05. Trembling Hurts

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini mungkin akan terdengar kurang sopan. Tapi, bisakah kau keluar sebentar untuk menemuiku? Aku ingin masuk, hanya saja aku ragu karena sepertinya tak ada orang di sana?" Shinji kembali berucap.

"Oke, tunggu sebentar." Renata menutup pembicaraan dan segera berlari menuju ke kamar mandi untuk cuci muka, menggosok gigi, lalu mengganti baju tidurnya dengan kaos dan rok selutut.

Tak sempat memakai bedak, ia hanya menyisir rambutnya dengan asal.

Ia baru ingat bahwa hari ini ia sendirian di rumah. Ayah dan ibunya ikut Mas Aldi ke rumah orang tua Mbak Yuli. Ada acara keluarga di sana dan Ia memang memutuskan untuk tak ikut serta dan lebih memilih untuk beristirahat di rumah saja.

Renata melangkah cepat menemui Shinji di luar halaman. Lelaki itu segera menyambutnya dengan senyuman hangat dan segera mendapat balasan.

"Maaf jika pagi-pagi begini aku sudah mengganggumu," ucapnya.

"It's okay. Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Renata bertanya penasaran.

"Apa ini rumahmu dan juga rumah suamimu?" Shinji balik bertanya.

"Bukan, ini rumah orang tuaku. Sementara ini aku di sini untuk ___ menenangkan diri." Perempuan itu menyelipkan rambutnya yang tertiuap angin ke belakang telinga.

Shinji menatapnya lekat, lalu manggut-manggut.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" tanya Renata lagi.

"Oh, itu. Kemarin kau tak mengijinkanku mengantarkanmu, jadi aku sengaja mengikuti taksi yang membawamu ke sini. Maaf." Jawaban Shinji membuat Renata sempat terheran-heran.

"Kenapa kau harus repot-repot melakukannya?" tanya perempuan tersebut.

Shinji tak segera menjawab.
"Aku mengkhawatirkanmu," ucapnya kemudian.

Renata tertegun.

"Dulu ketika masih es-em-a, aku pernah bermain ke rumahmu, kan? Tapi sepertinya bukan yang ini." Ucapan Shinji membuat Renata sadar dari lamunan.

"Kau benar, kami pindah ke sini setelah aku lulus es-em-a. Rumah yang lama itu sudah kami jual. Masuklah dulu, akan kubuatkan minuman," ajak Renata.

"Ah, tidak usah, terima kasih. Aku harus segera ke kantor. Kedatanganku ke sini hanya ingin memberitahumu bahwa aku butuh seorang asisten pribadi. Jika kau bersedia, bekerjalah bersamaku. Aku butuh seseorang yang bisa membantuku mengetik dan menyiapkan berkas-berkas untuk presentasi. Bagaimana?" Shinji menjelaskan.

Renata tak segera menjawab.

"Oh, kau tidak perlu menjawab sekarang. Kau bisa berpikir dulu. Yang jelas, aku akan sangat senang jika kau mau membantuku. Tapi jika kau tak bersedia sekalipun, tak masalah. Tapi aku pasti akan membantumu mencarikan pekerjaan." Ucapan Shinji terdengar begitu tulus hingga membuat Renata kembali terpana.

"Oh iya, aku punya sesuatu untukmu." Shinji beranjak mengambil sesuatu dari dalam mobilnya. Sebuket besar bunga Gerbera.

"Untukmu," ucapnya seraya menyodorkannya ke arah perempuan tersebut.

Perempuan itu menerimanya dengan ragu-ragu.

"Untuk apa kau memberiku bunga?" Ia bertanya sambil terkekeh.

"Agar kau tak sedih lagi. Semoga bunga ini bisa membuatmu senantiasa ceria," jawabnya, tetap dengan senyumnya yang menawan.

"Aku tak suka melihatmu bersedih, Ren. Itu menyakiti hatiku." Shinji menambahkan.
"Oke, itu dulu yang ingin kusampaikan padamu. Kabari aku jika kau telah memutuskan. Aku pergi dulu ya." Pria itu beranjak masuk ke dalam mobilnya.

"Terima kasih untuk bunganya," ucap Renata.

Shinji tersenyum lagi sambil mengangguk. Ia melambaikan tangannya sebelum akhirnya menjalankan mobilnya meninggalkan Renata.

Dan ia menatap kepergian pria itu hingga mobil yang ia kendarai hilang dari pandangan.

Menatap kembali ke arah buket bunga di rengkuhannya, entah mengapa ia begitu terharu.

Bunga Gerbera. Orang bilang, bunga ini melambangkan sebuah perasaan cinta yang sudah lama terikat.

°°°

Tak butuh waktu lama bagi Renata untuk mengambil keputusan tentang tawaran pekerjaan yang diberikan Shinji. Mengesampingkan masa lalu mereka ketika di SMA, ia memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan itu.
Mendapatkan pekerjaan secepatnya, hanya itu yang terpikir olehnya.

Lagipula, hubungannya dengan Shinji juga sudah jauh lebih baik sekarang. Mereka sudah mulai berteman lagi dan tak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Dan itu yang membuat Renata merasa yakin untuk menerima pekerjaan tersebut.

Sore itu juga, ia datang ke apartemen Shinji untuk membicarakannya.

Lelaki itu merasa kaget dengan kedatangan Renata yang begitu tiba-tiba.

"Apakah tawaran pekerjaanmu masih berlaku? Jika iya, aku ingin menerimanya," ucap Renata begitu melihat Shinji dari balik pintu, ia bahkan belum mengucapkan salam sama sekali.

Shinji tergelak.
"Woa, santai saja, Ren. Masuklah dulu." Lelaki itu menyilakan Renata masuk dan segera membuatkannya secangkir minuman.

"Jadi? Kau yakin ingin menerima pekerjaan ini?" Ia memastikan.

Renata mengangguk tegas.
"Jika hanya sekadar mengoperasikan komputer dan menata berkas, aku mampu melakukannya."

Shinji tersenyum. Ia duduk di kursi di seberang Renata sambil menatap perempuan itu dengan lembut. "Oke, selamat datang padaku, Ren," ucapnya.

Renata mendelik hingga Shinji kembali tertawa.
"Bercanda. Maksudku, selamat datang menjadi partner-ku."

"Bawahanmu." Renata meralat.

Shinji menggeleng.
"Aku tidak memintamu bekerja denganku sebagai bawahanku, tapi sebagai partnerku. Partner untuk menyelesaikan pekerjaan bersama-sama."

"Ah, tetap saja kau yang menggaji aku. Jadi, aku bawahanmu, kan?"

"Tidak, Ren. Sungguh bukan begitu."

"Jadi kapan aku bisa mulai bekerja?" Pertanyaan Renata menghentikan perdebatan mereka.

"Besok. Bisakah?"

Renata mengangguk mantap.
"Tentu saja. Tapi, tidakkah aku harus mengumpulkan berkas-berkas surat lamaran padamu?"

"Besok bisa kau bawa sekalian, kan?"

Perempuan itu kembali mengangguk.

"Oh iya, karena kau asisten pribadiku, jadi kau tidak harus selalu datang ke kantor. Kau bisa menyelesaikan pekerjaanmu di sini," tutur Shinji.

Renata mengernyitkan dahinya.

"Kemarilah, akan kutunjukkan ruang kerjamu." Shinji beranjak.

Renata sempat ragu mengikutinya. Tapi akhirnya ia ikut bangkit dan mengikuti langkah Shinji menuju ruangan paling ujung dekat jendela. Sebuah ruangan minimalis yang tampak nyaman sekali.

Ada sepasang meja kerja di sana. Di samping jendela tampak buku-buku yang berada di rak dan berjajar dengan rapi.

"Kau bisa menyelesaikan pekerjaanmu di sini," ucap Shinji kemudian seraya menunjukkan ruangan itu dengan bangga.

"Tugasmu cukup membantuku untuk mengetik dan menata berkas-berkas yang ada di sana. Kau pasti bisa mempelajarinya dengan cepat." Ia menunjuk ke arah meja kerja yang berada tepat di samping jendela hingga cahaya matahari leluasa masuk ke sana.

"Maksudmu, aku harus datang ke sini setiap hari? Bukan ke kantormu?" Renata bertanya dengan bingung.

Shinji mengangguk. "Sekarang, apartemen inilah kantormu," jawabnya kemudian.

"Oh iya, sebentar," lelaki itu beranjak mengambil kunci yang ada di laci meja kerjanya lalu menyerahkannya ke arah Renata.
"Ini kunci apartemenku. Jika aku tidak memintamu datang ke kantor, kau bisa langsung ke sini dan menyelesaikan pekerjaanmu di sini," ucapnya.

Renata manggut-manggut.

"Apa aku harus memanggilmu 'Pak' sekarang?"

Shinji tertawa mendengar pertanyaan perempuan itu.

"Kita ini teman, Ren. Sekali lagi, kita adalah partner, bukan atasan dan bawahan. Jadi, bersikaplah seperti biasanya. Tolong, jangan buat aku tak nyaman dengan formalitas yang kau tawarkan. Oke?" erangnya.

Renata kembali manggut-manggut tanda setuju.

Dan begitulah akhirnya, Renata resmi bekerja menjadi asisten Shinji. Namun begitu, ia tidak selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Biasanya Renata datang ke apartemen Shinji ketika lelaki itu sudah berangkat ke kantor. Begitu pula sebaliknya, ia sudah harus selesai menyiapkan berkas untuk esok hari ketika Shinji belum pulang.

Tapi, kadang-kadang pula Renata datang ke kantor Shinji jika ia memintanya dan ada yang harus ia selesaikan di sana.

Awalnya Renata sempat bingung dengan sistem kerja yang diberikan Shinji padanya. Tapi lama-lama ia terbiasa dan ia menikmatinya.

"Aku sering bepergian ke banyak tempat. Dan aku tak bisa membawamu. Bagaimanapun juga, kau perempuan yang masih bersuami. Aku tak mau ada gosip macam-macam menimpa kita," jelasnya waktu. "Yang terpenting, selesaikan saja berkas presentasinya. Oke?"

Dan setelah dipikir-pikir, sistem kerja yamg ditawarkan pria itu ternyata memang masuk akal juga.

Shinji kerap bepergian ke banyak tempat, membayangkan dirinya mengikuti lelaki itu, rasanya memang agak canggung.

Lagipula, pengaturan seperti ini memang lebih nyaman bagi mereka.

Terkadang jika pekerjaannya sudah selesai, Renata selalu membantu membersihkan apartemen Shinji. Kadang-kadang pula ia menyiapkan makan untuknya. Dan hasilnya, Shinji selalu memarahinya habis-habisan.

"Aku membawamu ke sini bukan untuk menjadi pembantuku, Ren. Jadi, berhentilah melakukan hal-hal bodoh seperti ini. Aku sudah punya orang khusus untuk membersihkan rumah dan juga menyiapkan makan malam untukku. So, lakukan saja pekerjaanmu." Lelaki maskulin itu protes.

Renata nyengir.
"Aku hanya mencoba untuk membantumu," balasnya.

"Aku tahu, tapi untuk saat ini, akan lebih membantu jika kau mengerjakan pekerjaanmu saja. Please?" Shinji kembali mendebat dan Renata mengangguk tanda mengerti.

Nyatanya, Renata masih saja suka membersihkan apartemen Shinji secara sembunyi-sembunyi.

Ia juga membantu seorang Bibi yang senantiasa memasak untuk Shinji, secara sembunyi-sembunyi pula.

°°°

Sore itu, Renata sengaja pulang telat demi menunggu Shinji agar bisa bertemu dengannya.

"Kau belum pulang?" sapa Shinji ketika ia melihat Renata masih di ruangannya.

Renata mendongak dan menatap Shinji dengan antusias. "Kau ada waktu?" Ia bangkit dan berlari-lari kecil ke arahnya.

"Kenapa?" Shinji bertanya bingung.

"Aku ingin mentraktirmu. Bisakah?"

"Tumben, ada acara apa hingga kau berniat mentraktirku?"

"Bukankah kemarin aku menerima gaji pertamaku. Jadi, aku ingin mentraktirmu sebagai ucapan terima kasih."

Jawaban Renata sukses membuat Shinji tertawa.

"Kau ini aneh, Ren. Gaji itu 'kan kau dapat dariku, dan sekarang kau malah ingin mentraktirku, apa tak salah?" ucapnya.

Renata mengangkat bahu cuek. "Karena kau teman baikku. Jadi aku ingin mentraktirmu makan. Itu saja," ucapnya. "Nah, sekarang 'kan kau tahu kalau orang yang baik. Jadi kelak, jangan sampai kau telat membayar gajiku. Disertai bonus juga lebih bagus." Perempuan itu nyengir.

Shinji tertawa. "Beres," jawabnya.

Akhirnya, sore itu Renata mengajak Shinji makan malam di sebuah restoran Jepang, favorit Renata.

"Aku tak mengganggu acara malam minggumu, kan?" Renata bertanya di sela-sela acara makan mereka.

Shinji menggeleng. "Tidak. Selama ini aku selalu menghabiskan weekend-ku dengan nonton film di apartemen. Oh, iya, bagaimana kalau setelah makan malam ini kita nonton film di bioskop?" Tanpa diduga, Shinji yang berinisiatif.

Renata terdiam sesaat, berpikir. "Kau yakin tak akan ada yang cemburu bila kau mengajakku?" ucapnya.

Shinji tertawa.
"Harusnya aku yang bertanya. Apakah suamimu tak marah jika aku mengajakmu nonton?"

Renata mengibaskan tangannya dengan kesal. "Ah, jangan membahasnya lagi. Kau tahu bahwa sebentar lagi kami akan bercerai. Oh iya, kenapa kau masih sendiri? Tidakkah kau ingin berkencan atau menikah dalam usia yang sudah matang seperti ini?"

Shinji mengangkat bahu.
"Aku belum bertemu dengan orang yang cocok, itu saja," jawabnya.

"Mau kukenalkan dengan seseorang? Aku punya banyak teman yang cantik dan tentu saja masih lajang." Renata menawarkan.

Shinji tersenyum, ia menggeleng. Lelaki itu menatap Renata dengan lekat.

"Ren, kau tahu kenapa aku belum bisa menjalin hubungan dengan seorang wanita sampai detik ini? Karena aku orang yang sangat sulit jatuh cinta. Dan jujur, aku takkan bisa mencintai wanita lain seperti aku mencintai dirinya," jawabnya.

Kening Renata mengernyit. "Dirinya? Siapa?" Ia memberanikan diri bertanya.

"Cinta pertamaku, pacar pertamaku, teman es-em-a-ku," Shinji menjawab santai.

"Orang Jepang?" Renata bertanya dengan antusias.

Bibir Shinji mengerut lalu kembali menatap Renata dengan dalam hingga membuat perempuan itu jengah.

"Tidak, dia bukan orang Jepang. Aku mengenalnya di sini. Dia cinta pertamaku, dia juga pacar pertamaku. Sayangnya, dia hanya mempermainkanku. Dia hanya memperalatku demi sebuah taruhan konyol. Masih ingin tahu dia siapa?" Nada suara Shinji terdengar berat.

Renata tertegun. Raut mukanya kaku.
Shinji mengangguk pasti. "Itu kau," ucapnya.

"Ya, itu kau, Ren. Kaulah orang yang masih aku cintai, dari dulu, sampai detik ini." Lelaki itu melanjutkan.

Renata merasakan dadanya berdebar. Tapi sejurus kemudian, ia tertawa.
"Kau bercanda lagi, kan?" ucapnya, masih diselingi tawa.
Tapi, tawanya terhenti ketika dilihatnya Shinji menatap dirinya dengan raut muka serius.

"Shinji___"

"Itu benar, Ren. Aku masih mencintaimu, sejak dulu, sampai sekarang. Dan aku tak bohong," ujarnya. "Jadi, jika kau memang tak bahagia bersama suamimu, berpisahlah dengannya dan beri kesempatan padaku untuk memenangkan hatimu. Aku tulus ingin kembali bersamamu."
Ucapan Shinji terdengar pelan namun syarat makna hingga sempat membuat perempuan di hadapannya tercengang.

Dan bingung.

°°°

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro