19. Gossip

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Call me when you get the chance. I can feel the walls around mes closing in.'

-Sleep Token-

***

Ryder memasang airpods di telinga seraya bersiul mendengar dentuman drum yang dimainkan salah satu anggota Sleep Token. Dia berjalan keluar dari ruang ganti setelah berbincang bersama Thomas mengenai latihan besok yang diadakan di studio. Usai menemukan sinkronisasi gerakan di atas es, Ryder berpendapat kalau Alexia perlu mengasah lift twist yang sering dilakukan oleh pemain skater berpasangan. Thomas setuju dan langsung menyusun detail-detail poin sembari memuji kalau Ryder benar-benar berubah.

"Tentu saja aku berubah, Tom. Memangnya kau mengharapkanku seperti dulu?" ucap Ryder membanggakan diri. "Sudahlah, mumpung moodku sedang bagus, jadi kau manfaatkan saja kesempatan ini."

Ekor mata Ryder tak sengaja memergoki sosok Alexia tengah berdiri membelakangi mobil Mercedes seraya menelepon seseorang. Refleks Ryder menurunkan volume musik tuk mencuri-curi pendengaran meski tidak semuanya tertangkap jelas. Dia mengendap-endap mendekati motor sport yang terparkir tak jauh dari posisi kendaraan Alexia, berharap gesekan sepatu boots di atas salju tidak membuyarkan percakapan Alexia yang sangat ingin Ryder cari tahu.

Bukan tanpa alasan, melainkan sikap dingin Alexialah yang membuatnya dilanda penasaran setengah mati. Menggugah jiwa detektif Ryder untuk mendapatkan jawabannya sampai ke akar-akar. Sebelum resmi dipasangkan dengan gadis itu, Ryder menyelidiki seluruh latar belakang Alexia dan menurutnya tidak ada yang bisa menjadi dasar gadis itu tiba-tiba diam seribu bahasa.

Kekasih? Alexia tidak punya dan terlihat tidak tertarik menjalin hubungan selepas memergoki mantannya berselingkuh. Teman? Hubungannya bersama tiga gadis di Golden Skate tampak baik-baik saja bahkan dia melihat postingan Norah di Instagram di mana Alexia mengacungkan botol bir dengan pakaian seksi. Keluarga? Dia hanya tahu orang tua gadis itu telah berpisah delapan tahun lalu dan ...

Adiknya? 

Sejurus kemudian, Ryder seperti menemukan benang merah. Walau tak yakin, bisa saja kebisuan Alexia seharian ini berhubungan dengan adiknya. Ryder pernah mengintip media sosial adik lelaki Alexia dipenuhi tulisan-tulisan yang menunjukkan bahwa dunia tidak pernah baik padanya. Awalnya Ryder menganggap coretan itu sebatas ungkapan anak baru menginjak usia dua puluhan yang masih terombang-ambing mencari identitas diri.

"Mom, aku tidak bisa diam begitu saja tanpa melihat kondisinya secara langsung. Please mengertilah!" Nada bicara Alexia terdengar memelas menimbulkan kerutan dalam di kening Ryder.

Kondisinya siapa? Apa ini tentang adiknya? batin Ryder dibalut jutaan tanda tanya.

"I don't fucking care, Mom!" gertak Alexia menyugar rambutnya kesal. "Aku akan datang besok!" putusnya mematikan sambungan telepon berbarengan seorang pria berambut ikal memakai jaket puffer hitam memanggul stik hockey di bahu kiri.

Di sebelah pria itu ada seorang gadis bergincu merah yang benar-benar tidak menunjukkan usia sesungguhnya. Bahkan terkesan seperti pelacur sedang menjajakan tubuh di siang hari. Mereka bergandengan mesra sekaligus pamer ciuman panas saat melintas di depan Alexia.

"Hei, Bitch!" sapa Elliot. 

"Oh hei, Dickhead," balas Alexia begitu tenang. "Masih betah menikmati bekasku, Asshole?" sambungnya kepada gadis di sebelah Elliot.

Ryder membelalakkan mata seraya tersenyum tipis mendengar ejekan yang dilontarkan ke lelaki berambut ikal di sana. Benar-benar seperti melempar kotoran sapi tepat di muka. Apalagi nada bicara Alexia jauh berbeda dibanding saat menelepon dengan ibunya. Suaranya sensual nan menggoda namun bisa menyudutkan lawan bicara.

"Oh come on, padahal dulu kau begitu memujaku, Lexi," ujar Elliot penuh percaya diri.

Alexia mendecih, melipat kedua tangan di dada. "Well... waktu itu aku agak buta, Elliot. Hei, Ashley, ingatkan kekasihmu untuk bayar hutang padaku. Ehm ... dua ribu poundsterling, benar kan Elliot?"

"What?" Gadis di samping Elliot menganga.

"Jadi tim hockey tak lantas membuatmu kaya huh? Ups, bangku cadangan," sindir Alexia menutup mulutnya selagi tertawa mengejek.

"What the fuck!" Elliot terpancing emosi lantas mengarahkan sebelah tangannya ke udara hendak memukul Alexia.

Buru-buru Ryder datang dan mendaratkan tinju tepat ke rahang kanan lelaki angkuh tersebut. Elliot jatuh tersungkur, sementara Ashley menjerit ketakutan dan berseru,

"How dare you!"

"Sorry, tanganku agak gatal," jawab Ryder tersenyum puas. "Lega rasanya bisa memukul orang lagi. Mau kupatahkan hidungmu juga, Bung?"

Elliot membuang ludah, merasakan nyeri di pipi seraya bangkit dari posisinya. "Oh, rupanya kau si pecundang yang baru bangkit dari kematian? Apa hidupmu sudah tenang, Bung?"

Tahu arti di balik ejekan Elliot, Ryder kembali menghantam wajah lelaki itu sampai darah keluar dari lubang hidungnya. Dia menarik kerah jersey Elliot lalu menghardik, "Jangan sok tahu kehidupanku, Elliot! Kau tahu? Seharusnya mereka mendepakmu, pembawa sial!"

Elliot hendak membalas bogeman Ryder namun tangannya tertahan oleh seruan Alexia.

"Sudah, sudah!" Alexia menarik bahu Ryder menjauh. "Pergilah sebelum aku mencabut paksa rambutmu, Ashley," pintanya kepada pacar Elliot.

"Come on, Honey," kata Ashley menarik paksa lengan Elliot pergi dari hadapan Alexia juga Ryder.

Setelah dua makhluk yang sangat tidak ingin ditemui Alexia pergi, dia berpaling ke arah Ryder. "Kupikir ini bukan urusanmu dan jangan sok pahlawan di depanku, Ryder."

Ryder menjilat bibir bawahnya, berkacak pinggang tak suka akibat cara bicara Alexia yang kembali ketus. "Kupikir seharusnya aku menerima ucapan terima kasih."

"Aku tidak butuh bantuanmu, Ryder!" Alexia membuka pintu mobil tanpa menunggu tanggapan Ryder. Dia menyalakan mobil dan menginjak gas kuat-kuat untuk mendinginkan kepalanya yang berasap. 

###

Ryder melambaikan sebelah tangan sembari menyunggingkan senyum lebar saat beberapa pria duduk mengelilingi meja bundar di Sky Pod--salah satu bar mewah berkonsep rooftop yang menyajikan lanskap London. Dinding-dinding kaca tebal serta lampu-lampu menggantung rendah serta bentuk bagian atap yang melengkung dramatis membuat langit di atasnya seakan-akan bisa disentuh. Di luar sana salju turun cukup deras sehingga Ryder terpaksa mengendarai mobil Bentley Continental daripada motor sport miliknya.

Pengunjung di bar ini tentunya banyak mengingat setiap meja harus dipesan sebelumnya. Beruntung Ryder mendapat semacam golden ticket karena menjadi salah satu investor bersama Lucas, sehingga tak perlu bersusah payah berebut meja.

Begitu sampai di tempat yang dituju, Ryder disambut antusias oleh pria-pria bergaya fashionable yang sudah lama tak ditemui sejak kecelakaan yang melibatkan Cherry. Mereka adalah teman-teman dekatnya di Golden Skate.

Ryder membalas uluran tangan sekaligus menerima ucapan selamat atas comeback usai tiga tahun hiatus kemudian mendudukkan diri. Tak lama pelayan datang dan Ryder langsung memesan sebotol wiski Jhonnie Walker Blue Label sekaligus beberapa macam makanan pendamping seperti zaitun petite leques bertekstur lembut dan padat mirip daging, ada juga keju dalam potongan kecil, kacang-kacangan sampai beetroot gravlax berupa hidangan salmon yang diawetkan dengan buah bit, garam, gula juga lemon sehingga rasanya lebih manis juga sedikit asam.

"Hey, man ... akhirnya kita bertemu lagi," kata Freddie menepuk-nepuk bahu Ryder bangga. "Terakhir kali waktu datang ke pertandingan hockey wajahmu tidak sesumringah seperti ini."

"Karena sudah lama pula aku tidak keluar kandang, man," ungkap Ryder. "Thanks for coming."

"Jadi, bagaimana kesanmu berpasangan dengan Alexia?" sahut Albert--pria berambut pirang nan keriting yang dibiarkan tergerai sebahu. "Kami iri padamu, Bung." Dia menyikut Steve sambil menaik-turunkan alisnya.

Ryder melenggut. "Tidak ada yang istimewa. Sama saja seperti yang lain. Ada beberapa sisi di mana kami tidak cocok dan dia agak cerewet. Lumayan cerewet malah. Sudahlah, jangan bicarakan dia. Ini malam para bujangan, man," elaknya mengalihkan topik obrolan karena tidak ingin mengingat sikap kasar Alexia. Dia berusaha peduli dengan membela gadis itu depan sang mantan tapi yang diterima justru sebaliknya.

Mereka bersulang, meneguk bergelas-gelas wiski seraya bertukar cerita terutama pekerjaan juga kompetisi yang akan dihadapi atlet skating. Pembicaraan itu juga mengenai sedikit-banyak masalah percintaan yang selalu mengandung plot twist tak terduga, misal hubungan terselubung antara atlet skating dengan pelatihnya yang memiliki jarak usia terlampau jauh atau skandal doping yang sempat menggegerkan liga internasional dua bulan lalu sehingga terpaksa di diskualifikasi.

Ryder menghabiskan gelas ketiganya kemudian mendesis merasakan sensasi minuman alkohol itu menggoda lidah juga kerongkongan. Dia tidak menyela saat Steve--si mata biru berambut pirang--membahas mengenai putusnya hubungan Alexia dan Elliot. Masalah tersebut sempat ramai diperbincangkan di media sosial sebab sikap bak pahlawan Alexia yang melempar air bekas pel kepada mantan kekasih dan dibalas belasan prestasi di bulan-bulan berikutnya.

"Tapi, bila aku jadi Elliot pun mungkin akan melakukan hal yang sama," imbuh Steve. "Tidak ada lelaki yang bakal betah menghadapi sikapnya yang berubah-ubah. Satu hal lagi, dia tidak romantis dan kaku, man. Entah kenapa banyak pria yang justru mengincar gadis itu terlepas dari kepopulerannya."

"Benarkah?" sahut Ryder memicingkan mata. "Bukannya kau dulu naksir berat padanya?" ledeknya dibalas gelak tawa.

"Dulu iya. Bagaimana tidak naksir, man, Alexia menanggapi semua pesanku pakai emotikon hati. Kata-katanya membuatku sakau, seolah-olah kami telah diikat oleh gairah," jelas Steve kemudian memajukan posisi tubuhnya. "Ketika aku bertanya tentang status hubungan kami ... kau tahu apa jawabannya?"

"Tidak," jawab Ryder membuat Steve memutar bola mata.

"Aku tidak pernah mengatakan cinta padamu, Steve. Kenapa kau berpikir aku menyukaimu?" kata Steve meniru kalimat Alexia yang terpatri dalam ingatan. "Fuck ... aku marah, man. Lantas, apa arti emotikon hati baginya? Dengan mudahnya dia bilang hubungan kami tidak jauh dari kata teman sedangkan dia sering membalas pesanku begitu mesra." Steve menenggak minumannya sambil geleng-geleng kepala. 

"Ya ya ya, aku paham kalau kau langsung mengira dia suka padamu," timpal Freddie menepuk-nepuk bahu Steve tuk memberi kesabaran. 

"Jangan lihat aku seperti lelaki payah!" sungut Steve menepis tangan Freddie. "Intinya, sangat sulit mendapatkan hati gadis itu, Ryder. Dia bisa ramah dan bisa cuek dalam waktu bersamaan. Aneh bukan?"

"Ya, memang aneh untuk seseorang yang tidak bisa mendapatkan hatinya, but i did it well," ujar Ryder penuh percaya diri. "Kau harus sedikit pintar darinya, man, dia gadis ambisius gila prestasi. Kecuali bagian dia tidak mau dipanggil dengan panggilan sayang."

"Really?" Freddie menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya gadis-gadis juga punya panggilan sayang sendiri?"

"Itu yang kumaksud. Tapi, dia tidak mau, man. Ya ampun ... dia bilang tidak meromantisasi panggilan itu dalam pertemanan pria dan wanita," terang Ryder geleng-geleng kepala.

"Kau tidak menangkap sinyalnya, Bung?" timpal Albert menuang botol wiski ke dalam gelas kristal. "Bisa jadi dia takut terbawa perasaan. Lagi pula, banyak gadis yang salah mengartikan sikap manismu kepada mereka. Kau bercermin dululah, Ryder."

"Oh ya?" Ryder tercengang atas penilaian temannya. "Aku tidak pernah merasa seperti itu, Dude. Berarti salah mereka sendiri kenapa terlalu menaruh harapan padaku."

"Ya ampun, ternyata kau ini cerminan Alexia kalau kuperhatikan," ledek Steve. "Membalas gadis-gadis lalu mencampakkannya dengan alasan kita hanyalah teman, Sayang."

Candaan itu membuat mereka terbahak-bahak. Ryder merasa tidak tersinggung justru baru tahu kalau sikapnya disalah artikan oleh banyak perempuan. Pantas saja dulu Cherry sering marah-marah bila Ryder terlalu sering mendekati gadis-gadis di Golden Skate. 

"Tidak, jangan samakan aku dengan Alexia," kilah Ryder. "Dapat perhatiannya saja untung-untungan."

"Hei ... kau bilang tidak mau membicarakan Alexia, sekarang justru membanggakan diri berhasil memperoleh perhatiannya," ejek Freddie. "Hei, kudengar kau memukul Elliot. Kau benar-benar gila, Bung."

"Refleks saja, Bung." Ryder tersipu malu. 

"Refleks atau sengaja kau memancing perhatian gadis itu, huh? Akui saja, man," goda Steve. 

"Aku tidak berbohong, Steve. Lagi pula tindakanku sebatas membelanya sebagai tim yang dihina Elliot. Apa lagi memang?" kata Ryder tak ingin disalah artikan lagi. "Kuakui dia memang hebat, aku butuh dia jadi partnerku, man."

"Lama-lama jadi partner tidur," sahut Albert dibalas gelak tawa.

"Elliot bilang yang memantik masalah adalah Alexia, sehingga dulu dia cari pelarian," tutur Steve meneguk minumannya sampai habis. "Dan bertemulah dengan Ashley."

"Astaga, omongan pecundang kalian percaya? Sekali pria berselingkuh, mulutnya bakal pandai bersilat lidah agar tak terlihat bersalah. Mereka butuh cermin supaya sadar kalau kelakuan merekalah yang membuat perempuan bersikap dingin," komentar Ryder geleng-geleng kepala.

"Tapi, bukankah wanita memang rumit?" timpal Albert. "Kau tahu gadis yang terakhir kali kukencani? Hari ini kami bersenang-senang seperti manusia dibakar gairah, besoknya dia berlagak seperti orang asing."

"Berarti kau bukan tipenya," canda Ryder. "Jalan pikiran wanita bisa ditebak asal kau bisa memenangkan hatinya dulu bukan tubuhnya, Dude."

"Ya, kau benar." Albert mengacungkan gelas dan mereka kembali bersulang.

"Kau sendiri? Apa ada gadis yang menggetarkan hatimu selain partnermu di skating?" tanya Freddie ke Ryder. "Sorry, Dude. But you deserve better, hidup tidak hanya berjalan di satu tempat saja apalagi setelah musibah yang kau alami."

Yang ditanya terdiam sesaat, menciptakan keheningan sebelum tawa Ryder pecah. Dia menuang wiski ke dalam gelas kristalnya lalu berkata, "Tidak ada waktu, Man, tujuan utamaku adalah kompetisi. Kutegaskan, Alexia adalah partner skating, tidak lebih dari itu."

"Artinya kau menutup hati?" tanya Albert.

"Tidak juga," elak Ryder.

"Mau kukenalkan ke seorang gadis?" tawar Steve. "Namanya Rebecca, adiknya seorang atlet pairs ice dancing tapi beda klub dengan kita. Aku sering bertemu dengannya di Lee Valley."

"Boleh saja, aku menerima banyak pertemanan," canda Ryder. "Come on, kita bersulang lagi!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro