17. Small Talk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Like water in the desert, impossible to find, but you found me when I was broken.'

-Lany-

***

"Hello, Little love!" sapa Ryder begitu Alexia tiba di studio.

"Hello, Ice prince," balas Alexia menaruh tasnya di loker, menanggalkan mantel kemudian meletakkannya di sana.

Hari ini dia mengenakan setelan gym cokelat muda yang dipadankan dengan sepatu kets putih. Bagian atasan berlengan panjang model crop top, memamerkan perut rata dan pinggang yang melekuk indah. Alexia mengikat rambut panjang bergelombangnya menjadi ikatan tinggi seraya melirik ke arah Ryder. Selanjutnya mengeluarkan botol minum dan dua kotak makan dari dalam tas. Dia mencerling lagi lalu mencebik pelan mengetahui tatapan pria itu belum berpindah juga, seakan-akan Alexia adalah objek yang pas untuk diamati lama.

Selalu begitu.

Terlepas adegan ice dancing mereka di Somerset House yang kata orang begitu romantis akibat Ryder mengakhirinya dengan kecupan di dahi, Alexia berusaha bersikap biasa. Benar-benar berusaha biasa. Hanya saja Ryder menangkap betapa merah pipi Alexia kala itu. Alih-alih salah tingkah, Ryder malah terbahak-bahak sembari mencubitnya gemas.

"Freckles-mu makin imut kalau merona seperti ini," godanya.

Sial sungguh sial, ketika atensi Alexia tak sengaja mendarat ke bibir Ryder, mendadak perutnya melilit dibarengi sengatan listrik di dalam dadanya. Apakah dia sedang mengalami serangan jantung? batin gadis mencoba bersikap normal. Namun, kenapa rasanya aneh seolah-olah ada gumpalan menggelikan yang mendesak keluar dari kerongkongan. 

Tidak mungkin sensasi gila ini timbul hanya karena dia menciumku bukan? Kau bukan gadis polos berusia dua belas tahun, Lex!

"Kukira kau ke ruang ganti dulu," ujar Ryder menyandarkan tubuh ke dinding. Dia melipat tangan di dada hingga otot-otot bisepsnya menyembul bagaikan roti yang mengembang saat dipanggang. "Seperti biasanya." Sudut bibirnya membentuk seringai tipis penuh makna.

"Kukira itu bukan urusanmu," ketus Alexia melempar kotak makan yang langsung ditangkap sigap oleh Ryder. "Untukmu!" Perhatiannya pindah ke matras yoga dan beberapa alat lain yang ternyata sudah disiapkan si pria moody. "Wow, kau tampak lebih bersemangat dari yang kuingat."

"Kuanggap pujian." Ryder membuka kotak tersebut dan mendapati sebungkus protein bar rasa original dan potongan buah segar serta yogurt dalam wadah kecil. "How cute you are, Little love. Terima kasih." Dia mengedipkan sebelah mata diiringi senyum merekah bagaikan anak-anak memperoleh hadiah dari santa.

"Jangan percaya diri, Ryder. Itu agar kau tidak mengalami hipoglikemia," kilah Alexia menaruh botol dan kotak makannya di atas kursi. Memang benar kan? Dia membawakan Ryder makanan supaya selepas pemanasan neraka ala Alexia tidak menyebabkan kadar gula pria di sana turun drastis bukan karena ada maksud tersembunyi. "Bukan karena aku peduli," imbuhnya agar Ryder tidak menaruh ekspektasi lebih.

"Baiklah." Ryder memilih mengalah daripada harus adu mulut dengan si keras kepala. Dia menempatkan kotak berwarna pink menyala tersebut di samping botol minum Alexia.

Mereka berdua melakukan pemanasan lantas Alexia menoleh ke arah Ryder dan berkata, "Aku sudah lima kali membaca novel yang kau beri."

Seketika bola mata Ryder membulat tak percaya. "Serius? Bagaimana menurutmu? Gila kan? Aku saja sampai merinding."

Alexia terkekeh seraya meregangkan tangan ke depan dan membungkukkan badan. "Benarkah? Well ... ya, female lead yang buat aku tidak habis pikir dengan cara dia melakukan pembunuhan. Ya ampun ... sekejam apa pun dia, ternyata bisa jatuh cinta pada pria yang memburunya sebagai buronan kelas kakap."

"Cinta tidak mengenal pandang bulu, Little love," komentar Ryder membuat Alexia tertegun agak lama.

Kenapa dia suka sekali memanggilku seperti itu? batinnya mendengus sebal.

"Awalnya aku berpikir kalau seharusnya female lead dihukum setimpal, tapi ... menilik lagi kejadian-kejadian yang menimpanya mulai diperkosa, disiksa, keluarganya tewas membuatku setuju kalau seharusnya penjahat di muka bumi diadili sendiri," sambung Ryder menggebu-gebu.

"Kau seolah-olah meragukan hukum," kritik Alexia kini mendudukkan diri dan meluruskan kaki kemudian menyentuh ujung jempol kakinya.

Ryder menirukan Alexia. "Kau paham kan kalau tidak semua hukum di dunia ini adil, Lex. Banyak yang bobrok hanya karena disuap uang."

"Astaga ... seharusnya kau jadi hakim bukan skater, Ryder," ledek Alexia terkikik geli. "Mulutmu lebih jago daripada kakimu."

Ryder menggeleng cepat tidak tersinggung atas ledekan Alexia. "Kalau aku jadi hakim, aku tidak akan pernah bertemu denganmu, Little love." Dia mengerlingkan mata ke arah Alexia yang menatapnya penuh arti. "Ayo, sit ups bersama. Kemarikan kakimu."

"Cara merayumu sangat klise," ejek Alexia tak menolak permintaan Ryder. Dia memposisikan tubuhnya berhadapan dengan lelaki itu, saling mengunci kaki agar tak goyah saat Ryder berucap,

"Aku hanya ingin dekat denganmu, Little love," tutur Ryder tanpa basa-basi.

"Jangan memanggilku seperti itu, Ryder," balas Alexia mulai melakukan gerakan melatih otot perut. "Kita hanya partner. Tidak ada panggilan seperti itu di antara kita, oke. Kau buat aku merinding setengah mati!"

"Payah! Santailah sedikit, Lex! Apa kau tidak bisa meromantisasi sebuah pertemanan antara pria dan wanita?" protes Ryder ikut-ikutan emosi. Padahal selama ini belum pernah ada gadis yang menolak panggilan sayang untuk mereka. Apa salahnya coba?

"Yang kutahu meromantisasi hubungan seperti itu bisa merusak segalanya. Aku tidak setuju," bela Alexia masih tak terima.

Dasar aneh! batin Ryder enggan membalas teori perteman dalam kepala Alexia. Namun, dia bisa menilai kalau gadis itu mungkin terlalu kaku dalam menyikapi hubungan. Mungkin inilah yang menyebabkan hubungan Alexia kandas.

Tidak ada yang membuka obrolan lagi selepas perdebatan kecil itu. Namun, diam-diam saat sama-sama dalam posisi duduk, mereka saling mengunci tatapan. Ketegangan yang tadinya mulai pudar kembali mencuat membuat waktu bergulir lambat. Tanpa disadari, mereka membuka momen-momen manis di Somerset House. Bagaimana mereka tertawa, berbicara banyak hal termasuk mengomentari makanan menirukan food blogger hingga menari yang diabadikan kamera ponsel pengunjung.

Di satu sisi, Alexia tidak akan menyangkal bahwa Ryder benar-benar memikat. Lihat saja dia, warna kulit tan eksotis yang sangat kontras dari kulit Alexia yang cenderung putih pucat. Dia merasa seperti kopi-susu bila berdekatan seperti ini. Belum lagi, iris hijau gelap penuh rahasia yang dipayungi bulu mata lentik walau tidak terlalu tebal, tubuh kekar juga dada bidang disusul batang hidung tinggi bagaikan pria-pria Yunani. Ya ampun ... seperti inikah wujud manusia maskulin sesungguhnya?

Hold on! Alexia memicingkan mata mengamati lebih teliti sesuatu di telinga kanan Ryder.

Apakah itu bekas tindik? Sejak kapan dia menindik telinganya?

Tapi, hal itu tidak terlalu kentara bila dilihat dari jauh. Oke, pandangan Alexia berlanjut ke arah pahatan rahang tegas Ryder yang sialan ingin Alexia sentuh. Kecuali bagian rambut. Entah kenapa Alexia tidak seberapa suka model potongan Ryder yang terkesan setengah botak setengah tidak. Tapi, kenapa semakin lama dilihat, gaya rambut itu semakin cocok? Alexia mendecih dalam hati seraya merutuk, apakah ini yang namanya love-hate relationship?

"Kau kenapa?" tanya Ryder menangkap gelagat Alexia. "Sedang mengagumi wajah tampanku dari jarak sedekat ini, Little love?"

"Ryder ... please don't fucking call me like that," ketus Alexia memutar bola mata. 

"I. Don't. Fucking. Care. Little love." Ryder menjulurkan lidah tak takut. "Kau saja memandangiku terus, kenapa aku tidak boleh memanggilmu sesuka hati?" kilahnya membela diri.

"Hanya berimajinasi tentang kepalamu yang seperti diolesi cokelat cair," jawab Alexia asal. "Kenapa tidak sekalian botak saja?"

Mau tak mau Ryder terbahak-bahak mendengar lelucon yang sama sekali tak lucu. Sialnya, dia tidak bisa menghentikan tawa kala Alexia berdiri dan mengambil tali skipping. "Ya Tuhan, baru kali ini ada gadis berkomentar seperti itu. Ini namanya gaya buzz, mereka bilang cocok dengan bentuk mukaku. Kau lebih suka aku gondrong?"

"Tidak juga," cetusnya. "Kenapa pula aku harus peduli dengan rambutmu?"

Selesai latihan pemanasan, Ryder menunjukkan peningkatan lumayan pesat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Dia sendiri juga heran mengapa baru hari ini segalanya terasa begitu mudah bahkan tanpa beban yang melingkari kakinya. Dia tersenyum puas kala berhasil melakukan semua lompatan, kecuali triple axel akibat tergelincir. Baginya, itu bukan masalah besar. Bagian tersebut masih bisa diasah kan?

Alexia bertepuk tangan begitu bangga. "Kakimu rupanya sudah tidak amnesia lagi," pujinya saat Ryder berhasil menyelesaikan lompatan triple lutz  tanpa terjatuh. "I'm proud of you, Ice prince."

Lelaki itu terengah-engah, mengumpulkan segenap udara tuk memenuhi rongga dada. Dia mengangguk cepat menerima apresiasi atas usahanya ini. Oh sial! Kenapa tidak sedari dulu saja Alexia datang? pikirnya menyesali kenapa harus mengurung diri sampai tiga tahun. Dasar idiot!

"Hei, mau merayakannya bersama?" ajak Ryder ingin memberikan imbal balik yang setimpal.

"Kau mengajakku makan siang?" tanya Alexia menunjuk batang hidungnya.

"Kenapa tidak?" balas Ryder. "Aku menemukan kepercayaan diriku berkat dirimu. Lagi pula, aku yakin kau punya banyak hal untuk dibicarakan masalah buku kan? Perlu kutelepon Thomas?"

Ah benar. Buku, latihan, dan Thomas. Kenapa kepalaku justru memikirkan hal-hal yang menjijikkan? pikir Alexia.

"Oke. Tapi, jangan telepon Thomas. Besok kita akan latihan di ice rink karena kau sudah siap, Ice prince."

###

Tak jauh dari studio latihan Lee Valley terdapat sebuah restoran Cina yang terkenal dengan olahan bebek peking yang belum pernah Alexia coba. Maklum saja, dulu selama di bawah didikan Thomas, banyak hal yang dibatasi semata-mata demi mempertahankan bobot tubuh. Sekarang, ketika perasaan tertekan itu sirna, tentu saja Alexia mengiyakan ajakan Ryder.

Sesampainya di sana, mereka disambut ramah oleh pelayan berwajah oriental dan langsung menggiring ke meja yang masih kosong. Sementara pandangan Alexia mengedar ke sekeliling mengamati lebih dalam interior restoran bernuansa klasik tapi terkesan mewah. Semacam gaya western dan Asia yang dibaur jadi satu.

Dinding-dindingnya berwarna cokelat keemasan berhias ornamen rumit khas Tiongkok, contohnya ukiran dark oak di partisi ruangan. Ada juga gambar naga bercat putih di belakang meja kasir. Mungkin sebagai lambang keberuntungan, pikir Alexia.

Di satu sisi, lampu-lampu penerangan dominan berbentuk lampion merah senada dengan kursi-kursi empuk yang diduduki pelanggan di sini. Meja-meja berpelitur cokelat gelap dipenuhi makanan Cina. Tidak ada itu, terdapat area bar berwarna biru langit lengkap bersama botol-botol minuman beralkohol beraneka merek berjejer rapi di dalam rak dan tentunya berkelas.

Mereka mendudukkan diri di kursi dan saling berhadapan lantas menerima buku menu yang diberi pelayan. Alexia melirik Ryder dan bertanya,"Mana yang enak?"

"Kau belum pernah makan masakan Cina?"

Alexia menggeleng pelan. "Just give me your best recommendation."

"Oke. Kami memesan menu yum cha set," kata Ryder. "Thanks!"

"Baik. Mohon ditunggu." Pelayan pun bergegas meninggalkan Ryder dan Alexia untuk menyiapkan pesanan mereka.

"Apa itu yum cha set?" tanya Alexia tak paham. "Aku seperti sedang membaca mantra Cina."

Mau tak mau Ryder terkekeh. "Aneka dim sum, semacam pangsit dari Tiongkok yang mesti kau coba. Mereka punya banyak macam sehingga kita bisa merasakan berbagai sensasi rasa. Mereka punya sup pangsit dan sudah termasuk dalam yum cha set."

"Sepertinya kau sering ke sini," komentar Alexia menopang dagu dengan tangan kanan, penasaran hal apa lagi yang belum diketahuinya mengenai Ryder.

"Lumayan," ucap Ryder mengitari sekeliling lalu kembali menatap Alexia lekat-lekat. "Setidaknya tiga tahun lalu sebelum kecelakaan. Sekarang tempat ini banyak yang berubah."

"Termasuk dirimu?" Alexia memelankan suara sekaligus memajukan tubuhnya, memerhatikan raut Ryder yang terkikik tanpa tersinggung sama sekali.

"Semua orang berhak berubah, Lex," kata Ryder ikut-ikutan berpose seperti Alexia. Iris mata hijau gelapnya bercahaya mengamati secara teliti bintik-bintik cokelat muda di pipi si pirang. Menggemaskan. "Jadi, penulis mana yang sedang kau gilai karyanya?"

"Banyak, aku sampai bingung bila kau menyuruhku menyebutkan lima penulis teratas. Tapi, sekarang aku sedang menggilai karya Tijan, Lana, H.D. Carlton, Colleen Hoover, Lauren Asher, atau Ana Huang."

"Kau baca seri Haunting Adeline? Jangan bilang kau mengkhayal seseorang menguntit dirimu dan mengirim potongan tangan pria lain atas dasar cemburu," terka Ryder membuat bola mata Alexia membulat antara terkejut sekaligus kagum.

"Hei, aku tidak meromantisasi tindakan kriminal itu, Ice prince. Hanya saja dari sudut pandang lain, bukankah Zade menunjukkan betapa Cinta dirinya kepada Adeline? Gadis itu teritorialnya."

"Dengan memperkosa Adeline dan memotong tangan pria lain? Kurasa tidak, Little Love. Kenapa kalian para gadis terobsesi pria yang jelas-jelas redflag seperti itu? Aku masih belum paham."

Alexia memajukan bibir seraya berpikir tentang jawaban yang kiranya pas ditujukan ke Ryder. Tanpa disadari olehnya, arah pandang Ryder malah tertuju ke lekukan bibir Alexia yang dipulas lipstik merah muda. Dalam hati, dia membayangkan andai kata bisa mencicipi sedikit sensasi bibir penuh itu membelai bibirnya.

"At least, they aren't cheater. Kebanyakan wanita menyukai tantangan daripada pria baik-baik ternyata bajingan," jawab Alexia. "Maksudku, wanita-wanita juga perlu menguji seberapa serius perasaan pria kepada mereka. Seringkali kalian hanya mempermainkan kami dan... kau tahu, obsesi pria-pria fiksi mengobati rasa sakit hati para wanita di dunia nyata. Pada dasarnya kalian para pria tidak pernah sedikit pun bisa memahami kami dan selalu menilai kami rumit. Padahal kalian sendiri yang tidak peka. Satu hal lagi, kebanyakan pria itu suka mendua. Aku paling benci hal itu."

"Begitukah?" Ryder menelengkan kepala. "Kami bukan cenayang, Sugar. Kalian tinggal bilang mau apa dari kami. Gampang kan?"

"Kau tidak paham gengsi?"

"Astaga ..." Ryder terbahak-bahak. "Apa itu termasuk kau sendiri, Little Love?"

Ya ampun ... 

"Terserah kau saja panggil aku apa,"gerutu Alexia mengibarkan bendera putih. "Memangnya kau mau mengurai teka-teki kerumitan hati gadis-gadis?" tantangnya melempar senyum penuh arti. 

"Kalau itu berkaitan denganmu, kurasa aku bisa, Little love," goda Ryder mengedipkan sebelah mata.

Karena aku juga suka tantangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro