LAYAR 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil meluncur mulus, perlahan menyusuri kota Semarang atas. Seperti biasa, Gusti akan membawa Niki ke tempat favoritnya. Tetapi kali ini akan sulit bagi Gusti mendapatkan maaf.

Niki akhirnya menuruti keinginan Gusti, untuk mengajaknya bicara. Dia tidak mau jadi tontonan karyawan dengan adegan seperti tadi.

"Aku nggak mau ke kafe Petrichor." Protes Niki sebelum mobil berbelok sempurna ke arah parkir.

"Kenapa? Bukannya kamu suka suasana di sana?" tanya Gusti, tetapi dia segera  menyadari tempat itu juga jadi kenangan buruk buat Niki. Aargh, dia bodoh sekali.

"Oke, kita cari tempat lain aja, ya. Maaf." Gusti memutar balik arahnya menyetir. Dia bingung mau ke mana, karena selera Niki terkadang tidak bisa tertebak. Meskipun selama ini dugaannya jarang meleset.

***

Di sebuah kafe yang belum lama dibuka inilah akhirnya Gusti memarkirkan mobilnya. Lumayan jauh dari lokasi sebelumnya. Tetapi semua terbayarkan dengan konsep tempat yang menyejukkan mata. Diliriknya Niki, ada senyum tipis terbit dari bibir tipisnya. Gusti lega, Niki sepertinya suka tempat ini.

Beberapa menu dipesan. Dan mereka tinggal menunggu pesanan datang.
"Malam-malam begini kenapa pesannya es, Nik? Nanti perut kamu sakit." Selama ini Gusti sering mengingatkan Niki soal apa yang dia makan. Apalagi saat bersamanya.

"Lagi pengen, aja. Toh, aku kan juga pesen kentang goreng." Niki menjawab dengan kalimat pendek tanpa ada protes.

"Nik, boleh aku bicara soal masalah kita sekarang?"

"Nanti saja selesai makan. Aku nggak mau tambah emosi kalau bahas itu dengan perut kosong." Semarah apa pun, Niki berusaha berpikir rasional. Dia bukan anak-anak ABG lagi, yang ngambek dan merengek tidak jelas.

Gusti mengangguk setuju.

Selesai makan, Gusti memulai pembicaraan lebih dulu. Niki mendengarkan tanpa menyela sedikit pun.

Gusti mengaku perempuan itu adalah mantannya waktu SMA. Dia mengajak bertemu untuk minta maaf.

"Kak Gusti masih mencintainya?" Pertanyaan yang begitu saja muncul tanpa sengaja dicari-cari.

"Nik, kita sudah bersama dua tahun. Dia cuma mantan dan sudah lama pergi. Bahkan di antara kami sudah putus waktu itu."

Niki terdiam. Sebenarnya, dia sudah tidak marah lagi. Ada perasaan bersalah juga saat melihat Gusti bersama perempuan lain. Mungkin dia kurang memberi perhatian, bisa juga Gusti penat dengan segala masalah yang sering dia adukan selama ini.

"Kamu masih percaya sama aku, kan?" Gusti meraih tangan Niki lalu menggenggamnya lembut. Tiba-tiba Niki ingat adegan Gusti yang melakukan hal itu pada mantannya. Niki hendak menarik tangannya. Namun, Gusti lebih gesit menahannya.

"Genggamanku waktu itu cuma untuk menenangkan dia saja. Tidak berarti apa-apa, Nik. Aku tetap cinta sama kamu."

Niki mendongak, menatap dalam mata Gusti. Pria yang sudah menemaninya selama dua tahun ini.
"Kak, maaf kalau selama ini aku sering nyusahin. Nggak seharusnya aku marah. Seharusnya aku juga mengerti kondisi Kakak. Selama ini aku sering curhat tentang masalah aku. Apa sebaiknya kita ...."

"Niki, stop! Buang semua yang kamu pikirin itu. Jangan sampai ada sedikit saja niat kamu untuk ninggalin aku." Genggaman Gusti semakin erat. Rasa takut kehilangan itu tiba-tiba menguasai hatinya. Semua kalimat Niki barusan mengarah ke hal tentang perpisahan. Entahlah, atau perasaan Gusti saja yang terlalu cepat menyimpulkan.

Niki luluh, dia mengangguk sambil membalas genggaman Gusti. Lengkap dengan senyuman yang menyejukkan hati siapa pun yang melihat.

***

"Pagi, Bu!" sapa beberapa karyawan yang lewat.

Niki mengangguk sebagai balasan menyapa balik. Suasana seperti ini yang menambah semangat Niki untuk bekerja. Menyebar senyuman sama saja membagi hal positif kepada orang lain. Karena secara tidak langsung lawan bicara kita akan ikut tersenyum.

"Kenapa kalo sama saya mereka nggak nyapa, ya?" Ran menyamakan langkahnya dengan Niki. Diliriknya Niki yang tampak ceria sekali.

"Mungkin Bapak kurang ramah sama mereka, atau tambahin lagi senyum manisnya." Niki asal menjawab. Dia juga tidak tahu penyebab mereka tidak mau menyapa Ran.

Semua tampak wajar tanpa kesalahan berarti. Ran mulai menjalankan idenya untuk membuat pagar ayu saat prosesi buka dan tutup toko. Hal ini belum terpikir sama sekali oleh Niki. Jadi, hal ini dilakukan untuk mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada semua customer.

Pagar ayu ini akan dibuat bergilir secara acak. Semua SPG dan pramuniaga akan bergantian berdiri di pintu utama. Setiap periode empat orang. Niki suka ide bosnya yang ini. Sebagai pemerataan, Niki juga ikut merasakan di hari pertama. Begitu pula Ran, jurus jitu memberikan contoh yang baik untuk semua karyawan.

Untuk sesaat Niki melihat sisi lain dari seorang Ran. Siapa nama lengkapnya? Apakah hanya tiga huruf itu saja yang tertulis di akta kelahirannya? Ran tak henti memasang senyum pada setiap pengunjung yang baru datang. Beberapa karyawan yang melihat dua orang atasan elit mereka, berbisik-bisik sambil senyum.

Ran bukan tidak menyadari hal itu. Dia diam, membiarkan semua mengalir. Sebentar lagi akan ada rumor yang akan menyebar. Tinggal menunggu waktu saja, karena apa pun rumor itu Ran sudah siap.

***
Alhamdulillah, bisa update dan ketemu kalian lagi. Makin seru aja pengalaman dunia departemen store, ya.

Doain, ya. Mulai besok aku ODOC. So, biar selesai tepat waktu. Aamin.

Oke, selamat membaca dan tinggalkan vote, komentarnya juga boleh, loh.

Jaga kesehatan dan bahagia selalu. Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro