06. Comeback to me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku serius, Ren. Jika pernikahanmu tak bahagia, bercerailah. Dan kembalilah padaku," ucap Shinji lagi.

Renata menelan ludah.
“Shinji, maaf ini terlalu tiba-tiba untukku. Aku menghargai pengakuanmu, tapi sepertinya kau tak memahami kondisiku. Aku___”

“Aku bisa memahami kondisimu dengan baik."

“Tidak, kau tak paham. Aku bukan perempuan sempurna yang bisa memberikan keturunan. Setelah apa yang terjadi dengan suamiku, aku tak berencana menikah lagi.”

“Aku berbeda dari suamimu, aku mampu menerimamu apa adanya, dengan segala kondisimu dan kau harus percaya itu.” Shinji menjawab terlebih dahulu.

“Shinji__”

“Aku serius dengan perasaanku. Selama ini aku tak pernah bisa melupakanmu. Jadi, kumohon padamu, beri aku kesempatan untuk bisa membuatmu mencintaiku. Aku berjanji, aku akan membahagiakanmu,” lanjut Shinji kemudian.

Renata  hanya tercengang, tanpa tahu harus menjawab apa.

Pengakuan Shinji yang begitu tiba-tiba benar-benar membuat dirinya bingung. Ia tak memberikan tanggapan apapun. Ia bahkan nyaris tak membuka suara, begitu pula dengan Shinji hingga makan malam mereka selesai dan lelaki itu mengantarkannya pulang.

Dan malam itu, Renata  nyaris tak bisa tidur walau hanya menutup mata. Ia masih teringat akan Shinji, teringat akan pengakuannya.

Memberi kesempatan padanya untuk bisa membuat dirinya jatuh cinta padanya?

Tiba-tiba dada Renata kembali berdebar.

Jujur, sekarang ia menemukan sosok yang berbeda pada diri Shinji. Lelaki itu tumbuh menjadi lelaki yang luar biasa tampan, dewasa, dan yang pasti, berbeda sekali dari Shinji yang beberapa tahun lalu pernah ia temui.

Tiba-tiba Renata didera rasa takut. Ia resah. Karena ia sadar bahwa ia menemukan kenyamanan pada lelaki tersebut, setelah apa yang terjadi dengan Hasan.

Dan Renata takut bahwa ia akan jatuh cinta padanya.
Ia trauma, ia takut terluka.

Perempuan itu nyaris terlonjak ketika ponselnya berbunyi dan sebuah pesan baru bertambah di kotak masuk. Ia memiringkan kepalanya dan membuka pesan tersebut. 

Segera ia bangkit ketika tahu bahwa pesan itu dari Shinji.

:: Kau sudah tidur? ::

Renata terdiam sesaat. Belum sempat ia membalas, Shinji kembali mengiriminya pesan.

:: Aku serius dengan apa yang kukatakan tadi. Aku masih mencintaimu. Tolong beri kesempatan padaku untuk membuktikannya. Beri kesempatan padaku untuk bisa membuatmu bahagia.::

Renata menatap pesan singkat tersebut, terdiam, dan ia tak mampu menuliskan pesan balasan.

°°°

Renata sedang berjalan menuju halte bus untuk berangkat ke apartemen Shinji ketika melihat Hasan berdiri di dekat mobil yang terparkir tak jauh dari rumahnya.

“Aku menunggumu di sini,” sapanya ketika melihat kedatangan Renata.

“Tadinya aku berniat datang langsung menemuimu di rumah. Tapi, pastinya kau akan menolakku. Jadi, aku sengaja menungguimu di sini,” ia melanjutkan.

Renata melangkah mendekatinya, meski sedikit enggan. 

“Kau datang sendiri?” tanyanya seraya melirik ke dalam mobil, takut jika Anggi ada di dalam sana. 

“Ya, aku datang sendiri,” jawab Hasan yang melihat kekhawatiran di wajah istrinya.

“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Bisakah kau masuk ke mobil sebentar?” pinta lelaki itu. Ia beranjak dan hendak membuka pintu mobil.

"Tidak." Renata menjawab cepat hingga Hasan urung menarik handle pintu.

“Maaf, Mas. Tapi aku sedang buru-buru. Jika ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, bicarakan saja di sini secepatnya,” jawab Renata.

Terdengar Hasan menghela napas. Ia bersedakap lalu menyandarkan punggung di mobil.

“Kenapa kau harus melakukan ini, Ren?” desisnya.

“Melakukan apa?” Renata bertanya bingung.

“Kenapa kau harus bekerja? Aku masih sanggup menghidupimu. Apa uang yang selama ini kutransfer ke rekeningmu masih kurang? Aku bisa menambahnya jika kau mau. Kau tinggal bilang saja butuh berapa?” Hasan menatap Renata dengan lembut.

“Dari mana kau tahu kalau aku bekerja?”

“Aku bahkan tahu kalau kau bekerja pada lelaki yang aku temui di restoran beberapa waktu yang lalu,” ucapnya.

Renata  mengernyitkan dahinya. 
“Mas memata-mataiku?"

Hasan kembali mendesah pelan. “Ren, kau masih sah sebagai istriku dan aku berhak mengetahui apapun yang kau lakukan,” ujarnya.

“Ya, secara hukum kita masih sah sebagai suami istri. Tapi sejak kau mengkhianatiku, perkawinan kita sudah hancur. Dan sudah berkali-kali aku bilang padamu, ceraikan saja aku!” Renata berujar sengit.

“Aku tidak akan bercerai denganmu,” Hasan membalas tegas.

“Kalau begitu, aku yang akan menggugat cerai terlebih dahulu.” Kali ini Renata nyaris berteriak hingga membuat dua sosok itu bersitatap.

“Kenapa? Apa sekarang kau sudah menemukan lelaki lain? Apa kau punya hubungan istimewa dengan atasanmu itu? Shinji Okada?” Hasan menatap perempuan di hadapannya dengan tajam.

Renata menghela napas lelah. 
“Mas, jangan pernah mengalihkan masalah. Dia tidak ada sangkut paut dengan masalah keluarga kita. Kau yang seharusnya berkaca, apa yang sudah kau lakukan pada kehidupan rumah tangga kita? Perkawinan kita berantakan karena siapa?” Renata menunjuk dada Hasan dengan jemarinya.

"Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Nyatanya kau membuat perkawinan kita hancur dalam sekejap." Gigi perempuan itu terkatub. Kedua matanya berkaca-kaca.

Dan jika sudah begini, Hasan tak berkutik. Karena faktanya, dialah yang berkhianat.

“Tapi kenapa kau harus bekerja padanya?” erang Hasan kemudian.

“Ini bukan masalah aku bekerja pada siapa? Aku butuh pekerjaan, itu intinya!” Perempuan itu menatap suaminya dengan marah.

“Untuk apa? Aku masih bisa menafkahimu.” Hasan tak mau kalah.

“Aku tak butuh uangmu!" Renata kembali berjengit. "Jadi mulai sekarang, kau tak perlu mengirimi aku apa-apa lagi. Jika perlu, bekukan saja semua rekeningku. Karena setelah ini, kita akan menjadi orang lain.” Ia beranjak.

“Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Ren. Tidak akan pernah!” Hasan mencoba menarik lengan Renata, tapi perempuan itu menepisnya kasar.
"Jangan sentuh aku, Mas," peringatnya.

Sumpah serapah nyaris ia tumpahkan jika saja ponselnya tak berbunyi. Perempuan itu mundur beberapa langkah lalu meraih ponselnya di tas.
Menatap layar, ternyata pesan singkat dari Shinji.

:: Kau libur hari ini. Kau tak perlu datang ke apartemenku. Aku sakit.::

Setelah membaca pesan tersebut, Renata buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke tas. 

“Maaf, Mas. Aku harus segera pergi. Aku akan menunggu gugatan cerai darimu.” Ia beranjak, menghentikan sebuah taksi yang melintas dan segera masuk ke taksi tersebut.
Lupakan naik bus. Walau ia harus mengeluarkan uang lebih banyak karena harus membayar ongkos taksi, setidaknya ia harus segera enyah dari hadapan Hasan.

“Aku takkan menceraikanmu, Ren. Takkan pernah!” teriak Hasan lagi.

Dan Renata tak mempedulikannya. Ia menyuruh pak sopir untuk segera melaju, menyusuri jalan raya, menuju apartemen Shinji.

°°°

Ketika sampai di sana, ia tak dapat bertemu dengan siapapun. Bibi yang biasanya ada untuk memasak dan membersihkan rumah juga tak ada.

Segera ia melangkah menuju kamar Shinji. Dan di sana, tampak olehnya lelaki itu tengah terbaring sendirian dengan mata terpejam dan wajah pucat. Ada butir-butir peluh di sekitar dahinya. Sepertinya demam.

Entah kenapa, tiba-tiba saja perempuan itu merasa iba. Menyaksikan Shinji yang terbaring sakit, sendirian, tanpa ada siapapun yang menjaganya, hatinya trenyuh.

Renata beranjak mendekat lalu menyentuh kening Shinji dengan lembut. Panas.

Sentuhan itu rupanya membuat Shinji membuka mata. Ia tampak tertegun melihat Renata.

“Ren? Kau___ di sini?” Ia berucap dengan tak percaya. 

“Apa Bibi tak ke sini?” 

“Anaknya sakit. Jadi dia tak bisa ke sini,” jawab Shinji pelan, tanpa bangkit.

“Sudah sarapan?” tanya Renata lagi.
Shinji menggeleng. 

“Minum obat?”

Lelaki itu hanya mengangguk.

“Bagaimana kau bisa minum obat tanpa sarapan terlebih dahulu.”  Renata menggerutu. 

“Sudah ke Dokter?” Ia bertanya lagi.

Lelaki itu menggeleng. “Belum sempat,” jawabnya.

Renata meletakan tasnya di meja di dekat almari baju.

“Bukankah aku sudah memintamu untuk libur. Kau tak perlu datang ke sini. It’s okay. Kau bisa beristirahat di rumah.” Shinji protes, beringsut sedikit untuk membenahi selimut.

Renata tak menggubris ucapan Shinji. Ia beranjak mengambil handuk dari almari baju lalu segera membasahinya dengan air hangat untuk mengompres kening lelaki tersebut.

“Sudahlah, Ren. Kau tak perlu repot-repot. Aku hanya flu biasa.” Shinji kembali protes.

Dan Renata tetap tak membuka suara. Setelah memastikan handuk pengompres tetap berada di kening Shinji, ia berlari ke dapur dan dengan cekatan ia memasak bubur dan sup ayam. Ia tahu bahwa makanan itu sangat baik untuk penderita flu dan demam.

Dan tak butuh waktu lama untuk segera membawa hidangan itu ke kamar Shinji. Lelaki itu hanya menatapnya dengan terpana.

“Kau memasaknya sendiri?” Ia bertanya dengan setengah tak percaya. Renata hanya mengangguk.

“Cepat sekali,” desisnya.

Renata tersenyum. “Kau lupa bahwa aku adalah ibu rumah tangga biasa. Jadi, urusan dapur, aku sudah ahli,” jawabnya enteng.

Ia mengambil handuk di kening Shinji.

“Kau bisa duduk?” Ia kembali bertanya.

“Apa kau akan menyuapiku?” Shinji balik bertanya dengan nada tak percaya.

“Kau tak mau kusuapi?” Renata balik bertanya.

Shinji tak menjawab. Perlahan ia bangkit dan duduk. Ia belum sempat mengucapkan sesuatu ketika Renata sudah menyodorkan sendok makan ke depan mulutnya. Ia sempat ragu, tapi akhirnya ia membuka mulut dan menerima suapan tersebut.

“Terima kasih,” ucapnya di sela-sela suapan.

“Untuk apa?”

“Karena kau mau merawatku,” jawab Shinji.

Renata tersenyum.
“Well, inilah gunanya teman,” ucapnya pendek. 

“Di mana apotik terdekat?” tanyanya setelah selesai menyuapi Shinji. 

“Untuk apa?”

“Membeli obat,” sahut Renata.

“Di lantai dasar ada apotik mini.” Shinji menjawab lemah.

Buru-buru Renata beranjak, merapikan nampan berisi mangkok sup dan membawanya ke dapur untuk dicuci. Sesaat kemudian ia kembali lagi ke kamar Shinji. “Tidurlah lagi,” perintahnya.

“Kau mau ke mana?”

“Aku sempat melihat persediaan obatmu di kotak obat, dan hanya ada obat merah. Jadi, aku harus ke apotik untuk membelikanmu obat,” jawab Renata berterus terang.

“Tak perlu, Ren. Aku bisa menelpon orang untuk membelikanku obat,” sergah lelaki tersebut.

“Sudahlah, jangan cerewet. Nanti kau tak sembuh-sembuh. Ayo, berbaringlah lagi.” 

Shinji  ingin protes tapi Renata buru-buru mendekatinya, menyentuh pundaknya dengan lembut lalu membantunya berbaring. 

“Kau harus banyak istirahat,” ucapnya seraya merapikan selimut di sekitar lelaki tersebut.

Dan tanpa menghiraukan omelan Shinji, Ia meraih tasnya di meja dan segera beranjak keluar menuju apotik yang dimaksud.

Lima belas menit kemudian ia kembali dengan tas penuh obat-obatan. 

Dan hari itu, jadilah Renata merawat Shinji yang sedang sakit.

°°°

Lelaki itu masih tertidur ketika Renata melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Ia enggan meninggalkan lelaki itu sendirian. Entah kenapa, ia tak tega.

Perempuan itu duduk di kursi yang berada tak jauh dari tempat tidur seraya menatap Shinji yang tengah tertidur pulas.

Benar, ia menemukan sosok yang berbeda dari lelaki itu.
Ia benar-benar beda dengan Shinji yang ia temui ketika masih SMA.

Mata sipit yang memesona, hidung mancung, kulit bersih, bibir tipis memikat, semuanya masih sama.

Tapi, auranya berbeda.
Mungkin karena wajahnya yang tak bercukur, hingga rambut halus di sekitar tulang rahang yang memberikan kesan manly dan maskulin. Atau mungkin karena ia benar-benar telah menjelma menjadi pria dewasa. Entah bagaimana menjelaskannya, Renata tak tahu.

Pokoknya, Shinji berbeda. Ia jauh lebih tampan sekarang.

Lamunan  Renata buyar ketika ponselnya berbunyi. Segera perempuan itu bangkit menuju sudut kamar, sedikit menjauh dari Shinji karena khawatir ia akan terbangun.

Ia menatap ke arah layar ponsel. Dan tampak nama Mas Aldi  sedang memanggil.

“Halo.” Ia menyapa dengan suara lirih.

"Ren, di mana kau sekarang?" Suara Mas Aldi terdengar panik.

“Aku masih bekerja. Ada apa, Mas?”

"Cepatlah ke rumah sakit."

“Siapa yang sakit?” tanya Renata bingung.

"Suamimu kecelakaan."

“Apa?!” Renata nyaris berteriak.
Ia menoleh ke arah Shinji, dan ternyata usahanya untuk tidak mengganggu tidurnya gagal. Lelaki itu menggeliat lalu membuka mata, mungkin karena mendengar Renata berteriak.

“Sebentar lagi aku ke sana, Mas,” ucap Renata seraya mengakhiri pembicaraan di telepon.

Ia beranjak mendekati Shinji.

“Ada apa? Kau tampak cemas,” tanya pria itu. Kedua matanya menyipit penasaran.

“Maaf, sepertinya aku harus meninggalkanmu. Aku harus ke rumah sakit.”

“Siapa yang sakit?”

Renata tak segera menjawab. 
“Suamiku kecelakaan. Jadi, aku harus ke sana melihat keadaannya.” Dan ia berbalik berniat mengambil tas di atas meja.

Namun langkahnya terhenti ketika Shinji buru-buru bangkit dan menarik tangannya.

“Jangan menemuinya,” cegahnya.

Renata menatap lelaki itu dengan kening berkerut.

“Kumohon, jangan ke sana. Jangan menemuinya,” pinta Shinji lagi.

“Shinji?” Renata mengerang.

“Aku membutuhkanmu. Kau tahu ‘kan aku juga sedang sakit. Aku tak punya siapa-siapa di sini. Jadi, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Jangan menemuinya.” Shinji kembali memohon.

Renata menatapnya dengan bingung.
“Shinji, aku____”

“Aku takut hatimu akan goyah, Ren.”

“Goyah apanya?”

“Bukankah kau sepakat berpisah dengannya. Jika kau menemuinya sekarang dalam keadaan sakit, ia pasti memohon padamu untuk kembali. Dan aku takut kau akan kembali padanya.” Kali ini Shinji berujar tegas.

Renata menelan ludah. Keduanya bersitatap.

“Jangan datang padanya. Kumohon, jangan kembali padanya.” Shinji menggenggam tangannya dengan erat. Renata menggigit bibir, berusaha mengambil keputusan dengan cepat.

Perempuan itu meremas tangan Shinji, lalu melepaskan genggaman pria tersebut. 
“Maafkan aku, Shinji. Tapi aku harus melihat keadaannya,” ucapnya.

Dan dalam keadaan bingung dan cemas, ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan Shinji tanpa menoleh kembali ke arahnya.

Dan Shinji hanya mampu menatap kepergian perempuan itu dengan hati terluka.

°°°

Ketika Renata sampai di rumah sakit, Hasan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Lelaki itu belum sadarkan diri. Luka yang ia derita tidak parah. Kepalanya memang menerima 7 jahitan, tapi ia tak mengalami gegar otak. Selain itu, lengannya yang di perban juga tak patah. Hanya mengalami luka gores saja.

“Kau tak masuk ke dalam?”  Mas Aldi bersuara ketika ia menyadari bahwa sejak tadi Renata hanya berdiri termangu di luar kamar tempat Hasan dirawat.

“Bagaimana ceritanya dia bisa mengalami kecelakaan?” Renata baru sempat bertanya tentang kronologi kecelakaan yang menimpa suaminya.

“Ketika dia mengalami kecelakaan itu, salah satu teman kerjaku berada di sekitar lokasi. Dia langsung tahu bahwa dia adalah adik iparku. Akhirnya, dia menelponku dan mengabarkan tentang kejadian itu. Untunglah dia tak apa-apa.” Ada kelegaan di balik kalimat Mas Aldi.

“Dia sendirian?” tanya Renata dengan hati-hati.

Mas Aldi mengangguk.
“Kecelakaan tunggal. Mobilnya menabrak pembatas jalan. Sepertinya suaminya menyetir dalam keadaan mabuk. Tidakkah kau merasa bahwa dia juga tertekan sama halnya seperti dirimu?” ujar Mas Aldi lagi. Renata tak bersuara.

“Aku akan pulang dulu. Kau tetaplah di sini menungguinya. Aku tak ingin mencampuri urusan keluargamu. Tapi aku ingin menyarankan, jika dia sudah sehat, bicaralah baik-baik dengannya dan selesaikanlah masalah di antara kalian dengan bijaksana,” ucap kakaknya lembut.

“Oke, aku pulang dulu ya,” ia pamit.

Sebelum beranjak, ia sempat menepuk pundak  Renata dengan lembut dan menyuruhnya untuk segera masuk ke ruangan.

Renata  terdiam sesaat. Dan akhirnya, ia melangkahkan kakinya memasuki ruang tempat Hasan dirawat.

Lelaki itu belum membuka mata. Dan Renata  memilih untuk duduk di sofa di dekat jendela. Ia terdiam, menatap lelaki yang masih terkulai lemah, dalam hening.

Wajahnya tampak lelah, tertekan. Oh, betapa dulu ia sangat mencintainya. Betapa dulu ia adalah pria terbaik dalam hidupnya.

Mengingat itu semua, tanpa sadar air mata  Renata menitik. Ia tahu, bukan hanya dirinya yang menderita. Hasan dan Anggi juga. Ia hanya tak tahu kenapa semuanya bisa seperti ini?

Sayup-sayup ia mendengar isak tangis dari luar ruangan. Buru-buru Renata  menghapus air matanya lalu bergerak bangkit, melangkahkan kakinya untuk membuka pintu, kemudian melongokkan kepalanya demi melihat sumber tangis tersebut.

Dan tampak olehnya, seorang perempuan muda tengah terduduk di bangku tunggu, di samping pintu, dengan sesenggukkan.
Anggi.

Renata menggigit bibirnya keras. Tak dapat dipercaya, sekarang mereka sama-sama ada di sini, menangisi orang yang sama.

Perempuan itu keluar dari ruangan dan mendekati Anggi. Sudah beberapa bulan ia tak melihatnya dan sekarang perempuan itu tampak  gemuk. Perutnya juga sudah makin membesar.

“Masuklah,” ucap Renata pelan. Anggi mendongak dan kedua mata perempuan itu beradu.

“Bagaimana keadaannya?” Air mata Anggi berderaian.

“Kau tak perlu cemas. Hasan hanya mengalami luka ringan. Kepalanya memang menerima 7 jahitan, tapi itu tak membahayakan nyawanya. Kalau toh sampai detik ini ia masih belum membuka mata, itu karena ia masih dalam pengaruh alkohol.” Renata  menjelaskan.

Anggi mengernyitkan dahinya.

“Iya, ia menyetir sambil mabuk,”  Renata seolah menjawab pertanyaannya yang tak terucapkan.

“Karena kau sudah datang, aku akan segera pulang. Jadi, masuklah,” ucap  Renata lagi dengan tulus.

Anggi kembali mengernyitkan dahi.
“Kau mau ke mana?” Ia bertanya heran.

Renata tersenyum hambar. “Tentu saja aku harus pulang. Kau__" Ia menelan ludah. “Kau yang lebih berhak menungguinya. Jadi, segeralah masuk,” lanjutnya.

Anggi tersenyum dengan suka cita. “Terima kasih,” ucapnya.

“Dan, tolong jangan menangis lagi ya di dalam.”  Renata berkata lembut.
Perempuan hamil itu mengangguk. Ia segera menghapus air matanya lalu beranjak masuk ke dalam ruang perawatan Hasan, setelah terlebih dulu memeluk  Renata dengan lega.

Renata  menarik napas panjang. Dan perempuan itu beranjak, melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sakit, lalu segera menghentikan taksi. Sesaat setelah ia masuk ke dalam kendaraan tersebut, lagi-lagi air matanya menitik.

°°°

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro