Part 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Take Love

Dewa & Dania

###

Part 28

###

"Untuk pertama kalinya, Mama melihat mereka sebagai pasangan yang cocok," gumam Monica dengan senyum di bibir.

Raka mengikuti arah pandang Mamanya. Sudah cukup kesal hanya dengan mendengar cara bicara Dania dan Dewa bicara, sekarang ia benar-benar merasa gerah melihat pasangan yang duduk di meja. Dewa sibuk menyuapkan makanan dari kotak bekal untuk Dania, -makanan yang katanya dibuat oleh Dewa-. Melihat bentuk makanannya dari jarak sejauh ini, Raka tak yakin dengan rasanya. Tapi Dania tampak menikmati makanan itu seolah itu adalah makanan terlezat yang pernah gadis itu makan. Padahal, makanan yang ia pesan untuk sarapan Dania adalah makanan khusus wanita hamil yang direkomendasikan oleh ahli gizi, yang kemudian ia berikan pada koki dengan tangan ajaib yang tak mungkin diragukan lagi keahlian memasaknya. Apalagi dibanding dengankan dengan tangan Dewa.

Apakah cinta memang sebuta itu? Ck

Dewa bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur, tapi adiknya itu kini membuat hidangan salmon panggang dengan saus lemon dan salad buah. Yang potongannya saja berantakan dan tidak simetris. Pria itu benar-benar berengsek yang beruntung, meski sudut hatinya merasa lega akhirnya Dewa bisa menemukan kebahagiaan yang Raka inginkan untuk adiknya.

"Mama tidak menyesal, setidaknya kecelakaan ini membuat kalian berkumpul di sini. Tidak ada lagi yang Mama inginkan."

Raka menyuapkan bubur ke mulut Monica. Sekaligus membungkam mulut mamanya agar berhenti memuji kemesraan Dewa dan Dania.

"Mama mengharapkan hal yang sama untukmu, Raka. Kau berhak mendapatkannya."

"Iya, Ma. Raka akan mengusahakannya."

"Dua minggu lagi pertunanganmu dengan Alra."

Raka hanya diam. Entah mamanya bertanya atau sekedar mengingatkan. Ia sendiri tak terlalu mengingat kapan pertunangannya dengan Alra akan dilaksanakan.

"Jika kau yakin dengan rencana pernikahanmu dan Alra, kau bisa melanjutkan. Tapi jika tidak, belum terlambat untuk mundur. Mama tak akan menghalangi kalian lagi. Sekarang Mama yakin, kalian sudah dewasa. Kalian tahu mana yang terbaik untuk diri kalian sendiri. Yang Mama inginkan adalah melihat kalian bahagia."

Raka diam. Ini adalah satu-satunya kesempatan bagi Raka untuk mundur dan terjebak dalam pernikahan tanpa cintanya dengan Alra. Tapi pilihannya tak akan semudah itu. Ia punya tanggung jawab yang besar terhadap perusahaan, yang otomatis akan memengaruhi keputusan apa pun yang diambilnya.

***

Dewa kembali memeluk Dania ketika memasangkan sabuk pengaman untuk Dania. Pria itu memeluknya erat sekali, takut jika sedikit saja dekapannya merenggang, Dania akan pergi meninggalkannya. "Baru satu malam kita tidak tidur di ranjang yang sama, aku sudah menjadi berantakan seperti ini. Jangan pernah mengucapkan kata perpisahan dengan sangat mudah, Dan. Kau bahkan tak boleh memikirkannya meski hanya satu kali."

"Terkadang kau perlu sedikit pukulan di kepala agar kau sadar, Dewa."

"Aku tahu, tapi itu benar-benar menakutkan, Dan."

"Mamamu benar-benar menyesal. Dia juga sudah menerimaku sebagai menantu. Kau tidak punya alasan untuk marah padanya."

Dewa diam. Ia pun tak buta untuk melihat hati mamanya yang sudah terbuka untuk Dania. Penyesalan mamanya pun perlahan juga meluluhkan hatinya. Tapi ia butuh sedikit waktu untuk mengembalikan hubungan mereka seperti semula.

"Cobalah bersikap lebih baik pada mamamu."

"Aku akan mencobanya."

Dania mengelus punggung Dewa.

Dewa menarik tubuhnya, masih dengan tubuh menghadap Dania, pria itu menggenggam kedua tangan Dania. "Bagaimana pun semengecewakannya diriku, jangan pergi meninggalkanku. Berikan hukuman apa pun untuk memperbaiki rasa kesalmu. Tapi jangan tinggalkan aku," Katanya dengan hati penuh permohonan. Ia ingat pernah merasakan dan melakukan hal seperti ini, di tempat yang sama, dan permohonan yang sama. Saat Dania mencoba pergi darinya dan ia memaksa menjemput istrinya di apartemen Zaffya dan Richard.

"Jangan berhenti mencari kelebihanku, untuk memungkas kekuranganku. Jadikan kelebihanku sebagai alasan agar kau tetap terpesona padaku."

"Kau punya kelebihan?"

Dewa mengerutkan kening, berpikir sejenak lalu meringis mengejek dirinya sendiri. "Aku tampan. Kau bisa menikmati pemandangan terindah ini kapan pun dan di mana pun kauingin."

"Ck," decak Dania tak puas. Menyembunyikan rasa geli di hati yang nyaris terekspresi di wajahnya. "Sebaik-baiknya orang adalah orang yang mengandalkan ketampanan hatinya, Dewa. Ketampanan wajahmu hanya akan bertahan selama beberapa tahun."

"Benar juga." Lagi, Dewa terlihat berpikir sejenak. "Aku orang yang baik hati. Lihatlah, aku memaafkan kakakmu yang telah merebut tunanganku dan malah mencintai adiknya dengan sepenuh hati."

Dania melongo.

Dewa tergelak. "Apa pun itu, hanya satu hal yang aku tahu. Aku mencintaimu, Dan. Sebaiknya kau pun begitu."

"Inikah kata-kata cinta yang kau bilang dengan sepenuh hatimu? Apa hatimu batu karang? Terjal dan curam."

Tawa Dewa semakin keras. "Tapi kuat, tegas, dan tak patah arah."

Oke, Dania mengaku kalah jika melawan lidah Dewa.

"Kau tidak bekerja?"

Dewa menggeleng. "Kemarin aku dapat satu investor. Tidak terlalu besar, tapi setidaknya ada perkembangan."

"Benarkah?"

"Ya. Bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan?"

Dania menggeleng.

"Kau tidak suka?"

"Aku ingin pulang. Kita bisa tidur di ranjang sepanjang hari. Semalam aku tak bisa tidur."

Dewa diam, tampa mempertimbangkan ide Dania, lalu mengangkat bahu tak masalah. "Ide yang bagus. Kita harus membayar malam yang kita lewati. Kita pulang."

Mobil Dewa melaju meninggalkan basement rumah sakit.

***

"Huftt ..." Dewa menghela napas ketika membuka dua pintu kulkasnya yang besar. Hanya ada beberapa butir telur dan beberapa potong ayam yang sepertinya tak akan cukup untuk makan mereka berdua. Mengingat terakhir kali isi kulkas mereka kosong, Dania pergi ke supermarket sendirian dengan berjalan kaki dan pulang dengan dua kantong besar belanjaan. Dewa tak akan mengulang kejadian menyedihkan itu untuk kedua kalinya.

"Ganti pakaianmu," pintah Dewa sebelum Dania benar-benar masuk ke dapur menyusulnya. "Kita makan di luar."

"Kenapa?"

Dewa memutar tubuh Dania dan merangkulnya dengan kepala di ketiak, membuat istrinya menggerutu. Keduanya pun melangkah kembali ke kamar mereka.

"Jadi, pada akhirnya kita harus keluar juga?" tanya Dania sambil mengambil kardigan berwarna gelap di bagian paling depan. Lalu mengenakannya sambil melihat Dewa yang bersandar di pinggiran pintu ruang ganti, dengan mata yang tak lepas mengamati dirinya.

"Ya, kita butuh makan untuk mengisi perutmu, kan?"

"Jika kau di rumah, aku merasa enggan untuk keluar."

Dewa tersenyum.

"Sudah." Dania

"Hanya begini?" Dewa mengamati pakaian Dania. Wanita itu hanya mengenakan pakaian terusan longgar sepanjang lutut bermotif bunga mawar pink yang biasanya Dania pakain untuk tidur. Yang ditutup dengan kardigan untuk menutupi lengan, sekaligus memberi rasa hangat.

"Pakaianku tidak ada yang muat lagi."

Dewa mengerutkan kening. Menyadari cara berpakaian Dania yang berantakan. Wanita itu sering menggunakan baju tidur. terkadang kaos miliknya yang dulu menenggelamkan tubuh mungil Dania, sekarang dengan perut sebesar itu kaos itu pun juga mulai terlihat sempit.

"Perutmu semakin besar."

"Ya, selama seminggu ini tiba-tiba dia menjadi sangat besar. Meskipun terkadang aku masih memuntahkan makananku, mungkin karena aku terlalu sering makan camilan. Sehingga dia tetap mendapatkan gizi yang cukup."

"Kau tidak memuntahkan masakanku."

"Jika setiap hari kau memasak, bulan depan bisa dipastikan besar perutku akan bertambah dua kali lipat. Kita berangkat?"

"Ayo." Dewa merangkul Dania. Sepertinya setelah makan, mereka harus pergi ke butik untuk membelikan Dania beberapa pakaian.

***

"Apa makanannya tidak enak?" tanya Dewa melihat Dania yang menjauhkan steak daging di piring setelah hanya memakan beberapa potong.

Dania menggeleng, bersandar di punggung kursi sambil mengelus perutnya. "Aku sudah bilang padamu, kan? Dia menyukai rasa tanganmu."

"Dia bahkan tak melihatku," dengus Dewa.

"Mungkin ... dia melihat menggunakan mataku."

Dewa tersenyum dengan gemas, mendekatkan piring berisi anggur yang ia pesan untuk berjaga-jaga jika Dania muntah atau tidak berselera pada menu mereka. "Kalau begitu habiskan susumu dan makan anggur ini. Sampai di rumah aku akan membuatkanmu sesuatu."

Seketika senyum semringah tertarik di kedua sudut bibir Dania, dengan penuh semangat wanita itu segera menandaskan susunya. Menunggu Dewa selesai makan sambil melahap buah anggurnya.

"Aku suka melihatmu makan dengan lahap," komentar Dania setelah Dewa mengunyah potongan terakhir dagingnya.

"Oh ya? Memangnya ada yang tidak kausuka dariku?"

Dania menggeleng dengan polos. Ya, ia memang suka melihat cara Dewa tidur, cara Dewa berjalan, cara Dewa berdiri di belakang meja dapur. Bahkan cara keras kepala pria itu pun Dania suka. Hanya saja ia tak membiarkan Dewa tahu.

Setelah selesai, keduanya mampir ke butik untuk membeli beberapa potong baju untuk Dania, lalu ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan makan mereka selama dua minggu. Sesekali Dewa memaksa beristirahat dan duduk, tapi Dania tampak bersemangat. Ingin segera menyelesaikan acara berbelanja mereka hanya agar cepat pulang ke rumah dan melahap makanan yang dijanjikan Dewa.

***

Seminggu kemudian, di pesta pertunangan Raka dan Alra, keduanya datang bersama. Monica menyambut keduanya dengan lengan kanan yang masih menggunakan penyangga. Monica menemani Dania sepanjang pesta, dan untuk pertama kalinya wanita itu memperkenalkan Dania kepada teman dan kolega bisnis perusahaan. Sedangkan Dewa, pria itu tampak menyendiri di balkon. Merasa terasing sambil mengamati Dania dari kejauhan.

Dewa tahu Dania tampak tak nyaman dengan keantusiasan mamanya, tapi wanita itu berusaha keras tidak ingin membuat mamanya kecewa. Ia juga tahu, senyum palsu dan desas desus yang berdengung tentang Raka, dirinya dan Dania. Tapi ia tak akan membuang waktu mengurusi gosip murahan semacam itu. Sekarang ia dan kakaknya memiliki kehidupan masing-masing, walaupun ia masih melihat kepedihan di mata Raka saat melihat Dania. Cinta yang masih tetap bertahan hingga detik ini.

Dewa memalingkan wajah dari kakaknya, menunduk menatap jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Dewa menghampiri Dania. Keduanya berpamit pulang karena Dania harus istirahat.

Tanpa terasa, waktu berjalan dengan cepat. Usia kandungan Dania masuk bulan ke delapan. Tak ada lagi serangan morning sickness sejak usia kandungan Dania menginjak enam bulan. Masuk bulan ke tujuh, tidak ada lagi makanan yang membuatnya tak berselera. Dewa memasukkan apa pun yang bisa dimakan ke dalam mulutnya.

Pagi itu, seperti biasa Dania mematut tubuhnya di depan cermin wastafel. Tersenyum menatap perutnya yang semakin membesar. Ia bahkan sudah tak bisa melihat kedua kakinya tanpa menggunakan bantuan cermin. Jangan ditanya berat badan berapa. Untuk pertama kalinya ia tak peduli dengan berapa kilo berat badannya naik dalam seminggu. Asupan gizi yang terpenuhi dan mulutnya yang tak berhenti mengunyah kapan pun ia ingin, tak heran jika kini tubuhnya terlihat segemuk Pufferfish yang mengembung.

Kedua telapak tangannya menempel di pipinya yang gembul, menepuk-nepuknya seakan hal itu akan membuatnya pipinya tirus kembali. Tanpa sengaja, pandangannya turun ke arah leher, melihat kissmark yang bertebaran memenuhi lehernya.

Semakin besar kehamilannya, bentuk tubuhnya yang semakin jauh dari kata seksi, anehnya membuat Dewa semakin bergairah. Malam-malam mereka semakin panas dan Dania pun menikmati setiap sentuhan yang diberikan Dewa. Tubuhnya merespon dengan sangat cepat. Saling memberikan kenikmatan yang tak terkira.

Pipi Dania merona, mengingat aktifitas panas mereka tadi malam. Berikut malam-malam sebelumnya. Dewa tak pernah bosan mencari kepuasan dari tubuhnya, mengajarinya hal-hal yang membuat pria itu puas dan tahu bagaimana memanjakan tubuhnya.

"Apa yang kau lamunkan?" Suara serak khas bangun tidur Dewa membuat lamunan Dania terpecah, membuat Dania terkesiap pelan.

Dewa berdiri bersandar di pinggiran pintu kamar mandi. Hanya mengenakan celana karet dan rambutnya yang acak-acakan khas bangun tidur. Sepertinya pria itu lupa mencukur rambutnya yang mulai sedikit gondrong dan lebih mudah berantakan, tapi tetap terlihat sempurna tampan di matanya.

"Kau sudah bangun?" Dania merasa malu dengan pikiran mesumnya tentang Dewa. Menampilkan ekspresi sebiasa mungkin meski rona di pipinya tak bisa berbohong.

Dewa hanya mengangkat bahu, tak pernah bisa menahan tawa saat tatapannya turun ke lantai meskipun pemandangan itu hampir setiap hari ia dapatkan.

"Ada apa?" Dania mengikuti arah pandangan Dewa. "Apa aku memakai sandal berbeda lagi?"

Dewa menunjukkan kedua kakinya. Kaki kanan dengan sandalnya sendiri sedangkan kaki kiri menggunakan sandal Dania. "Apa sekarang kau tidak bisa membedakan sandalku dan sandalmu?" Dewa berjalan masuk. Memeluk Dania dari belakang. Dengan perut Dania yang ia pikir sudah hampir mencapai besar maksimal, Dewa masih terheran dengan perut itu yang masih berkembang lebih besar lagi esoknya. Dewa sering khawatir jika wanita itu tak sanggup lagi menanggung beban dengan lebih berat lagi dengan kaki pendek dan bengkak itu.

Dania hanya meringis. Kakinya memang sedikit membengkak bersamaan perutnya yang semakin membesar. Tapi kak Richard bilang itu hal yang normal karena darah dan cairan yang diproduksi ibu hamil untuk membantu mempersiapkan tubuh menyambut persalinan. Selama pusing yang muncul tidak menganggu, ia tak perlu mengkhawatirkannya.

Dewa mengecup pipi Dania dari samping dan telapak tangannya mengelus perut besar Dania yang langsung disambut tendangan dari anak mereka. "Kau lihat, dia juga ikut menertawakanmu," gelak Dewa.

Dania tersenyum. Menempelkan tangannya di atas tangan Dewa. Kemudian menikmati ekspresi takjub di wajahnya dan Dewa lewat cermin. "Semakin hari dia semakin aktif."

Selama beberapa saat keduanya menikmati momen romantis tersebut dalam keheningan.

"Dewa?"

"Ya?"

"Apa kau sibuk hari ini?"

Dewa menggeleng. Bisnisnya memang sudah lebih baik, tapi tak cukup membuatnya sibuk. "Ada apa?"

"Usia kandunganku hampir mencapai delapan bulan. Tapi kita sama sekali belum mempersiapkan pakaian atau apa pun kebutuhan anak kita. Aku berencana pergi ke toko perlengkapan bayi hari ini."

Dewa mengangguk-angguk mengerti. Ia baru menyadari hal itu. Mereka bahkan belum membeli sehelai pakaian pun untuk anak mereka. Ia terlalu sibuk memperhatikan kesehatan dan asupan gizi Dania serta anaknya, ditambah pekerjaan yang lebih banyak menyita pikirannya, sehingga tak sempat memikirkan kebutuhan-kebutuhan istri dan calon anaknya setelah melahirkan.

Sudah tentu bayi mereka membutuhkan pakaian dan peralatan-peralatan lainnya setelah lahir bulan depan. Bagaimana mungkin ia melupakan hal itu. Dan tabungan terakhir mereka hanya cukup untuk dipakai biaya melahirkan Dania bulan depan. Sepertinya ia harus menggunakan itu terlebih dahulu dan berusaha lebih keras untuk mendapatkan lebih sebelum Dania melahirkan.

"Aku ingin kau menemaniku."

"Berbelanja?"

"Ya, terakhir kita berbelanja sekitar ... dua bulan yang lalu ketika pertunangan kak Raka. Aku pun sepertinya membutuhkan gaun baru untuk pernikahan mereka minggu depan."

"Baiklah."

"Apa kau punya banyak pekerjaan?"

"Tidak. Hari ini aku tidak memiliki jadwal penting."

"Apa pekerjaanmu memburuk?"

"Tidak, hanya saja tidak membuatku sibuk."

"Ke depan pasti akan meningkat. Aku yakin itu."

"Ya. Meskipun agak lambat, secara keseluruhan keadaan finansial kita cukup."

"Syukurlah kalo begitu."

"Terima kasih atas keyakinanmu, Dan." Dewa mencium ujung kepala Dania dari samping. "Aku tak akan sampai di titik ini tanpa dukunganmu."

"Itu sudah tugasku, hanya itu satu-satunya yang bisa kulakukan untukmu."

"Kau melakukan segalanya, Dan," koreksi Dewa.

Dania tahu Dewa berlebihan. Pria itu bekerja sangat keras dan tak kenal kata menyerah. Semua pencapaian Dewa yang dilakukan sepenuh hati demi dirinya dan anak mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro