08. Tragedy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Renata sedang menunggu bus di Halte dan bersiap-siap ke apartemen Shinji ketika sebuah SUV berhenti tak jauh darinya.

Tadinya ia tak terlalu peduli, tapi begitu sosok itu keluar dari mobil, barulah ia terheran-heran.

Shinji terlihat berbeda. Ia yang biasanya mengenakan pakaian formal, hari ini terlihat kasual dengan celana jeans dan kaos lengan pendek berwarna putih.

Entah kenapa dandanan seperti terasa lebih cocok dengannya. Ditambah lagi dengan rambut tebalnya yang messy dan beberapa helai menutupi mata dan dahi, ia begitu luar biasa manly.

Seksi, memikat.

Tanpa sadar Renata memuji dalam hati.

“Untuk apa kau di sini?” Renata menyapa terlebih dahulu.

Shinji tersenyum dan berlari-lari kecil menghampiri perempuan tersebut. 
“Menjemputmu,” jawabnya.

Kening Renata mengernyit. “Menjemputku?”

Lelaki itu mengangguk. “Tadinya aku berniat menjemputmu ke rumah, tapi ternyata aku terlambat,” ujarnya lagi.

Renata terkekeh. 
“Kenapa kau harus menjemputku?”

“Ayo ikut aku.” Tanpa menjawab pertanyaan, lelaki itu meraih pinggang Renata dan mengajaknya masuk ke mobil sehingga perempuan itu tak sempat bertanya macam-macam.

Dan segera lelaki itu menjalankan kendaraannya dengan perlahan.

“Kenapa kau berpakaian seperti ini? Kau tak ke kantor?”

Shinji menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya. “Tidak, aku khusus menjemputmu hari ini,” jawabnya.

“Woah, kau membuatku tersanjung,” balas Renata.

“Ini belum apa-apa. Jadi, bersiap-siaplah karena hari ini aku akan membuatmu tersanjung, setiap hari malah, jika kau menghendaki,” jawab Shinji dengan senyuman bangga seraya merlirik ke arah perempuan yang duduk di sampingnya.

Renata tergelak. Tapi sesaat kemudian ia menatap sekelilingnya dengan keheranan.

“Tunggu, ini bukan jalan menuju apartemenmu, kan?” Ia bertanya spontan.

Shinji menggeleng. “Memang bukan. ‘Kan sudah aku bilang, hari ini aku ingin memberimu kejutan,” ucapnya yakin.

Dan ternyata, kejutan yang dimaksud Shinji adalah... taman hiburan! 
Ia mengajak Renata ke sana.

“Taman hiburan?” Renata sempat melongo.

Shinji mengangguk. 
“Hari ini aku sengaja off, dan otomatis, kau juga off. Aku membawamu ke sini karena kita akan bersenang-senang. Hiburan, kau tahu bahwa kita butuh itu. Kau boleh melakukan apapun di sini. Kau bahkan boleh mencoba semua wahana di sini jika kau mau, apa saja, asal kau senang hari ini,” jawabnya.

“Kau yang bayar?”

Shinji mendelik mendengar pertanyaan itu.
“Kau meragukan kondisi keuanganku?” Ia balik bertanya dengan mimik yang terlihat kesal hingga membuat perempuan di hadapannya tertawa.

“Oke, kau ingin mulai dari mana?” tanya Shinji.

“Rollercoaster,” jawab Renata cepat hingga sempat membuat lelaki itu kembali mendelik.

“Rollercoaster? Tidakkah kau ingin memulai dengan sesuatu yang lebih elegan? Naik perahu? Naik bianglala? Atau, menonton lumba-lumba?” Ia menawarkan.

Renata menggeleng dengan yakin. 
“Aku ingin naik itu. Setelah itu, baru kita pikirkan yang lainnya. Kenapa? Kau takut?” Perempuan itu menggoda.

Shinji mencibir.
“Siapa takut? Oke, ayo kita naik itu,” jawabnya seraya menunjuk ke arah rollercoaster yang tengah meluncur cepat.

Dan, hari itu, jadilah mereka menghabiskan hari-hari mereka di taman hiburan. Sebenarnya ini bukan yang pertama kalinya Renata pergi ke tempat seperti itu, tapi entah mengapa, ia bahagia sekali. Beban berat seakan terlepas dari dirinya. Tidak semuanya memang, tapi setidaknya bisa sedikit berkurang. Dan Shinji benar-benar tahu bagaimana cara untuk menyenangkannya.

“Wah, aku tak menyangka bahwa bermain di taman hiburan akan menyenangkan seperti ini. Aku pasti seperti anak kecil sekarang,” ucap Shinji ketika mereka turun dari bianglala.

“Apa ini pertama kalinya kau pergi ke tempat seperti ini?” tanya Renata heran.

Shinji menggeleng. 
“Di Jepang, sudah beberapa kali. Tapi di sini, bersamamu, adalah yang pertama kalinya,” jawabnya seraya menatap Renata dengan lembut.

Ia mengulurkan tangan dan menghapus keringat di kening perempuan tersebut dengan penuh perhatian.

“Kau lelah?” Ia bertanya dengan lembut. Renata menggeleng. 

“Sudah lapar?” Ia bertanya lagi. Dan perempuan itu kembali menggeleng.

“Ah, lapar atau tidak, aku tetap akan mengajakmu makan. Dan setelah itu, kita akan menuju tempat selanjutnya.”

Renata mengernyitkan dahinya. 
“Masih ada tempat yang akan kita kunjungi?” Ia tak bisa menyembunyikan antusiasmenya.
Shinji mengangguk.
“Ke mana?”
“Nanti setelah makan siang, kau pasti tahu.”

Dan seperti yang Shinji janjikan, setelah mereka selesai makan siang, Ia membawa Renata ke tempat tujuan selanjutnya. Pantai!

“Inilah yang selama ini ingin kulakukan bersamamu. Bermain-main di taman hiburan seperti sepasang kekasih pada umumnya, dan menyaksikan matahari terbenam di pantai,” ucap Shinji seraya menggandeng tangan Renata dan mengajak perempuan itu menyusuri pantai yang indah.

“Aku selalu ingin melakukan hal ini, sejak dulu, sejak kita masih es-em-a, sejak kita masih berpacaran. Yaa, meskipun kau hanya mempermainkanku.” Shinji terkikik.

“Ah, jangan membahas itu lagi. Kau seperti mengingatkanku akan dosaku padamu.” Renata menggerutu. Shinji tergelak. Ia mencium tangan perempuan itu dengan lembut.

“Tak apa-apa, toh itu adalah masa lalu. Yang jelas, aku bahagia dengan keadaan kita sekarang. Dan aku sangat berterima kasih padamu karena kau mau memberi kesempatan lagi padaku. Mungkin ketika kau masih di es-em-a, kau memang tak merasakan perasaan apa-apa padaku. Tapi kali ini, aku janji aku akan bisa membuatmu jatuh cinta padaku, dan bisa membuatmu bahagia bersamaku. Kuharap kau percaya padaku,” lanjut lelaki tersebut, lembut, penuh cinta.

Renata tersenyum. Keduanya berdiri di bibir pantai seraya menerawang ke laut lepas. Matahari memang belum terbenam, tapi Renata merasakan perasaan romantis luar biasa. Apalagi, selama sekian menit, tangan Shinji merangkul pundaknya dengan mesra.

Renata seakan lupa. Lupa akan Hasan, lupa akan pengkhianatannya, lupa akan luka hatinya.
Ia memang belum bisa sepenuhnya melupakan cintanya pada Hasan. Bagaimanapun juga lelaki itu sudah menjadi suaminya selama bertahun-tahun.

Tapi, perasaannya pada Shinji pun sedikit demi sedikit mulai berubah. Ia seperti menemukan dunia berbeda manakala bersama lelaki itu.

Lamunan mereka buyar ketika ponsel Renata berdering. Perempuan itu menatap Shinji seolah ingin meminta ijin padanya. Pria itu tersenyum.

“Angkat saja, mungkin penting,” jawabnya tanpa menarik tangannya dari bahu Renata. Dan tanpa menunggu lama, perempuan itu meraih ponsel di tas.

Ia sempat menatap sekilas sebuah nomor asing di layar ponsel, tapi toh ia tetap memencet ikon telpon berwarna hijau.

“Halo.” Ia menyapa duluan.

"Halo." Sebuah suara perempuan menjawab.

“Ya?”

"Ini aku. Anggi."

Renata mengernyitkan dahi. 
“Ada apa kau menelponku?” Suaranya ketus sekarang.

Sejenak tak ada jawaban. Kemudian terdengar isak tangis dari seberang sana.

“Anggi?” Renata mulai cemas. 
Tetap tak ada jawaban.

“Halo, Anggi? Ada apa?”

Shinji menatap perempuan di sampingnya dengan heran. Mulutnya bergerak-gerak pelan menanyakan ada apa.

“Apa terjadi sesuatu denganmu?” tanya Renata lagi.

Anggi kembali terisak.
"Dia bilang dia tidak akan peduli lagi padaku, Ren." Akhirnya perempuan itu menjawab.

“Dia siapa?” tanya Renata dengan tak sabaran.

"Mas Hasan tetap menolak menikahiku. Dia bilang, dia tidak akan sanggup bercerai denganmu. Jadi dia takkan peduli lagi denganku, takkan peduli lagi dengan bayi dalam kandunganku. Aku bahkan mengancam akan membunuh bayi ini, tapi dia bilang terserah. Dia tak peduli lagi denganku, dengan anaknya sendiri. Aku harus bagaimana, Ren?"

Anggi terisak dengan histeris. Renata merasa tubuhnya membeku.

"Aku lebih baik mati jika tidak bisa bersamanya, Ren. Aku akan mati!"

“Anggi?!"

"Kemarilah, Ren. Datanglah ke apartemenku, berbicaralah denganku. Jika kau tidak datang, aku akan mati! Aku serius dengan ucapanku!"

“Tunggu! Anggi?!”

"Aku akan mati dengan bayi ini!"

“Jangan___!"

Telpon terputus. Raut muka Renata seketika pucat.

“Ada apa?” Shinji bertanya dengan cemas. Renata menatapnya bingung, perlahan ia menelan ludah.

“Kita harus ke apartemen Anggi,” jawabnya kemudian, cemas.

“Siapa?”

“Perempuan itu, yang mengandung anak suamiku. Kita harus ke sana.” Renata menggandeng tangan Shinji.

“Ada apa?”

“Dia mengancam akan bunuh diri.”

Shinji melotot.
“Oke, kita harus segera ke sana!”

Mereka melesat ke dalam mobil. Sesaat setelah mobil berjalan, ponsel Renata kembali berdering.
Perempuan itu meraihnya dengan tangan gemetar. Sebuah pesan singkat diterima, dari Anggi. Berisi alamat apartemen.

Perempuan itu segera memencet tombol untuk menelpon Hasan.

"Ren?" Suara dari sana menyapa terlebih dahulu.

“Mas, di mana kau sekarang?”

"Di rumah. Ada apa? Kau mau ke sini?"

“Pergilah ke apartemen Anggi, sekarang!” titah Renata.

"Memangnya ada apa?"

“Dia mengancam akan bunuh diri.”

"Aku tidak peduli." Hasan menjawab enteng.

Renata melotot. “Mas___?”

"Aku tidak peduli lagi dengannya. Terserah dia mau melakukan apa."

“Bagaimana kau bisa setega itu, Mas?” Renata meratap.

"Aku harus, Ren. Jika tidak, keluarga kita akan berantakan."

“Keluarga kita memang sudah berantakan. Apa kau belum sadar juga?!” Renata berteriak.

"Aku tidak akan pernah mau bercerai denganmu. Jadi, aku takkan peduli lagi dengan Anggi. Terserah dia mau melakukan apa."

“Dan bayimu?”

"Aku juga tak peduli lagi."

“Mas?!" Renata menjerit.

"Aku hanya peduli padamu. Aku tak peduli lagi dengan semuanya! Aku tak ingin anak lagi, aku ingin kau!" Hasan juga menjerit lantang.

Renata merasakan matanya basah.
“Bedebah kau, Mas!” Ia mengutuk sebelum mengakhiri pembicaraan.

Ia merasakan tangan Shinji menyentuh pipinya dengan lembut, sementara tangan yang satunya berada di atas kemudi.

“Tenangkan dirimu,” ucapnya kalem menyaksikan Renata yang sedikit kalut.

“Kita akan segera ke apartemen Anggi dan mencegahnya berbuat nekat,” ia kembali menambahkan.

Renata mengangguk. Dan Shinji segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

°°°

Ketika Renata dan Shinji tiba di apartemen Anggi, tempat itu terkunci rapat. 

Berkali-kali Renata menggedor pintu, tapi tak ada jawaban. Hingga, Shinji-lah yang berinisiatif untuk mendobrak pintu.

Segera setelah pintu terbuka, Renata menyeruak masuk dan berlari menyusuri tiap ruangan untuk menemukan Anggi. Dan ia menemukannya di sana.

Di ruang makan, duduk di kursi dengan muka pucat. Salah satu tangannya menggenggam sebuah pisau dapur, sedangkan tangan yang satunya berlumuran darah.

Urat nadinya robek hingga darah mengucur dengan deras.

Renata melotot. Ia sempat merasakan lututnya lemas menyaksikan pemandangan itu.

“Ya Tuhan, Anggi! Apa yang kau lakukan? Kita harus segera ke rumah sakit.” Renata bergerak, berniat mendekati Perempuan tersebut.

Tapi perempuan itu bangkit dengan terhuyung lalu menodongkan pisau itu ke arahnya.

“Jangan mendekat! Biarkan aku mati! Jika kalian mendekat, akan kubunuh kalian!” ucapnya serius.

“Anggi, kumohon tenanglah.” Renata berniat mendekatinya tapi Shinji melarang. Lelaki itu menarik tangannya. 

“Jangan mendekatinya, ia berbahaya,” ucapnya.

“Anggi, ada apa denganmu? Jangan berbuat konyol. Ini berbahaya, ayo kita ke rumah sakit.” Renata kembali mencoba membujuk perempuan itu.

“Aku tak ingin hidup lagi! Aku ingin mati, bersama anakku! Aku tak bisa hidup tanpa Hasan. Jika dia menolakku, untuk apa lagi aku ada di dunia ini!” 

Air mata Anggi bercucuran.

“Aku tahu ini menyakitkan, tapi kumohon tenanglah. Ayo kita bicarakan semua baik-baik, ya?” Renata kembali memohon.

“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku ingin mati, titik!” teriak Anggi.

“Apa yang kau lakukan!? Buang pisau itu!” tiba-tiba Hasan muncul dari balik pintu. Shinji dan Renata menoleh ke arahnya hampir bersamaan.

Hasan tampak terengah-engah karena habis berlari.

“Aku sudah datang ke sini, jadi bicaralah baik-baik denganku. Buang pisau itu, kumohon.” Hasan membujuk.

Tapi Anggi terlanjur kalap. Bukannya membuang pisau yang ada di tangannya, tiba-tiba saja ia bergerak ke arah Renata, menyerangnya dan berusaha melukainya.

“Lebih baik kau juga mati bersamaku!” Ia berteriak.

Renata menjerit. Untungnya, dengan gesit Shinji menangkis serangan itu dengan tangannya dan ia berhasil mencengkeram lengan Anggi kemudian merebut pisau itu dari tangan perempuan tersebut.

Dan sesaat kemudian, Anggi limbung. Hasan berlari ke arahnya dan dengan cemas lelaki itu mengangkat tubuhnya. 

“Aku akan membawanya ke rumah sakit,” ucapnya seraya beranjak buru-buru.

“Aku ikut.” Renata mengikuti dari belakang, begitu pula Shinji.

°°°

Dokter bergerak dengan cepat. Anggi memang telah kehilangan banyak darah karena urat nadinya nyaris putus. Tapi mereka bilang, perempuan itu tak mengalami masa kritis. Atas koneksi khusus, memanfaatkan posisi Hasan sebagai pengusaha sukses dan  kenal dengan banyak orang, Ia bahkan sudah dipindah ke ruang perawatan.

Hasan duduk membisu di ruang tunggu. Pandangannya kosong. Mulutnya memang mangatakan tak cemas, tapi raut mukanya tak bisa berbohong. Ia khawatir dengan keadaan perempuan tersebut. Dan tentu saja, bayi dalam kandungannya.

Renata menghampirinya dengan ragu. “Dia tidak mengalami masa kritis. Bayinya juga tak apa-apa. Kau tenang saja, Mas,” ucapnya lirih.

Hasan mendongak. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan putus asa. 

“Maaf, Ren. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Anggi akan berani bertindak sejauh ini,” jawabnya menyesal.

Ia bangkit.
“Kau tak apa-apa, kan?” Lelaki itu bertanya cemas seraya menatap Renata dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu menggeleng. 

“Aku baik-baik saja,” jawabnya.

“Syukurlah,” ucap Hasan.

Ingin ia memeluk perempuan tersebut. Tapi sesuatu seakan menahannya. Mereka canggung satu sama lain.

“Apa kau berniat melaporkan kejadian ini pada polisi? Anggi berusaha melukaimu, kan?” tanya Hasan kemudian.

Renata menggeleng. “Tidak. Aku takkan melakukannya,” jawabnya.

Hasan menyugar rambutnya lelah. “Terima kasih. Tadinya aku sempat khawatir kau akan melakukannya. Karena bagaimanapun juga, Anggi sedang hamil. Aku tak tega kalau dia ... akan berurusan dengan polisi,” ujarnya.

Renata kembali menggeleng. “Tenang saja, Mas. Aku takkan melakukannya. Dia hanya... sedang labil."

Hasan menatapnya canggung. “Pulanglah dan beristirahatlah. Kau pasti cemas dan syok. Biar aku yang di sini menemani Anggi,” ucapnya, ragu.

“Kau yakin?” Renata menatapnya dengan dalam. Hasan tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia mengangguk.

“Terima kasih karena kau mau menemaniku melewati ini. Dan sampaikan juga rasa terima kasihku pada Shinji karena tadi ia sudah bertaruh nyawa untuk menyelamatkanmu dan juga Anggi,” ucap Hasan lagi.

Mendengar nama Shinji disebut, Renata mengalihkan pandangannya ke sekeliling, dan ia baru menyadari bahwa sejak tadi ia tak melihat lelaki itu. “Di mana dia?” ia bertanya lirih tanpa sadar.

“Shinji maksudmu?”

Renata mengangguk.

“Terakhir kali aku melihatnya di ruang gawat darurat ketika mereka baru saja memberi pertolongan pada Anggi. Mungkin ia masih di sana?” Hasan mencoba menerka.

Renata kembali mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Dan ia tetap tak menemukan sosok itu. Perempuan itu menatap Hasan, seakan meminta pertimbangan. Lelaki itu mengangguk.

“Iya, carilah dia. Tak apa-apa.” Ia membuka suara.

“Kalau begitu, aku akan mencarinya dulu,” ucap Renata.

Hasan kembali mengangguk. Tanpa banyak bicara, Renata segera beranjak. Melangkahkan kakinya menuju ruang gawat darurat, meskipun sebenarnya ia ragu bahwa ia akan menemukan pria itu di sana.

Ketika sampai di sana, Renata menyusuri ruang itu dengan hati-hati. Dan betapa ia sangat terkejut ketika sampai di ruang paling ujung dekat dengan pintu keluar, ia menyaksikan Shinji sedang duduk di atas ranjang. Di sampingnya seorang perawat tengah sibuk membersihkan luka di lengan kanannya yang berlumuran darah.

Renata melotot. Ia baru ingat bahwa tadi Anggi berusaha melukainya dan Shinji-lah yang menangkisnya. Dan rupanya, perempuan itu memang berhasil melukai Shinji.

Renata abai akan hal itu karena pikirannya sedang kacau. Lagipula, tadi ia ke rumah sakit dengan naik mobil Hasan. Jadi, ia benar-benar tak tahu bahwa Shinji juga terluka.

“Shinji...” desisnya miris. Ia melangkah terburu mendekati pria tersebut dan menatap cemas ke arah luka di tangannya. 

Luka itu memanjang sekitar 8 cm, sepertinya memang tidak terlalu dalam, tapi tetap saja mengucurkan banyak darah.

Menyadari kehadiran perempuan tersebut, Shinji menoleh. 
“Oh, kau di sini? Bagaimana Anggi? Apa dia baik-baik saja?”

“Kenapa kau tak bilang bahwa kau juga terluka?” Suara Renata bergidik ngeri. Kedua matanya mulai berkaca-kaca.

Shinji menatapnya dengan bingung.
“Aku tak apa-apa, Ren. Kau tak perlu secemas itu. Ini hanya luka sayatan biasa, tak perlu sampai di jahit___"

"Dijahit," perawat yang merawat lukanya meralat protes.

Shinji memutar matanya kesal. "Baiklah, dijahit." Ia mendesis.

Lelaki itu kembali menatap Renata. 
"Tapi sungguh, ini tak parah. Kalau kau tak percaya, tanya saja pada perawat. Luka ini akan dibersihkan, diberi obat, lalu diperban. Percayalah, aku baik-baik saja.” Shinji mencoba meyakinkan.

Renata menggigit bibir.
Dan ketika air mata perempuan itu menitik, Shinji kelabakan. 
Ia nyaris saja turun dari ranjang dan berniat menghampirinya.

Tapi perawat yang mengobati lukanya melotot dan berujar tugas, "Ini mau diobati apa tidak? Diamlah, atau terpaksa saya tambah jahitannya, dan pacarmu akan semakin lama menunggu."

Shinji kembali memutar mata kesal. "Oke, oke," balasnya lalu kembali duduk dengan patuh.

Ia menatap lagi ke arah Renata yang mulai sesenggukan. 
“Tunggulah sebentar lagi. Ini takkan lama. Kita akan segera pulang, oke? Jangan menangis, Sayang...” Ia berusaha membujuk dengan penuh kasih.

Renata kembali mengangguk. Tapi air matanya tak bisa berhenti mengalir.

°°°

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro