14. Kick Ass

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'I 'll be fool to go back to my ex boyfriend. As you lose me, na you lose.'

-Raybekah-

***

Ryder datang sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan Alexia. Pipinya berseri-seri seiring senyum enggan berhenti terukir di bibir. Pundak Ryder jauh lebih ringan dibanding pertama kali bertemu pun mimpi buruknya tak lagi bertamu. Ini aneh tapi nyata. Suasana hati Ryder juga jauh lebih stabil dibandingkan saat-saat mengisolasi diri dari dunia. Apakah sesi terapi meditasi yang dilakukan bersama Denny berhasil menghapus luka batinnya? Atau mungkin karena dia sempat mengunjungi makam Cherry sehingga jiwanya mengikhlaskan Ryder menggandeng Alexia sebagai tim?

Entahlah.

Ryder tak mau memikirkannya lebih lama. Masa lalu tetaplah masa lalu yang tidak akan kembali, itulah yang diyakininya sekarang. Di sisi lain, dia masih tidak menyangka kalau Alexia bakal berubah pikiran secepat itu. Walau ... belum ada ucapan dia memaafkan, tapi Ryder yakin suatu hari nanti Alexia bakal bisa membuka hatinya. Lagi pula, siapa yang tidak bakal iba mendengar kisah sedih Ryder yang dipendam seorang diri selama tiga tahun. Seekor anjing seperti Coco saja terenyuh setiap kali Ryder menangis diam-diam. 

Untuk mengapresiasi kebaikan Alexia, Ryder membawakan segelas coffee noisette dan croissant untuk dinikmati bersama nanti. Dia melepas jaket puffer hitam dan menaruh ke dalam loker penyimpanan. Kemudian menggantinya dengan kaus thermal biru gelap berbahan poliester dan spandex yang pas di badan. Alih-alih celana pendek ketat, dia mengenakan celana panjang nan longgar.

Tak berapa lama, pintu studio terbuka menampilkan sosok Alexia mengenakan jaket tebal berwarna ungu. Dia melempar senyum simpul tanpa sepatah kata lantas berlalu begitu saja menuju ruang ganti di saat Ryder mengangkat sebelah tangan dan tersenyum lebar hendak menyapa.

"Hei, Lex," ujarnya ke arah bayangan Alexia yang menghilang.

Beberapa menit kemudian, Alexia keluar memakai setelan yoga abu-abu gelap dipadankan sepatu kets putih. Rambut pirang panjangnya dikepang menjadikan penampilan gadis itu terkesan manis dipandang. Bibirnya tak berpulas lipstik melainkan lip gloss agar tidak terlihat kering kerontang. Dia mendekati Ryder ketika lelaki itu berkata,

"Aku bawakan kopi dan croissant."

"Oh, Thanks," ujar Alexia selanjutnya mengambil matras yoga dari dalam lemari penyimpanan di belakang Ryder.

Saat gadis itu melintas, Ryder mengendus aroma manis amber bercampur karamel dan cokelat terendus di hidung mancungnya. Benar-benar wangi perempuan. Mengingatkan Ryder pada sepiring kue yang baru keluar dari pemanggang. Dia menyunggingkan seulas senyum, buru-buru membantu Alexia mengeluarkan alat lain mulai e-spinner, tali skiping, half ball balance trainer, sampai leg stretcher.

"Latihan fisik kita agak berat," tukas Alexia mengisyaratkan Ryder berdiri di atas matras yoga. Dia mulai melakukan pemanasan terlebih dahulu diikuti Ryder yang lagi-lagi menghadap dirinya dibanding cermin besar di depan mereka. "Bisakah kau mengubah posisimu?" Alexia merentangkan kedua tangan dan memutarnya searah jarum jam lalu sebaliknya.

"Sorry." Ryder mengarah ke cermin tapi atensinya masih betah berlama-lama mengamati Alexia seakan-akan cerminan dirinya tak begitu menyenangkan. "Apa ini latihan yang dirancang Thomas atau kau sendiri?" Kini dia memutar pinggul dan menempatkan tangan di pinggang sebelum meluruskan punggung ke depan.

"Aku sendiri," jawab Alexia mengakhiri pemanasan kemudian mengambil dua tali skiping. Salah satunya dia lempar ke arah Ryder yang langsung ditangkap dengan mudah. "Lakukan 250 kali lompat tali ke depan, seratus kali lompat tali ke belakang, lima puluh lompat satu kaki kiri dan satunya juga lima puluh. Lanjut lima puluh single rotations, sepuluh half rotations, dan sepuluh maximum rotations," terangnya panjang lebar. "Ah, masih ada lagi nanti. Kita akan push up dan latihan kaki."

Rahang Ryder mengaga nyaris menyentuh permukaan matras tak percaya dengan apa yang barusan ditangkap telinganya. "Wow, kau merencanakan pembunuhan yang sangat sempurna, Lex," pujinya memulai lompatan pertama.

"Kau yang memintaku bergabung lagi, ya sudah," balas Alexia seraya memutar mata dan ikut melompat.

Ryder mencebik pelan tak menanggapi balasan Alexia yang sialan benar. Dia memang meminta gadis itu kembali tapi bukan berarti latihan off ice mereka langsung begini. Apalagi tiga tahun tidak latihan pastinya bakal mengejutkan seluruh ototnya.

Bila ditilik pun metode yang dipakai Alexia sangat jauh berbeda dibandingkan Cherry. Entahlah, rasa-rasanya seperti diseret ke neraka baru. Padahal dulu, Ryder sebatas fokus mengasah lompatan menggunakan bangku, angkat beban, push up dan sit up, stretching kaki dan tangan menggunakan tali sampai melatih putaran dengan half ball.

Napas Ryder putus-putus saat berhasil menyelesaikan olahraga kardio yang benar-benar membangunkan tidur panjang semua sel ototnya. Dia mengangkat sebelah tangan, meminta waktu sejenak kepada Alexia tuk meneguk air sebelum lanjut ke latihan lengan dan kaki.

Sialan! Dia benar-benar hendak membunuhku pelan-pelan.

"You're fucking crazy." Suaranya makin serak seiring napasnya yang engap-engapan. Ryder menyiram kepalanya menggunakan air dari botol sampai membasahi setengah badan sebelum meneguknya tak tersisa. Selanjutnya, dia kembali ke posisi semula saat Alexia meneruskan push up kemudian mengikuti gaya gadis itu.

Padahal badannya kecil, kenapa latihannya melebihi wajib militer?

"Tenagamu boleh juga," cibir Ryder.

"Penampilanmu yang kekar itu sepertinya cuma cover belaka ya?" balas Alexia. "Ini bukan apa-apa tahu."

"Wah ... kau menantangku." 

Tak terima diledek seperti itu, Ryder memasang resistance band--tali lentur--di punggung yang ditahan kedua tangan agar memberikan sedikit beban saat bergerak. Dia menempa kaki penuh semangat seolah-olah push up seperti ini bukanlah apa-apa. Jiwa kompetitifnya menyala-nyala bila diledek Alexia yang proporsi badannya jauh lebih kecil.

"Aku tak mau kalah darimu, Lexi!" serunya membuat Alexia terbahak-bahak manakala mendapati Ryder kepayahan atas rutinitas yang selalu dijalankannya selama off ice. 

"Coba saja, Ryder." Alexia menantang balik. Namun, dia percaya alasan latihan menyeramkan yang dibuatnya ini bakal membawa dampak baik ketika di gelanggang karena skating bukan tentang kelenturan dan ketahanan otot kaki, melainkan lebih dari itu. Dia berharap Ryder akan terbiasa walau otot-ototnya serasa dituang lelehan besi panas.

Usai latihan yang diakhiri pendinginan, Alexia menyuruh Ryder beristirahat selama tiga puluh menit sebelum mengarahkan kembali gerakan axel sampai salchow. Tidak perlu putaran ganda, setidaknya koordinasi tubuh Ryder harus seirama kala mengingat-ingat ulang apa yang dulu dipelajari sewaktu masih muda. Terutama kaki dan cara landing yang sempat salah.

Alexia memberikan sebotol minuman lagi seraya menggigit croissant pemberian Ryder sementara lelaki itu merobek la baguette. "Sangat Prancis sekali," komentar Alexia. "Apa kau membuatnya sendiri atau membelinya?"

"Terkadang beli, terkadang dikirim ibuku," jawab Ryder membuka botol minuman dan meneguknya sampai titik terakhir. "Aku tidak punya waktu untuk membuatnya sendiri."

"Tidak ada waktu atau karena kau terlalu malas dan membiarkan dapurmu jadi sarang laba-laba?"

Ryder tergelak, menampilkan deretan giginya. "Leluconmu tidak lucu, Lex."

"Nyatanya kau tertawa," ledek Alexia ikut tersenyum lebar lalu beranjak dari tempat duduknya dan mengulurkan sebelah tangan ke Ryder. "Come on, Ice prince. Istirahat selesai."

"Sepertinya kau lebih kejam daripada Thomas," keluh Ryder menerima uluran tangan itu.

"I am."

###

"Lagi, Ryder," pinta Alexia menilai lompatan Ryder mulai dari satu lompatan turun ke setengah hingga seperempat. "Bahumu." Alexia mendekat saat Ryder berhenti tepat di depannya, nyaris terhuyung menabrak Alexia. 

Suasana berubah canggung ketika lelaki itu tertegun. Dalam diam, dia mencuri wangi karamel membalut tubuh Alexia. Manis. Sudut bibirnya naik, ingin sekali menyesap lebih dalam betapa legit aroma parfum yang dipakai gadis di depannya ini. Tanpa sadar, dia malas mengubah perhatiannya dari iris biru seterang laut itu. Mengamati pantulan dirinya yang bermandikan keringat juga merasakan embusan napas Alexia menerpa kulit lengannya. Hangat.

Alexia berdeham, memecah keheningan sekaligus mengembalikan fokus yang sempat buyar. Mereka berdua bergerak mundur sama-sama salah tingkah.

Gadis itu--tanpa terpengaruh oleh atmosfer tadi--memperagakan salchow; mencondongkan sedikit bahu kiri ke belakang juga mengatur lengan ke depan lalu terentang. Dia mencontohkan lompatan sekaligus putaran cepat lalu berkata, "Lemaskan bahumu, Ice prince." Dia maju dua langkah, menepuk pundak Ryder. "Lemaskan jangan tegang."

Ryder melenggut tanpa memutus tautan mata lalu tersenyum kecut. Dia yakin kalau otaknya lupa cara berkedip demi mengabadikan setiap kata dan setiap ekspresi Alexia. "Sepertinya aku harus terbiasa dengan panggilanmu ini. I'm not ice prince anymore, Sugar."

"You will be, Ryder. Try again," ujar gadis itu. "Jangan pesimis."

Kaki kanan Ryder menggambar pola lingkaran lalu menekuk lutut ke atas disusul lompatan dan berotasi cepat. Dia mendaratkan kaki kirinya dibarengi menjulurkan kaki kanan ke belakang dan tangan terentang. Gerakan salchow yang lebih mudah dibanding axel, begitu pendapat Ryder.

"Good enough. Try again, Ryder. Pertahankan posisimu jangan sampai goyah," tukas Alexia.

Lelaki itu mencoba sekali lagi dan putarannya lebih cepat dari sebelumnya. Alexia mulai menemukan keseimbangan yang dicarinya dari pertahanan kaki Ryder ketika landing. Dia tersenyum tipis, mata birunya bersinar menemukan harapan, namun tak langsung memuji karena bisa jadi hal tersebut sebuah keberuntungan saja. Ryder harus memantapkan kembali lompatannya supaya lebih tinggi.

"Bagaimana?"

"Sudah jauh lebih bagus dari yang pertama," jawab Alexia. "Teruskan latihanmu di rumah, besok kita bertemu lagi."

Alexia hendak membereskan alat-alat latihan, namun Ryder buru-buru mendekat dan merebut matras yoga yang dipegang Alexia. "Biar aku saja. Kau pergilah ganti pakaian. Thanks sudah mau menemaniku, Lex."

"Oke, jangan lupa tugasmu."

"Yes, Mam," goda Ryder mengerlingkan sebelah mata.

###

Seraya menenteng tas di bahu kanan dan membawa gelas kopi pemberian Ryder, Alexia mengayunkan kaki menuju mobil Mercedes putihnya yang terparkir di depan gedung Lee Valley. Latihan hari ini benar-benar melelahkan selepas berhari-hari hanya berbaring di tempat tidur tanpa melakukan apa pun seperti pemalas.

Di satu sisi, Alexia senang jika tidak ada dorongan dalam dirinya lagi untuk merangsang muntah. Dia menikmati makanan begitu nikmat tanpa tekanan dan bisa menjalani aktivitas lebih produktif manakala jadwal minum obat diubah ke malam hari tanpa rasa kantuk berlebihan.

Banyak rencana yang mendadak tersusun dalam kepala Alexia, termasuk mendesain kartu ucapan untuk hari Valentine tahun depan. Walau perayaan kasih sayang itu masih lama, Alexia ingin mencuri start dibanding kreator lain di situs penjualan. Ditambah dia belum sempat membuka bingkisan dari Ryder karena harus menata jadwal latihan juga menerima telepon dari Thomas.

"Hei, hei, look! That's my bitch!"

Suara renyah yang sudah lama tak didengar Alexia memaksa dirinya menoleh ke arah jam tiga. Dalam umpatan pelan, Alexia menangkap gerombolan pria berpakaian jersey sedang membawa stik hockey dan tas berwarna sama. Dia mencebik kenapa harus bertemu setelah berbulan-bulan tidak bersua.

Salah satu dari mereka yang berperawakan gagah, berambut ikal dan hitam gelap, serta iris cokelat dan sedikit jambang menghiasi rahang melempar siulan.

"Bitch? Are talking about yourself?"  Alexia menaikkan sudut bibirnya tak takut kemudian membuka pintu mobil. "Just go fuck yourself, Dickhead!"

Dia bisa mendengar sumpah serapah dari sang mantan. Alexia mengacungkan jari tengah selagi menghidupkan mesin mobil lalu menginjak pedal gas meninggalkan pria hockey di belakang.

Damn!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro