|4|

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

trigger warning : suicidal act/thought, homophobic, major character death
.
.
.
.
.
.
.
.
.

-•-

"Bangun, bodoh!"

Sasara mengerjapkan matanya, ia memandang kekasihnya yang baru saja memukul kepalanya dengan tak ada kasih sayang. Bibirnya mencebik sejenak, sebelum ia menangkap pergelangan tangan kekasihnya. "Jahat sekali~ aku bangun, aku bangun~"

Sasara bisa mendengar decakan kekasihnya. Ia meloloskan kekehan, ketika kekasihnya itu memandangnya dengan sorot mata tajam. Kedua tangannya terangkat, dan kali ini ia membuang kalimat serius. "Baiklah, janji tak akan tertawa. Maafkan aku."

"Berhenti main-main!" Kekasihnya sungguh manis ketika merengut seperti itu. Sasara ingin mencubit pipinya, kalau dibolehkan juga ingin menggigitnya, sayang sekali ia tak mau ditendang kekasihnya lagi. Mau bagaimana lagi ini rooftop sekolah, bisa gawat jika ia jatuh ke bawah.

"Mhm. Mengerti." Senyum geli tertendang ke atas, antusias menyelimuti tubuhnya. Gemas, kekasihnya gemas sekali.

Angin musim panas menyapa sejenak.

"Ayo pulang."

"Mhm."

Sasara mengenggam tangan kekasihnya, ketika dia menarik kenop pintu atap. Ia bisa merasakan kekasihnya menegang sejenak, sebelum kemudian perlahan mengeratkan genggaman tangan mereka.

Diam-diam Sasara melirik, memperhatikan raut wajah kekasihnya yang terlalu pucat.

.

"Wajahmu pucat."

"Hah?"

"Kau sakit?"

"Tidak. Mana mungkin aku bisa sakit."

"Benar juga. Kalau begitu makanlah yang banyak, jangan sampai kau sakit."

"Hm."

.

"Aku tidak mau makan ini!"

"Ayolah, kau harus makan banyak sayur. Kau terlihat kurus akhir-akhir ini, kau terlihat semakin kecil!"

"Sialan kau, dasar mata sipit!"

"Ya? Mau yah? Kusuapin?"

"... berisik, tidak mau."

.

"Kenapa kuenya bewarna hijau?"

"Entah, sudah dari sananya. Coba makanlah, rasanya lezat."

Sasara tersenyum puas, ketika kekasihnya itu melahap kue di tangannya tanpa masalah. Ia diam-diam menahan kekehan. Jika ia tak bisa memaksa, maka ia hanya bisa menipunya.

Melihat kekasihnya yang sudah menghabiskan kue, Sasara kembali bergelayut manja, agak menjengkelkan, namun ia sangat tahu bahwa kekasihnya sama sekali tak masalah.

.

"Terlambat?"

"Hm."

"Ayahmu memarahimu?"

"Tak peduli dengannya."

"Hei, Sasara?"

"Ayo kita kabur saja dari sini."

"Memang bisa?"

"Kita usahakan."

"Setuju saja. Tapi Sasara, di semua tempat juga bakal ada orang seperti mereka."

"Melelahkan sekali."

"Kenyataan sangat kejam memang."

.

"Ada apa dengan wajahmu?"

Sasara menarik dagu kekasihnya, ia dapat menangkap lebam yang ada di pipi kiri kekasihnya. Wajahnya menggelap seketika, dan emosi perlahan-lahan menaik dengan sendirinya.

"Aku melawan. Aku muak. Aku tidak butuh mereka. Aku hanya mencintaimu, Sasara."

Ada dengungan keras yang menghantam kepalanya. Jantungnya mendadak bertalu-talu terlalu cepat.

"Sayang.... " Sasara menangkup wajah kekasihnya, menelan saliva, memeluk sepenuhnya tubuh yang lebih kecil darinya.

"Ini semua bukan salah kita, mereka menganggap kita seolah-olah kita adalah dosa besar. Memang apa salahnya dua manusia yang saling mencintai? Bodoh."

"Mhm. Bodoh sekali."

Sasara merasakan tangan kekasihnya di rahangnya. Ia menatap kekasihnya yang menghembuskan napas begitu lelah. "Ayo kita pergi saja, Sasara."

.

Sasara mengusap pelan kepala kekasihnya yang bersandar di bahunya. Ia memperhatikan wajah tidur kekasihnya yang sangat menggemaskan, ugh lucu sekali.

Mengabaikan tatapan penghakiman dan ejekan yang mampir diam-diam di sekitar stasiun, Sasara mencuri kecup di dahi.

Kemudian ia dapat mendengar ponsel kekasihnya berbunyi. Sasara mencari-cari sebelum kemudian membuka tas kekasihnya, merogoh ponsel yang berbunyi semenjak tadi.

Namun yang ia tangkap bukanlah ponsel,

melainkan obat-obatan dan resep yang terlalu banyak.

Binar-binar di sepasang matanya lenyap seketika.

.

"Ini tidak menyakitkan."

"Aku di sini, sayang."

"Sasara.... "

"Ya? Kau mau apa?"

"Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."

"Aku juga. Kau hidupku sayang, tanpamu aku bukanlah apa-apa. Jadi bertahanlah yah, sayang?"

"Kau terlalu khawatir, hahaha. Aku tidak apa, sungguh.... "

"Mhm, kau tidak apa. Kau akan selalu baik-baik saja."

"Hei, ini bukan salahmu. Kau harus mengingat itu. Kita masih terlalu muda, dimabuk cinta, belum tau kejamnya dunia. Tak dapat mengambil keputusan adalah hal yang dapat dimaklumi."

"Jadi Sasara, ini bukan salahmu bodoh! Jangan selalu menyalahkan diri sendiri!"

"Mhm."

"Aku sangat ingin menua dan mampus bersamamu. Menikmati waktu lebih lama denganmu."

"Kita akan, sayang."

"Aku mencintaimu. "

"Selalu, sayang. "

.

Sakit, sakit, sakit.

Ini menyakitkan, brengsek.

Sasara membanting kepalanya di cermin. Agaknya terlalu keras, sebab bunyi yang dihasilkan hampir merobohkan gendang telinganya. Namun ia sama sekali tak peduli, ada lebah-lebah yang mengitari tempurung kepalanya, dan ia tak bisa mendengar apa-apa, entah mengapa.

Kedua kakinya menendang perabotan-perabotan yang telah hancur lebur, entah sejak kapan, Sasara tidak mengetahui dengan jelas. Barangkali saja waktu itu, waktu dimana hidupnya telah direnggut paksa begitu saja. Sasara mati rasa, ingin mampus saja. Dengungan di kepalanya semakin keras, dan seolah-olah jantungnya telah turun ke dasar perutnya. Semuanya hancur, hidupnya, dirinya, kapan dunia sekalian akan hancur juga?

Sasara meneguk pilu begitu banyak, sekaligus kesengsaraan. Ia abai saja, ketika luka-luka di permukaan raba tergores pecahan cermin, membuka kembali, dan cairan merah mengalir deras tak ada ampun. Sakit, sakit, sakit, hatinya sakit. Teguk, teguk, teguk, teguk pilu hingga ia sekalian saja tersedak sampai mampus.

Kepalanya kosong, barangkali ia saat ini memang sudah betulan sinting. Sasara tertawa terbahak-bahak, benar-benar menertawakan hidupnya yang konyolnya minta ampun. Ia mengerjap, dan ketika sadar ia telah keluar dari rumah, entah mengapa sudah berada di sekolah dan menaiki tangga hingga sampai ke atap.

Barangkali, kewarasannya memang sudah betulan lenyap.

Sasara menengok ke bawah. Menggiurkan. Ia bisa menghidu aromanya, aroma hidupnya, kekasihnya, yang tersebar dimana-mana. Rooftop adalah tempat persembunyian mereka, dan seluruhnya ditutupi oleh aroma kekasihnya yang memabukkan. Sasara hampir terlena, ingin sekali menggapai kekasihnya.

Ah yah, mampus saja dan bertemu dengan sayangnya.

Tanpa keraguan di wajahnya, Sasara tertawa terbahak-bahak seolah tak ada hari esok (atau, memang tak ada esok hari untuknya). Ia sudah mampus, mampus semenjak awal hidupnya direnggut, hatinya telah lenyap dan hanya tertinggal sisa-sisa penyesalan. Semenjak awal ia tak dapat hidup tanpa kekasihnya, tak dapat.

Jatuh cinta sangat menyakitkan. Maka dari itu namanya 'jatuh'.

Merasakan lelehan air mata yang turun semakin deras, Sasara melebarkan senyumnya. Ia membisikkan beberapa kata sejenak, sebelum kemudian terjun bebas ke angkasa. Membiarkan semesta mengoyak-ngoyak jiwanya sepenuhnya.

"Sampai jumpa lagi, sayangku."

.

Sepasang mata itu menyipit, Sasara memandang terik matahari yang berusaha membakar tubuh tembus pandangnya.

Ingatan itu tak akan pernah hilang.

Rasa sakit itu tak akan pernah mampus.

Sasara tertawa, memandang langit yang semakin membiru. Kali ini ia tak akan melepaskannya, tak akan. Tatapannya tertuju sosok pendek yang sibuk bercanda dengan ketiga kawannya, dari kejauhan. Rasa sakit dan kerinduan menghantam terlalu keras.

Sasara tertawa pahit, netra yang selalu ia sembunyikan kali ini menatap semesta dengan nyalang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro