21. Black Pearl

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

''If this is love I don't want it. All my friends keep saying that I'm way too good to you.'

-Lany-

***

Alexia keluar dari ruang ganti selepas latihan twist lift yang sangat melelahkan. Namun, keletihan yang dirasakan fisiknya tak berarti dibandingkan kondisi sang adik yang masih dirawat di salah satu rumah sakit di Wiltshire. Dia telah bertekad saat Jhonny pulih nanti, Alexia akan membawanya ke London bagaimana pun caranya daripada harus terkurung dalam satu rumah bersama sang ibu dan neneknya. Lagi pula Alexia tahu tempat rehabilitasi yang punya fasilitas lebih mumpuni. Di lain sisi, bukan perkara adiknya membenci mereka melainkan perpisahan tak menyenangkan yang terjadi di antara Nancy dan Maxwell--mantan suami sekaligus ayah Alexia juga Jhonny.

Walhasil, Jhonny yang masih remaja dan tengah mencari jati diri terombang-ambing oleh kenyataan pahit bahwa suasana rumah tak lagi penuh cinta. Dia yang masih belum paham bahwasannya rumah tangga bisa retak hanya karena kehadiran orang ketiga. 

Pertengkaran demi pertengkaran harus diterima di depan mata manakala Maxwell dengan penuh percaya diri menyatakan tak lagi menaruh hati pada Nancy. Dia memilih seorang wanita bernama Emmie--guru Matematika di Sheldon school yang satu tempat kerja dengan Maxwell. Pertemanan berujung cinta lokasi menghancurkan kehidupan bahtera rumah tangga Nancy dalam satu malam.

Tak berapa lama iPhone Alexia berdering selagi dirinya keluar ruang studio. Dia merogoh benda tersebut dari dalam tas dan menjawab panggilan dari ibunya kemudian bertanya,

"Bagaimana keadaannya, Mom?"

Alexia menghentikan langkah, meremas dada yang terasa ngilu sebab belum siap menerima kabar buruk yang kemungkinan besar bisa terjadi pada Jhonny. Sialnya, waktu serasa bergerak lamat manakala Nancy tak kunjung memberi tanggapan. Alexia menengadahkan kepala merasa udara di sekeliling mendadak menipis dalam hitungan detik hingga timbul bulir kristal bening di pelupuk mata.

"Dia baik-baik saja," jawab Nancy. "Baru siuman. Kau tak perlu khawatir, Lex."

Seketika jantung Alexia langsung ingat bagaimana caranya berdetak mendengar penuturan Nancy. Tungkainya nyaris meleleh membayangkan bila Jhonny mengalami kritis seperti yang dialami beberapa waktu lalu.

"Oh ... Jesus, terima kasih," ujar Alexia mengusap wajahnya terharu.

"Ayahmu semalam datang begitu mendengar kabar Jhonny masuk rumah sakit," sambung Nancy menimbulkan kerutan dalam di kening Alexia. "Tapi, aku menyuruhnya melihat dari jauh."

"Apa?"

"Well... Mom mengabarinya, Lex. Begitu datang, ayahmu terlihat sangat khawatir," ujar Nancy. "Dia ... tampak bersalah."

"Setelah delapan tahun? Dia baru sadar kelakuannya itu salah?" sungut Alexia melanjutkan perjalanannya menuju parkiran mobil. "Sebanyak apa pun dia datang dan bersimpuh memohon ampun, tidak bisa mengembalikkan kondisi adikku seperti dulu, Mom!"

"Aku tahu, Lex. Tapi, dia tetap ayah Jhonny. Ayahmu." Nada bicara Nancy terdengar pasrah sekaligus bingung harus menanggapi ucapan anak sulungnya di saat segalanya benar. "Mom hanya merasa bahwa kalian bertiga harus berdamai dengan keadaan."

Tidakkah ibunya sadar kalau tindakan Jhonny seperti ini sebagai bentuk kekecewaannya terhadap keputusan Maxwell meninggalkan Nancy dari rumah? Bahkan malam itu, dikala esoknya ulang tahun Jhonny, Maxwell hengkang dengan alasan Emmie telah mengandung anak mereka. Sekarang setelah sekian tahun berlalu, ayahnya datang atas undangan sialan Nancy dan memohon ampun begitu mudah? Apakah dia sudah tak waras?

"Aku sudah tidak menganggapnya ayahku, Mom," putus Alexia menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak meneteskan air mata. Suaranya bergetar tak ingin memutar ulang kilasan perpisahan menyakitkan kedua orang tuanya, di mana hakim mengetok palu tanda resminya mereka bercerai. "Ah, akhir pekan aku pulang. Seminggu ini aku harus latihan. Tom memberiku banyak catatan."

"Benarkah? Jadi, kau kembali bermain bersama Ryder?" Nancy mendadak antusias dan melupakan obrolan menyedihkan mengenai rumah tangganya yang retak bertahun-tahun lalu. 

Alexia membuka pintu mobil bersamaan Ryder tengah bersandar di motor sport miliknya. Dia melambaikan tangan seraya menyeringai membuat Alexia memutar bola mata.

"Ya, begitulah. Banyak kesalahpahaman di antara kami. But, we're fine right now," kata Alexia. "Mom, aku pergi dulu ya. Nanti kutelepon lagi."

Tak perlu menanti ibunya memberi tanggapan, Alexia langsung memutus sambungan telepon berbarengan Ryder menghampirinya dan berkata,

"Hei, Little love."

Entah kenapa sematan yang ditujukan padanya mendadak menimbulkan sensasi aneh yang tidak bisa didefinisikan Alexia. Padahal sudah berulang kali dia ingatkan agar Ryder tidak memanggilnya seperti itu, tapi yang ditegur bebal minta ampun dan terkesan pura-pura tidak mendengar. 

Ditambah saat jeda istirahat tadi, Ryder nyaris memantik gairah yang sudah lama tak dirasakan Alexia semenjak putus dari Elliot. Bagaimana lelaki itu begitu dekat dengan wajahnya. Bagaimana tubuh berbau campuran leather, vanila, karamel, dan tonka yang terkesan misterius terendus di hidung. Menggoda Alexia tuk menyesap lebih dalam selagi menerka ulang merk mana yang menjadi favoritnya. Belum lagi aroma nafas mint dari odol menerpa pipi juga bibirnya... juga iris hijau gelap yang selalu menatapnya penuh makna.

Dan suaranya... Suara serak, kasar, dan berat di telinga. Bagaimana bila dia meneriakkan namaku saat...

Alexia menggeleng cepat, menepis pikiran kotor yang diam-diam memenuhi sel otaknya. Oh sial! Apakah dia akan melewati batas yang sudah ditetapkannya sendiri? Tidak mencampur adukkan pekerjaan dengan urusan pribadi.

"Ya?" Sebisa mungkin Alexia menanggapi panggilan Ryder dengan nada datar supaya terkesan normal. Menetralkan air muka agar tidak kentara bahwa pesona lelaki itu makin ke sini makin menggetarkan lubuk hatinya yang dipenuhi sarang laba-laba. "Kukira kau sudah pulang."

Ryder menggeleng pelan, berdiri begitu menjulang dan Alexia hanya sebatas pundaknya yang kokoh. "Aku menunggumu."

What?

Lelaki berambut nyaris botak menurut sudut pandang Alexia, menyudutkannya ke mobil lalu mengurung di antara kedua lengan. Dia merendahkan pandangan lalu berbisik, "Kau ada waktu malam ini?"

"Maksudmu?"

Ryder menjilat bibir bawahnya tampak resah lalu mencebik. Alexia masih tak bisa mengalihkan perhatian dari cara Ryder membasahi bibir itu, seakan-akan sisi gelapnya berkata 'biar aku saja yang menjilati bibirmu, Ryder!'. Kontan Alexia mengepalkan tangan, berkecamuk dengan isi kepala sendiri dan pandangannya bertemu dengan iris hijau gelap Ryder.

"Ayahku mengadakan jamuan mendadak. Tidak mendadak juga sebenarnya, dia menyiapkan ini jauh-jauh hari sebagai kejutan dan baru memberitahuku setengah jam lalu. Dia memintaku datang bersamamu ke salah satu hotel sebagai penyambutan kita berdua," terangnya panjang lebar dan cepat. "Apa kau bersedia? Mengingat kau tampak tidak suka keramaian."

Untuk sesaat, Alexia terpaku pada akhir kalimat Ryder yang sialan benar kalau dirinya tidak seberapa suka keramaian. Bukan berarti dia benci, hanya di saat-saat tertentu Alexia akan memilih berada di kamarnya yang hangat untuk mengembalikan energi. Tanpa sadar mulutnya setengah terbuka bagaimana pria pongah di depannya ini hafal tabiat Alexia yang belum tentu diketahui oleh orang lain, termasuk mantan-mantannya. Alexia jadi bertanya-tanya apakah Cherry mengalami hal serupa? Atau Ryder memang punya keahlian khusus di bidang membaca isi pikiran wanita?

"Apakah harus?" Alexia berusaha tidak memandangi bibir Ryder dan mempertahankan kontak mata.

"Sayangnya ya. Maka dari itu aku ingin menanyakan hal ini padamu, Little love."

Alexia menimang sebentar permintaan Ryder cukup lama sebelum melenggut pelan. Mau tak mau, suka tak suka Alexia harus menerima lantaran Lucas sudah menyediakan fasilitas latihan yang menakjubkan. Jadi, Alexia akan menganggapnya sebagai balas Budi.

"Aku akan menjemputmu pukul tujuh," tandas Ryder tersenyum puas menampilkan geliginya yang rapi. "Gunakan pakaian terbaikmu," tambahnya mengingatkan seraya mengerlingkan sebelah mata.

"Baiklah."

###

"Hei, jagoan," sapa Ryder begitu membuka pintu apartemen yang disambut Coco.

Anjing jantan itu mengibaskan ekor, menerima pelukan tuannya. Kemudian membuntuti langkah Ryder menuju kamar, mendengarkan pria itu bersiul.

Alih-alih mengistirahatkan badan sebentar, Ryder justru sibuk menyiapkan setelan yang akan dipakai di acara malam nanti. Tentu dia tahu bahwa jamuan tersebut pastinya bukan hal yang biasa mengingat relasi Lucas begitu luas. Apalagi, tadi dia menerima pesan dari kakaknya--Guy--kalau penyambutan itu bakal digelar meriah.

Untuk beberapa detik, dia membayangkan bagaimana penampilan Alexia nanti. Apakah dia akan memakai gaun koktail membalut tubuh rampingnya atau justru setelan formal. Bila ditilik, rasa-rasanya Alexia cocok mengenakan apa pun asal jangan menutupi bintik-bintik menggemaskan di pipinya. Jujur saja, Ryder suka mengamati freckles Alexia yang ikut bersemu setiap kali gadis itu merona.

"Astaga..." Ryder geleng-geleng kepala.

Coco menyalak seakan-akan bisa menembus isi pikiran Ryder.

"Dia gadis aneh, cerewet, tapi lucu," ungkap Ryder pada Coco. "Kau harus bertemu dengannya, Dude."

Anjing Labrador retriever itu lagi-lagi menggonggong penuh semangat, menyetujui ide Ryder tuk mengundang Alexia ke rumah mereka. Sudah lama hunian ini tidak pernah didatangi wanita lain selain ibu Ryder sendiri.

"Bagaimana jika mengajaknya makan malam?" tawar Ryder. "Sepertinya itu ide Bagus bukan?"

Coco mengibaskan ekornya cepat, menjulurkan lidahnya dan menatap Ryder yang terbakar gairah.

"Jangan kira aku menyukainya. Tidak, Dude," ujar Ryder kini melepas kaus yang melekat di badan tuk bersiap membersihkan diri. Sesaat dia bercermin, mengamati bekas jahitan di dada yang melintang cukup panjang lalu beralih pada ukiran tato huruf Runes di tulang selangka juga tiga angka sembilan di bawah ketiak kanannya.

Sudut bibir Ryder menukik masam, sementara jemarinya meraba tato di tulang selangka kanan sebagai bentuk penghormatannya pada Cherry.

Kekuatan, pelajaran hidup, keseimbangan, ketidakadilan, Cinta, dan karma.

"Jatuh Cinta sekaligus kehilanganmu adalah kutukan terburuk yang pernah aku terima, Cherry," lirih Ryder kemudian berlatih membelai tiga angka sembilan berderet ke bawah. "Kehidupan baru. Segala tentangmu memang tidak bisa kulupakan, bukan berarti cintaku hilang melainkan terendap ke dasar lautan dan membiarkan sisanya mengambang."

Ryder menarik napas panjang, menautkan kontak mata dengan bayangannya di cermin. Seberkas senyum tipis terbit di bibir kala dia berbisik,

"Ke mana hatiku akan berlabuh, Tuhan? Akankah kau memberiku ijin untuk merasakan kembali rasanya mencintai dan dicintai?"

Serpihan hatinya telah terombang-ambing mengikuti arus tanpa tahu ke mana dia akan mendarat. Tanpa tahu pula apakah seseorang di masa depan mampu menerima semua masa lalu Ryder. Walau dikelilingi belasan perempuan yang menggandrungi pesonanya, tak mudah bagi Ryder jatuh Cinta. Tidak setelah kematian Cherry.

Tapi, Ryder tidak akan menutup hati. Begitu yang disarankan Denny. Bisa jadi, kisah cintanya masih berlanjut walau bukan dengan pujaan hatinya itu.

Hanya perlu mencari...

Denting notifikasi pesan membuyarkan lamunan panjang Ryder. Ekor matanya melirik ponsel di atas nakas di mana kakaknya muncul di layar gawai.

Guy : Aku penasaran dengan partner skatingmu. Pastikan dia betah dengan sikap labilmu, Ryder.

"Memangnya aku ini kenapa?" gerutu Ryder kemudian membalas pesan Guy.

Ryder : Betah tidak betah, nyatanya aku bisa menariknya kembali padaku. Kau lupa, bibir manis kita diturunkan dari Dad? Nathan datang kan?

Guy : Entahlah. Aku mengiriminya pesan belum dibalas. Mungkin dia masih latihan hockey. Timnya dibantai habis-habisan kemarin.

"Ck! Sudah kubilang, Elliot mantannya Alexia itu pembawa sial," gerutu Ryder. "Aku heran darimana gadis itu bisa suka si Elliot. Apa dia buta?"

Dia berpaling ke arah Coco yang menatapnya penuh arti. "Jangan memandangiku seperti itu, Coco. Aku seperti ini karena menggunakan logika. Dibanding Elliot, aku masih jauh lebih baik. Bukan berarti aku suka, Dude. Hanya menggunakan logika," tegasnya seolah-olah Coco tengah memberondong pertanyaan mengapa Ryder begitu perhatian.

Aku benar kan? Peduli bukan berarti suka. Suka bukan berarti cinta. Bahkan benci pun terkadang dinilai rancu. Manusia terlalu mudah mengambil kesimpulan tanpa menelaah lebih jauh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro