Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di sela-sela kegiatan kuliahnya, Runa menyempatkan diri untuk mencari tahu berbagai kegiatan yang mungkin bisa dilakukan Kael agar namanya dapat dikenal luas. Mulai dari pensi SMA sampai festival musik daerah. Namun semua itu membutuhkan musisi yang setidaknya telah memiliki "nama".

Runa mendesah berat. Ini akan sulit. Saat itulah sebuah iklan ajang pencarian bakat melintas di salah satu lini masa media sosialnya. Mata gadis itu membulat. Ia hampir memekik kegirangan. Antusiasme Runa bahkan hampir membuat teman-teman sekelasnya khawatir ada sesuatu yang terjadi padanya. Ini adalah kesempatan yang mereka nantikan! Kael harus segera tahu.

Setelah pulang kuliah seperti biasa, Runa mendatangi Kael yang sedang melakukan pertunjukan. Ia menunggu hingga malam sampai pemuda itu selesai.

"Jadi, ada kabar apa?" tanya Kael memulai obrolan. Senyum berlesung pipinya membuat Runa merasa hangat.

"Bersiaplah, karena mulai saat ini, kau akan jadi bintang!" sahut Runa sambil memperlihatkan poster pencarian bakat dengan warna dominan biru di ponselnya.

Kael mengambil ponsel milik Runa dan melihat poster itu lebih rinci. Ada beberapa kota dengan masing-masing tanggal berbeda yang hanya berjarak beberapa hari. "Beberapa hari lagi," gumamnya.

"Kau masih punya waktu untuk latihan," kata Runa semangat. "Walaupun aku ragu kau masih perlu latihan karena suaramu sudah bagus."

Kael tersenyum simpul mendengar pujian itu. Mulai saat ini sampai beberapa hari ke depan, dia harus bekerja ekstra mendapatkan uang lebih untuk ongkos ke kota sebelah.

...

Hari Minggu itu, Kael tidak mengamen di taman seperti biasanya. Pemuda itu hanya duduk-duduk di bawah naungan pohon sambil sesekali menggosok kedua tangan yang kedinginan. Uap dingin sesekali keluar ketika dia mengembuskan napas. Dia dan Runa sudah memutuskan untuk pergi pagi-pagi sekali ke Kota Jakarta untuk audisi.

"Hai, Kael!" sapa Runa sambil melambai. "Wah, kau tampan sekali! Baju baru, ya?"

Kael yang malu dipuji hanya bisa tersenyum kecil. Yang "baru" dari penampilannya hanyalah jaket kulit cokelat dan celana jins biru yang masih terlihat utuh ditambah gelang tali dan kalung logam berbandul cincin perak. Itu semua pun hasil pinjaman dari teman seperjuangannya yang memaksa agar dia terlihat lebih keren.

"Kau sudah siap?" tanya Kael.

"Harusnya aku yang bilang begitu. Kau gugup tidak?"

Kael tertawa garing. "Mana mungkin aku tidak gugup?"

Mereka memutuskan naik bus antar kota antar provinsi. Keadaan yang penuh dan berdesakan membuat mereka harus berdiri sepanjang perjalanan. Runa harus berpegangan pada lengan Kael karena dirinya tidak sampai untuk mencapai pegangan gantung. Sumpek, sesak dan panas. Belum lagi bau keringat yang menguar. Menjadikan perjalanan mereka menjadi sebuah tantangan tersendiri.

Butuh waktu kurang lebih satu jam sampai ke tempat tujuan. Mereka tiba saat matahari belum tinggi, tetapi barisan manusia yang menunggu untuk masuk audisi sudah mengular. Panjangnya bahkan sudah melebihi kereta delapan gerbong.

Kael meneguk ludah. Nyalinya sudah ciut duluan sebelum berperang. "Kau bisa, Kael!" Runa menyemangati. "Suara mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan kau!"

Pemuda itu tersenyum kecut. "Ayo," ajaknya sambil menghampiri stand pendaftaran.

Setelah proses registrasi selesai, Kael diberikan nomor urut. Dia mendapatkan nomor ke-100. Angka yang cukup menyita waktu bila dihitung per orang memiliki kesempatan lima menit untuk tampil.

Runa mendesah. Ia tidak ikut mengantre, tetapi telah merasakan lelahnya harus menunggu selama berjam-jam. "Sudah, antre sana," perintah Runa sambil mendorong Kael ke antrean. "Kau mau sarapan apa? Kau pasti belum makan, 'kan? Biar aku yang belikan."

Kael awalnya ingin menolak karena tidak enak hati. Tetapi melihat ketulusan yang terpancar dari mata Runa, akhirnya dia mengiakan. "Yang praktis saja ... roti," jawabnya.

"Roti mana mengenyangkan!" protes Runa.

"Kalau begitu terserah kau saja."

"Oke, aku akan membelikanmu sesuatu yang istimewa!"

Runa memutuskan membeli bubur ayam. Sama halnya seperti antrean audisi, ia pun harus sama-sama mengantre karena pembeli yang banyak. Orang-orang berbaris mengular. Pedagang bubur kewalahan melayani pembeli. Runa berniat membeli yang lain karena tidak tahan, tetapi melihat pedagang kaki lima lainnya tak jauh berbeda, gadis itu akhirnya diam di tempat. Setelah kurang lebih menunggu satu jam, Runa kembali ke tempat Kael yang belum bergerak sama sekali.

"Audisinya baru dibuka pukul sembilan," kata Kael menjawab keheranan Runa. Gadis itu hanya bisa menggembungkan pipi. "Maaf, ya."

Runa menggeleng. "Tidak apa. Ini juga karena keinginanku."

Matahari sudah berada di atas kepala dan baru setengah antrean yang bergerak. Untuk membunuh waktu, Kael terkadang mengajak orang yang di belakang atau depannya untuk mengobrol. Sementara itu, Runa memainkan ponselnya atau membaca buku.

Mereka bisa saja mati kebosanan bila Kael tidak dipanggil sebelum senja. Dengan rasa gugup yang kentara, pemuda itu memasuki ruang audisi. Runa menunggu di luar dengan perasaan campur aduk. Meskipun gadis itu percaya kalau Kael bisa langsung lolos, tetap saja ia waswas.

"Aku gagal," ucap Kael ketika keluar dan langsung membuat Runa tidak percaya.

"Pasti ada kesalahan! Orang tuli sepertiku bahkan tahu kalau kau memiliki bakat! Mereka memang tidak kompeten! Mereka—"

"Sudah, Runa, sudah." Kael mencoba menangkan. "Ini bukan akhir."

"Kau benar," sahut gadis itu. Ia menarik si pemuda untuk duduk di sebuah kursi panjang dekat para penjual makanan.

Runa membuka ponsel. Dilihatnya lagi poster ajang pencarian bakat.

"Kau akan ikut audisi lagi yang ada di Bandung!" tunjuknya pada Kael. Ada pancaran harapan di mata gadis itu.

Setelah audisi pertama selesai, mereka kembali dan merencanakan sesuatu agar lebih matang.

...

"Aku tidak lolos."

"Lagi?! Mereka pasti benar-benar tuli! Sudah jelas suaramu bagus!"

"Kita pulang saja. Ayo."

"Kita tidak akan pulang sebelum kau lolos dan jadi bintang!"

"Tapi, Runa, audisi selanjutnya ada di Malang. Tabunganku sudah menipis. Uang yang ada hanya ada untuk ongkos pulang."

"Aku juga. Bagaimana kalau kita mengamen saja sambil ke sana? Sambil latihan, sambil menabung. Menumpang truk agar menghemat uang. Kalau kita bolak-balik ke kota tempat audisi, kita hanya akan tekor di tengah jalan."

"Kau sangat keras kepala. Aku tidak suka rencana ini."

Suka tidak suka, mereka melakukan rencana itu. Mereka mengamen dari satu rumah ke rumah lainnya, dari warteg ke warung pecel lele pinggir jalan. Turun-naik truk di jalur Pantura, menumpang di mobil bak terbuka.

"Lari, Runa! Lari!" teriak Kael. Mereka dikejar Satpol PP di suatu kota saat ada penertiban gelandangan dan pengemis. Malang sekali nasib pemuda-pemudi itu.

"Tunggu aku, Kael!" Runa terengah seperti anjing yang lelah berlari. Sesekali ia berhenti dan mengambil napas, lantas berlari kembali saat para petugas sudah lebih dekat.

"Runa, sini!" Kael menarik tangan Runa ke sebuah gang sempit. Mereka kemudian mengambil jalan berbelok-belok untuk mengelabui petugas. Kedua orang itu bersembunyi di sebuah rumah kosong di tengah hutan beton.

Kael memeluk Runa erat agar gadis itu tenang. Mereka sangat dekat. Runa bahkan bisa merasakan detak jantung Kael yang perlahan menenangkan, napas berat yang menyapu pucuk kepalanya dan dekapan tangan pemuda itu yang hangat. Ingin rasanya waktu berhenti agar ia dapat terus menikmati masa-masa ini.

"Sepertinya sudah aman," kata Kael mengawasi. Dia yang baru sadar sedang memeluk Runa refleks melepaskannya. Wajah pemuda itu memerah karena malu. "A ... aku .... Ma ... maaf ...."

Kecanggungan menyerang mereka berdua.

Di atas mobil bak terbuka ditemani angin dingin, Kael dan Runa menatap langit malam di atas mereka. Bintang-bintang bertaburan. Gadis itu bersandar pada bahu pemuda di sampingnya. Ada kenyamanan di sana untuk sesaat. Belum pernah ia merasakan hal itu sebelumnya.

Kael mengambil gitarnya membuat Runa terkaget. Dipetiknya gitar lantas menyanyikan lagu yang sering disenandungkan anak-anak.

♪♪♪

Bintang kecil

Di langit yang tinggi

Amat banyak

Menghias angkasa


Aku ingin

Terbang dan menari

Jauh tinggi

Ke tempat kau berada

♪♪♪

(Bintang Kecil – R. G. J. Daldjono H. / Pak Dal)

Runa tertawa mendengarnya. Untuk menikmati malam agar lebih berarti, mereka memutuskan untuk menyanyikan sisa lagu anak-anak yang mereka tahu.

"Katakan, Runa. Apa tujuanmu membantuku sebenarnya? Aku tahu, ada udang di balik batu dari semua ini."

"Bukan hal yang penting."

"Kau rela sampai membolos kuliah. Aku tidak suka itu. Bagaimana dengan orang tuamu nanti?"

"Ini mungkin terdengar sangat egois, tapi ... aku hanya ingin mengejar kebahagiaanku."

"Bagaimana bisa?"

"Suaramu membuatku bahagia, Kael. Aku ingin membawanya ke tahap yang lebih tinggi."

Kael tertunduk sambil memeluk kakinya. Ada sesuatu yang salah di sini, pikirnya. Aku harus melakukan sesuatu yang tepat. Sementara itu, Runa menyandarkan kembali tubuhnya pada bahu Kael.

...

Seperti dua tempat audisi sebelumnya, antrean panjang mengular sudah ada ketika mereka tiba. Mencari makan; menunggu sampai bosan, mereka lakukan itu semua sampai giliran Kael di sore hari. Namun, penantian panjang mereka lagi-lagi harus terbayar dengan kekecewaan.

"Lagi-lagi gagal," kata Kael dengan raut menyesal. "Sepertinya aku memang tidak ditakdirkan menjadi bintang."

"Jangan bilang seperti itu. Kau hanya belum waktunya untuk bersinar. Ayo, kita jadwalkan lagi perjalanan kita—"

"Sudah selesai, Runa."

"Apa? Kael, kau orang yang pantang menyerah!"

"Runa!" bentak Kael. "Bisakah kau tidak seegois ini? Aku lelah .... Kalau alasanmu menekanku agar kau bisa terus mendengar suaraku, kenapa kau tidak rekam saja? Kau mendapat apa yang kau inginkan dan aku mendapat kehidupan normalku."

Runa tersentak. Ia tidak percaya dengan apa yang didengar. Kael baru saja membentaknya! Hal itu mengingatkannya saat ia sering dirundung dahulu oleh Jessica dan kawan-kawannya. Bentuk-bentuk tajam itu seakan kembali dan menusuk-nusuk hatinya. Belum lagi warna-warna pudar yang ia lihat. Terasa kekecewaan dan rasa sedih di sana.

"Aku ... aku .... " Runa tidak bisa berkata-kata. Hatinya terlalu sakit. Bahkan untuk menyelesaikan satu kalimat rasanya sangat sulit. "... memang ... tidak berguna ...."

"Ayo, kita pulang," ajak Kael dingin.

Biru kelam.

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro