Chapter 07 : Tinta Yang Tumpah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara alarm yang berasal dari jam beker di atas nakas membawa kesadaranku keluar dari alam mimpi. Aku mengerjap-ngerjapkan mata guna membiasakan penglihatan dengan pencahayaan sekitar. Aku merubah posisi menjadi duduk, merenggangkan otot-otot yang terasa kaku.

Semalam tidurku pulas sekali. Entah karena aku memang kelelahan atau ranjang yang kutempati begitu nyaman. Aku melompat berdiri, membuka tirai serta pintu balkon, kemudian menghela napas panjang.

Udara pagi ini begitu segar, meski langit yang kupandangi pagi ini bukanlah langit yang sama seperti kemarin.

Banyak sekali hal yang terjadi kemarin, sampai-sampai otakku berasa hendak meledak jika memikirkannya. Aku melangkah mendekati lemari kayu besar. Di pintu lemari tersebut tertempel jadwal kegiatan serta seragam yang harus kukenakan. Aku membuka lemari, mengambil handuk dan seragam hari ini, kemudian melesat ke kamar mandi.

Karena aku tinggal di rumah sederhana yang interiornya serba biasa saja, aku sedikit terkejut begitu memasuki kamar mandi ini. Bagaimana tidak? Begitu aku melangkahkan kaki, sebuah tangan-tangan robot sudah menungguku dan meraih seragam dan handuk yang ada di tanganku. Bath-up sudah terisi air secara otomatis. Satu tangan robot yang tersisa menyerahkan sabun, sampo, hingga sikat gigi. Setelah aku selesai mandi, tangan robot itu memberikan seragam dan handuk kepadaku. Air dari bath-up terkuras secara otomatis tepat ketika aku melangkahkan kaki keluar dari sana.

Aku tidak menyadari bahwa fasilitas di kamar ini sangat modern, mengingat semalam aku sudah lebih dulu tertidur karena kelelahan.

Selesai berpakaian rapi, aku meraih dua buku cetak, satu buku tulis, dan satu pena. Aku meletakkan pena di saku kemeja agar tidak terjatuh. Menurut jadwal yang kubaca, hanya ada dua kelas setiap harinya. Kartu identitas yang kumiliki ini juga memuat denah sekolah ketika diketuk sebanyak dua kali. Sungguh teknologi super mutakhir.

Aku keluar dari kamarku. Pintu kamar hanya bisa dibuka dari dalam, dan akan terkunci secara otomatis jika dibuka dari luar. Satu-satunya cara untuk mengakses pintu kamar melalui luar adalah dengan kartu identitas yang sekaligus kunci kamar.

Tepat setelah aku menutup pintu, seseorang keluar dari pintu di depan kamarku. Pandangan kami bertemu. Dia tersenyum begitu melihat kehadiranku. "Halo, kamu anak baru?"

Aku mengangguk. Aku hampir lupa jika sedang tidak berada di negara sendiri. Mulai sekarang, aku harus membiasakan diri dengan bahasa inggris. Aku bersyukur dulu tidak tidur saat pelajaran bahasa inggris di sekolah.

"Siapa namamu?" tanyanya dengan nada ramah seraya mengulurkan tangan, ke arahku.

Aku menjabat tangannya. "Anise."

"Namaku Mauren, salam kenal! Ngomong-ngomong, apa kelasmu hari ini? Mungkin kita mendapat kelas yang sama."

"Kelas penguasaan kekuatan," jawabku.

"Ah, sayang sekali kita tidak berada di kelas yang sama. Kalau kelas kedua, kamu mendapat kelas apa?"

"Kelas kedua ...," aku mengecek jadwal di kartu identitas karena sempat melupakan nama kelasnya, "kelas keterampilan menyelinap."

"Aku juga akan berada di kelas itu! Kalau begitu, sampai bertemu di sana nanti siang!" Mauren tersenyum lebar. "Mau berjalan bersama hingga lobi utama?"

Aku kembali mengangguk.

"Kamu rupanya tidak banyak bicara, ya. Hahaha, mungkin karena kita baru saja kenalan? Tidak perlu menahan diri jika di depanku."

Entah mengapa, perkataan Mauren mengingatkanku kepada Kevin. Perkataannya barusan sama seperti apa yang Kevin katakan kepadaku saat kami pertemuan pertama kami.

Aku dan Mauren berpisah tepat ketika tiba di lobi karena lokasi kelas kami berlawanan arah. Aku berjalan mengikuti denah yang ada di kartu identitas. Layar transparan tambahan yang muncul di sana, dengan titik merah merupakan posisiku. Aku tidak mengalami kesulitan yang berarti mengikuti jalan di denah ini.

Aku tiba di sebuah padang rumput yang cukup luas dan dikelilingi oleh hutan kecil. Di sana sudah berkumpul sekitar dua belas hingga lima belas orang. Namun yang membuatku heran adalah orang-orang itu memakai baju olahraga dan bukan kemeja sepertiku.

Entah mengapa perasaanku berubah tidak enak.

Karena hanya aku yang memakai seragam, maka otomatis atensi dengan mudah tertuju padaku.

Jangan bilang kalau aku salah seragam?

Seorang pria paruh baya muncul dari balik pepohonan, melangkah ke tengah lapangan. Sama seperti yang lain, dia juga memakai baju olahraga. Dia menatap ke arahku, mengangkat sebelah alisnya seakan melihat semut merah di antara kerumunan semut hitam. "Nona Soraya jika aku tidak salah? Kamu anak baru di sini, bukan?" tanya pria itu dan segera kubalas dengan anggukan kepala. "Apakah kamu salah melihat jadwal seragam? Kemeja dipakai besok, bukan hari ini."

Sial, sudah kuduga aku salah melihat jadwal.

Aku hanya bisa menunduk, menahan malu.

Pria itu mengembuskan napas pelan. "Karena ini adalah hari pertamamu, maka akan aku maklumi. Tolong jangan diulang saat pertemuan selanjutnya, mengerti?"

"Baik, Tuan."

"Nah, karena ada anak baru hari ini, aku akan memperkenalkan diri sekali lagi." Pria itu meletakkan kedua tangan di belakang pinggang, tersenyum simpul. "Namaku Michael Jersey, biasa dipanggil sebagai Tuan Jersey. Aku adalah pembimbing kelas penguasaan kekuatan, kelas tempat kalian semua mengendalikan kekuatan kalian."

Mata tajam itu memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Namun entah mengapa, tubuhku sempat membeku di tempat.

"Selamat datang, sang penglihat masa depan."

***TBC***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro