Part 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Take Love

Dewa & Dania

###

Part 27

###


Raka belum menghabiskan makanannya ketika ponsel pria itu kembali berdering. Wajahnya berubah tegang, setelah mendengar kalimat dari seberang.

"Kecelakaan?"

Dania menegakkan punggung. Tak bisa menahan tubuhnya untuk sedikit condong ke arah Raka.

"Luar kota?" ulang Raka tak percaya. Kenapa hal seperti ini datang di saat yang tepat seperti ini. "Baiklah. Aku ..." Raka menghela napas pendek. "Aku tak tahu apakah bisa langsung mengeceknya. Aku sedang di rumah sakit."

"..."

"Oke, akan aku usahakan." Raka menurunkan ponselnya, mengurut kening dengan tangan kiri dan pundaknya menurun seolah beban seberat ribuan ton tertumpu di sana.

"Apa Kak Raka harus pergi?"

Raka mendesah keras.

"Biar Dan yang menjaga Mama. Kak Raka bisa pergi."

Raka diam. Mempertimbangkan tawaran Dania.

"Sepertinya masalah Kakak sangat mendesak."

"Bagaimana dengan Dewa? Dia pasti akan menerorku."

"Biar Dan yang mengurusnya."

"Baiklah," putus Raka setelah memikirkan kembali tawaran Dania. "Maaf merepotkanmu, Dan. Aku akan berusaha kembali secepat mungkin."

Dania mengangguk.

"Kak!" panggil Dania lagi saat Raka hendak beranjak.

"Kakak harus makan dulu."

"Aku bisa makan di mobil."

"Dania memaksa," ucap Dania sambil mengangkat piring makanan Raka ke arah pria itu.

"Oke." Raka mengambilnya dan menandaskannya. Sambil menahan senyum dengan perhatian Dania yang masih bisa ia rasakan. Walaupun jenis perhatian tersebut tidak seperti yang ia harapkan.

***

Dewa masuk tanpa mengetuk pintu. Melihat Dania yang setengah berbaring di sofa panjang sambil membaca majalah tentang kehamilan. Matanya berkeliling, tak menemukan sosok yang dicarinya sekaligus lega dengan ketidakberadaan kakaknya. Sepanjang perjalanan, ia tak bisa tenang membayangkan apa yang akan terjadi jika lima menit saja Dania dan kakaknya berada di ruangan yang sama tanpa dirinya. Sudah pasti ia akan terbakar cemburu dan akan menggila karenanya. Kecemburuannya yang semalam saja belum terbayar dengan tuntas, dan justru membuat Dania merasa di atas awan. Melakukan apa pun sesuka wanita itu tanpa memedulikan pendapatnya.

"Dia masih belum datang?"

"Sudah."

Kening Dewa berkerut. "Di mana dia?"

"Kak Raka harus ke luar kota. Ada masalah mendesak."

"Apa?!" Mata Dewa melotot.

"Aku menyuruhnya segera pergi."

"Kalau begitu biarkan perawat yang berjaga, kau harus istirahat. Ingat kandunganmu, Dan. Kau tak boleh bekerja terlalu keras."

"Aku baik-baik saja, Dewa. Semua pekerjaan dilakukan oleh perawat, aku hanya beristirahat sepanjang hari seperti yang biasa kulakukan di apartemen. Dan di sini aku tidak sendirian."

"Tetap saja ini rumah sakit, Dan. Kau harus pulang."

"Hari ini aku akan bermalam di rumah sakit untuk menjaga Mama."

"Tidak."

"Ya."

"Tidak!"

"Ya!"

"Tidak!!!"

"Ya!!!"

"Dewa? Kaukah itu, Nak?" rintihan lirih dari arah ranjang pasien menyela pertentangan Dewa dan Dania.

Dewa dan Dania menoleh. Melihat mata Monica yang hampir sempurna terbuka. Berusaha mengangkat kepala demi melihat wajah Dewa lebih jelas.

Dania mendorong tubuh Dewa agar mendekati ranjang. Pria itu melangkah dengan langkahnya yang berat dan sangat terpaksa. Menyembunyikan rasa iba melihat kepucatan dan ketidak berdayaan mamanya.

"Mama sangat senang kau ada di sini, Dewa. Maafkan, Mama."

Dewa tak bergeming. Menatap tangan kanan mamanya yang dibebat. Kepalanya hendak mengangguk, tapi lagi-lagi kemarahan yang masih tersisa dan harga diri yang tercubit menahannya. Kecelakaan mamanya disengaja, ada seseorang yang memutus rem mobil mamanya, dan siapa pun yang ada di balik kejahatan itu pastilah seseorang yang merasa telah terkhianati oleh mamanya. Dewa menghargai maaf yang diucapkan Monica, tapi ia masih belum memaafkan kesepatan ceroboh yang dilakukan mamanya dengan Mikha di belakangnya.

Maaf tak ada artinya tanpa tindakan yang berarti, kan? Dan semua tindakan mamanya masih terlalu awal untuk ia baca.

"Aku harus pulang. Bawa ini jika ada sesuatu yang terjadi." Dewa menyerahkan ponselnya pada Dania lalu menunduk mencium kening Dania. Memandang mamanya tanpa sepatah kata pun dan berjalan keluar kamar.

Dania tertegun, menatap punggung Dewa yang menjauh. Begitupun dengan Monica. Namun, dengan alasan yang berbeda.

Dania penuh ketidak percayaan, karena itu berarti Dewa mengijinkannya untuk bermalam di rumah sakit bersama mamanya. Sedangkan Monica meringis dalam hati. Kebencian Dewa sanga menyiksa batinnya.

"Maafkan sikap Dewa, Ma."

Monica mengangguk paham. "Terima kasih, Dania. Kau benar-benar orang yang baik."

"Dania hanya melakukan apa yang Dania anggap benar."

"Mama tak habis pikir, kenapa Mama mengusirmu dari hidup kami. Mama benar-benar dibutakan."

Dania mendengarkan, dengan mata berkaca.

Monica menarik tangan Dania dengan tangannya yang tidak saki, membawa Dania dalam pelukannya. "Ijinkan mama menjadi mamamu, mulai sekarang."

Air mata haru Dania tumpah. Memeluk erat-erat tubuh ringkih dan lemah itu, dengan penuh kasih.

***

Kebersamaan tersebut membuat hubungan Monica dan Dania semakin dekat. Monica tak pernah menyangka Dania ternyata memiliki hati yang sangat tulus. Membuat Monica merasa malu menatap wajahnya sendiri ketika teringat apa yang telah dilakukannya pada Dania.

Malamnya, Richard dan Zaffya datang menjenguk bersamaan dokter yang memeriksa Monica. Secara keseluruhan kesehatan Monica semakin membaik, selain lengannya yang membutuhkan perawatan ekstra.

Dania mengobrol sejenak dengan Richard dan Zaffya, karena Zaffya juga harus cepat pulang dan istirahat. Esoknya Dania bangun tepat jam enam pagi, dengan sambutan morning sickness yang untungnya tak terlalu parah.

Dania membuka pintu kamar mandi sambil mengusap bibirnya dengan tisu. Kepalanya sedikit pusing, mungkin karena tadi ia langsung bangun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi tanpa duduk lebih dulu.

Langkah Dania terhenti, menyadari sosok yang tiba-tiba ada di ruangan itu. Rasa takut muncul dan membuat bulu kuduknya meremang. Wanita itu berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada dan pandangan yang terfokus ke arah Monica yang masih terlelap di ranjang pasien. Dengan tatapan aneh dan misterius.

"Mikha?" cicit Dania. Tubuhnya mendadak mengkerut oleh kenangan pahit yang pernah terjalin di antara mereka berdua. Tangannya bergerak melindungi perut yang lebih besar dari ketika terakhir kali mereka bertemu.

Mikha pun terkejut, tapi dengan alasan berbeda. Wanita itu tak bisa menyembunyikan seringai liciknya. "Sayang sekali anakmu masih hidup," sesal Mikha tanpa sedikit pun ada rasa bersalah karena pernah hampir membunuh janin tak berdosa di perut Dania.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Dania berusaha terlihat setenang mungkin. Dengan ketakutan di dalam dirinya, Mikha pasti akan merasa sangat mudah menginjaknya seperti yang wanita itu lakukan terakhir kali. Kali ini ia harus berani demi melindungi anaknya.

"Sungguh pemandangan yang menyentuh hati. Aku tidak tahu kau polos dan lugu atau kau memang kehilangan akal sehatmu. Seorang korban merawat musuh yang hampir menewaskannya dan anaknya. Kebaikan hatimu benar-benar tak terbatas, Dania." Ejekan Mikha disertai tepuk tangan tanpa suara.

"Seingatku, kaulah yang hampir membunuhku dan anakku." Entah mendapatkan keberanian dari mana, Dania berhasil mengucapkan kalimat tersebut tanpa terbata. Ia bahkan sedikit menaikkan dagunya. Tidak akan membiarkan Mikha mengintimidasinya sekali lagi.

Mikha cukup terkejut dengan penantangan yang dilemparkan Dania. Wanita itu hanya menyeringai sebagai tanggapan atas kalimat yang berusaha keras diucapkan oleh anak kecil itu. Apa Dania sudah kehilangan akal? Hingga berani menantangnya seperti ini? Tak semudah itu, anak ingusan!

"Kau tak mengindahkan peringatanku?"

"Peringatanmu? Saat ini, yang kutakutkan adalah kehilangan Dewa. Dan satu-satunya yang kami takutkan adalah kehilangan satu sama lain."

Mikha tertawa mencemooh. "Jangan membuat perutku sakit, Dania."

"Bagiku, kau tak lebih dari ular berbisa yang menyelip dan mengusik di tengah-tengah ketenangan dunia kami karena tak bisa menahan rasa iri terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain." Melihat reaksi Mikha, sepertinya tak ada gunanya ia berbicara dengan cara baik.

Memangnya apa yang kauharapkan dari orang sepertinya, Dan? Kau sudah melihat topeng aslinya saat dia mencoba membunuh anakmu!

Mata Mikha mengerjap sekali. "Apa?" dengusnya.

"Aku merasa kasihan padamu. Selama ini kau bekerja keras menyembunyikan wajah keduamu dari Dewa dan kak Zaf. Menunjukkan keikhlasan di balik keserakahanmu terhadap sesuatu yang bukan milikmu. Tidakkah kau mengasihani dirimu sendiri, Mikha?" Dania semakin berani. Ia harus menyerang, sebelum Mikha menyerangnya dengan kata-kata yang membuatnya goyah. Toh jika sesuatu terjadi padanya, ia akan memastikan pengawal yang berjaga di pintu mendengarnya.

Kali ini seringai di kedua sudut bibir Mikha lenyap, digantikan kepucatan. Kata-kata Dania tepat mengena di hatinya, menusuknya dengan cara yang sangat memalukan. "Jaga ucapanmu, anak kecil," desisnya tajam.

"Kami memiliki sesuatu yang tidak akan pernah dipahami oleh orang tanpa hati sepertimu. Oleh orang yang bahkan tak mengedipkan mata ketika hendak menghabisi nyawa tak berdosa."

"Tutup mulutmu!" Kedua bola mata Mikha seperti akan melompat jatuh. Wanita itu melangkah mendekati Dania.

"Dewa sudah menjadi milikku. Aku tak akan membiarkan orang lain merebutnya." Dania tahu seharusnya ia takut, tapi kakinya bersikeras tetap di tempat. Ia harus berani menghadapi rasa takutnya terhadap Mikha, jika tidak sekarang suatu saat ia harus berani. Atau wanita itu aka terus menghantui kehidupannya.

"Sepertinya kau perlu belajar, bahwa hidup itu keras." Tangan Mikha sudah terangkat dan terayun ke arah pipi Dania yang lancang, tapi telapak tangannya tak pernah menyentuh pipi anak kecil itu karena sebuah tangan kekar yang tiba-tiba muncul mencegah niat buruknya.

Raka bersyukur ia menangkap pergelangan tangan Mikha di detik yang tepat. Atau ia terpaksa akan melakukan hal itu terhadap Mikha. "Jangan menyentuhnya dengan tanganmu yang kotor, Mikha."

Mikha terkesiap kaget, dan tubuhnya terhuyung ke belakang saat Raka mengempaskan tangan Mikha dengan kasar.

Sialan!!!

Mikha menyumpahi Raka dalam hati. Bagaimana anak kecil ingusan seperti ini bisa memiliki dua ksatria seperti ini? Tanpa segan-segan melukai wanita lain demi melindungi Dania.

"Keluar dari sini, Mikha." Raka menunjuk pintu. "Sekarang juga atau aku akan memanggil keamanan untuk menyeretmu."

Mikha berdecih, berjalan keluar dengan membanting kakinya di lantai.

Dania melepas napas dengan tangan di dada. Jantungnya berdebar dengan keras tepat ketika Mikha menutup pintu. Merasa lega luar biasa. Berhasil, ia berhasil menutupi semua ketakutannya dari Mikha. Ia berhasil membuat Mikha tahu bahwa ia bukan lawan yang lembek dan mudah dilindas.

"Pekerjaan yang bagus, Dan," puji Raka dengan tulus. "Setidaknya satu kali kau perlu menjadi orang jahat untuk melindungi dirimu sendiri. Dia perlu diberi pelajaran."

"Terima kasih, Kak. Telah menyelamatkan Dania."

"Aku menyukai kalimatmu." Raka berhenti sejenak. "Kecuali kalimat terakhirmu."

Hati Dania meringis. Cinta yang pernah ia miliki untuk pria itu, kini menjadi milik Dewa.

"Maafkan, Dania. Kak."

Raka memaksa satu senyuman untuk Dania. "Kau sudah makan?"

Dania menggeleng.

Raka mengangkat tangan, melihat jam melingkari pergelangan tangannya. "Sebentar lagi makanan kita datang. Aku akan mengganti bajuku."

***

Dewa membuka pintu dan suara muntahan dari arah kamar mandi membuat jantungnya berdebar. Dewa bergegas menghampiri pintu kamar mandi yang setengah terbuka dan tercengang menemukan Dania membungkuk di depan wastafel dan Raka yang berdiri di belakang istrinya mengelus pelan punggung Dania.

Kecemburuan menggelapkan tatapan Dewa layaknya badai, Dewa melompat ke arah Dania dan mendorong tubuh Raka menjauh dari Dania. "Lepaskan dia!"

Raka yang mendadak terhuyung ke samping dan tubuhnya membentur dinding tak bisa berkata apa pun melihat sang pelaku adalah adiknya, yang adalah suami Dania, dan sedang tampak tersulut. Ia pun memilih keluar, toh Dania sudah berada di tangan yang gadis itu inginkan.

"Dewa? Kau sudah datang?"

"Kali ini aku akan menyeretmu pulang meskipun kau merengek tetap ingin tinggal, Dan."

Entah karena kedatangan Dewa, atau memang perutnya sudah terkuras habis dan tak ada lagi tenaga yang tersisa. Mual itu berhenti. Dania menyiram wajahnya dengan air dingin dan mencuci tangan. Dewa mengambilkan tisu dan membantu Dania menyeka wajahnya.

"Ini hanya mual yang biasa kualami. Mungkin karena aku bangun dan tidak segera melihatmu."

"Kaupikir aku akan termakan rayuanmu?"

"Aku tidak merayumu." Dania melingkarkan lengannya di bawah ketika Dewa. Menghirup dalam-dalam aroma Dewa yang seketika memberinya tenaga.

"Dewa, apa kau belum mandi?"

"Ya, aku tidur jam empat pagi dan bangun kesiangan. Lalu langsung ke sini untuk melihatmu. Aku juga membawakan makanan untukmu." Dewa mengurai pelukan Dania, mengambil plastik putih yang ada di meja wastafel dan menunjukkannya pada Dania.

Dania mengambilnya. "Apa ini?"

"Salmon panggang dan saus lemon. Aku juga membuat salad buah untukmu." Dewa menunjuk kotak yang berwarna hijau.

Dania tak bisa menahan senyum lebar yang terulas di kedua sudut bibirnya. Samar-samar aroma dari dalam kotak saja sudah membuat air liurnya mengalir. "Aku lapar."

"Ayo, kita makan lalu pulang."

"T-ta ..."

Dewa langsung membungkan mulut Dania dengan mulutnya. Melumatnya habis-habisan. Seolah menuntaskan kerinduan karena semalaman tak bisa memeluk Dania dan memandang wajah wanita itu ketika bangun tidur.

"Tidak ada tapi-tapian. Sudah ada dia yang menjaga Mama."

Dania memanyunkan bibirnya, yang langsung di tangkap Dewa. Sekali lagi keduanya terlupa dan saling melumat. Butuh waktu lebih lama untuk keluar.

Raka yang berdiri di luar pinu kamar mandi menghela napas. Entah apa yang membuatnya tetap berdiri di depan pintu, saat ia tahu pembicaraan Dania dan Dewa akan kembali membuat hatinya teriris perih. Dan saat tak ada suara keduanya, Raka tahu apa yang membungkam bibir mereka.

***


Tuesday, 15 December 2020 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro