Part 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Take Love

Dewa & Dania

🌹🌹🌹

Part 10

🌹🌹🌹

Dewa terbangun ketika Dania mengurai pelukannya, dengan matanya yang masih mengantuk, ia ikut bangkit dan turun dari ranjang. Mengikuti langkah Dania menuju kamar mandi. Ya, morning sickness Dania sudah menggantikan alarm paginya.

Seperti biasa, Dania memuntahkan seluruh isi perutnya ke lubang toilet, dan Dewa selalu dengan sigap menguncir rambut Dania di belakang dan menggosok punggung istrinya. Berharap bantuan kecil itu bisa meredakan kerja keras Dania menghadapi gangguan-gangguan kehamilan tersebut. Ada rasa ngeri melihat keringat yang selalu membasahi wajah Dania. Menegaskan seberapa besar tenaga yang dihabiskan wanita itu untuk mengosongkan isi perut yang memang sudah kosong.

"Apa kakakmu mengatakan kapan hal seperti ini akan berakhir?"

Dania menggeleng. Mengambil tisu yang dipegang Dewa dan mengusap bibirnya. "Yang pasti akan berhenti setelah anak ini lahir."

Mata Dewa melotot. "Tujuh bulan lagi?"

Dania mengangguk, mengusap bibirnya lagi dengan punggung tangan.

"Kau bilang kakakmu memberimu obat anti mual juga?"

"Tak banyak membantu." Dania berdiri dengan bantuan Dewa dan mencuci tangan serta mulutnya. Membiarkan pria itu membopong tubuhnya keluar kamar mandi dan duduk di kasur. "Minumlah." Dewa menyodorkan gelas berisi air putih di nakas.

Dania hanya sanggup menelan dua tegukan dan mendorongnya menjauh.

"Apa saat aku di kantor mual itu juga kambuh?"

"Terkadang," jawab Dania sambil berbaring miring di kasur dan tangan kiri sebagai bantalan. Dewa pun ikut duduk di sisi ranjang. Kepala pria itu tertunduk menatap wajahnya dengan sedih. Membuat Dania merasa aneh. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"

Dewa hanya menggeleng. Menggenggam tangan kanan Dania dan meletakkan di pangkuannya. Mengusapnya dengan sangat lembut dengan pikiran yang berkecamuk oleh kesedihan. Ia pikir, setelah hubungan mereka yang membaik dan ia berhenti memberikan tekanan-tekanan batin terhadap Dania, semua penderitaan Dania akan berakhir. Namun, ia masih juga menyiksa wanita itu dengan keberadaan darah dagingnya dalam kandungan Dania.

"Aku baik-baik saja. Biasanya akan menghilang setelah berbaring sebentar."

"Kenapa kau tak pernah mengatakan padaku?"

Dania tersenyum kecil dengan kerutan tipis di dahi. "Mengatakan apa?"

"Apakah ini berat?"

"Sedikit, tapi ..." Dania membawa tangannya dan Dewa menempel di perutnya. "Sekarang tidak berat lagi."

Dewa merasa kesal tak bisa menahan senyum melengkung di bibirnya meski dengan kesedihan yang masih menggelayuti hatinya. Dania selalu punya cara untuk menularkan penyakit murah senyum wanita itu. Dewa pun membungkuk dan mengecup bibir wanita itu.

Namun, saat kecupan itu berubah menjadi lumatan ringan, Dewa segera menyadarkan diri sebelum napasnya menjadi berat dan gairahnya terpancing, lalu membuat Dania semakin kelelahan. "Aku harus ke kantor," ucapnya memaksa tubuhnya menjauh dari Dania. Sialan, desah napas Dania seperti undangan untuk bersama-sama membuat sprei di bawah mereka berantakan.

Dania mengangguk. Menatap punggung Dewa yang menjauh menuju ke kamar mandi. Lalu tangannya menyentuh bibirnya. Kelembutan dan kehangatan lumatan Dewa masih membekas. Sekali lagi, ia merasa kupu-kupu beterbangan memenuhi seluruh dadanya. Dengan senyum malu-malu melekuk indah menghiasi bibirnya.

***

"Jadi, anak kecil itu istrinya Dewa?"

Bibir Raka berkedut, tak suka dengan istilah 'anak kecil' yang diucapkan Alra tentang Dania.

"Dan kalian memperebutkan anak kecil itu?" lanjut Alra dengan nada mengejek.

"Hati-hati dengan pemilihan kata yang kauambil, Alra. Kau tak akan suka melihatku tersinggung."

Alra mendengus pendek.

"Aku membutuhkan Nosca, tapi bukan tak mungkin aku mencari pengganti Nosca."

Alra kehilangan kata-kata. Tak menampik ancaman Raka. Papanya juga berharap besar dengan penyatuan kedua perusahaan ini. Mencari pengganti Nosca tentu sangat mudah bagi Raka, dan malah ialah yang akan kehilangan suami idaman seperti Raka.

"Aku tak ingin berbasa-basi dengan pertunangan. Kurasa pernikahan akan lebih efektif. Apa kau siap terjebak seumur hidup dengan kehidupanku yang rumit, kupastikan aku tak akan mengganggu privasimu, begitu pun denganmu."

Alra mengangguk-angguk setuju. "Bagaimana dengan anak?" tanyanya. Mama dan papanya sudah sangat jelas menunjukkan harapan sangat besar tentang pernikahan ini. Umur kedua orang tuanya sudah lebih dari cukup untuk memangku seorang cucu. Sedangkan kedua kakaknya masih jauh dari kata akan melaksanakan pernikahan dan ikut menyudutkan dirinya untuk memuaskan harapan kedua orang tua mereka.

"Jika memang diperlukan, tapi kupastikan itu hanyalah hubungan badan. Tanpa perasaan. Sebaiknya kau menjaga hatimu dengan sangat baik. Aku tak ingin lagi terlibat dengan kekacauan semacam itu."

'Untuk ketiga kalinya,' lanjut Raka dalam hati. Dua kali kehilangan seseorang yang ia cintai, sudah cukup sebagai pelajaran hidup, bukan. Ia tak akan melakukan ketololan itu untuk kedua kalinya. Lagi pula, ia tak yakin bisa menghapus Dania meski dengan batasan keras yang dipagar Dewa dengan cara paksa ini.

"Baiklah, aku pun tak tertarik dengan hal semacam itu," sahut Alra dengan nada ringan.

Raka tak menyangka Alra akan menyambut kesepakatan tanpa perasaan yang ia ajukan dengan sikap sesantai itu, bahkan dengan nada sangat ringan. "Kenapa?"

"Sering kali, apa yang kita dapatkan tidak seperti yang kita inginkan, bukan? Selama aku bisa menampilkan kebahagiaan yang sempurna untuk kedua orang tuaku, kupikir tak masalah."

"Aku tahu kau bukan tipe anak yang berbakti."

"Ya, memang. Tapi, aku butuh menampilkan pemandangan itu untuk seseorang." Mendadak suara Alra terdengar sendu dan matanya mengerjap sekali menahan basah di kelopak matanya. Ia sangat membenci orang itu, satu-satunya orang yang telah merebut miliknya. Dan masuk ke dunia wanita itu bukanlah ide yang buruk.

Raka memilih mundur dan tak bertanya lebih dalam soal apa pun itu yang tengah dirasakan oleh Alra.

Keterdiaman Raka sebagai isyarat bahwa pembicaraan ini telah usai, dan Alra merasa sangat lega. "Kapan mamamu datang?" Alra melirik sekilas jam tangannya. Raka memang memintanya bertemu tiga puluh menit lebih awal dari jadwal seharusnya pertemuan dengan keluarga pria itu. Sekaligus ia memang butuh berbicara tentang drama yang terjadi kemarin siang.

Raka melirik jam tangannya. "Mungkin sebentar lagi."

Tak cukup lima menit, Monica datang. Kemudian menyusul kedatangan Dewa dan Mikha yang membuat udara tegang memenuhi ruangan pribadi tersebut.

Monica tersenyum ketika pandangannya mengelilingi seluruh sisi meja. Raka dengan Alra dan Dewa dengan Mikha. Tanpa pertengkaran dan amarah yang selalu membuat keadaan menjadi kacau dan tak terkendali.

"Bukankah seharusnya aku membawa istriku?" sinis Dewa pada mamanya setelah pelayan datang dan menyajikan makanan pembuka untuk masing-masing kursi. Tadinya, Dewa memilih menerima ajakan makan siang bersama mamanya karena berpikir mereka butuh waktu berdua untuk berbicara mengenai hubungan mereka yang merenggang. Sepertinya, ia melakukan pilihan yang salah. Wajah-wajah yang datang di ruangan ini menunjukkan niat Monica Sagara yang begitu jelas.

Ketenangan yang sempat menghiasi wajah Monica seketika memudar. Minica mendesah pendek dan memanggil dengan nada memohon, "Dewa."

Dewa menyunggingkan senyum sinis ketika matanya menatap lekat-lekat manik Monica. Penuh tuduhan yang sangat yakin. "Entah perasaan Dewa saja atau memang Mama berniat menyingkirkan keberadaan Dania dari keluarga ini?"

Monica mengerjap dan salah tingkah. "Apa yang kaukatakan, Dewa?"

"Apa pemikiranku salah?"

"Mama hanya ingin kau datang di pernikahan kakakmu nanti."

Dewa memutar kepala ke arah Raka dan Alra. "Baiklah, Dania pasti sangat senang datang di acara pernikahan kalian."

"Dewa." Sekali lagi Monica memohon. Kehadiran Dania tentu akan membuat rencana pesta pernikahan berantakan.

"Dengan Dania atau kami tidak akan datang," ancam Dewa dengan tegas.

"Wanita itu benar-benar pengaruh buruk untukmu, Dewa."

"Wanita itu penyelamat hidup anak Mama. Dan pernah menjadi bunga untuk anak Mama yang lainnya." Sekali lagi Dewa menatap Raka dengan senyum sinis yang lebih dalam tersungging di wajahnya. Kebekuan di wajah Raka membuat Dewa semakin gencar mengejek kakaknya itu. Sindiran itu sama sekali bukan apa-apa dibandingkan kelancangan Raka karena telah menyentuh Dania.

"Sepertinya Dewa harus pergi." Dewa berdiri dan berjalan keluar tanpa memedulikan panggilan mamanya. Mikha memohon maaf dan menyusul Dewa keluar.

Raka memberi isyarat mata pada Alra untuk keluar sebentar. Sadar akan makan siang yang menjadi kacau, Alra pun ikut keluar tanpa protes sedikit pun.

"Apa benar yang dikatakan Dewa?"

"Apa kau juga menuduh mama, Raka?"

"Maafkan pertengkaran kami yang semakin hari semakin meruncing dan belum mereda hingga detik ini, tapi menyingkirkan Dania dari hidup kami jelas bukan solusi terbaik, Ma. Dania sedang mengandung anak Dewa, cucu Mama."

"Lalu kauingin mama melakukan apa untuk mengembalikan kebahagiaan keluarga kita?" Monica hampir menjerit.

Raka tercenung lama, lalu menggeleng dan berucap lemah, "Mama bisa melakukan apa pun, kecuali membuat Dania menderita. Entah kapan, tapi suatu saat waktu akan memperbaiki keadaan hubungan kami."

Raka berdiri dan keluar dari ruangan. Meninggalkan Monica sendirian di ruangan yang sunyi hanya dalam hitungan menit.

***

"Apa Mama yang menyuruhmu menjadi sekretarisku?" sergah Dewa begitu ia berhenti di tengah lorong yang tengah mereka lintasi. Menghadap Mikha yang mengekor di belakangnya penuh tuduhan.

Mikha menggeleng dengan cepat. "Ini hanya kebetulan, Dewa. Aku kebetulan sedang butuh kegiatan."

"Kau bisa bekerja di perusahaan papamu."

Mikha menghela napas pendek. "Kau tahu aku sama sekali tak tertarik bekerja di perusahaan papaku. Aku hanya ingin memulai karirku dengan usahaku sendiri."

Dewa diam. Mengamati lekat-lekat wajah Mikha. Mikha memang wanita mandiri dan berjiwa bebas. Tak suka kekangan dalam pencapaian yang ingin di raih. Terbukti beberapa salon kecantikan yang dipegang wanita itu sudah memiliki cabang di beberapa kota besar. Dan semua pencapaian itu tanpa ikut campur koneksi atau kekuasaan orang tua Mikha.

Bekerja sebagai sekretaris? Dewa tahu itu hanya untuk kesenangan Mikha saja, sebelum Dewa benar-benar menemukan kriteria sekretaris yang memenuhi syarat dan ketentuan-ketentuan yang ia tetapkan. Meski banyak yang mendaftar setelah beberapa menit ia membuka lowongan, Dewa merasa belum menemukan yang sesuai atau setidaknya setara dengan kemampuan atau pencapaian seperti yang Tania dapatkan.

"Pastikan hubungan kita profesional seperti seharusnya, Mikha. Aku tak tahu apa yang dikatakan mamaku padamu, tapi jika itu melenceng dari urusan pekerjaan, jelas bukan tanggung jawabku."

"Aku tahu, Dewa. Kau bisa memercayakan hal itu padaku. Aku hanya ingin membantumu sampai kau menemukan seseorang yang tepat."

"Baiklah." Dewa mengangguk singkat dan berbalik pergi.

Mikha tertegun cukup lama menatap punggung Dewa yang menjauh melintasi lorong menuju tangga lantai satu restoran. Seringai tersamar di bibirnya.

"Tidak ada yang tahu tentang pernikahan Dewa dan Dania, lakukan apa pun untuk memisahkan mereka. Bekerjalah sebagai sekretaris Dewa, aku yakin posisi itu cukup dekat untuk masuk dalam hidup Dewa. Hubungan mereka masih terlalu awal, tak akan terlalu sulit menciptakan kesalah pahaman dengan perasaan atau kepercayaan yang masih muda."

Mikha kembali menginga-ingat permintaan Monica Sagara yang terdengar sebagai permohonan padanya beberapa hari yang lalu. Lagi pula, wanita mana yang cukup bodoh membiarkan kesempatan besar ini berlalu begitu saja. Seorang Dewa Putra Sagara, tentu adalah pencapaian terbesar yang akan ia taklukkan. Bahkan jika ia harus menggunakan kekuasaan orang tuanya.

***

Malam itu, Dania kembali ditampar oleh noda merah yang lagi-lagi ia temukan di kemeja Dewa. Cukup lama, ia mematung menatap noda lipstik di bagian kerah kemeja itu dengan cubitan lebih keras di hatinya. Tidak mungkin noda itu tertinggal di sana secara tak sengaja untuk kedua kalinya, bukan.

Kemarin, ia menenangkan segala macam pikiran buruknya dengan menganggap semua hal itu hanyalah kesalahan atau kecelakaan yang menimpa Dewa. Dewa punya tiga sekretaris wanita dan beberapa jajaran direktur wanita yang berkeliaran di sekitar suaminya. Mungkin saja, salah satu dari mereka tanpa sengaja meninggalkan bekas itu di sana ketika sedang melakukan meeting. Ya, kemungkinan seperti pasti ada meski Dania sendiri tak yakin. Dan dengan keberadaan noda itu untuk kedua kalinya di tempat yang sama, Dania semakin yakin bahwa kemungkinan itu sama sekali tak ada.

Dewa sudah memiliki seseorang di luar sana.

"Apa yang kaulihat?" Dewa melongokkan kepala di bahu Dania dengan tiba-tiba.

Dania tersentak dan melempar kemeja Dewa ke keranjang kotor, lalu memutar tubuh dengan gugup.

Dewa yang sempat menangkap ada noda aneh di kemejanya yang sepertinya menjadi perhatian penuh Dania hingga tak mendengar panggilan yang ia suarakan sampai dua kali, langsung mengambil kembali kemeja di keranjang dan memastikan penglihatannya. Matanya melebar tak percaya, menggeram sambil meremas kemejanya sebelum membantingnya ke keranjang.

"Dan?" panggil Dewa pada Dania yang sudah berjalan keluar dari kamar menuju dapur. "Dan, itu tidak seperti yang kaupikirkan."

Dania mulai sibuk dengan makanan di kulkas yang hendak ia hangatkan. Menyalakan kompor, mengambil panci dan minyak lalu membuka toples berbentuk kotak tempat daging ayam yang sudah dibumbu oleh pekerja paruh waktu yang dipekerjakan Dewa untuk membantu urusan dapur dan kebersihan apartemen karena kehamilannya. Terkadang, Dania merasa Dewa begitu tulus, tapi bukan jenis ketulusan yang diberikan seorang pria untuk wanita. Mungkin hanyalah jenis kekhawatiran dan penebusan rasa bersalah terhadap derita yang diberikan Dewa terhadap dirinya.

"Aku tidak tahu bagaimana caranya noda itu ada di sana." Dewa berdiri di samping Dania.

"Tidak apa-apa." Dania menggeleng kecil tanpa mengalihkan kepala sedikit pun ke arah Dewa. Memasukkan potongan daging ayam ke dalam minyak yang sudah panas.

Dewa dibuat terkejut untuk kedua kalinya atas reaksi singkat Dania. Lalu, Dewa mematikan kompor, menarik Dania menjauh beberapa langkah dari kompor dan memegang kedua pundak istrinya untuk menghadapnya. "Apa maksudmu tidak apa-apa?"

Dania menggigit bibir bagian dalamnya karena tak sanggup bertatapan dengan Dewa. "Kupikir, tidak apa-apa jika kau memang ingin bersenang-senang dengan wani ...."

"Kaupikir aku akan melakukan hal semacam itu di belakangmu?" Dewa merasa terpukul. Untuk apa dia meminta Dania tetap di sisinya jika ia masih menginginkan wanita lain.

"Aku tak tahu, Dewa."

Dewa menarik tangannya dari pundak Dania dan menggusurkan keseluruhan jemarinya di rambut. Erangan pelan penuh kefrustrasian lolos dari bibirnya yang menipis geram.

"Maaf jika aku dan anak ini menjadi bebanmu."

"Omong kosong!" bentak Dewa. Apa selama ini keseriusaanya hanya dianggap beban di mata wanita itu?

"Kalian berdua bukan bebanku!" tegas Dewa

Dania tahu kata-kata itu sangat berarti baginya, tapi sama sekali tak meredakan gumpalan yang menyumbat tenggorokannya. Ia bukan seorang wanita di mata Dewa.

"Apa yang harus kulakukan agar kauyakin bahwa kalian bukan bebanku? Aku benar-benar ingin hidup dengan kalian berdua."

"Itu karena anak ini."

"Diam kau, Dan!" gertak Dewa marah dan penuh peringatan.

"Lalu?"

Dewa mengerang dalam hati. "Aku tak tahu dan maaf aku tak bisa menjelaskannya. Kita masih punya banyak waktu untuk menelusuri perasaan macam apa yang tengah kita rasakan."

Dania diam, ia hanya takut saat Dewa menyadari jenis perasaan yang ada di hati pri itu. Ternyata Dewa bukan miliknya. Dania takut perasaan Dewa tak seperti yang ia inginkan. Dania hanya tak ingin melambungkan harapan terlalu tinggi hanya untuk dihempaskan dengan cara paling kejam.

Dewa tak tahu apa jenis perasaan yang telah memenuhi hatinya. Ia marah ketika membayangkan Dania menjadi milik orang lain, ia marah jika Dania meninggalkannya, dan ia sangat marah jika Dania berpikir wanita itu hanya sebagai beban baginya.

Semua perasaan itu lebih besar daripada ketika Zaffya memikirkan pria lain. Lebih besar ketimbang ketika Zaffya memutuskan pertunangan mereka dan menikah dengan Richard.

Cintakah? Dewa tahu perasaannya belum sampai pada tahap sejauh itu. Hubungannya dengan Dania masih terlalu dini. Terlalu awal dan terlalu mudah untuk jatuh cinta.

Dewa membawa Dania dalam pelukannya. "Mungkin ini bukan cinta, tapi aku tak akan mengkhianatimu sebagai seorang istri. Aku tak akan melukai satu-satunya harga diri yang masih kaumiliki, Dan."

Dania menghela napas dengan sangat pelan. Sebagai seorang istri, itu satu-satunya hal yang masih ia miliki saat ini.

"Aku tak akan merendahkan ibu dari anakku dengan cara rendah seperti ini. Kumohon percayalah padaku."

🌹🌹🌹

Hmmm... Bagaimana part ini?

Friday, 29 May 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro