09. Goodbye

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shinji pulang ke apartemennya dengan ditemani Renata. Tadinya Renata menawarinya untuk  menggantikan menyetir, tapi lelaki itu menolak. Ia bersikeras bahwa tangannya baik-baik saja.

Setelah sempat terlibat perdebatan kecil, akhirnya Renata menyerah. Ia biarkan Shinji menyetir seperti biasanya.

"Sakit?" tanya Renata cemas seraya mengikuti Shinji yang melangkah menuju kamarnya. Lelaki itu tersenyum ke arahnya tanpa menghentikan langkah. "Sedikit," jawabnya.

"Kalau begitu cepatlah istirahat. Dan jangan banyak bergerak," ucap Renata yang segera dibalas dengan anggukan.

Setelah sampai di kamar, Renata buru-buru merapikan dan menyiapkan tempat tidur agar Shinji bisa segera beristirahat.

"Terima kasih," jawab Shinji pendek seraya duduk di pinggir tempat tidur.

"Perlu kubuatkan sesuatu?" Renata bertanya dengan cemas.

"Tidak, tak usah repot. Tapi sepertinya aku akan mengalami kesulitan untuk satu hal," jawab pria tersebut.

"Apa?" Renata bertanya cemas.

Shinji tak segera menjawab. Ia bangkit.
"Mungkin ini akan terdengar kurang sopan. Tapi aku benar-benar ingin ganti baju. Bisa kau bantu?" Kata-katanya terdengar ragu.

Tanpa banyak berpikir, Renata mengangguk. Perempuan itu mendekati Shinji dan dengan perlahan ia membantunya melepas kaos yang kotor dan berlumuran darah.

"Sakit?" Ia bertanya dengan was-was.

Shinji menggeleng.

"Aku akan mencarikan baju yang mudah kau kenakan." Perempuan itu berniat beranjak menuju lemari baju, tapi langkahnya tertahan ketika Shinji menarik lengannya, pelan.

Lelaki itu menatap kedua mata Renata yang tampak sembab dan berkaca-kaca. Ia menyapukan jemari di pipinya dan menatap perempuan itu dengan lembut.

"Shinpai?" bisiknya lirih.

Renata mengangguk. Kedua mata Shinji menyipit dan senyum tipis merekah dari bibirnya. "Sangat mengkhawatirkanku?" Ia bertanya lagi. Suaranya lebih mirip desisan.

Perempuan itu kembali mengangguk.

"Kemarilah." Shinji meraih bahu Renata lalu memeluk perempuan itu dengan erat. Ia membelai kepalanya dengan lembut.

Renata membenamkan wajahnya pada dada Shinji yang bidang dan telanjang. Ia sempat mencium aroma cologne-nya yang bercampur dengan keringat. Aroma yang beberapa bulan ini akrab dengan hidungnya dan tentu ia mulai menyukainya. "Maafkan aku," ucapnya lirih.

"Kenapa kau minta maaf?" tanya Shinji seraya mengelus rambut Renata lagi.

"Karena aku telah melibatkanmu sejauh ini dalam masalahku. Dan kau terluka karenaku." Air mata Renata menitik. Isak tangisnya tertahan. "Aku benar-benar tak menyangka Anggi akan senekat itu."

Shinji merasakan tubuh Renata yang gemetar menahan isak tangis. Perempuan itu mendongak dan menatapnya dengan air mata bercucuran. "Maafkan aku, aku benar-benar tak menyangka semua akan berakhir seperti ini. Ini___" Kalimatnya terputus. Shinji menghapus air mata di pipinya dengan sabar.

"Aku tak menyesal, Ren. Aku bahkan rela terlibat terlalu jauh, demi kau," ucapnya lembut.
"Aku tak apa-apa, jangan mengkhawatirkanku. Luka ini tak seberapa, percayalah padaku. Aku masih bisa merengkuhmu, memelukmu. Semua baik-baik saja sekarang," ucapnya lirih. Air mata

Renata tak berhenti menitik.

Sempat saling pandang sejenak, Shinji mendaratkan sebuah kecupan lembut di mata kanan Renata, lalu beralih ke mata kirinya, kemudian pucuk hidungnya, lalu bibirnya.

Tak butuh lama untuk membuat kecupan ringan itu menjadi ciuman yang lebih intens. Lebih intim.

Untuk sesaat, Renata tak mampu berpikir jernih. Yang jelas, otaknya masih cukup waras untuk merespon semua ciuman Shinji, sentuhannya, cumbuannya, semuanya.

"Ren ..." Suara Shinji serak. Ciuman mereka berhenti sejenak sekadar untuk mengambil napas.

Tatapan mereka kembali beradu. "Aku menginginkanmu," lanjutnya lirih.

Renata menelan ludah. Napasnya tersengal. Ia hanya menggumam lirih ketika Shinji kembali melumat bibirnya tanpa menanti perempuan itu menjawab.

Tangannya bergerak, membelai tulang pipi perempuan tersebut, kemudian turun ke leher berikut tulang selangka. Dan tanpa menghentikan ciuman mereka, mengabaikan lengan tangan yang masih diperban, Shinji meraih kancing blouse Renata, membukanya satu persatu. Dan dalam hitungan detik, blouse itu melorot ke lantai hingga jemari Shinji bisa membelai bahunya yang mulus.

"Tanganmu ... masih sakit." Renata menggumam.

"Aku tak butuh tanganku untuk bercinta denganmu. Lagipula, tanganku baik-baik saja untuk sekadar membaringkan tubuhmu ke tempat tidur," jawab Shinji. Dan tanpa membiarkan perempuan itu kembali berkata-kata, ia mendorong pelan tubuh Renata ke sana, ke tempat tidur.

Dan ketika Shinji menempatkan tubuh perempuan itu di bawah dirinya, lalu kembali menghujaninya dengan ciuman panas dan cumbuan yang memabukkan, Renata serasa hilang akal.

Entah karena kepalanya sedang dipenuhi masalah.

Entah karena ia bingung.

Entah karena sudah lama ia tak bercinta, tak menyalurkan emosinya ke kegiatan dewasa.

Atau... entah karena ia memang menginginkan Shinji memasuki dirinya.

Entah.

***

Shinji membuka mata keesokan harinya dan segera kelabakan ketika tak melihat Renata di sisinya.
Mengira perempuan itu telah pulang tanpa sepengetahuannya, buru-buru ia bangkit memungut celana yang teronggok di lantai dan segera mengenakannya. Sempat meringis sejenak ketika ia rasakan nyeri di lengan.

Masih dengan bertelanjang dada, ia beranjak keluar dengan perasaan kalut. Dan akhirnya, kelegaan luar biasa ia rasakan karena menemukan wanita cantik itu di dapur.

Sepertinya ia baru saja mandi. Terlihat dari wajahnya yang segar, rambutnya yang basah dan terurai dengan indah.

"Cantik." Shinji memuji lirih.

Selama beberapa saat, diam-diam lelaki itu menatap Renata dengan takjub. Ia tersenyum. Mengingat kembali betapa cantiknya perempuan itu dalam pelukannya, semalam, di tempat tidurnya.

Betapa ia menikmati bercinta dengannya, melenguh di bawah tubuhnya.

"Kau sudah bangun?" Renata akhirnya menyadari kehadiran Shinji lalu menyapa dengan senyumnya yang indah.

Shinji tersenyum dan mengangguk. "Aku kira kau meninggalkanku dan membuatku patah hati lagi di pagi ini," jawabnya.

Renata tersenyum lembut.
"Aku tak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini," jawabnya.

"Maksudmu, karena tanganku terluka?"

Renata mengangguk.

"Apa itu berarti kau takkan berada di sini jika saja aku tak terluka?" ucapan Shinji terdengar kesal.

Renata tertawa lirih.

"Bagaimana tanganmu? Masih sakit?"

"Sedikit," jawab Shinji, masih dongkol.

"Aku sudah membuatkanmu sarapan. Makanlah dan setelah itu segeralah minum obat. Perlukah kita ke dokter hari ini untuk kontrol?"

Shinji manyun. "Kenapa kau berubah cerewet seperti ibu-ibu begini?" ujarnya.

Renata mendelik. Tapi tetap saja ia terlihat cantik.

Shinji segera bergerak ke arahnya, memeluk pinggangnya tanpa ragu dan mendaratkan sebuah ciuman ringan di kening perempuan itu.

"Sepertinya kau harus beristirahat lagi di rumah, kau tak perlu ke kantor." Renata memastikan.

"Siap, asal kau menemaniku di sini." Pria itu berujar girang.

Renata menggeleng. "Setelah kau selesai sarapan dan minum obat, aku akan segera pulang," jawabnya.

"Cepat sekali. Tinggallah di sini sebentar lagi, Ren. Aku akan kesepian tanpamu." Shinji merajuk seperti anak kecil hingga membuat Renata kembali tertawa.

"Aku akan kembali ke sini, secepatnya. Tapi aku harus pulang dulu ke rumah. Setelah itu, ke Rumah Sakit untuk menjenguk Anggi," jawabnya.

"Kau akan bertemu dengan Hasan lagi, kan?" Shinji terdengar was-was.

"Iya, ada sesuatu yang memang ingin kubicarakan dengannya," jawab Renata

Pria di depannya menarik napas panjang dan menatapnya dengan berat hati.

"Kuantarkan ya?" ujar Shinji kemudian.

Renata menggeleng. "Ini hanya pertemuan biasa, tak lebih." Perempuan itu seakan ingin menegaskan. Shinji terdiam sesaat, namun akhirnya ia mengangguk.

***

Renata sering mengunjungi Anggi di Rumah Sakit. Dan ia lega karena keadaannya kian membaik. Ia tak lagi terlihat syok dan depresi. Sebaliknya, ia terlihat lebih tenang dan ceria.

Renata tak tahu apa yang telah Hasan janjikan padanya hingga perempuan itu terlihat bahagia. Tapi yang jelas, ia senang melihat keadaannya yang sekarang.

"Kau sibuk hari ini?" tanya Hasan ketika mereka berpapasan di depan pintu tempat Anggi dirawat.

"Tidak. Ada apa?" balas Renata.

"Bisakah kau meluangkan sedikit waktu untukku. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Mari kita keluar sambil makan siang," ajak Hasan. Renata diam sejenak, mencoba berpikir untuk mengambil keputusan. Dan akhirnya ia mengikuti lelaki itu menuju kantin.

"Sekali lagi aku ingin minta maaf atas apa yang telah terjadi antara kau, Renata, dan Shinji. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Anggi akan berbuat sejauh itu." Hasan membuka suara.

"Yang penting dia dan bayinya selamat. Aku lega," jawab Renata.

Renata tersenyum kecut. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Kau benar, Ren. Aku harus mengambil tanggung jawab atas perbuatanku sendiri. Semua yang terjadi selama ini adalah karena diriku, semua kesalahanku. Aku menyakitimu, melukaimu, melukai Anggi. Itu semua salahku. Jadi, setelah merenung, aku sepakat menceraikanmu." Suaranya parau.

Renata mendengarkan kalimat yang meluncur dari bibir lelaki itu dengan saksama.

"Dan setelah proses perceraian kita selesai, aku akan segera menikahi Anggi. Aku akan merawat dia dan juga bayinya dengan baik." Ia melanjutkan.

Renata mengangguk.
"Aku hanya bisa mendoakan semoga kau bisa membina keluarga dengan sempurna dan bahagia, Mas. Aku tulus mendoakan kalian," jawabnya.

"Terima kasih. Aku juga berharap agar kau bisa menemukan lelaki yang lebih baik dariku," ujar Hasan.

Renata tak menjawab. Lelaki di hadapannya terdiam sesaat.
"Tapi, kau harus ingat satu hal, Ren. Aku memang berniat menikahi Anggi. Tapi harus jujur, aku takkan bisa mencintainya seperti aku mencintaimu. Bagiku, kaulah satu-satunya wanita yang ada di hatiku, dan tempat itu takkan tergantikan oleh siapapun. Jangan khawatir, aku akan tetap memperlakukan Anggi dengan baik sebagai wujud rasa tanggung jawabku padanya dan juga pada bayi dalam kandungannya. Kumohon kau bisa mengerti itu. Jadi, jangan pernah melarangku untuk tetap mencintaimu." Suara Hasan serak.

"Kemarin, aku sudah menyuruh pengacaraku untuk mengurus surat-surat perceraian kita. Dan sepertinya takkan butuh waktu lama bagi kita untuk segera bercerai. Setelah kita berpisah, aku akan membawa Anggi ke kota lain."

"Ke kota lain?" Renata memastikan.

Hasan mengangguk dengan berat.
"Kau tahu bahwa berada satu kota denganmu, benar-benar membuatku makin tersiksa. Aku ingin fokus untuk memulai hidup baru dengannya," jawabnya.

Renata tertegun.

"Nanti sore aku akan berkunjung ke rumahmu. Aku akan bicara secara langsung dengan Ayah dan Ibu untuk meminta maaf karena aku tak mampu membahagiakanmu. Sekaligus, mengembalikanmu pada mereka secara baik-baik pula." Hasan kembali melanjutkan kalimatnya.

Sesaat Renata dibuat kaget ketika tiba-tiba Hasan bangkit dari tempat duduknya, membungkukkan badan kemudian mencium bibir Renata dengan dalam.

"Untuk yang terakhir kalinya. I will always love you," desisnya.

"Aku benar-benar minta maaf atas apa yang sudah kulakukan padamu. Semoga kau hidup bahagia," ucapnya lagi.

Keduanya berpandangan, cukup lama.

"Kau juga, Mas. Hiduplah dengan baik dan bahagia," jawab Renata kemudian.

***

Hasan benar-benar menepati ucapannya. Proses perceraian mereka berjalan lancar dan tak berbelit-belit. Dalam waktu yang relatif singkat, mereka resmi bercerai. Beberapa hari setelah pernikahan Hasan dan Anggi yang berlangsung sederhana di kantor catatan sipil, lelaki itu segera memboyongnya ke kota lain.

Renata tak tahu di mana tepatnya. Hasan hanya mengatakan sekilas kalau mereka akan pergi ke kota lain. Dia bahkan tidak berpamitan padanya ketika berangkat dan hanya sempat berkirim pesan singkat padanya.

~ Aku dan Anggi akan berangkat ke kota lain untuk memulai hidup baru. Jaga diri baik-baik dan hiduplah dengan bahagia. – Hasan ~

***

To be continued

Shinpai : Khawatir

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro