Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oi, Budek!" Seorang perempuan dengan rambut tergerai berteriak kencang. Gadis lain yang diteriakinya hanya bisa menangis tersedu. "Lihat kami kalau lagi ngomong! Sudah tahu enggak bisa dengar malah nunduk. Sepatu gue memang bagus banget, ya?"

"Memang minta diajari ini anak." Perempuan lain dengan rambut dikepang samping teman si perisak ikut memanasi.

"Sikat langsung, lah," kata temannya yang lain berambut pendek.

"A ... ampun ...."

"Oi, Runa," panggil si gadis berambut digerai. Perempuan itu memegang dagu gadis yang dipanggilnya Runa itu; memaksanya untuk saling tatap. "Enaknya lo diapain, ya?"

Runa terbeliak. Seketika warna-warna gelap menerjang. Merah hati, biru kelabu, kuning pekat. Belum lagi bentuk-bentuknya yang tajam. Seakan bisa menyerang gadis itu secara fisik dan mental.

Si gadis perisak menyusuri wajah Runa, mulai dari dagu, pipi, sampai telinga. Disibaknya anak rambut yang menutupi cuping telinga gadis itu, memperlihatkan hearing aid putih kecil yang terpasang.

Runa menjerit ketika alat bantu dengarnya dicabut paksa. Meskipun suara perlahan menghilang dari benaknya, tawa puas ketiga gadis itu tetap tersampaikan dalam bentuk warna-warni suram.

"Ayo, ambil!" kata si perisak sambil mengacung-acungkan alat bantu dengar itu ke atas. Runa bersusah payah mengambilnya sampai melompat-lompat.

Setelah cukup puas bermain, si gadis dengan rambut tergerai itu melemparkan benda di tangannya dengan keras. Runa terbelalak. Dengan sigap ia melindungi benda berharganya dari injakan dengan tubuh yang ringkih.

Runa menjerit ketika tangannya diinjak dengan keras. Tangis tidak dapat ia bendung ketika kaki tambahan menendang bagian tubuhnya yang lain. Gadis itu bergelung dengan kaki terlipat ke dalam, memeluk badan yang terus menerima hantaman.

"Sudah, Kawan-kawan. Sepertinya ia sudah mengerti," kata si gadis perisak. Kedua temannya berhenti menendang dan pergi menjauh sembari tertawa puas karena berhasil memberi pelajaran seorang tuli.

Runa masih bergelung cukup lama saat ketiga orang itu sudah tidak ada. Perlahan ia bangkit sambil terus menahan sakit yang masih terasa. Ditepuknya bagian pakaian yang kotor agar tidak ada yang curiga.

Gadis itu berjalan perlahan menjauhi kamar mandi fakultas yang terjauh dari gedung-gedung utama. Itu sebabnya jarang ada orang yang ke sana sehingga tempat itu dirasa "cocok". Tidak akan ada saksi mata karena jarang terjamah.

Sudah beberapa kali ia diperlakukan seperti itu. Ia tidak tahu alasannya. Mungkin karena keterbatasannya dalam mendengar? Entahlah. Padahal gadis itu juga tidak ingin kehilangan pendengarannya. Semua itu karena penyakit yang pernah ia derita. Sebuah ujian dari Tuhan. Namun, sebagai gantinya, Runa dapat melihat warna-warni nada suara yang ada.

Runa pernah bertanya alasan mereka melakukan itu semua, dan jawaban yang diberikan tidak membuatnya puas.

"Kami hanya tidak suka padamu. Lebih baik kau tidak pernah ada. Hanya membuat malu saja."

Sambil berjalan gontai, Runa kembali ke indekosnya. Tempat yang setidaknya dapat membuat hatinya tenang.

...

Lagi-lagi, Runa mendapat perundungan. Hal itu hanya karena ia kedapatan mengobrol dengan kakak tingkat yang kebetulan digandrungi banyak perempuan. Walaupun hanya secara verbal, tetapi tetap saja hal itu membuat hatinya sakit.

Dengan raut murung dan wajah tertunduk, gadis itu perlahan keluar dari kampus. Matanya terus fokus menatap jalanan sampai sesuatu menghentikan.

Kepulan warna-warni serupa kabut melintas di depan netra cokelatnya. Berbentuk seperti gelombang dan terasa selembut sutera. Runa mendongak. Belum pernah ia melihat hal seperti ini seumur hidupnya. Bahkan penyanyi top yang sudah terkenal pun tidak memiliki warna suara seperti itu. Ini kejadian langka. Runa harus melihat hal ajaib tersebut!

Gadis itu menelusuri jejak yang dihasilkan warna-warni yang ada. Setelah berjalan sebentar, terdengar sayup-sayup suara orang bernyanyi dari sebuah taman. Tempat itu dipenuhi banyak orang yang menghabiskan waktu sore mereka. Pedagang-pedagang kaki lima berada di berbagai tempat. Beberapa pertunjukan seni jalanan digelar. Dan dari kerumunan orang di salah satu sudut, warna suara itu berasal.

Lekas, Runa menghampiri kerumunan itu karena penasaran. Di sana berdiri seorang pemuda sedang bernyanyi sambil memainkan gitar.

♪♪♪

Menarilah dan terus tertawa

Walau dunia tak seindah surga

Bersyukurlah pada Yang Kuasa

Cinta kita di dunia

Selamanya

♪♪♪

(Laskar Pelangi - Nidji)

Suaranya sangat merdu, kontras dengan penampilannya; memakai jaket hitam yang sobek di beberapa sisi, celana jins yang koyak di bagian lutut dan yang membuat Runa mengerutkan dahi adalah bekas luka di beberapa bagian wajah. Walaupun seperti itu, jika diperhatikan lebih lama, pemuda itu cukup tampan.

♪♪♪

Cinta kepada hidup

Memberikan senyuman abadi

Walau hidup kadang tak adil

Tapi cinta lengkapi kita

♪♪♪

(Laskar Pelangi - Nidji)

Runa seakan terhipnotis. Ia bahkan sempat melupakan kejadian yang membuatnya sakit hati. Seolah pemuda tersebut memiliki sihir yang dapat melenyapkan sebuah masalah dengan hanya mendengar suaranya.

Lagu-lagu silih berganti seiring waktu yang bergulir. Tepuk tangan setiap orang mengiringi dan membuat meriah pertunjukkannya.

♪♪♪

Tak ada manusia

Yang terlahir sempurna

Jangan kau sesali

Segala yang telah terjadi


Syukuri apa yang ada

Hidup adalah anugerah

Tetap jalani hidup ini

Melakukan yang terbaik


Tuhan pasti kan menunjukkan

Kebesaran dan kuasa-Nya

Bagi hamba-Nya yang sabar

Dan tak kenal putus asa


Jangan menyerah

Jangan menyerah

Jangan menyerah

Jangan menyerah oh

♪♪♪

(Jangan menyerah – D'Masiv)

Satu lagu terakhir dan pertunjukan pemuda itu selesai. Runa tidak sadar ia sudah berada di sana sampai semua orang pergi dan hanya menyisakan mereka berdua. Gadis itu bahkan hampir lupa untuk memberikan uang.

Sambil tersenyum, pemuda itu berkata, "Terima kasih!" Menunjukkan deretan gigi yang rapi dan satu lesung pipi di sisi kanan. Dia kemudian memasukkan gitar yang dibawa ke dalam tas khusus lantas lekas pergi karena hari sudah mulai larut.

Dalam keheningan malam, Runa merasakan ada sesuatu yang tumbuh.

...

Sejak pertemuan pertama mereka, Runa jadi sering pergi ke taman di mana si pemuda musisi jalanan biasa tampil. Ia selalu menikmati setiap lagu yang dibawakan. Kagum dengan warna suara yang dihasilkan. Meskipun kegiatan kuliah yang padat dan membuatnya stres, tidak pernah gadis itu lewatkan. Hanya dengan mendengar dan melihat warna-warni suara yang dihasilkan pemuda itu, ia menjadi bahagia kembali.

"Hai," kata si pemuda suatu waktu; saat dia selesai dan hanya mereka berdua yang tersisa.

Runa tidak menjawab. Ia terlalu terpesona dengan si musisi jalanan.

"Halo ...?" Si pemuda melambaikan tangan di depan wajah Runa. Yang dipanggil malah salah tingkah ketika sadar. Gadis itu tertawa canggung sambil menghindari kontak mata; malah memainkan anak rambut sampai terlihat hearing aid yang dikenakannya. "Oh ...."

Pemuda itu seperti sibuk mencari sesuatu di tas gitar, tetapi hasilnya nihil. Runa melihat itu dengan bingung. Ketika si pemuda kembali berbalik menghadap Runa, dia menunjukkan sesuatu di tangan kirinya.

Namaku Kael.

Runa tertawa malu-malu melihat tingkah laki-laki di depannya. "A ... aku bisa dengar, kok," kata Runa pelan.

Sekarang pemuda itu yang malah salah tingkah. Dia tertawa canggung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Aku ... Runa." Gadis itu membalas salam perkenalan dari Kael yang diawalinya dengan tulisan di tangan.

Ada kecanggungan di antara mereka. Belum ada yang mau memulai pembicaraan lagi. Jangkrik di taman itu bahkan sudah berbunyi menemani malam.

"A ... aku belum pernah melihatmu sebelumnya." Runa mencoba memecah rasa canggung. Dirasa ada kalimat yang salah, buru-buru gadis itu mengoreksi. "Ma ... maksudku. Kita sudah pernah bertemu beberapa kali. Jadi ... Kau tahu apa maksudku ... 'kan?"

Kael tersenyum. "Iya, aku baru datang ke kota ini beberapa hari sebelum kita bertemu untuk pertama kali."

"Eh? Kau ... sudah ingat aku bahkan di pertemuan pertama kita?" tanya Runa terkejut. Dia merasa bukan tipe gadis yang akan diingat dalam sekali pandang. Orang-orang biasa bahkan akan memandang sebelah mata ketika tahu keadaannya yang sebenarnya.

"Kau punya warna yang berbeda."

"Eh? Maksudnya?"

Kael menggeleng. "Bukan apa-apa. Aku hanya merasa kau punya sesuatu yang istimewa."

Runa melongo. Baru kali ini ada yang menyebutnya begitu. Apa mungkin Kael orang yang sama seperti dirinya?

"Kapan-kapan ... bisa kita mengobrol lebih lama?" tanya Runa ragu, mengingat Kael orang yang harus terus bekerja untuk menyambung hidup. Ia tidak ingin keegoisannya membuat pemuda itu terganggu.

"Tentu saja," jawab Kael dengan senyum mengembang lebar sampai matanya tertutup. Hal itu membuat hati Runa senang bukan kepalang.

Gadis itu tersenyum simpul. "A ... aku duluan, ya! Dah!" katanya girang, lantas bergegas kembali pulang karena hari sudah mulai larut.

Kael melambai ke arah Runa yang sudah menjauh. Baru kali ini dia mendapat penonton setia, bahkan rela menontonnya sampai selesai. "Gadis yang unik," gumamnya.

Runa tidak bisa berhenti tersenyum. Akhirnya dia dapat berbicara dengan pemuda itu! Sama seperti saat bernyanyi, suara Kael terasa begitu lembut saat berbicara. Ada pancaran kehangatan dalam dirinya. Kelembutan dalam setiap intonasinya. Belum lagi warna-warna cerah yang terlihat saat mereka mengobrol. Kontras dengan kehidupan Runa yang biasa penuh dengan warna pucat.

...

"Woy, Budek! Akhir-akhir ini gue lihat lo bahagia banget, ya?" Jessica, si gadis berambut tergerai yang suka merundung Runa mencegatnya saat pulang kuliah. Matanya memicing, bibirnya ditekuk ke bawah, tangan terlipat di depan dada.

Runa mundur selangkah. Tubuhnya bergetar. Gadis itu waspada dengan apa yang akan dilakukan lawan bicaranya. Warna-warna gelap dan bentuk-bentuk geometris tajam keluar bersamaan dengan suara Jessica yang tinggi.

"Gue enggak suka!" Tepat sebelum si perundung melakukan hal apa pun yang dapat menyakitinya, Runa berlari secepat kilat; mengabaikan teriakan dan sumpah serapah Jessica di belakang.

Runa berlari secepat yang ia bisa ke taman di mana Kael biasa ada. Tidak seperti biasanya, taman tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang lalu lalang dan beberapa pedagang kaki lima yang biasa berjualan. Kael sendiri terlihat sedang beristirahat di bawah pohon sambil minum.

Gadis itu lekas menghampiri si pemuda yang tampak bingung ketika didatangi. Ia langsung duduk di sampingnya tanpa salam pembuka.

"Kau kenapa?" tanya Kael. Gadis di sampingnya hanya menggeleng sambil menunduk. Ditutupinya kedua mata dengan telapak tangan. Suara sesenggukan terdengar tak lama kemudian.

Kael gelagapan. Ada anak gadis menangis di sampingnya! Dia tentu saja tidak mau dianggap menjadi pelaku. Dengan sigap dia memangku gitar kemudian memetiknya perlahan.

♪♪♪

Jangan menangis, Sayang

Ini hanyalah cobaan Tuhan

Hadapi semua dengan senyuman

Dengan senyuman

Dengan senyuman


Jangan menangis, Sayang

Sinarmu harus tetap bersinar

Tabahkan hatimu demi ibu

Itu surgamu

Itu surgamu

♪♪♪

(Sinar, Jangan Menangis – ST12)

Runa mendongak. Suara Kael benar-benar bisa membuat hatinya tenang. Dihapusnya air mata yang mengalir. Senyum merekah kembali di bibirnya yang tipis.

"Kau tahu, 'kan? Kau ... punya suara yang sangat mengagumkan. Orang tuli saja bisa sembuh hanya dengan mendengar suaramu," ucap Runa membuat Kael yang sedang bernyanyi berhenti.

Pemuda itu tertawa garing mendengarnya. "Kau terlalu berlebihan."

"Itu benar!" Runa duduk tegak. Kesedihan seolah sirna. "Kau punya bakat terpendam. Kenapa tidak jadi artis saja?"

"Sebenarnya aku ingin, tapi ... aku tidak punya modal," timpal Kael pelan. Ada kesedihan dalam nadanya. Warna yang dilihat Runa menjadi pudar. Gadis itu tidak suka.

"Omong kosong!" Runa berdiri; menghadap Kael. "Aku akan membantumu!"

"Caranya?" Kael melihat gadis di depannya yang kini diam mematung. Bingung dengan ucapannya sendiri. "Kita baru kenal beberapa hari. Kenapa kau ingin membantuku?"

"Kau ...." Runa ragu mengatakannya. Kalau dia bilang yang sesungguhnya, Kael mungkin akan menganggapnya gila. "Itu tidak penting. Aku sudah bersedia membantu. Kenapa tidak kita mulai?"

"Aku ... aku tidak suka merepotkan orang lain." Kael tertunduk. Biru pudar. Lagi-lagi warna pucat. Runa jadi benci. Ia ke sini ingin melihat indahnya warna suara Kael, bukan warna seseorang yang terpuruk.

Gadis itu berjongkok sampai pandangan mereka sejajar. "Lihat mataku," perintahnya. "Apa ada keraguan di sana? Ayolah! Setidaknya ... aku ingin berguna bagi orang lain."

Kael tersenyum. Ada ketulusan yang terpancar dari mata gadis di hadapannya.

"Oke. Ayo, kita coba. Tapi, aku tidak tahu harus dari mana memulainya."

"Tenang saja. Aku akan mencari tahu."

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro