BAB [7]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Setiap orang pasti akan merasakan kehilangan. Cepat atau pun lambat"

***

Ulfa terduduk di ruangan Darwis sambil menatap ayahnya itu yang sampai sekarang belum juga sadar. Sesekali dia menunduk frustasi memikirkan tentang ayahnya. Rasa cemas sangat terlihat di wajah mudanya. Airin sudah tak lagi di sana, gadis itu pulang bersama kedua sepupunya. Ulfa menatap sekeliling, melihat ruangan yang dominan berwarna putih. Tiba-tiba ponselnya berdering menampilkan satu nama yang dia tak duga. Ya, dia adalah Rizal.

"Halo," ucap Ulfa dengan pelan.

"Kamu sedang di mana?" tanya Rizal.

Ulfa berpikir sejenak, menimbang-nimbang apakah dia harus memberi tahu Rizal yang sebenarnya atau mengatakan kebohongan? Ulfa meremas kuat ponselnya.

"Aku di rumah sakit Sanjaya, Ayahku sedang sakit," jelas Ulfa yang melihat Darwis saat menyebut kata ayah.

"Ada  yang ingin aku katakan, aku akan ke sana sekarang."

Setelah mengatakan hal itu suara gaduh terdengar dari seberang sana sehingga Ulfa menjauhkan ponsel dari telinganya lalu sambungan telepon pun mati. Ulfa menghela napas.

"Mengapa dia mematikan telpon secara sepihak?" gumam Ulfa

***

Beberapa jam sebelum Rizal menelpon Ulfa. Di tempat lain, Rizal yang baru saja keluar dari rumah makan melihat salah satu gadis yang tak asing. Rizal mendekati gadis itu. Semakin dia dekat semakin Rizal sadar kalau gadis itu dia kenal. Dia salah satu siswi di sekolahnya, bahkan sekelas dengan Ulfa. Gadis yang dia lihat itu mengobrol dengan seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap. Pria itu menarik gadis itu ke samping sebuah bangunan yang tak terpakai. Karena rasa penasaran Rizal terus mengikuti gadis itu.

"Sudah kubilang jangan terlalu terburu-buru!" teriak gadis itu sambil menampar pria tersebut.

"Pelankan suaramu," ucap salah satu gadis yang berada di situ. Ternyata mereka bukan berdua saja. Sayangnya gadis yang satu itu tak bisa Rizal lihat secara jelas.

"Bukankah pria tua itu akan mati juga," jelas pria itu sambil membetulkan topinya.

Gadis itu mengibaskan rambutnya sehingga memperlihatkan beberapa luka lebam di lehernya.

"Kau lihat! Hampir saja aku mati!" keluh gadis itu.

Rizal melangkah lebih dekat lagi namun sial dia menginjak sebuah kaleng susu membuat ketiga orang itu berbalik.

"Siapa itu!?" Suara berat pria itu terdengar menakutkan.

"Rizal!" ucap gadis itu.

"Tangkap dia!"

Rizal segera berlari sekuat tenaga. Tak memedulikan perutnya yang sakit karena baru saja terisi makanan. Laki-laki itu segera naik ke atas motor yang sempat dia tinggalkan dan dengan tergesa-gesa menyalakan motor dan segera melaju.

Pria yang mengejarnya itu terlihat memegang kepalanya sambil mengumpat dengan kata kasar. Rizal menatap pria itu dari spion dan lagi-lagi dia dibuat terkejut. Pria itu adalah pria yang sama yang Rizal lihat tadi pagi.

Entah kenapa pikiran Rizal langsung tertuju pada Ulfa. Rizal segera menuju rumah Ulfa dengan terburu-buru. Hanya beberapa menit dia sampai. Tapi, rumah Ulfa terlihat gelap. Rizal segera turun dari motornya dan dengan langkah lebarnya dia sampai ke pintu dan mengetuknya. Rizal menunggu pintu dibukakan setelah mengetuk. Bahkan laki-laki itu mengintip ke jendela. Namun nihil Ulfa tak berada di rumah. Rizal segera meraih ponselnya di dalam saku dan mencari nama Ulfa di kontaknya. Rizal menghubungi Ulfa, setelah beberapa detik Ulfa baru mengangkatnya. Rizal sedikit lega mendengar suara gadis itu. Namun saat Rizal mengatakan dia akan ke sana, pria yang tadi dia lihat kini sudah berada di belakangnya bersama gadis itu. Memegang bahu Rizal sehingga yang empunya berbalik.

"A...," ucap Rizal yang terpotong karena lehernya dicekik pria itu. Gadis yang mengekor di belakangnya tersenyum lalu menarik ponsel Rizal dan memetakan sambungan telepon.

"Kau teledor" ucap gadis itu.

Rizal berusaha keras menghirup oksigen yang perlahan-lahan semakin sedikit mengisi paru-parunya. Ditatapnya pria itu dengan mata melotot, Rizal berusaha melepas tangan kekar itu. Namun terlambat, badan Rizal tiba-tiba melemah dan Rizal kehilangan kesadarannya. Satu yang dia pikirkan bagaimana mereka bisa tiba di sini secepat itu?

"Bawa dia ke mobil," ucap gadis itu sambil melempar ponsel Rizal ke sembarang arah.

Pria itu memasukkan Rizal ke dalam mobil besar berwarna hitam. Tak lupa, pria itu menutup mulut dan mengikat tangan Rizal.

"Hampir saja," ucap gadis itu,"Aku akan membalas dendam," lanjutnya. Gadis itu meraba sakunya dan dia baru tersadar sesuatu yang berada di sakunya telah hilang. Gadis itu menggeram menahan emosi. Tapi segera ditarik gadis lainnya untuk masuk ke dalam mobil sebelum ada orang lain yang menyaksikan kegaduhan yang baru saja terjadi.

***

Ulfa mengatakan pada dirinya kalau dia tak akan berharap Rizal datang tapi hatinya berkata sebaliknya. Sejak beberapa menit lalu, Ulfa terus menatap pintu ruangan itu. Berharap ada yang menarik gagang pintu tersebut. Saat Ulfa menunduk pintu ruangan itu terbuka.

"Rizal," ucap Ulfa refleks.

Ternyata yang masuk adalah seorang dokter bersama suster.

"Maaf Dek, bisa keluar sebentar. Kami akan melakukan pemeriksaan pada pasien," jelas dokter dengan nama Arnold terpampang di baju dokternya. Mau tak mau Ulfa harus keluar. Gadis itu berbisik pada Darwis.

"Ayah yang kuat ya, Ayah bisa." Ulfa kemudian meninggalkan ruangan dan menunggu di luar.

Saat duduk di luar, Ulfa tak sengaja melihat Avita lewat dengan seorang pria. Ulfa ingin mengejarnya tapi dia juga tak mau meninggalkan Darwis walaupun sebentar. Perutnya berbunyi nyaring meminta segera diisi. Ulfa menelan salivanya.

"Ulfa!" panggil Airin yang baru saja datang dengan senyum yang manis. Gadis itu mengenakan hoodie dengan tudung yang menutupi lehernya.

"Kenapa kamu ke sini?" tanya Ulfa yang sempat melirik plastik yang Airin bawa karena mengeluarkan wangi makanan.

"Aku mau nemenin kamu di sini dan aku juga udah bawa makanan, nih." Airin duduk di samping Ulfa dan menyodorkan sebungkus makanan dan minuman untuk Ulfa membuat gadis itu tersenyum.

"Sama siapa kamu ke sini?" tanya Ulfa yang sadar kalau Airin hanya datang seorang diri.

"Aku diantar pak Burhan," jelas Airin dan Ulfa yang mengangguk saja.

Karena sangat lapar Ulfa segera membuka bungkusan makanan tersebut dan lupa mengucapkan terima kasih. Airin hanya tertawa melihat Ulfa makan dengan berantakan.

Disela-sela Ulfa makan, suster yang tadi keluar dari dalam ruangan dengan tergesa-gesa. Membuat Ulfa mengehentikan kegiatannya. Gadis itu bingung mau bertanya pada siapa, sedangkan suster itu cepat sekali berlalu.

"Tenangkan dirimu," ucap Airin.

Dokter Arnold juga keluar dari ruangan.

"Pasien sedang kritis, mohon doakan yang terbaik," ujar dokter itu membuat tubuh Ulfa melemas.

Pikiran negatif sudah menyerbu otak Ulfa membuat gadis itu merasakan sesak di dadanya.

"Lakukan yang terbaik, Dok. Berapapun biayanya." Airin berdiri memegang tangan dokter Arnold.

Dokter Arnold mengangguk dan suster itu kembali dengan suster lainnya. Membuat Ulfa semakin tak tenang saja.

***

Let's to vote and coment

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro