10. All Lies

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Renata baru saja keluar dari rumah dan hendak menuju halte bus ketika sebuah mobil mewah berhenti di bahu jalan, tak jauh darinya.

Tadinya ia cuek. Sampai akhirnya seorang lelaki setengah baya keluar dari mobil dan segera berlari-lari kecil menghampirinya.

Lelaki itu berbicara dengan sangat sopan. “Maaf, anda Bu Renata, kan?”

Renata tak segera menjawab dan sibuk memperhatikan lelaki tersebut.

“Iya. Ada apa?” Ia tampak bingung.

“Saya sopir pribadi Tuan Shiji. Beliau memerintahkan saya untuk menjemput anda.” Lelaki itu menyilakan Renata untuk beranjak ke mobil tadi. Perempuan itu menautkan alis, bingung.

“Shinji? Memangnya ada apa?” Ia bertanya heran karena ini untuk yang pertama kalinya Shinji memerintahkan seseorang menjemputnya.

“Saya kurang tahu, Bu. Tapi beliau berpesan kalau beliau ingin membicarakan hal yang penting dengan anda. Mari,” lelaki itu kembali menyilakan.

Sebenarnya Renata sempat ragu, tapi akhirnya ia luluh dan melangkahkan kakinya memasuki mobil mewah tersebut. Tanpa banyak bicara, Sang Sopir segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Tak banyak yang mereka ucapkan selama dalam perjalanan. Sopir tersebut tampak sibuk menyetir, sementara Renata sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri.

Bermacam pertanyaan muncul di kepalanya.
Kenapa Shinji menyuruh orang untuk menjemputnya? Apa yang ingin ia bicarakan? Pentingkah?

Lamunannya buyar ketika ia menatap jalanan sekelilingnya dan ternyata yang mereka lewati bukan jalan menuju apartemen Shinji.

“Maaf pak, sebenarnya kita mau ke mana?”

“Ke apartemen Tuan Shinji tentu saja,” jawab sopir tersebut.

“Tapi, apartemennya sudah terlewat. Harusnya di perempatan pertama tadi anda belok kanan,” sergah Renata.

Sopir itu melirik Renata dari kaca spion. “Belok kanan? Kita ‘kan mau ke Verde. Kalau belok kanan, nanti ke Green Garden,” jelasnya.

Renata mengernyit lagi.
“Shinji ‘kan memang tinggal di Green Garden?”

Sopir tersebut tertawa lirih. “Bu, saya memang belum lama bekerja pada Tuan Shinji. Tapi saya sangat yakin bahwa sejak beliau kembali dari Jepang ke sini beberapa bulan yang lalu, tempat tinggalnya tetap di Verde,” ujarnya lagi.

Renata sempat melongo. “Maaf, kita sedang membicarakan orang yang sama, kan? Shinji Okada, yang tinggal di Green Garden dan bekerja sebagai konsultas gizi di Health Center?”

Sopir tersebut terlihat bingung. “Konsultan gizi? Bu, beliau tidak bekerja sebagai konsultan gizi. Tuan Shinji itu pengusaha kaya dari Jepang, ia punya banyak Mall dan bisnis lainnya di sana. Bahkan dia juga jadi investor di beberapa perusahaan milik pemerintah.” Penjelasan sopir tersebut kembali membuat Renata tercengang.

“Maaf, pasti ada kekeliruan di sini. Saya bukan teman majikan anda. Saya memang punya teman bernama Shinji, tapi dia bukan pengusaha. Dia hanya bekerja sebagai konsultan gizi biasa. Tempat tinggalnya juga bukan di Verde, tapi di Green Garden. Sepertinya anda mencari orang yang salah. Bisa anda tepikan mobilnya, saya akan turun di sini,” ucap Renata kemudian.

Sopir tersebut tampak bingung. “Tapi saya tidak mungkin salah mengingat alamat. Dan foto yang Tuan Shinji tunjukkan padaku sama dengan anda,” jawabnya.

Renata ingin membantah lagi, tapi kalimatnya tertahan ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan bertambah di kotak masuk dan Ia segera membacanya. Dari Shinji.

::: Aku sudah menyuruh sopirku untuk menjemputmu. Ikutlah dia. Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Penting.:::

“Jadi bagaimana?” tanya sopir itu tak sabar. Renata terdiam sesaat. 

“Saya ikut, Pak, kita ke sana,” jawabnya kemudian.

Akhirnya, masih dengan kebingungan yang sama, ia mengikuti sopir tersebut tanpa mendebatnya lagi.

***

“Silahkan masuk.” Sopir tersebut membuka pintu dan menyilakan Renata masuk dengan sopan. Perempuan itu sempat berdiri tercengang di depan pintu.

Ia melongo menyaksikan sebuah apartemen super mewah di hadapannya. Apartemen itu bahkan 3 kali lebih besar dan lebih mewah dari apartemen Shinji yang sering ia datangi.

Renata bahkan menaksir harga tiap unit apartemen tersebut pastilah  puluhan milyar.

“Bu,” panggilan sopir tersebut membuyarkan lamunan Renata.

“Tuan Shinji sudah menunggu anda di ruang tengah. Anda langsung saja ke sana,” ucap lelaki setengah baya itu lagi dengan sopan.

Renata mengangguk dengan kikuk.
Perempuan itu menyeret kakinya dengan perlahan menyusuri lantai yang ditutupi karpet permadani super mewah. Kepalanya sempat menengok ke kiri dan kanan sekadar untuk mengagumi bangunan dan perabot-perabot mewah di ruangan tersebut.

Sampai akhirnya ia tiba di ruangan yang dimaksud dan menyaksikan Shinji duduk di kursi di belakang sebuah meja panjang dari marmer.

“Oh, Shinji. Ini____”

“Kau sudah datang?” Shinji memotong. Kalimatnya terdengar datar hingga membuat senyum Renata yang tadinya ingin terbentuk di bibir tipisnya, lenyap.

Ia menatap lelaki tampan yang duduk dengan tenang tersebut. Tiba-tiba saja ia merasakan ketakutan luar biasa menghinggapi dirinya.

Shinji  terlihat begitu ___ berbeda.

Ia seperti melihat orang lain hari ini.

Lelaki itu duduk tenang menatap Renata, tanpa ekspresi berarti. Tatapan itu membuat jantung Renata berdebar.

Sorot mata Shinji tampak begitu berbeda. Mata itu dingin, memancarkan kebencian. Tak ada kehangatan di sana. Tak ada keceriaan yang biasa ia temui di sana.

Renata menelan ludah. “Ada apa ini?” Suaranya lirih.

Shinji tak menjawab. Ia meraih sebuah undangan yang berada di meja kecil di belakang kursinya lalu melemparkan undangan itu ke arah Renata melewati permukaan meja. Dan undangan itu berhenti tepat di depan perempuan tersebut.

“Bukalah.” Shinji memberikan perintah, datar.

Renata merasakan tangannya sedikit gemetar. Tapi ia tetap meraih undangan bernuansa gold tersebut lalu membukanya. Tatapan matanya segera melotot manakala membaca isi undangan tersebut.

Undangan pernikahan antara SHINJI OKADA dan REIKO MATSUMOTO. Minggu depan di hotel Sun!

“Ini... apa maksudnya?” Renata terlihat bingung. Ia menatap kembali ke arah Shinji.

Lelaki itu mengangkat dagu dan balas menatapnya dengan angkuh.
“Well, permainanku berakhir sampai sini,” ucapnya. Tatapannya tak bersahabat. “Sudah saatnya kau tahu semuanya,” ia melanjutkan.

Renata mengernyitkan dahinya. “Permainan apa? Semuanya ___ apa?” Bibirnya bergetar.

Shinji menopang pelipisnya dengan punggung tangan tanpa melepaskan tatapannya dari Renata. Mata  itu makin sinis dan tajam hingga membuat ketakutan di hati Renata bertambah.

“Aku bohong tentang semuanya. Bahwa selama ini aku masih sendirian, itu bohong. Sebenarnya, sudah hampir 2 tahun ini aku bertunangan dengan seorang wanita Jepang. Dan seperti yang kau baca di undangan tersebut, kami akan menikah minggu depan, di Tokyo. Hebat, kan?” Bibirnya tersenyum samar.

"Aku tahu kau tak punya banyak uang. Jadi tak perlu repot-repot pergi ke Tokyo untuk menghadiri pernikahanku. Setidaknya, aku sudah memberitahumu," lanjutnya.

Punggung Renata kaku.

“Dan inilah aku yang sebenarnya. Aku tidak bekerja sebagai konsultan gizi. Aku adalah Shinji Okada, seorang pengusaha sukses. Dan ini tempat tinggalku yang asli. Yang sering kau datangi beberapa bulan terakhir itu, aku menyewanya. Termasuk kantor konsultan gizi tempatku bekerja. Aku hanya berpura-pura bekerja di sana. Dan aku juga hanya berpura-pura mencintaimu,” jelas Shinji.

Renata tercengang mendengar serangkaian kalimat yang meluncur dari bibir lelaki tersebut. 

Lelaki itu mengangkat bahu cuek. “Silahkan kaget dengan semua pengakuanku, dengan semua sandiwaraku. Terserah,” ucapnya lagi.

Renata menelan ludah dengan susah. “Ini... bercanda, kan?” ucapnya lirih.

Shinji menaikkan ujung bibirnya sebelah kanan, tersenyum sinis. 

“Ren, kau ini bodoh atau apa? Waktu sudah berubah. Aku tidak mungkin terus menerus mencintaimu sementara itu sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Aku lelaki mapan dan normal, bagaimana mungkin aku akan terus menerus sendirian. Kenapa kau percaya bahwa aku tak pernah punya hubungan dengan wanita lain selain dirimu? Kau bahkan percaya dengan rayuanku bahwa aku masih saja mencintaimu. Oh, Tuhan.” Lelaki itu terkekeh menghina ke arah Renata.

“Untuk apa?” Bibir Renata seketika pucat.

“Untuk apa?” Shinji menatap perempuan itu dengan tak bersahabat.

“Ya, untuk apa kau melakukannya? Bersandiwara seperti ini?”

“UNTUK MENGHANCURKANMU!” Lelaki itu berdiri dan kedua tangannya menggebrak meja dengan kasar. Ia menatap Renata dengan tajam hingga membuat wanita itu gemetar.

“Jika kau mau tahu alasannya, akan kukatakan. Aku ingin membalas dendam padamu setelah apa yang kau lakukan padaku bertahun-tahun yang lalu, ketika kita masih SMA. Apa kau pikir aku akan memaafkanmu semudah itu setelah apa yang kau lakukan padaku? Setelah kau menghancurkan hatiku dengan berpura-pura mencintaiku hanya demi taruhan konyol itu?!

"Tidak, Ren. Aku sudah bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku akan menghancurkanmu dengan cara apapun! Bahkan jika harus menjual jiwaku pada iblis, AKAN KULAKUKAN!” Shinji berteriak lantang hingga membuat ulu hati Renata nyeri.

Hening menyelimuti ruangan.

Shinji tampak mengatur napas untuk menahan amarahnya. Sementara Renata hanya mampu berdiri kaku tanpa mampu berkata apapun. Ia terlalu syok.

"Anggi, akulah yang menyuruhnya untuk mendekati suamimu.” Shinji memecah keheningan, tanpa mengalihkan tatapan tajamnya ke arah Renata.

Perempuan itu membelalak. 

“Apa?” desisnya lemah.

Shinji mengangguk-angguk pelan. 
“Ya, perlu waktu bertahun-tahun untuk menyusun semua rencana itu, Ren. Tapi aku tetap melakukannya dan menyiapkannya dengan matang. Itu benar, Anggi adalah orang sewaanku. Akulah yang menyuruhnya untuk mendekati suamimu. Tadinya aku hanya menyuruhnya untuk mendekati Hasan, merayunya, lalu membuat rumah tangga kalian bermasalah.

"Tapi di luar dugaan, ternyata ia benar-benar jatuh cinta secara tulus pada suamimu hingga ia rela mengandung bayinya. Ini memang di luar rencana, tapi sepertinya lebih baik. Membuat keluargamu berantakan jadi lebih gampang,” ucap Shinji enteng.

Renata merasakan kedua kakinya tak berpijak lagi di bumi. Matanya basah sudah.

“Kau melakukannya?” desisnya lagi setelah ia beringsut beberapa langkah hanya untuk berpegangan pada pinggir meja. Ia merasakan tubuhnya nyaris ambruk.

Shinji hanya menatapnya tanpa belas kasihan.

“Kau benar-benar melakukannya?” Ia bertanya lagi seraya menatap lelaki di hadapannya dengan dalam. Air matanya menitik.

Shinji kembali terkekeh sinis. “Aku tahu semua tentang dirimu, Ren. Aku tahu kapan kau menikah. Aku bahkan tahu kau punya masalah dengan rahimmu hingga kau mengalami beberapa kali keguguran. Aku tahu semua tentang dirimu, semuanya, bahkan ketika aku masih di Jepang.”

Kedua mata Renata menyipit. “Kau memata-mataiku?”

“Ya, demi bisa melihatmu seperti ini, hari ini,” jawab Shinji lagi.

Renata merasakan tenggorokannya tersekat. Darah di pembuluh baliknya seakan berhenti mengalir. 
Sakit. 
Luar biasa.

“Apakah waktu itu aku benar-benar telah menyakiti hatimu? Melukai perasaanmu? Hingga kau harus melakukan hal-hal seperti ini?” Ia bertanya pelan. Suaranya parau.

Shinji menelan ludah. Wajahnya kaku. Ada luka di sana, di matanya.

“Ya, jika kau mau tahu luka apa yang telah kau perbuat padaku, inilah hasilnya. Kau tak tahu bahwa waktu itu aku benar-benar mencintaimu dengan tulus, Ren. Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Tapi kenyatannya, kau mempermainkanku.” Suaranya serak.

“Kau tak tahu bagaimana rasanya setelah mengetahui bahwa kau mempermainkanku. Bertahun-tahun aku seperti hidup di neraka hanya demi bisa melupakanmu, melupakan perbuatanmu. Tapi aku tak bisa, Ren.” Ia meratap.

“Luka yang kau tinggalkan terlalu dalam hingga mampu merubahku menjadi setan. Jika malaikat berada di pihakmu, biarlah aku bersekutu dengan iblis demi bisa menghancurkanmu,” lanjutnya.

Wajah Renata makin pucat. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan iba, entahlah. Perasaannya campur aduk.

“Jadi semua yang kau lakukan padaku selama ini adalah palsu?” Bibir perempuan itu bergetar.

Shinji mengangguk. “Ya, semuanya bagian dari sandiwara.”

“Termasuk ketika Anggi mencoba bunuh diri dan kau terluka?”

Shinji kembali mengangguk. “Ya, itu semua bagian dari rencana hanya agar Hasan mau melepaskanmu. Tadinya aku memang khawatir Anggi akan melakukan hal-hal lebih bodoh dari itu. Tapi ternyata, dia aktris yang hebat,” jawabnya.

Renata kembali tercengang.

“Kecuali bagian ketika aku sakit dan kau mau repot-repot merawatku. Itu tak ada dalam skenarioku. Tapi, bagaimanapun juga, terima kasih untuk hal itu, karena kau mau merawatku.” Shinji melanjutkan kalimatnya, tangannya bersedekap di dada. Suaranya enteng dan menyiratkan keangkuhan.

Renata kembali merasakan air matanya menitik.

Bibir Shinji kembali berdecih sinis. “Ah, sudahlah, Ren. Jangan menangis di hadapanku. Hatiku takkan goyah. Air matamu takkan bisa mengembalikan segalanya. Semua sudah selesai. Aku membohongimu, merayumu, membuat keluargamu berantakan. Terserah apa pendapatmu tentang diriku. Aku tak peduli lagi.

"Kalau kau ingin membenciku, bencilah. Jika kau ingin mengadu pada Hasan, mengadulah. Tapi semua takkan bisa kembali seperti sedia kala. Ia takkan bisa kembali lagi padamu semudah itu.” Pria itu mengibaskan tangannya dengan cuek.

Renata menatap lelaki tampan di hadapannya dengan tatapan pilu. Dadanya sesak. Tapi aneh, ia tak merasakan kemarahan apapun padanya. Pada Shinji.

“Apa kau puas sekarang?” Ia bertanya lagi, lebih lirih.

Sudut bibir Shinji kembali terangkat sinis.
“Puas? Bagaimana menurutmu? Aku berhasil membuat keluargamu berantakan, aku berhasil merayumu, aku berhasil meyakinkanmu bahwa aku masih mencintaintamu, aku bahkan berhasil menidurimu. Kau pikir aku takkan puas? Well, aku memang takkan bisa mendapatkan hatimu seutuhnya, tapi aku sudah cukup puas meskipun aku hanya bisa mendapatkan tubuhmu.” Ia kembali tersenyum sinis.

Renata memejamkan matanya sesaat. Teringat jelas bagaimana Shinji menciumnya, mencumbunya, membisikkan kata-kata manis padanya dan memberikan dia sesuatu yang membuatnya bahagia.

“Apa aku benar-benar telah melukai hatimu? Apa perbuatanku padamu semasa di SMA benar-benar telah meninggalkan luka yang teramat dalam bagimu?” Ia kembali menanyakan hal yang sama – pertanyaan yang ia sendiri ingat telah ia tanyakan beberapa menit yang lalu - dengan suara lirih.

Pertanyaan itu sukses kembali menyulut api di mata Shinji.

Lelaki itu baru akan berteriak ketika Renata kembali berujar lirih. 
“Maafkan aku, Shinji.”

Shinji tampak terkejut dengan permintaan maaf yang meluncur dari mulut perempuan itu. Ia hanya tak mengerti kenapa Renata semudah itu yang meminta maaf setelah apa yang ia lakukan padanya.

“Maafkan aku. Aku benar-benar tak menyangka bahwa kekonyolanku waktu itu benar-benar telah melukai hatimu. Aku____ benar-benar minta maaf.” Tangis Renata nyaris meledak.

Shinji tertegun. “Aku takkan memaafkanmu,” desisnya lirih. “Takkan pernah,” lanjutnya. 

“Dan kau juga tak perlu memaafkanku atas semua perbuatanku padamu.” Kalimatnya nyaris tak terdengar.

“Apakah itu artinya kita impas sekarang?” Renata kembali bersuara.

“Impas?” Shinji terkekeh getir. “Aku memang telah membuat keluargamu berantakan, mendapatkan tubuhmu, tapi semua baru akan akan impas jika aku berhasil membuat hatimu hancur berkeping-keping seperti yang kau lakukan padaku bertahun-tahun yang lalu."

“Kau sudah melakukannya.” Renata memotong cepat. Air matanya kembali berjatuhan. “Kau sudah berhasil membuat hatiku remuk, Shinji.” Ia melanjutkan.

Shinji menatap perempuan itu dengan dalam. Sorot matanya berubah hampa dan kosong.

“Kau memang bersandiwara. Tapi aku takkan mampu melakukan hal yang sama. Semua perhatianku padamu, itu nyata. Hatiku yang membuka diri untukmu, itu juga nyata. Cinta yang kurasakan padamu, juga nyata.” Bahunya terguncang.

“Aku mulai mencintaimu, Shinji. Aku mulai mencintaimu.” Dan tangisnya kembali pecah.

Shinji membisu. Tatapan lelaki itu luruh, tak bernyawa. 

Entah Renata salah melihat atau apa, tapi ia sempat menyaksikan bahwa kedua mata Shinji juga berkaca-kaca.

Renata berbalik, melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu dengan bersusah payah.

Perempuan itu terhuyung, menyusuri trotoar dengan berderai air mata.
Dadanya sesak, napasnya memburu, dan akhirnya ia ambruk.

Ia hancur.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro