BAB [6]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kematian memang mengejutkan
Kadang juga terasa menakutkan,
Sekaligus hal yang pasti akan ditemukan"

***

Ulfa hanya terdiam sepanjang perjalanan. Memikirkan ayahnya yang sakit, padahal semalam pria itu baik-baik saja. Burhan memarkirkan mobil di depan sekolah membuat beberapa siswa terkejut saat Ulfa turun bersama dengan Airin. Ulfa baru sadar, kalau dia terlihat tak pantas punya teman.

Airin menarik tangan Ulfa untuk segera masuk. Rizal yang ternyata berada di belakang Ulfa mengikuti gadis tersebut.

"Ulfa!" panggil Rizal membuat gadis itu menoleh.

"Nanti pulang bareng ya," ujar Rizal sambil membetulkan posisi ranselnya yang sebenarnya baik-baik saja.

"Dia akan pulang bersamaku," lontar Airin.

Ulfa hanya mengangguk mengingat kalau sepulang sekolah dia harus menjenguk ayahnya. Dengan perasaan kecewa Rizal terdiam melihat Ulfa yang berjalan begitu saja. Jujur hati Ulfa merasa tak enak menolak setiap ajakan dari Rizal. Tapi apa boleh buat itu jalan satu-satunya agar Avita dan kawan-kawannya tidak mencari dirinya hanya karena Rizal.

Setibanya di kelas Ulfa masih terdiam memikirkan supir tadi. Seketika dia teringat kalau Burhan begitu mirip dengan seseorang yang pernah bicara dengan Avita di belakang sekolah. Ya, gadis itu masih mengingat kejadian saat dia tak sengaja menemukan Avita di belakang sekolah tak jauh dari pohon mahoni yang menjadi tempat favoritnya. Avita yang baru saja dipikirkan kini muncul dengan menggunakan masker. Gadis yang biasanya terlihat jutek itu berjalan lambat menuju tempat duduknya. Itu terlihat aneh dimata Ulfa.

"Kau kenapa?" tanya salah satu siswi di dekat Avita. Sesekali Ulfa yang penasaran dan merasa prihatin melirik ke arah Avita. Ulfa bahkan menyadari ada bekas lebam di balik rambutnya. Avita tak menjawab sama sekali membuat siswi yang tadi bertanya merasa canggung.

"Pengumuman!" Tiba-tiba suara ketua kelas terdengar lantang mengisi kelas. Laki-laki itu baru saja dari luar kelas, napasnya sedikit memburu. Semua siswa menatap ke arahnya.

"Kapten basket sekolah kita meninggal," ucap ketua kelas itu, Farhan, membuat seisi kelas terkejut bukan main. Avita bahkan langsung berdiri dari tempat duduknya.

Ulfa menutup mulutnya karena terkejut, walaupun dia sering di-bully oleh Diego gadis itu merasa sedih mendengar hal itu.

"Kapten basket?" tanya Airin pada Ulfa. Airin tak tahu harus merespon seperti apa. Menjadi siswa baru membuatnya tak tahu apa-apa.

"Iya, namanya Diego, laki-laki yang menempelkan permen karet di rambutku waktu itu," jelas Ulfa dan Airin hanya mengangguk saja. Airin berpikir bagaimana bisa Ulfa terlihat bersedih untuk seseorang yang telah berkata kasar padanya.

Avita berlari keluar padahal sebentar lagi bel sekolah akan berbunyi. Beberapa siswa di dalam kelas berbisik-bisik membahas Diego. Saat Farhan ditanya pasal kematian Diego diapun tak tahu. Informasi yang dia dapat hanya sedikit. Bahkan pemakamannya yang akan dilangsungkan nanti dalam keadaan tertutup jadi para siswa yang tadinya ingin ke sana hanya menghela napas.

Di seantero sekolah, Diego menjadi perbincangan. Bahkan beberapa guru sibuk mencari penyebab kematian siswa berprestasi itu. Guru yang tadinya ingin mengajar di kelas Ulfa pun terlambat beberapa menit.

Ketika pelajaran mulai berlangsung Avita belum juga kembali, gadis itu meninggalkan ranselnya di kursi.

Sesekali Airin mengajak Ulfa mengobrol dijam pelajaran membuat Ulfa mendapat teguran kecil dari guru.

Pelajaran hari imi berjalan seperti biasanya. Yang mengherankan bagi Ulfa adalah dia merasa seperti bebas akan bully an hari ini. Entah kenapa kehadiran Airin di sampingnya membuat dirinya seperti dilindungi. Walau beberapa kali dia sempat melihat siswa yang berbisik tentang dirinya. Mengucapkan hal yang tak ada benarnya sama sekali.

Waktu berputar dengan normal tapi Ulfa merasa waktu berputar melambat akibat rasa tak sabarnya menjenguk Darwis di rumah sakit. Bahkan gadis itu bersama Airin sudah berdiri di pinggir jalan untuk menunggu supir Airin menjemput mereka berdua. Ulfa mengambil jaket Farid alam ransel dan mengenakannya. Dari arah kanan jalan singgah sebuah mobil dan turunlah Avita. Ya, dua tak mengikuti pelajaran hari ini. Ranselnya saja dititipkan ke satpam sekolah oleh Farhan.

"Darimana saja gadis itu?" bisik Airin kepada Ulfa.

"Aku tak tahu," jawab Ulfa dengan berbisik pula.

Avita melirik tajam ke arah Ulfa lalu segera masuk ke sekolah. Langkah Avita sedikit tergesa-gesa. Sehingga sebuah benda dari saku Avita terjatuh. Ulfa yang ingin mengambil itu segera ditarik oleh Airin karena mobilnya telah tiba.

"Mungkin hanya sampah," pikir Ulfa. Sebenarnya bisa saja dia mengambil benda itu tadi, tapi mengingat dia akan menjenguk ayahnya, Ulfa kembali berpikir kalau itu bisa saja membuang waktunya.

Berbagai pertanyaan muncul di otaknya. Kini bukan Burhan yang membawa mobil melainkan supir yang mengantarkan Darwis ke rumah sakit. Ulfa sudah bertanya tentang kondisi ayahnya pada supir itu yang mungkin seusia dengan Darwis. Tapi, supir bernama Bagus itu juga tak tahu. Pasalnya dia hanya mengantarkan Darwis saja ke rumah sakit dimana orang tua Airin menjadi penyumbang berpengaruh di rumah sakit itu. Dian dan Melani juga ada di mobil tapi kedua gadis itu terus bercerita satu sama lain sambil tertawa kecil. Ulfa tak paham apa yang mereka berdua sedang bahas.

Ulfa menatap Airin di sebelahnya.
"Apakah ayahku akan baik-baik saja?" sahut Ulfa yang sedari tadi mulai meremas jari jemarinya. Hatinya tak tenang.

"Tenanglah, ayahmu pasti orang yang kuat," sahut Melani yang duduk dikursi belakang. Diikuti dengan Dian yang mengangguk.

"Semoga saja." Ulfa menutup matanya, berusaha menenangkan kembali pikirannya.

"Apakah pak Burhan punya anak?" tanya Ulfa membuat Airin mengernyitkan dahi.

"Aku rasa tidak," jawab Airin.

"Sepertinya Burhan punyasatu anak," sahut Bagus yang menatap mereka dari spion mobil.

"Oh iya! Waktu itu pak Burhan sempat bawa seseorang ke rumah," seru Airin yang baru saja teringat sesuatu.

"Iya itu anaknya," jawab Bagus.

"Apakah kau kenal?" tanya Ulfa, lagi.

"Tidak, aku hanya melihatnya dari jauh," tukas Airin.

"Memangnya kenapa?" tanya Dian yang ternyata penasaran juga.

Ulfa tersenyum kikuk dan menggelengkan kepalanya. Sebagai isyarat kalau tak alasan dibalik pertanyaan itu.

Beberapa menit mereka semua terdiam, sampai mobil berbelok dan masuk ke sebuah rumah sakit swasta yang memiliki dua lantai. Sangat besar, sehingga membuat Ulfa berpikir bagaimana dia akan membayar uang tagihan rumah sakitnya nanti. Saat mobil mulai berhenti, Ulfa segera turun bersama Airin.

"Maaf begitu merepotkanmu, suatu saat nanti akan aku balas kebaikanmu," jelas Ulfa.

"Dengan kamu menerima pertolonganku itu sudah membayar semuanya," ucap Airin dengan tulus.

Mata Ulfa berkaca-kaca karena merasa sangat beruntung dipertemukan dengan Airin. Mungkin inilah jawaban dari setiap doa Ulfa.

Bagus ikut masuk dan segera menuntun mereka untuk ke ruang dimana Darwis dirawat. Dian dan juga Melani tak ikut masuk ke rumah sakit. Sebab kedua gadis itu membenci aroma rumah sakit yang lebih dominan dengan bau obat yang menyengat. Padahal menurut Ulfa itu hal yang wajar.

Saat tiba di ruangan yang dituju Ulfa segera membuka pintu dan melihat Darwis terbaring dnegan beberapa kabel menempel di badannya. Ulfa berusaha tegar melihat itu. Tapi tidak bisa. Perasaannya mungkin bisa dia tahan tapi tidak dengan air mata yang jatuh begitu saja.

"Ayah," ucap Ulfa.

***

Lest to vote and coment guyssss

Next part ya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro