LAYAR 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tangis itu hampir pecah, tetapi Niki berhasil menahannya sehingga tidak makin parah. Dengan cepat jejak air mata itu di hapus.

"Saya tidak apa-apa, Pak. Malam ini ada meeting dulu?" Niki berusaha bersikap biasa lagi dan melupakan sejenak masalah Gusti.

Ran tidak langsung menjawab. Hatinya dilanda rasa sakit yang tak terdeteksi penyebabnya. Dia ingin Niki mau membagi kegundahan dan rasa sakit itu padanya. Namun, itu baru keinginannya saja. Niki masih enggan melakukannya.

"Ya, kita meeting dulu. Baru saja saya minta Joana mengumumkan semua kumpul di area monitor." Ran berjalan mendahului Niki. Dia sendiri juga harus menata hatinya kembali.

***

"Saya rasa cukup, ya. Semoga bulan ini sesuai harapan kita semua, capai target dan angka kehilangan mendekati 0%. Kita usaha sama-sama. Terima kasih. Silakan dipimpin doa." Ran mundur dari posisinya semula.

Sejak Ran memimpin SDS, penjualan memang maju pesat. Pilihan Pak Adhyatama tidak salah. Niki mengakui wibawa Ran sebagai pemimpin lambat laun meluluhkan ego para karyawan yang dulu menentang dirinya.

Ran banyak berubah. Sangat berubah. Dulu dia lebih banyak menyendiri meskipun prestasi akademiknya paling menonjol di sekolah. Tidak banyak ekskul yang diikuti, hanya Karya Ilmiah Remaja ( KIR ), dan jadi sekretaris OSIS. Sedangkan Niki hanya siswi biasa, prestasi rata-rata tetapi cukup pandai bergaul. Masa sekolahnya tidak segemerlap temannya yang lain. Niki mandiri sejak SMP dalam hal keuangan. Jarang sekali minta orang tua saat dia menginginkan sesuatu.

Ran memperhatikan Niki diam-diam. Dia tahu Niki menjual sesuatu untuk uang jajannya. Bahkan mencatat ulang pelajaran buat temannya, dan itu artinya tabungan Niki bertambah lagi. Semua tahu tulisan Niki bagus dan rapi, sehingga jabatannya tidak pernah lepas sebagai sekretaris kelas.

Ingatan itu selalu indah dikenangnya. Niki bersyukur masa SMA dulu tidak banyak masalah yang muncul. Meskipun biasa-biasa saja. Lamunannya buyar saat Ran menghampiri dan menarik tangannya. Reaksi Niki tentu saja belum siap, badannya ikut ke mana Ran membawanya.

Sambil menunggu antrian karyawan cek body, Ran mendekati Niki dan berbisik di dekat telinganya.
"Ada informasi dari Joana tadi." Kalimat itu membuat Niki ingin segera mendatangi Joana yang tiba-tiba 'ember'. Lebih kesal lagi ghibah kok, sama bos.

"Informasi soal apa?" tanya Niki datar, sok baik-baik saja.

Ran tersenyum sinis, sudah ketahuan masih mengelak. Hampir saja Ran ingin menerobos antrian, menarik tangan Niki lalu mencari tempat untuk bicara.

Namun, seketika itu juga otak warasnya mengingatkan, Niki bukan tanggungjawabnya. Gusti yang harus bertanggung jawab dengan kesedihan Niki. Lagi dan lagi, baru beberapa bulan Ran sudah mengetahui betapa bobroknya hubungan mantan dan pacarnya.

Ran mengurungkan niatnya meng-interogasi Niki malam itu. Yang dia sesalkan tidak ada yang bisa dilakukan untuk membantu. Niki pasti akan bertanya-tanya kalau sampai dia ikut campur. Belum saatnya Ran mengakui perasaannya.

Kilat petir tampak dari kejauhan. Jendela kaca apartemen Ran cukup luas sehingga bisa melihat luar dengan leluasa. Tidak banyak yang tahu tentang keluarga Ran, termasuk Niki. Saat masih sekolah, orang tua Ran tidak berada di Indonesia. Ran sangat tertutup soal keluarganya.

Petir makin menggila, langit malam tampak lebih suram dengan awan mendung yang siap memuntahkan hujan ke bumi. Ran menutup jendela dan beranjak ke tempat peraduan. Matanya mulai lelah berikut fisik yang sedari siang agak demam.

***

Ayu baru saja selesai merapikan baju ke dalam lemari. Niki menghampiri, mengambil sisa baju yang tersisa untuk ikut dimasukkan.

"Kamu belum tidur? Kenapa?" tanya Ayu lembut. Rudi sedang menghadiri pertemuan rutin bapak-bapak lingkungan komplek.

"Belum ngantuk, Bun. Bunda gimana kondisinya? Masih ngerasa sakit, nggak?" Niki menggelayut manja di pundak Ayu.

Ayu tersenyum. Putri semata wayangnya ini terkadang merasa dirinya masih anak-anak. Cuma ingin dimanja saja sebenarnya. Tetapi Ayu tahu Niki sangat mandiri dan mampu menjaga dirinya.

"Kenapa jadi tanya soal Bunda? Harusnya Bunda tanya kamu, yang sering melamun sampai nggak sadar Bunda panggil-panggil." Ayu menyindir kejadian tadi sore di taman samping rumah. Ya, Niki terlalu fokus mencari solusi masalahnya dengan Gusti, sampai tidak mendengar Bunda memanggil.

"Maaf, Bun. Tadi itu Niki ...." Kalimat Niki terhenti. Hampir saja dia cerita soal orang tua Gusti. Karena lebih baik masalah ini jangan sampai di telinga Ayu ataupun Rudi.

"Oke, putri Bunda ini sudah main rahasia-rahasiaan, nih." Ayu mengelus sayang tangan Niki.

"Tidak sekarang, Bun. Karena masalah ini cukup Niki saja yang tahu." Kalimat itu terucap hanya di dalam hati Niki. Seperti biasa Niki akan mengganti topik percakapan.

"Nggak usah bahas itu, Bun. Cuma lagi kesel aja, kok. Ada aja kejadian di toko. Customer yang katanya raja, terkadang menguji kesabaran juga." Semoga jurusnya kali ini jitu.

"Kamu kan sudah lama berkutat di bagian lapangan. Kalau sekarang sudah di manajemennya, bukan berarti kesabaran menghadapi customer hilang."

"Iya, Niki tahu itu. Niki cuma berharap semua yang Niki infokan ke karyawan bisa dilakuin beneran di lapangan." Niki berhasil mengalihkan fokus Ayu.

Obrolan seru dan waktu sudah hampir tengah malam. Mereka mengakhiri obrolan serunya lalu menuju alam mimpi. Ayu memutuskan menemani Niki, firasatnya mengatakan Niki sedang ada masalah.

***
Jadi kangen Almh. Ibu di surga, Insya Allah.
Menggelayut manja di.lengan, memeluk, terkadang minta disuapin makan darinpiring yang sama.

Daan nyanyi bareng beliau. Aku akan bernostalgia juga dengan My Best Mom in my life.

Alhamdulillah saya up lagi. Selamat membaca daan jangan lupa vote and comment, ya.
Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro