami harus membawa secara paksa, jika tidak ingin ada korban jiwa yang berjatuhan."

Aku kehabisan kata-kata mendengarnya. Yang dapat kulakukan hanyalah diam, menundukkan kepala, menatap rok sekolahku yang lusuh.

Sekali lagi, Aland mengembuskan napas. "Sepertinya sudah mulai larut," ujarnya seraya menoleh ke luar jendela. "Sebaiknya kalian beristirahat. Mulai besok, kalian akan mengikuti kelas, sama seperti murid lainnya."

Marine beranjak berdiri. Gadis itu berdiri di antara aku dan Kevin. "Ayo. Jika masih ada yang mengganjal pikiran, kalian masih bisa menanyakannya besok."

Aku dan Kevin saling bertatapan untuk beberapa saat, kemudian ikut beranjak berdiri. Kami menatap Aland yang tengah tersenyum kepada kami. "Selamat beristirahat. Semangatlah, mungkin esok hari akan lebih menyusahkan dibanding hari ini."

Aku mengerutkan kening. Kata-kata penyemangat macam apa itu?

"Kami pamit dulu," ucap Marine sembari menyentuh pundakku dan Kevin. Dalam hitungan detik, kami sudah berpindah tempat ke sebuah ruangan luas dengan kesan yang dapat terbilang mewah.

Ruangan ini bercat putih pucat, dengan lampu besar yang menjadi sumber pencahayaan. Lantai ruangan ini dibalut karpet merah tipis. Ada beberapa interior berupa patung dan lukisan, menambah kesan mewah. Di ruangan ini terdapat beberapa sofa dan meja, serta televisi raksasa di dinding utara. Ada tiga pintu di ruangan ini. Pintu pertama terlihat jelas merupakan pintu masuk, karena pintu tersebut terbuat dari kaca dan pemandangan luar dapat terlihat dengan jelas, sedangkan dua pintu lainnya aku tidak tahu.

"Ini adalah loby utama asrama. Asrama wanita ada di pintu sebelah kiri, sedangkan asrama pria ada di pintu sebelah kanan." Marine mengeluarkan dua lembar kartu dari saku celananya, kemudian memberikan kartu itu masing-masing kepada aku dan Kevin. "Nomor dan lantai kamar sudah tertera di kartu tersebut. Jangan sampai dihilangkan, karena kartu itu merupakan kunci kamar serta kartu identitas siswa kalian di akademi ini. Kalau sudah mengerti, aku pergi dulu. Masih banyak hal yang harus kukerjakan. Simpan pertanyaan kalian hingga besok pagi, sampai jumpa!" Tepat setelah mengatakan itu, tubuh Marine diselimuti oleh cahaya biru dan menghilang, menyisakan aku dan Kevin.

Kami saling berdiam diri untuk beberapa saat, hingga akhirnya aku membuka percakapan, "Jadi ... kamu dapat membaca pikiran?"

Bukankah itu sudah jelas? Marine dan Aland sempat menyinggung bahwa Kevin sudah mengetahui jawabannya. Hanya ada dua kemungkinan, antara Kevin sudah mengetahui keberadaan tempat ini atau Kevin dapat membaca pikiran. Namun sepertinya, kemungkinan kedua lebih besar.

Seperti dugaanku, Kevin mengangguk. "Ya, kamu benar, dan ... kamu dapat melihat masa depan?"

"Iya. Kamu pasti sudah menyadarinya lebih dulu, bukan?"

"Ya, saat kejadian di lapangan tadi siang. Aku mendengar isi pikiranmu tentang melihat masa depan."

"Jadi begitu ...."

"Ah, sudah sangat larut. Sebaiknya kita beristirahat." Kevin merenggangkan kedua lengan tangannya. Lelaki itu tersenyum cerah. "Sampai bertemu besok, Anise."

Aku mengangguk pelan. "Ya, sampai bertemu besok juga."

Setelah itu, kami berpisah.

***TBC***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro