LAYAR 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya peringatkan sekali lagi, jangan macam-macam! Akan banyak saksi yang akan memberatkan Anda, kalau sampai terjadi sesuatu sama saya." Niki terus bertahan dengan sisa keberaniannya.

Ran bergeming, masih berdiri di depan Niki dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Sesaat Niki merasa itu adalah mata milik Ran Sinara. Tetapi, hanya beberapa saat, setelahnya hanya sosok Ran yang menyebalkan.

Ran mundur. Tanpa menunjukkan rasa penyesalan atau sebaliknya. Membuat Niki susah menebak apa yang Ran inginkan. Parahnya dia juga meninggalkan Niki tanpa penjelasan apa pun.

Niki menarik napas setelah sempat tertahan beberapa detik. Hampir saja Niki lunglai karena kakinya lemas. Tangannya berpegangan kuat pada gagang pintu di belakangnya.

***

Pagi keesokan harinya, Pak Adhyatama menjadwalkan penyerahan posisi Niki kepada Ran. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua memang harus terjadi. Keputusan dari CEO langsung tentu saja tidak ada yang berani membantah.

Rapat sudah selesai, Niki memilih tetap di ruangan beberapa saat. Peserta rapat yang lain satu persatu keluar dari ruangan. Termasuk Ran yang sempat meliriknya sekilas. Tinggal Niki sendirian. Tiba-tiba saja dia merasa insecure. Dia hanya lulusan SMA yang beruntung saja bertemu dengan Pak Yadi Santoso. Seharusnya dia tahu diri sejak awal.

Hari itu juga Pak Adhyatama meninggalkan kota Semarang menuju SDS cabang Solo. Sebelum memasuki mobil, Pak Adhyatama menghampiri Niki. Mengulurkan tangan dan langsung dibalas Niki.

"Saya tahu kamu kecewa, Nik. Saya juga tahu kamu bekerja keras untuk toko ini. Saya sangat hargai itu. Hanya butuh waktu untuk kamu bisa kembali ke posisi kamu. Poinnya, perbaiki kualitas diri kamu."

Dugaan Niki benar. Semuanya mungkin karena dirinya yang tampak tidak kompeten karena cuma lulusan SMA.

"Oiya, satu hal lagi. Bekerja samalah dengan Ran. Dia sebenarnya baik, cuma terkadang memang kelewatan kalau lagi kumat isengnya."

"Baik, Pak. Silakan masuk mobil, nanti kesorean sampai Solo," sela Ran dengan tidak sopannya. Berani sekali, bahkan karyawan lain yang mendengarnya sampai melongo. Herannya lagi, Pak Adhyatama tidak terlalu menanggapi Ran. Dia cuma menepuk bahunya.

Mobil sang CEO sudah melaju dan tak tampak lagi. Sekarang Niki bingung dengan statusnya. Saat rapat tadi dengan jelas Niki masih bekerja alias tidak dipecat. Hanya saja dia belum tahu apa posisinya. Hhh, Niki memilih membereskan semua barangnya lebih dulu.

***

Setiap ada kesempatan bicara dengan Niki, pramuniaga atau SPG selalu ingin Niki tidak mundur. Berkali-kali Niki menjelaskan, dia tidak pernah mundur, tetapi dicopot, diturunkan, alias lengser. Lama-lama Niki bosan menjelaskan jawaban dari pertanyaan mereka. Mereka tahu pasti dia tidak punya pilihan.

Niki merapikan satu persatu barang di mejanya. Ruangan yang sekarang bukan miliknya lagi ini mendadak jadi asing. Padahal interior-nya sangat bagus dan sesuai dengan seleranya. Kembali Niki menasehati dirinya, jabatan hanya titipan, di balik semua ini pasti ada sesuatu lebih indah yang sudah disiapkan.

"Kamu nggak perlu pindah dari ruangan ini." Ran sudah berdiri tidak jauh dari pintu.

"Pak Ran sudah lama di situ?" tanya Niki tanpa melihat orang yang ditanya.

"Cukup lama sejak kamu melamun. Oya, panggil Ran saja. Sepertinya usia kita sepantaran."

Niki tidak menanggapi kalimat Ran barusan. Dia melanjutkan kegiatannya. Semua barang sudah masuk ke dalam kardus. Tidak terlalu besar dan Niki mampu mengangkatnya.

Ran mendekat dan memegang lengan Niki. Sejenak mereka saling bertatapan, Ran menipiskan jarak, hanya beberapa senti lagi, bibir mereka bertemu. Niki lebih dulu tersadar, memalingkan muka dan pergi meninggalkan Ran yang merasa bersalah dan sangat menyesal.

Pikiran Niki kacau, bingung, hampir saja dia mengkhianati Gusti. Kekasih yang selama ini setia mendampingi dan selalu pengertian. Niki minta ijin pulang lebih cepat hari itu. Stella yang menangkap keanehan pada bosnya cuma bisa diam. Menyimpan semua pertanyaan yang sangat ingin dia lontarkan.

Seharusnya Niki menghubungi Gusti saat kebingungan seperti ini. Dia juga tidak bisa langsung pulang karena orang tuanya pasti khawatir melihat putri mereka menangis. Harus ke mana sekarang?

"Mbak, sudah tahu kita mau ke mana?" tanya sopir taksi menyadarkan Niki.

"Ehm, sa ... saya. Oh, ke kafe Pelangi aja ya, Pak. Daerah Semarang atas. Bapak tahu, kan?"

"Iya, Mbak. Saya tahu."

Taksi meluncur mulus meninggalkan kemacetan Semarang kota.

***

Kafe tidak begitu ramai kalau dilihat dari tempat parkir yang lumyan lengang. Tetapi menjelang akhir minggu, dari sore hari tempat parkir akan penuh. Maklum suasana kafe yang bernuansa alam, interior-nya juga bisa dinikmati segala usia, pasti disukai banyak orang.

"Terima kasih ya, Pak." Niki memberikan sejumlah uang lebih dari yang seharusnya dia bayar.

"Sebentar saya ambil kembaliannya, Mbak." Sopir mengambil dompet dari kantong bajunya.

"Tidak perlu, Pak. Buat Bapak saja, hitung-hitung buat nambah amal saya."

"Makasih banyak, Mbak. Semoga berkah."

Niki tersenyum dan mengaminkan dalam hati. Taksi pergi meninggalkan kafe. Niki langsung menuju meja favoritnya bersama Gusti. Sayangnya, dari kejauhan meja itu sedang dipakai orang lain. Niki mencari meja lain yang agak privat, cocok buat dia yang ingin menikmati kesendirian.

"Selamat datang, Mbak. Silakan menunya," sapa seorang pelayan kafe sambil memberikan daftar menu.

Tiga macam menu Niki pesan. Menu yang kebetulan jadi favoritnya, apalagi harganya sesuai isi kantong.

"Ada lagi, Mbak?" tanya pelayan memastikan.

"Enggak. Itu aja cukup. Makasih."

"Baik. Ditunggu ya, Mbak."

Sambil menunggu Niki sesekali mengedarkan pandangannya ke penjuru kafe. Kalau agak lengang begini enak juga lokasinya. Tenang, lebih bebas menikmati suara air mancur, gemericik air mengalir datang dari sungai kecil yang jalurnya sengaja dibuat di tengah kafe. Untuk keamanan dari kemungkinan konsumen anak kecil, sepanjang aliran air ada pagar setinggi pinggang orang dewasa. Pagar tersebut ditutupi tanaman dari plastik yang menjalar. Suatu saat nanti Niki ingin sekali buka usaha seperti ini.

Tiba-tiba pandangannya berhenti di meja favoritnya bersama Gusti. Saat memasuki kafe Niki tidak begitu memperhatikannya. Sekarang dari sisi yang berbeda, terlihat kalau orang yang di sana itu ... Gusti?

***
Alhamdulillah, up juga.
Maafkan telat, ya.

Cobaan Niki bertubi-tubi, nih. Jangan nangis ya, Nik. Gusti sama siapa, ya di kafe?

Hmm, cari tahu di next layar.
Dampingi saya terus, ya. Jangan lupa vote dan krisarnya. Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro